Hika Akhirnya Bangga

Premis

sunting

Hika yang semula tidak menyukai seni tradisional jadi suka dengan seni tradisional hanya karena jadi terbiasa menikmatinya karena mempelajarinya.

  • Hika
  • May
  • Ibu May

Lokasi

sunting

Samarinda, Kalimantan Timur

Cerpen

sunting

Hika Akhirnya Bangga

sunting

Sore itu Hika berjalan santai menuju rumah May. Udara terasa sejuk setelah sepanjang hari gerimis turun tak henti.

“Untung hanya gerimis,” gumam Hika, “kalau tidak aku tidak bisa bermain sore ini”.

Hika dan May sama-sama berusia 11 tahun dan bersekolah di sekolah yang sama hanya berbeda kelas. Tapi karena rumah mereka berdekatan mereka sering bermain bersama sepulang sekolah atau di sore hari menjelang senja. Sekolah baru dimulai lagi minggu ini, dan sudah beberapa hari mereka tidak sempat bermain bersama. Jadi sore ini Hika betul-betul bersemangat mengunjungi May. Ada yang sangat ingin ditunjukkannya.

Sebenarnya Hika tidak terlalu suka May. May itu menurutnya agak membosankan karena pendiam, dan kuno. Tidak seperti dirinya yang berkicau terus seperti burung cucakrawa dan periang. Hika juga sering menilai dirinya adalah seorang gadis yang pemberani, tidak seperti May. Berkurung di rumah saja. Entah apa yang dilakukannya.

Rumah Hika dan rumah May hanya berjarak beberapa ratus meter saja sebenarnya.

“Tapi seolah sudah berbulan-bulan aku tidak bertemu May,” keluh Hika dalam hati.

Aneh memang Hika ini. Dia tidak terlalu suka May, tapi selalu ingin bertemu dan bermain dengan May.

Akhirnya setelah lima menit berjalan kaki dari rumahnya yang seolah-olah rasa berbulan-bulan lamanya tadi, tampak rumah May di kejauhan. Rumah May bercat hijau teduh dengan kusen-kusen coklat.

“Seperti rumah pohon,” pernah Hika mengomentari rumah May saat Ayah May baru saja mengganti cat rumah mereka. May waktu itu hanya tersenyum kecut pada Hika dan menjawab singkat, ”Agar sejuk,” katanya dan Hika segera menjauh karena Ayah May juga mendengar dan malah bertanya apakah mereka berdua ingin memiliki rumah pohon. Hika menggeleng, meskipun waktu itu May terlihat tersenyum senang yang segera lenyap karena Hika tiba-tiba menghilang dari pandangannya.

“May,…….May….,” Hika memanggil-manggil May sambil mengetuk pintu rumahnya.

“Memang rumah ini sejuk,” aku Hika dalam hati.

Ada teras kecil yang biasa mereka gunakan bermain ular naga dan masih ada sepetak kecil halaman berumput dengan bunga nusa indah dan kamboja. Ada juga tanaman entah apa di ujung sana. Kata May, itu bunga kaca piring. Hika tidak pernah benar-benar memperhatikan tanaman-tanaman itu. Dia lebih tertarik menari-nari meniru boyband Korea kesukaannya saat sedang bermain bersama May.

“Hai……,” tiba-tiba May membuka pintu dan mereka berdua tersenyum. Hika langsung mengeluarkan handphone dari saku bajunya. Hanya ke sekolah handphone itu tidak dibawa, karena tidak diijinkan membawa handphone di sekolah mereka.

“May lihat…lihat….aku sudah hapal tarian mereka”.

Melihat Hika seperti itu May mengeluh di dalam hati, tapi tidak ragu menunjukkan kejengkelannya.

“Bisa tidak kita bermain saja, tidak usah melihat kau menari dulu?”

“Sebentar saja,” rajuk Hika.

Mengacuhkan keberatan May, Hika langsung berjingkrak-jingkrak meniru gerakan tari boyband itu. Hika bahkan hapal syair lagu berbahasa Korea itu.

May bersedekap cemberut menonton pertunjukan Hika, tapi di dalam hati harus mengakui Hika memang pandai menari-nari seperti itu. Pelan-pelan cemberutnya lenyap saat melihat Hika benar-benar bisa meniru seluruh gerakan boyband itu.

