Gerhana di Langit Tidore

Kata Pengantar

sunting

Halo, nama saya Ana Falesthein Tahta Alfina. Saya adalah penulis cerita anak yang juga menyukai Astronomi.

Premis

sunting

Gerhana matahari total akhirnya melintasi langit Tidore. Masyarakat Tidore antusias menyambutnya dengan mengadakan ritual dolo-dolo. Mereka akan serentak membunyikan kentungan sampai gaduh untuk mengusir pergi raksasa Suanggi yang ingin menelan matahari. Soraya juga tak kalah antuasias. Namun, kacamata gerhana idamannya tak kunjung ia dapatkan. Soraya harus memilih, mengamati gerhana matahari total sambil mengikuti ritual dolo-dolo atau sepenuhnya menikmati peristiwa gerhana matahari total yang langka.

Setting

sunting

Kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara.

Isi Cerita

sunting

Gerhana di Langit Tidore

Oleh: Ana Falesthein Tahta Alfina

Soraya sudah tidak sabar ingin bertemu Fida sepupunya. Fida menjanjikan oleh-oleh istimewa dari Jakarta. Yaitu kacamata gerhana untuk mengamati gerhana matahari. Fida pernah ikut babanya ke Jakarta saat peristiwa gerhana matahari tiga tahun silam. Mereka mendatangi planetarium dan mengamati gerhana matahari sebagian menggunakan kacamata gerhana. Kacamata gerhana itu membantu mengamati gerhana matahari dengan aman. Radiasi matahari yang memancar saat proses gerhana berlangsung sangat berbahaya bagi retina mata. Bahkan bisa menyebabkan buta permanen. Satu minggu lagi, gerhana matahari total akan melintasi wilayah Maluku Utara. Tempat mereka tinggal, Kota Tidore Kepulauan akan menjadi jalur pelintasan gerhana paling lama, sekitar 2 menit 29 detik. Soraya ingin mengamati peristiwa langka itu menggunakan kacamata gerhana seperti milik Fida. Dengan kacamata gerhana, matahari tampak bulat sempurna seperti kuning telur mata sapi.

Soraya melangkah riang ke arah rumah Fida, “Fidaaa! Haduh, aku sungguh tidak sabar. Ayo cepat keluarkan.”

“Duduk dulu, duduk dulu.” Fida menuntun Soraya ke arah kursi, “Jadi.. selama di Jakarta aku tidak sempat mengunjungi planetarium.. ”

Senyum Soraya menghilang seketika, “Jadi kacamatanya tidak dapat ya?”

Fida menggangguk menyesal, “Tapi nanti kita bisa bergantian memakai kacamata milikku.”

Soraya tertunduk lesu. Soraya ingat cerita Fida. Saat pengamatan gerhana matahari di Jakarta suasana begitu ramai. Ada banyak teleskop yang berjejer di lapangan planetarium. Namun, jumlah pengunjung yang hadir tidak seimbang dengan jumlah teleskop yang disediakan. Para pengunjung mau tidak mau harus antre dan bergantian mengintip gerhana matahari dari teleskop. Untunglah saat itu pihak planetarium membagikan Kacamata gerhana. Mereka bisa mengamati gerhana lewat Kacamata gerhana itu sampai puas.

Soraya juga ingin mengamati gerhana sampai puas. Persis seperti pengalaman yang pernah Fida alami. Soraya tahu nanti akan ada beberapa pengamatan yang diadakan oleh para peneliti dan astronom. Mereka semua tersebar di beberapa titik di seluruh penjuru Kota Tidore Kepulauan. Namun, Soraya ragu teleskop yang mereka sediakan cukup banyak.

“Kau marah padaku ya?”

Soraya menggeleng. Hatinya memang kecewa. Namun ia tak sampai hati jika harus marah pada Fida. Bagaimanapun, Fida ikut ke Jakarta untuk menemani babanya bekerja. Soraya paham jika Fida tidak bisa seenaknya merengek mengunjungi planetarium demi Soraya.

“Kayaknya nanti kita dapat Kacamata gerhana saat pengamatan deh,” kata Fida dengan kening berkerut.

“Bagaimana kalau tidak dapat?” Tanya Soraya, “Guru-guru di sekolah hanya memberitahu soal pengamatan gerhana. Tapi tidak ada info apapun soal kacamata.”

