I Cicci dan Nenek Pemakan Hati

I Cicci dan Nenek Pemakan Hati

Zuhriah

Tersebutlah sebuah kisah dahulu kala di rumah Mandar, tepatnya di Polewali Mamasa, Sulawesi Barat. Hiduplah seorang anak perempuan yang berkepribadian baik, sopan, dan hormat kepada ayah serta ibunya. Selain itu, ia rajin membantu pekerjaan rumah. Anak itu bernama I Cicci. I Cicci tinggal dengan kedua orang tuanya dan seorang adik laki-lakinya yang masih kecil. Sang ayah adalah seorang nelayan yang sering berlayar berbulan-bulan mengarungi lautan luas untuk mencari ikan, sedangkan ibunya adalah seorang wanita yang sederhana, di rumah merawat dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih sayang. I Cicci mengerjakan pekerjaan rumah tangga dengan sabar dan ikhlas. Adik I Cicci bernama I Kaco. I Cicci sangat menyayangi adiknya. Mereka berdua sangat rukun bermain bersama. Kedua orang tua I Cicci sangat sayang kepada mereka berdua. Mereka sekeluarga hidup bahagia walaupun tinggal di tepi hutan.

Pada suatu waktu, seperti biasa, ayah I Cicci akan pergi berlayar, maka mereka sekeluarga sibuk mempersiapkan bekal yang akan dibawa ayahnya, seperti makanan dan minuman untuk persediaan selama berbulan-bulan di lautan. Ayah I Cicci tak lupa selalu berpesan kepada keluarganya untuk menjaga diri selama ditinggalkan.

“Cicci, Kaco, kalian jangan nakal, sayangi dan patuhi ibu kalian dan bantulah pekerjaan ibu kalian." Begitu kata ayah I Cicci kepada anak-anaknya.

Ayah I Cicci juga berpesan kepada ibu I Cicci agar menjaga anak mereka dengan baik, dan untuk tidak memekan ikan besar yang ada di atas tapang (loteng rumah).

Rumah mereka adalah rumah panggung yang sederhana, di atas rumah mereka terdapat loteng yang biasanya dijadikan gudang barang-barang atau makanan, seperti beras, ikan kering, dan telur ikan. lkan besar yang dilarang dimakan itu adalah ikan hasil tangkapan ayah I Cicci tempo hari yang telah dikeringkan.

Mereka sekeluarga mengantar kepergian ayah I Cicci, di pinggir pantai. Perahu Sandeq itu pun berlayar membelah lautan luas, meninggalkan daratan dengan harapan pelayar-pelayarnya akan segera kembali pulang bertemu dengan anak keluarga dan sukses membawa hasil ikan yang banyak.

Hari demi hari dilalui I Cicci, I Kaco, dan ibunya. Mereka menjalani kehidupannya seperti biasa. I Cicci bermain di bawah kolong rumahnya atau mencari hasil panen di kebun bertiga. Pada suatu hari lauk ikan yang menjadi makanan pokok mereka setiap hari telah habis, mau tidak mau mereka harus mencari alternatif makanan lauk yang lain atau makan tanpa laut ikan karena mereka harus menunggu ayah mereka kembali dari berlayar dan kembali ke daratan berkumpul bersama keluarga.

Karena lerbiasa makan berlauk ikan dan sudah lidak lahan unluk memakan ikan, I Kaco yang masih kecil dan manja merengek pada ibunya.

“Bu ... bu ... aku mau makan ikan ... ," kala I Kaco.

“Sabarlah, Nak ... tunggu ayahmu pulang, kala ibu I Cicci.

“Tidak mau ... aku mau sekarang," kata I Kacolagi.

I Kaco mulai menangis, I Cicci yang mendengar adiknya merengek juga meminla pada ibunya.

“Sedikit saja Bu," kala I Cicci.

