Hantu Perpustakaan
Damar bergidik takut setiap kali dia menatap bangunan perpustakaan sekolahnya. Bangunan perpustakaan itu terletak di dekat kantin lama sekolah. Jika kantin utama penuh, Damar terpaksa jajan di kantin lama agar tidak terlambat masuk kelas. Jika dia tidak jajan, dia khawatir akan kelaparan. Jadi, mau tak mau Damar harus melewati perpustakaan itu, daripada menahan lapar sampai jam makan siang.
Sebetulnya, perpustakaan itu tampak biasa saja. Letaknya di bagian halaman belakang sekolah, terpisah dari bangunan utama. Atapnya ditutup genting cokelat. Dindingnya krem dengan jendela dan pintu berwarna hitam kecokelatan. Di sekitar perpustakaan itu banyak terdapat pohon mangga dan pohon rambutan yang besar-besar.
Tidak banyak murid yang mau pergi ke perpustakaan. Selain karena letaknya jauh dari bangunan utama, angin kencang yang bertiup di sekitar pepohonan terkadang menimbulkan suara gemerisik menakutkan. Bunyinya terdengar seperti “Whuuu whuuu whuuu”. Benar-benar mirip suara hantu.
***
Damar dan teman-temannya sedang duduk di depan kantin lama. Bangunan perpustakaan itu terletak lima meter dari kantin. Salah satu daun pintunya terbuka. Tampak lantainya berwarna abu-abu dan karpet berwarna merah ada di tengah-tengah ruangan. Temboknya penuh rak buku. Bu Rini, petugas perpustakaan sedang duduk di mejanya, menulis sesuatu dalam buku.
“Aku pernah melihat anak kecil duduk membaca buku di situ,” timpal Bara. “Aku sedang mencuci tangan di depan kelas, dan aku lihat ke jendela perpustakaan. Di sana ada anak duduk, membaca buku. Rambutnya pendek. Padahal waktu itu ‘kan jam pelajaran! Siapa anak yang duduk membaca di situ?”
“Siapa tahu memang ada kelas yang baru membaca di perpustakaan,” Alden menyela pembicaraan mereka. “Jangan berpikir dulu kalau itu hantu!”
“Kakinya napak, nggak?” tanya Adit, mengunyah bakso bakar. Bara dan Alden kemudian mulai berdebat. Sementara Damar diam saja, mendengarkan obrolan teman-teman barunya.
Damar awalnya memang tidak ingin pindah sekolah. Ayahnya memang sering ditugaskan berpindah tempat, dan Damar sudah pindah sekolah beberapa kali mengikuti ayahnya. Terakhir, Damar merasa nyaman karena pindah sekolah di kota besar, dekat rumah bibinya. Ada Kak Azrial, anak bibinya. Baru beberapa bulan bersekolah, ayahnya tiba-tiba mendapat tugas untuk bekerja di desa kecil. Damar tidak ingin pindah. Namun, karena ibunya berkata bahwa di sekolah itu ada perpustakaan yang besar dan bagus, akhirnya Damar mau pindah sekolah.
Sekolah baru Damar terletak di tepi jalan desa yang cukup sepi. Meskipun begitu, banyak anak yang bersekolah di sini. Bahkan teman sekelasnya di kelas empat ini sebanyak dua puluh lima. Kelas empat yang satunya dua puluh empat. Karena itulah kantinnya ada dua, biar murid-murid tidak mengantri terlalu lama.
Kali ini, Damar jajan sendiri. Teman-temannya sedang berebut membawakan buku-buku pelajaran milik Bu Guru Heni, wali kelas mereka. Bu Guru Heni ramah, tidak terlalu banyak marah. Karena itu semua muridnya menyayanginya. Damar memilih pergi ke kantin lama sambil setengah berlari ketika melewati bangunan perpustakaan.
Setelah menghabiskan segelas es teh, Damar memandang perpustakaan itu. Jalan menuju pintu terbuat dari tanah dengan tanaman rumput di samping kanan-kirinya. Di sekeliling bangunan terdapat tanaman mawar dan beberapa tanaman anggrek. Seperti biasa, daun pintu gandanya terbuka satu. Terlihat Bu Rini sedang menulis di mejanya.