Fida menggaruk kepalanya yang mendadak gatal, “Bagaimana kalau nanti kita cari tahu bersama-sama?”

Soraya mengangguk lesu. Ia berpamitan pulang dengan langkah gontai. Selama di perjalanan, pikirannya mengembara ke mana-mana. Banyak kekhawatiran yang memenuhi isi kepalanya.

Sultan Tidore akan mengadakan ritual adat dolo-dolo untuk menyambut datangnya gerhana matahari. Ritual tersebut sudah menjadi acara turun temurun yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Kesultanan Tidore. Ritual akan dimulai dengan doa memohon keselamatan lalu diakhiri dengan memukul kentungan selama peristiwa gerhana berlangsung.

Bagi masyarakat Tidore, gerhana matahari bukan sekadar peristiwa alam biasa. Mereka masih percaya mitos. Gerhana matahari terjadi akibat ulah raksasa bernama Suanggi yang menelan matahari. Untuk mengusir Suanggi, mereka harus serentak memukul kentungan sampai menimbulkan suara gaduh.

Hal itulah yang membuat Soraya khawatir. Murid-murid di sekolahnya, termasuk Soraya, juga akan menjadi pemukul kentungan. Bagaimana caranya ia bisa memukul kentungan sekaligus mengamati gerhana lewat teleskop? Aduhai, membayangkannya saja terasa cukup rumit.

...

Tiga hari menjelang gerhana matahari total, Soraya semakin resah dan gelisah. Belum ada kejelasan dari pihak sekolah soal kacamata gerhana. Sepulang sekolah biasanya ia menuju rumah Fida. Lalu mereka akan bermain galo-galo mafu. Galo-galo mafu adalah permainan menggunakan batu. Lima batu dihamburkan ke atas tanah. Satu batu diambil kemudian dilempar dan ditangkap, sementara empat batu lainnya dipungut sampai habis. Jika empat batu tidak berhasil dipungut seluruhnya, maka permainan akan berganti. Permainan tersebut cukup sederhana. Namun kali ini Soraya tidak punya tenaga udah bermain apapun.

Yaya berusaha menghibur puteri satu-satunya itu. Kata Yaya, Soraya tidak perlu ambil pusing. Soraya hanya perlu menyiapkan air dalam baskom. Sambil memukul kentungan, Soraya bisa mengamati gerhana lewat pantulan air dalam baskom. Haduh, mana bisa seperti itu.

Baba tidak setuju. Menurut Baba, cara Yaya sangat kuno sekali. Baba punya cara yang lebih canggih. Soraya bisa membuat kacamata gerhana dengan menggunakan rol film kamera analog. Bahan Kacamata gerhana gerhana matahari milik Fida hampir mirip dengan bahan rol film kamera analog.

“Benarkah?” Soraya segera bangkit dari kasurnya, “Di mana aku bisa mendapat rol film itu?”

Baba menelan ludah, “Hmm, dulu Baba punya. Di mana ya Baba meletakkannya? Kayaknya ada di gudang belakang.”

Soraya menghela napas dan kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Mencari barang di gudang belakang seperti pekerjaan yang mustahil. Apalagi jika barang itu milik baba. Baba sangat buruk menyimpan barang. Jadi lebih baik Soraya tidak berharap sama sekali.

...

Sehari menjelang gerhana, Soraya tidak mau bertemu Fida. Beberapa kali ia memutar jalan demi tidak berpapasan dengan Fida. Untung sekali mereka tidak sekelas. Meskipun kelas mereka hanya dipisahkan oleh ruangan guru.

“Soraya dan Anggi,” panggil Ibu Cita.

Soraya menoleh dengan mata berbinar. Ia berharap mendapat berita baik terkait kacamata gerhana matahari.

“Ibu membutuhkan bantuan kalian untuk menghitung kentungan untuk besok.”

Mata Soraya meredup seketika. Yah, rupanya tentang kentungan!

Soraya menurut dan mengikuti Ibu Cita ke arah aula. Dari aula, Soraya bisa mengintip beberapa mobil bak terbuka yang melintas membawa kardus-kardus besar. Sepertinya berisi perlangkapan untuk peneropongan besok di lapangan alun-alun kota. Namun tak lama, sebuah suara mengagetkannya.