I Cicci dan I Kaco tahu kalau di atas loleng rumah mereka tersimpan ikan besar yang lidak boleh dimakan seperti perinlah ayah mereka. Ibu I Cicci pun sudah menjelaskan kepada anak-anaknya. Akan letapi, karena anak-anaknya merengek lerus dan karena kasihnya kepada anakanaknya, ibu I Cicci kemudian mengambil ikan besar itu. Pikir ibu I Cicci kalau diambil sedikit lidak apa-apa, nanti akan dijelaskan kepada suaminya kalau anak-anak mereka ingin sekali makan ikan. Ibu I Cicci rela melanggar pesan suaminya demi kebahagiaan anak-anak mereka.

Sang ayah pun kemudian pulang. Selelah berislirahal dan menyanlap makanan, mereka berkumpul di depan beranda rumah dan melepaskan kerinduan kepada keluarga. Ayah I Cicci bercerita lenlang pengalamannya selama berbulan-bulan di tengah lautan, bertemu dengan banyak jenis ikan baik besar maupun kecil, gelombang air pasang dan angin di lautan. Cerita ayah tentang laul didengarkan dengan penuh perhatian oleh I Cicci dan I Kaco. Kemudian, ayah I Cicci bertanya kepada istrinya, "Apa saja yang terjadi di rumah selama dia pergi." Ibu I Cicci dengan jujur menceritakan semuanya yang terjadi, yaitu mereka baik-baik saja dan tidak ada masalah, kecuali lauk ikan yang biasanya cukup untuk mereka bertiga habis, maka diambilnya ikan besar itu sebagai lauk makan mereka.

Setelah mendengar bahwa ikan besar telah dimakan oleh anak dan istrinya, ayah I Cicci sangat kaget dan langsung marah. Dia menganggap istrinya sangat lancang sehingga suasana yang tadinya ceria dengan canda tawa berubah menjadi duka tangis air mata. Apalagi, ketika ayah I Cicci yang tengah kalap menarik parang yang berada di balik sarungnya, ditariknya parang itu dari tempatnya dan dibelahnya istrinya menjadi dua bag ian, tepat di bela han tengah rambut istrinya dari atas hingga ke bawah. Lalu, dibawanya tubuh istrinya ke tepi laut. Tubuh yang sebelah kanan dilemparkannya ke atas langit dan tubuh yang sebelah kiri dibuangnya ke tengah lautan.

I Cicci dan I Kaco sangat sedih menyadari perbuatan mereka mengakibatkan ibu mereka tak ada, mereka sangat menyesal dan menangis. Mereka juga sedih melihat kelakuan ayahnya yang sangat pemarah. Walau kemudian ayah mereka sadar apa yang telah diperbuatnya. Kemudian, ayah I Cicci menyesali perbuatan yang telah dilakukan kepada istrinya. Akhirnya, ayah I Cicci jatuh sakit dan meningal dunia. I Cicci dan I Kaco bertambah sedih dan merana.

Untungnya ada seorang nenek kaya yang tinggal di desa dekat rumah mereka mengajak I Cicci dan I Kaco tinggal di rumahnya yang besar dan mengangkat mereka sebagai cucunya sendiri karena nenek itu pun tidak mempunyai sanak keluarga. I Cicci dan I Kaco pun tinggal di rumah nenek itu. Mereka berdua sangat dimanja oleh si nenek, apa yang mereka inginkan selalu dikabulkan oleh si nenek. Mereka bebas bermain di rumah yang besar atau di kebun yang sangat luas milik nenek. Mereka tidak perlu melakukan pekerjaan karena akan dilayani oleh pembantu-pembantu yang juga sudah tua.

Nenek sering bertanya kepada I Cicci dan I Kaco makanan apa yang mereka inginkan. Rupanya nenek ingin melihat Cicci dan I Kaco cepat besar.

Pembantu-pembantu si nenek memperingatkan kepada I Cicci dan I Kaco agar mereka berhati-hati kepada si nenek karena ternyata si nenek adalah orang yang suka memakan hati manusia yang masih muda. Oleh karena itu, nenek terkenal dengan sebutan I Kanne Pakande'ate. I Cicci dan I Kaco sangat takut ketika mendengar berita itu. Namun, mereka tak bisa berlari karena I Kanne Pakande'ate selalu merawat dan mengawasinya.