Damar memang sangat suka membaca. Buku apapun dia baca. Buku ternak lele, buku cerita anak, buku sejarah, dan bahkan buku ensiklopedia. Damar sebetulnya sangat ingin pergi ke perpustakaan. Bu Rini, petugas perpustakaan kelihatannya juga ramah. Namun, karena cerita teman-temannya, dia tidak berani ke perpustakaan, meskipun dia sangat ingin ke sana.
Bu Rini terlihat mendongak dari mejanya, dan kemudian bangkit. Dia berjalan menuju pintu perpustakaan dan melambaikan tangannya, “Halo, Nak. Kamu ingin pergi ke perpustakaan?”
Damar terhenyak. Ternyata Bu Rini sering memperhatikannya. Sambil memberanikan diri, dia berjalan menuju perpustakaan untuk menghampiri Bu Rini. “I-iya, Bu.” Damar menjawabnya malu-malu.
“Masuklah,” kata Bu Rini tersenyum ramah. Beliau menunjuk rak sepatu di dekat pintu. “Sepatumu bisa ditaruh di sini.”
Damar melepas sepatunya, menaruhnya di rak sepatu. Ada sepasang sepatu lagi di situ. Dia berjalan masuk ke perpustakaan. Dia masih ragu-ragu. Bu Rini menepuk pundaknya, “Ayo Nak. Tidak usah malu. Kamu anak baru ya?”
“Iya, Bu. Nama saya Damar,” kata Damar seraya mencium tangan Bu Rini. “Saya baru dua minggu sekolah di sini.”
“Halo Damar, saya Bu Rini pustakawati,” kata Bu Rini. “Kamu boleh baca di sini. Kamu suka baca buku, ‘kan?” tanya Bu Rini yang seperti sudah tahu kesukaan Damar.
Damar menatap Bu Rini. Usianya mungkin sama dengan usia ibunya. Bu Rini berambut hitam dengan sedikit uban putih terlihat di pucuk kepalanya. Rambutnya pendek. Beliau menggunakan kacamata berwarna hitam.
“I-iya Bu. Saya boleh baca di sini?” Damar mulai tertarik. Dia mengamati koleksi buku-buku di perpustakaan yang berjajar rapi.
“Silakan saja,” kata Bu Rini. Beliau kembali duduk di mejanya. “Saya ada di sini kalau kamu membutuhkan bantuan.”
Damar mengedarkan pandang. Ternyata perpustakaan itu cukup luas. Di tempat yang tidak terlihat dari luar, ternyata ada meja dan kursi kayu di tengah ruangan untuk membaca. Masih banyak buku-buku di rak perpustakaan yang tidak terlihat dari luar. Damar berjalan mengitari rak dan terheran-heran. Ada banyak judul buku yang belum pernah dia baca, mulai dari buku-buku cerita rakyat sampai buku-buku sains.
Damar mengambil buku berjudul “Tata Surya” dan menatap meja kayu di tengah ruangan. Damar masih merasa takut karena bagian ruangan itu gelap, hanya ada dua jendela yang terhalang pohon mangga dan satu pintu di ujung ruangan yang tertutup. Rak di situ juga ditata berhadap-hadapan jadi semakin menimbulkan kesan gelap. Damar akhirnya duduk di karpet merah di lantai, dekat Bu Rini. Dia mulai asyik membaca.
Tiba-tiba Bu Rini beranjak dari mejanya. “Saya ke toilet sebentar ya, Damar.” Beliau berjalan menuju pintu di ujung ruangan.
Damar sendirian di perpustakaan. Dia menatap ke halaman. Banyak anak masih jajan di kantin. Damar merasa tenang, kemudian melanjutkan membaca.
Ketika Damar sampai pada bagian Planet Jupiter, Damar mendengar suara buku terjatuh.
Bruk.
Damar menoleh ke bagian ruangan yang agak gelap. Tidak ada siapa-siapa di situ, dan tidak ada buku terjatuh di lantai.
Damar keheranan. Meskipun begitu, karena sudah terlanjur asyik membaca buku, Damar tidak mempedulikannya.
Bruk.
Suara buku jatuh lagi. Damar menoleh lagi, namun masih tidak ada siapa-siapa di sana. Damar mulai merinding.