“Apakah kau melihat Soraya?” seru Fida pada Anggi.

Soraya segera bersembunyi dan memberikan kode pada Anggi untuk menggeleng. Anggi menuruti permintaan Soraya dengan wajah heran. “Hmm, ke mana perginya anak itu?” Tanya Fida sambil berlalu dari aula. Soraya masih malas menemui Fida. Bukan apa-apa. Fida masih mengingatkannya pada kacamata gerhana yang tidak kesampaian. Rasanya masih menyebalkan.

...

 
Gerhana matahari total


Soraya bangun saat azan subuh berkumandang dengan mata lengket. Ia tidak ingat baru bisa memejamkan matanya pukul berapa. Semalaman ia memikirkan strategi untuk menikmati gerhana matahari. Jika tanpa kacamata rasanya ia tidak mau membawa kentungan. Ia lebih menginginkan menikmati gerhana dibandingkan menjalankan tradisi.

Sebelum berangkat, Soraya sudah memantapkan hati meninggalkan kentungannya di rumah. Ia ingin mengantre teleskop saja. Biarkan orang lain yang memukul kentungan. Pembawa kentungan pasti jumlahnya sudah membludak. Satu saja yang tidak membawa kentungan tidak akan ada yang mempermasalahkan. Soraya diantar Baba ke arah alun-alun. Baba juga akan ikut mengamati gerhana bersama teman-teman kantornya. Sedangkan yaya akan mengamati gerhana dari halaman rumah saja.

Gerhana Matahari total terjadi akibat posisi bulan, matahari, dan bulan yang berada di garis lurus. Pada posisi itu, bayangan bulan jatuh pada permukaan bumi akibat terhalangnya sinar matahari. Sehingga matahari tampak tertutup sempurna oleh bulan.

Sejak pukul 05.30 WIT, suasana di alun-alun kota mulai didatangi oleh masyarakat sekitar. Mereka datang membawa kentungan apa saja. Ada yang membawa kentungan dari bambu. Ada yang membawa kentungan dari perkakas dapur apapun yang bisa menimbulkan bunyi gaduh. Mereka sudah siap mengusir raksasa Suanggi yang hendak menelan matahari.

Soraya datang bersama teman-teman satu kelasnya. Teleskop terlihat berjejer rapi dan tersebar di area alun-alun. Saat hendak mendaftar, Soraya kaget melihat kacamata gerhana juga sudah disiapkan di area meja pendaftaran oleh para peneliti.

Eh? Ada kacamata gerhana? Astaga, Soraya tidak salah lihat kan?

“Soraya!” Fida menepuk bahunya, “Aku mencarimu dari kemarin sore.”

“Aku kemarin ada di mana ya?” Soraya pura-pura mengingat kejadian kemarin sore.

Fida mendapati Soraya yang takjub melihat kacamata gerhana. “Yah, udah bukan kejutan lagi dong,” katanya.

“Hah?” Soraya bertanya heran.

“Kemarin aku ingin memberitahumu soal kacamata gerhana. Ternyata para peneliti menyediakannya. Eh jangan lupa siapkan kentunganmu.”

“Apa hubungannya kacamata matahari dengan kentungan?”

“Kita baru akan mendapatkan kacamata setelah memperlihatkan kentungan yang kita bawa.”

“Eh tunggu! Itu artinya kalau tidak bawa kentungan berarti tidak dapat kacamata?” Soraya bertanya memastikan.

Fida mengangguk bingung, “Kenapa kamu seperti kebingungan?”

“Astaga! Fida aku harus segera pulang! Pukul berapa ini?”

“Kenapa kau harus pulang?”

“Aku tidak bawa kentungan!”

Fida ikut panik bersama Soraya. Haduh, kenapa Soraya bisa berpikir untuk tidak bawa kentungan?! Soraya melirik jam, masih menunjukkan pukul 07.34 WIT.

“Gerhana akan dimulai pukul berapa?” Soraya bertanya pada Fida.

Fida celingak-celinguk melihat papan informasi, “Pukul 08.36 WIT. Masih ada waktu.”