“Huuh…aku tidak bisa menari seperti itu,” keluh May. “Tapi aku bisa menari yang lain, tapi …….Hika tidak pernah mau melihat aku menari,” ingat itu May cemberut lagi.

May menyabar-nyabarkan diri menunggu pertunjukan Hika selesai dan bertepuk tangan begitu keras sampai Hika terlonjak kaget. Tapi sebentar saja Hika terkejut karena sekejap kemudian dia malah jadi sangat bersemangat melonjak-lonjak memegang tangan May dan berkata, ”Bagus kan May…bagus kan?.”

May langsung menarik tangannya, berkacak pinggang dan berkata keras, ”B A G U S ! Tapi sekarang giliranku. Tunggu sebentar,” sambil berkata begitu May berbalik masuk lagi ke dalam rumahnya. Masih terdengar teriakannya dari dalam rumah, ”Tunggu ya, awas kalau kau lari….!”

Hika geli dan tergelitik ingin tahu mendengar teriakan May. Sambil menunggu dia terus meloncat melonjak mengulang gerakan tari yang barusan dia perlihatkan. Hatinya sungguh senang. Tiga bulan lamanya dia berulang-ulang melatih gerakan-gerakan itu dan akhirnya berhasil.

“Aku hebaaaat,”pikirnya. Hika sangat ingin bisa tampil di acara perpisahan sekolah menunjukkan kemampuannya ini.

Tak lama May keluar, membawa handphone juga dan berkata sambil mengangkat dagunya pada Hika,”Sekarang kau yang menontonku ya…aku juga baru belajar menari tradisional. Tari jepen. Lihat….” May mulai begitu musiknya terdengar. Dia meloncat ke kiri ke kanan dengan indah dan Hika berpikir-pikir kok gerakannya mirip-mirip dengan gerakan tari boyband-nya, tapi musiknya sungguh berbeda.

May bergerak dengan lincah dan indah. Sesekali May menengok Hika sambil tersenyum jenaka pada temannya yang bengong melihat dirinya menari. Hika memang terkejut. Setahunya May sangat pendiam dan nyaris tidak ingin bergerak, melompat, berlari seperti dirinya, tapi sekarang kok lincah sekali melompat ke kiri ke kanan sama seperti dia.

Saat musiknya selesai, Hika langsung memegang tangan May dan bertanya, “Musik apa ini. Aku kok tidak pernah dengar?”

May keheranan menjawab Hika,"Itu kan musik dari daerah kita, musik Tingkilan dari Kalimantan Timur. Kau pasti pernah dengar. Asyik juga kan musiknya? May terkikik geli melihat Hika seperti tersihir sorot matanya mengambang seperti dirinya entah kemana.

“Hika…..Hika…..”

Hika tergagap tubuhnya diguncang May, mengerjap-ngerjapkan matanya dan berkata,”May, ajari aku dong …… tarinya…”

May terkejut tapi merasa sangat senang Hika bertanya seperti itu. Tidak sabar May segera menjawab,” Hika, maukah kau menari tari ini bersamaku? Kita bisa mengisi acara perpisahan kakak kelas kita nanti.”

“Iya, aku mau,” kata Hika.

“Kalau begitu nanti kita ajak lagi beberapa teman kita ya. Kata ibuku, lebih bagus kalau ditarikan berempat atau berenam. Kita serempak menarinya, jadi terlihat lebih indah,” May bicara sambil mengayunkan lengannya menari-nari. “Kita bisa mengajak Ara dan Ezra. Mereka juga suka menari.”

Hika hanya mengangguk dan bertanya lagi,”Ibumu ya yang mengajari tari ini?”

“Iya, ibuku pandai menari,” sahut May tersenyum manis pada Hika.

Hika tercenung lagi. Sering dia mengobrol dengan Ibu May. Ibu May cerewet, tidak seperti May. Ibunya banyak tertawa dan berteman baik juga dengan ibu Hika. Tapi Hika tidak pernah mengira ibu May pandai menari. Hika jadi merasa malu. Padahal tadi dia pikir dia saja yang pandai menari.

May melihat Hika seperti bersedih begitu jadi merasa bingung.