Kenapa Bu Rini belum kembali? Damar mulai cemas. Dia teringat cerita hantu teman-temannya. Damar menutup bukunya. Dia merasa harus mengembalikan buku itu ke tempatnya, di bagian ruang yang gelap, di dekat pintu di ujung. Tapi dia terlalu takut. Dia mulai berdiri pelan-pelan dan menoleh ke meja Bu Rini.
Bruk.
Damar mendengar suara buku jatuh lagi. Tanpa pikir panjang, dia setengah melemparkan buku “Tata Surya” itu ke meja Bu Rini. Dia kemudian berlari menuju pintu keluar perpustakaan tanpa menoleh lagi karena takut.
Sekilas, ketika Damar berlari, dari sudut matanya Damar melihat ada seorang anak berseragam seperti dirinya, menatapnya. Dia seperti berdiri di dekat salah satu kursi kayu. Dan sepertinya, kakinya tidak menapak ke lantai perpustakaan.
***
Sehari kemudian, Damar menceritakan apa yang dilihatnya di perpustakaan. Dia, Alden, Bara, dan Adit berkumpul di meja kecil depan kantin lama.
“Sudah kuduga! Perpustakaan itu memang berhantu!” ujar Bara penuh dengan kemenangan. Dia sedang memegang segelas es teh. “Berarti bukan cuma aku yang lihat!”
“Belum tentu, Bar. Masak hantu malah keluar siang-siang?” sahut Alden. Dia sedang makan bakwan jagung. Mulutnya penuh. “Ngapain, coba?”
“Siapa tahu dia memang iseng keluar siang,” kata Adit. Dia sedang makan donat.
Tiba-tiba Damar terhenyak.
“Kenapa, Mar?” tanya Alden. Bara juga menatapnya.
“Betul juga ya, kenapa hantu keluar siang-siang?” tanya Damar. “Dia pasti sengaja!”
“Sengaja menakuti, maksudmu?” tanya Bara.
“Bukan, maksudku…” Damar kelihatan berpikir keras. “Pasti ada alasannya kenapa dia menampakkan diri di siang hari.”
Meskipun takut, Damar sangat ingin menyelesaikan buku tata surya yang kemarin dia baca. Masih ada dua planet lagi yang harus dia baca, yaitu Uranus dan Neptunus.
“Ayo kita selidiki saja,” usul Damar.
Bara, Adit, dan Alden melongo. “Hah?!”
“Siapa tahu itu bukan hantu,” kata Damar. Dia ingat betul bahwa anak yang dilihatnya kemarin mengenakan seragam sekolah seperti dirinya. “Siapa tahu itu cuma murid sini.”
Alden terdiam sejenak, kemudian mengangguk-angguk. “Boleh juga.”
Damar menatap Bara yang masih melongo. “Bar, waktu itu kamu lihat hantunya pakai seragam, ‘kan?”
Bara berpikir keras. “Sepertinya iya.”
“Ya sudah, ayo kita ke perpustakaan.” Damar beranjak berdiri dan Alden mengikutinya. Bara masih bimbang, namun kemudian dia mengajak Adit untuk menyusul mereka.
“Selamat siang, Bu…” kata empat anak itu kompak ketika sampai di perpustakaan.
Bu Rini mendongak dari mejanya dan tersenyum ramah. “Wah, tumben ada anak-anak yang ingin ke sini. Kamu yang mengajak mereka, Damar?”
Damar tersipu. “Iya Bu, kami ingin membaca di perpustakaan.”
“Silakan masuk. Sepatunya taruh di rak ya,” kata Bu Rini. Mereka berempat menaruh sepatu di rak kemudian masuk ke perpustakaan dengan hati-hati.
Damar masih merasa takut. Dia mengajak Alden berjalan menuju rak di bagian ruangan yang agak gelap, di dekat pintu yang mungkin toilet. Damar menunjuk salah satu kursi kayu di situ dan berbisik, “Aku melihat hantunya di sini.”
Alden mengangguk. Dia kemudian mengambil salah satu buku secara acak dan duduk di karpet. Damar mengikutinya setelah mengambil buku tata surya yang kemarin dia baca. Sementara itu, Adit dan Bara yang tidak berani ke bagian ruangan yang agak gelap, mengambil peta dunia dari salah satu rak di dekat karpet dan mulai membaca bersama.
Bu Rini beranjak dari mejanya dan berkata, “Ada apa, Bu Heni?”