Dalam keadaan panik, Soraya rasanya tidak bisa berpikir. Haduh, jarak antara rumah dengan alun-alun sebenarnya tidak terlalu dekat. Ssekitar 30 menit perjalanan jika menggunakan kendaraan. Tapi bagaimana jika jalanan macet?

Fida menarik tangan Soraya, “Kita pergi ke sekolah. Di sana pasti masih ada sisa kentungan.”

Soraya mengikuti langkah cepat Fida. Fida benar. Jarak sekolah dan alun-alun hanya berjarak 10 menit dengan jalan kaki. Itu artinya perjalanan bolak-balik membutuhkan waktu 20 menit. Mereka masih bisa menghemat waktu.

 
Mengamati gerhana matahari total menggunakan kacamata gerhana

...

Soraya dan Fida tiba di meja pendaftaran dengan keringat bercucuran. Soraya melihat jam dan bernapas lega. Mereka berdua masih punya waktu untuk mendapatkan kacamata matahari. Antrean di hadapan mereka terus maju dan akhirnya tiba giliran mereka.

“Untunglah tidak terlambat,” seru Fida.

“Fida, maafkan aku ya,” bisik Soraya, “Maafkan aku karena sempat marah dan menghindarimu.”

Fida tersenyum, “Maafkan aku juga karena telah membuatmu khawatir.”

Mereka kemudian tertawa. Di hadapan mereka, semua teleskop mulai diarahkan ke arah matahari. Moncong teleskop ditutupi oleh filter khusus. Mereka mendekati kakak peneliti dan mencari tahu. Rupanya tanpa filter khusus itu, teleskop akan mudah rusak dan terbakar. Teleskop saja bisa terbakar, apalagi mata manusia. Para peneliti meminta para pengunjung untuk tidak menatap matahari langsung tanpa menggunakan kacamata gerhana.

Kontak bulan dan matahari pertama kali di langit Tidore terjadi pada pukul 08.36 WIT. Saat para peneliti mengumumkan, kentungan mulai dipukul. Bunyi kentungan terdengar bertalu-talu dari segala arah.

Soraya hanya akan memukul kentungan saat gerhana total mulai terjadi. Sebelum itu, Soraya ingin mengamati gerhana matahari total menggunakan teleskop. Ia berbaris rapi di antrean bersama pengunjung lainnya. Ia tak berhenti takjub. Perlahan, matahari menghilang ditelan Suanggi. Seakan Suanggi sedang menggigit biskuit kesayangannya sampai habis. Mendekati pukul 09.53 WIT, pengumuman kembali terdengar. Gerhana matahari total akan mencapai puncak. Langit semakin terlihat gelap. Kentungan semakin gaduh dipukul. Soraya segera mengenakan kacamatanya dan memukul kentungan sekuat tenaga. Bunyinya dua kali lebih gaduh dari pada sebelumnya. Seakan mereka serius sekali mengusir Suanggi agar segera pergi.

Tak tak tak Duk Duk Duk Bak Bak Bak Krompyang Krompyang Krompyang

...

Selama 2 menit 29 detik, tradisi dolo-dolo dilaksanakan dengan meriah. Langit Tidore benar-benar gelap. Gerhana matahari total sedang melintas. Siang menjadi malam dalam sekejap. Suara tepukan menggema dari seluruh penjuru. Dengan kacamata gerhana, Soraya bisa memukul kentungan dengan puas. Seluruh ponsel terangkat ke udara. Mereka ingin mengabadikan peristiwa langka itu. Soraya nanti tinggal meminta hasil foto pada Ibu Cita.

Kentungan terus berbunyi hingga gerhana matahari dinyatakan berakhir pada pukul 11.21 WIT. Seluruh masyarakat Tidore puas dalam memeriahkan gerhana matahari total. Soraya juga ikut puas, apalagi akhirnya ia punya kacamata gerhana.

“Bagaimana? Kau senang hari ini?” Fida menyikutnya dengan senyuman lebar.

Soraya mengangguk dengan senyuman tak kalah lebar. Terima kasih gerhana matahari total. Kapan-kapan mampir lagi, ya. Langit Tidore akan merindukan kedatanganmu.

Glossarium

sunting

Baba= ayah

Yaya= ibu

WIT = Waktu Indonesia Timur