“Ada apa Hika? Kita boleh kok menari tradisional di acara perpisahan nanti. Aku sudah bertanya pada Bu Guru. Ada beberapa yang dapat kita tampilkan, - menari, menyanyi, puisi, atau kalau ada yang bisa bela diri seperti silat, kata Bu Guru boleh juga. Untuk tari, hanya tari tradisional saja yang boleh ditampilkan. Supaya kita dapat melestarikan budaya kita sendiri. Untuk yang menyanyi juga diminta menyanyikan lagu daerah. Kalau puisi boleh puisi sendiri, boleh puisi penyair terkenal seperti puisi Chairil Anwar begitu,” May bersemangat menerangkan pada Hika.

Hika benar-benar sedih sekarang. Dia baru tahu kalau tidak boleh menampilkan tari seperti yang dia tarikan tadi di acara perpisahan sekolah. “Itu kan modern dance,” keluhnya. Dan….aku sudah tiga bulan berlatih, lelah sekali rasanya. Tapi sekarang ternyata tidak bisa kutunjukkan pada siapa-siapa” Hika duduk tertunduk. Ingin menangis dia.

May jadi ikut sedih. May memeluk Hika dan bertanya,”Kenapa sih Hika?”

“Tariku tadi jelek ya,” Hika bertanya sambil mengangkat kepalanya memandang May.

“Tidak, tapi itu kan modern dance bukan tari tradisional?”

Hika mengangguk. ”Makanya aku sedih. Aku sudah berlatih keras ternyata tidak bisa ditampilkan di acara perpisahan nanti”.

“Tapi kan kita bisa menari bersama nanti?”

“Iya. Aku hanya sedih. aku sudah tiga bulan berlatih. Aku sudah bisa kan May,….huhuhu…tapi aku tidak bisa menampilkannya” Hika menangis tersedu-sedu memeluk kakinya terduduk di teras itu.

May bingung harus berkata dan berbuat apa. Tiba-tiba Ibu May keluar membawa nampan berisi sirup dingin dan pisang goreng. Ibu May juga terkejut melihat Hika menangis. “Anak ini selalu riang ceria, kok sekarang menangis? Ada apa gerangan?”

Ibu May meletakkan nampan di meja kecil di sudut teras dan ikut duduk di samping Hika dan bertanya,” Kenapa menangis Hika?"

Hika hanya menggeleng dan menundukkan kepalanya lagi. May menjelaskan pada ibunya apa yang terjadi. Ibu May mendengarkan dengan seksama, bolak-balik memandang May dan Hika. Bahkan Ibu May ikut memeriksa musik boyband yang dimainkan Hika tadi. Ibu May menontonnya malah dan bertanya sambil menggoda Hika,” Wah Hika pandai menari seperti boyband ini ya…? Hebat….! Tadi May bilang begitu. Ayo menari lagi, biar Ibu lihat”.

Mendengar kata-kata Ibu May, tangis Hika langsung berhenti.

“Tapi, untuk apa,” tanyanya dengan mata merah.

“Kata May modern dance tidak boleh ditampilkan di acara perpisahan sekolah."

“Ya….biar Ibu melihatnya, kan sudah dipertunjukkan juga. Hika juga boleh menunjukkan di hadapan orang tua Hika, dan kakak-kakak Hika. Hika punya dua kakak kan..? Biar kita yang jadi penontonnya.” Ibu May berusaha menghibur Hika.

Hika terdiam. Sejurus kemudian merapikan duduknya, meletakkan tangan di lutut dan bertanya, ”Kata May Ibu mau mengajari kami menari jepen. Saya, May, Ara dan Ezra. Benar bu?”

Ibu May senang sekali di dalam hati melihat Hika teralih perhatiannya. Jadi Ibu segera menyahut bersemangat, ”Iya, benar. Beritahu Ara dan Ezra, jadi kita bisa mulai berlatih dari sekarang, agar tiba waktunya tampil kalian sudah bisa menari dengan baik dan indah serempak serasi.”

Hika sudah bisa tersenyum sekarang. May juga tersenyum senang melihat Hika tersenyum lagi. May membawa nampan turun dan mereka bertiga menikmati pisang goreng hangat buatan Ibu. Sebentar kemudian Hika sudah berceloteh seperti biasa lagi, lupa dengan tangisnya tadi. Melihat itu Ibu sungguh berharap Hika juga akan menyukai kesenian tradisional. Setahu Ibu Hika memang tergila-gila dengan boyband Korea. Kadang-kadang ibu terheran-heran anak kecil begini kok bisa hapal sekian banyak lagu Korea yang bahasanya benar-benar tidak bisa Ibu pahami.