Ternyata, Bu Guru Heni berdiri di depan pintu perpustakaan. Bu Rini dan Bu Heni kemudian mengobrol, terlihat agak serius. Damar memperhatikan mereka sebentar, kemudian lanjut membaca.
Bruk.
Terdengar suara buku jatuh lagi dari bagian perpustakaan yang agak gelap. Damar mendengarnya dan memberi isyarat kepada teman-temannya. Teman-temannya mengangguk dan kemudian mereka menajamkan telinga. Ketika terdengar suara buku jatuh lagi, Damar dengan suara berbisik meminta teman-temannya untuk pergi ke rak. Damar dengan Alden, sementara Bara dengan Adit. Mereka mengendap-endap pergi ke sana. Meski merasa takut, mereka juga penasaran.
Rak-rak buku di situ ditata berhadap-hadapan jadi mudah untuk bersembunyi di salah satu rak. Damar dan Alden mengendap-endap di rak buku bagian kiri, sedangkan Bara dan Adit mengendap-endap di rak buku bagian kanan. Jantung Damar berdegup kencang ketika mendengar suara buku jatuh lagi. Benarkah hantu, atau …?
Bunyi buku jatuh terdengar lebih keras lagi. Kali ini Damar benar-benar melihat buku jatuh; sebuah buku bersampul tebal dan berat. Mirip buku ensiklopedia yang sering dia baca. Damar kemudian menengok dari balik rak, menahan napas.
Damar hampir menjerit kaget ketika ada tangan yang mengambil buku itu. Anak yang hendak mengambil buku itu juga terkejut melihat Damar. Bara dan Adit dari rak seberang berteriak, “Kakinya enggak napak!”
Bara dan Adit hendak berlari. Alden ikut-ikutan panik. Damar, yang sudah pulih dari kagetnya,berkata pelan, “Anak ini memakai kaus kaki hitam.”
“Apa?”
Anak laki-laki yang mengambil buku itu memang memakai kaus kaki hitam, jadi seolah-olah kakinya tidak menapak ke lantai. Rambutnya pendek. Kulitnya agak pucat. Dia tersenyum, dan berkata, “Apa kalian juga suka membaca buku?”
Damar kemudian baru ingat bahwa ketika dia pertama kali ke perpustakaan ada sepasang sepatu juga sebelum dia masuk. Ketika dia berlari keluar karena takut, dia melihat kaki anak itu seolah tidak menapak ke lantai karena anak itu suka mengenakan kaus kaki hitam. Apalagi ruangannya gelap. Jadi seolah-olah anak itu benar-benar terlihat melayang seperti hantu.
Rupanya, setelah berkenalan lebih lanjut, anak laki-laki itu bernama Diego. Dia sudah bersekolah di situ sejak lama. Diego kelas empat juga dan seharusnya sekelas dengan Damar dan teman-temannya. Namun, Diego belum lancar membaca. Dia malu masuk kelas. Karena itu dia lebih suka belajar sendiri di perpustakaan bersama Bu Rini. Bu Rini bersama Bu Heni kemudian menjelaskan kalau Diego anak yang istimewa. Dia seorang murid dengan disleksia, tetapi bisa berhitung dengan cepat tanpa ditulis. Kadang-kadang Bu Heni menengok ke perpustakaan untuk memberikan tugas dan memberi bimbingan pada Diego.
Ternyata Diego anak yang ramah dan menyenangkan. Dengan cepat dia akrab dengan Damar dan teman-temannya. Damar dan teman-temannya dengan senang hati membantu Diego belajar membaca. Diego jadi tidak malu masuk kelas lagi. Berkat Damar dan teman-temannya juga, sekarang perpustakaan menjadi ramai. Tidak ada yang takut pada hantu lagi.
Damar mengusulkan pada Bu Rini sebaiknya setiap kelas diberi jadwal giliran membaca di perpustakaan. Bu Rini setuju dan kemudian membuat jadwal membaca bergilir. Sekarang, setiap pagi anak-anak setiap kelas membaca di perpustakaan sebelum belajar. Meskipun begitu, Damar dan teman-temannya selalu ke perpustakaan setiap hari, di luar jadwal kelas mereka. Berkat Damar, mereka jadi sangat suka membaca.