Saat senja tiba, Hika pamit pulang dan sudah bisa berjalan lompat seperti biasa dia lakukan saat hatinya senang. Ibu dan May berpelukan senang. May yang sangat senang. Ia juga ingin tampil menari di acara perpisahan itu, makanya dia selama ini belajar menari pada Ibu. Dan sekarang temannya mau ikut menari bersamanya. Sungguh lega dia. Hika mudah mengajak Ara dan Ezra. Kalau May saja yang mengajak, kadang-kadang mereka tidak mau. Tapi sekarang mereka pasti mau dan mereka akan tampil. Ah…May sungguh senang sekali.


Sejak hari itu, seminggu sekali May, Hika, Ara dan Ezra berlatih menari pada Ibu May. Berlatihnya di rumah May, tapi tidak di teras. Tidak cukup untuk mereka berempat. Jadi di halaman. Untung halamannya berumput pendek dan rapi. Enak saja mereka menari di atasnya.

Di antara mereka berempat Hika justru yang paling lincah menari dan paling cepat mengingat gerakan. May yang paling sempurna gerakannya. Ara yang paling gemulai jadi kadang-kadang malah tertinggal dan Ezra agak serampangan bergeraknya. Tapi Ibu yakin, pada waktunya mereka tetap akan bisa tampil baik.

“Yang dibutuhkan hanya mau rajin berlatih mengulang-ulang gerakan agar gerakan tari itu mengalir keluar dari hati, bukan dari kepala,” begitu selalu Ibu May berkata pada mereka.

Padahal mereka bingung juga sebenarnya. Gerakan kan dilakukan, bukan mengalir. Tapi, ah biarlah. Mereka berempat menari saja sebaik-baiknya. Begitu mereka putuskan. Dan mereka memang makin baik…….makin baik melakukannya.

Sesekali di waktu istirahat mereka Ibu May, akan menunjukkan tari lain yang dikuasainya. Ternyata Ibu May memang pandai menari. Ada beberapa tarian dipertunjukkan pada mereka. Semua indah, semua menarik. Mereka jadi benar-benar jatuh cinta pada tari tradisional. Ternyata tari tradisional sangat indah. Dan musiknya juga enak didengar. Memang kalau baru pertama mendengar kadang seolah tidak menarik sama sekali. Tapi coba dengarkan lagi, dengarkan lagi. Makin lama makin indah. Makin lama makin asyik. Dan tahu-tahu kita sudah benar-benar suka.

Ibu May juga mengajarkan beberapa hal tentang yang disebut seni tradisional seperti makanan tradisional, alat musik tradisional, senjata tradisional. Mereka berempat pernah terkekeh-kekeh tertawa karena merasa tidak percaya saat Ibu May mengatakan bahwa pisang goreng yang sering mereka makan itu makanan tradisional juga di Kalimantan Timur. Malah pisang goreng sebenarnya makanan tradisional di Kalimantan. Di seluruh wilayah Kalimantan kenal yang disebut pisang goreng.

Begitu juga saat Ibu mengatakan bahwa parang yang digunakan Ayah May menebang dahan pohon kamboja yang menjulur menghalangi mereka menari, itu juga senjata tradisional dari Kalimantan. Ezra yang ayahnya orang Jawa, ngotot bilang parang itu juga ada di Jawa. Mereka jadi ribut sekali membahas hal itu.

Saat melihat mereka seperti itulah Ibu May merasa bersyukur ada kesempatan mengajarkan hal-hal biasa yang sebenarnya merupakan warisan budaya leluhur pada anak-anak itu. Dengan cara yang menyenangkan dan tidak terasa seperti belajar menghapal di sekolah. Tapi mereka akan selalu ingat pengalaman mereka ini. Pengalaman yang memberi rasa bangga pada budaya mereka sendiri.

Beberapa minggu kemudian May, Hika, Ara dan Ezra tampil menari di acara perpisahan sekolah mereka. Mereka tampil sangat baik dan mendapat tepuk tangan meriah dari semua yang hadir. May bangga sekali. Begitu juga Hika. Dia bangga akhirnya dapat mencintai budaya tradisional dari tanahnya sendiri.

Tamat