Tak terasa waktu pun bergulir, I Cicci dan I Kaco tumbuh semakin besar dan dewasa. Mereka berdua semakin cerdas dan tetap berhatihati kepada I Kanne Pakande'ate. I Kanne Pakande'ate pun sudah tidak sabar memakan hati mereka. Rambutnya sudah banyak yang memutih, kulitnya sudah berkerut, matanya telah rabun, giginya telah hancur, dan jalannya membungkuk sehingga perlu hati manusia untuk membuatnya sehat dan muda kembali.

Hari itu I Kanne ke sungai untuk mengasah kukunya yang panjang di atas batu agar menjadi tajam. Ketika mengetahui hal itu, I Cicci dan I Kaco segera bersembunyi di kebun I Kanne Pakande'ate yang luas. Setelah pulang dari sungai, I Kanne Pakande'ate berteriak memanggil nama I Cicci dan I Kaco.

“Hai Cicci, hai Kaco . . . di mana kalian cucu-cucuku?" tanyanya dengan lantang.

I Cicci dan I Kaco terdiam, I Kaco ketakutan lalu menangis. Ketika mendengar tangisan I Kaco yang berasal dari kebun, I Kanne Pakande'ate segera menuju ke sana.

Burung-burung yang berada di kebun bercicit, mereka menyuruh I Cicci dan I Kaco untuk segera bersembunyi di bawah kolong rumah panggung I Kanne Pakande'ate. I Kanne Pakande'ate menyusuri semua kebun dengan kesaktiannya, tetapi tidak menemukan I Cicci dan I Kaco. Dia mengetahui kalau anak-anak itu sudah tidak berada di sana, walaupun dengan jalan yang terbungkuk-bungkuk dan lama. Dia segera menuju ke rumahnya.

Setelah melihat I Kanne Pakande'ate datang, semut-semut yang beriringan di tiang rumah berkata kepada I Cicci dan I Kaco untuk segera naik ke atas rumah karena I Kanne Pakande'ate sedang menuju ke arah mereka. I Cicci dan I aco dengan tergesa-gesa menaiki tangga dan menuju ke atas rumah untuk bersembunyi.

I Kanne Pakande'ate yang berbaju hitam panjang dengan rambut yang digerai semakin menakutkan saja. I Kaco yang melihatnya dari tangga semakin takut. I Kaco menangis lagi. I Kanne Pakande'ate yang berada di bawah lang7 sung menuju ke atas. Cicak-cicak di dinding di atas rumah menyuruh I Cicci dan I Kaco lebih baik bersembunyi di atas tapang (loteng rumah). Mereka berdua segera berlari ke dapur dan menaiki tangga kecil yang menuju ke loteng.

“Adikku, berhentilah menangis," kata I Cicci kepada adikhya, I Kaco.

I Cicci berusaha tegar di tengah ketakutan dan kegalauan hatinya ketika melihat usaha I Kanne Pakande'ate begitu gigih memburu untuk memakan hati mereka. I Kanne Pakande'ate, walaupun harus bersusah-payah, terus mencari buruannya. Karena di dalam rumahnya tidak ditemukannya, dengan kesaktiannya, dia mengetahui bahwa anak-anak itu telah berada di atas loteng. Dia pun menuju ke dapur dan menaiki tangga.

Tokek yang berada di atas loteng segera memerintahkan I Cicci dan I Kaco untuk keluar dari atas rumah panggung itu, dengan cara membongkar atap rumah yang terbuat dari kumpulan daun-daun kelapa yang kering berwarna coklat dan memanjat pohon kelapa ajaib yang berada di samping rumah I Kanne Pakande'ate. Pohon kelapa ajaib itu sangat tinggi, konon ujung daunnya sampai menyentuh ujung langit.

I Cicci dan I Kaco segera melakukan perintah tokek, mereka membongkar atap dan berusaha memanjat pohon kelapa ajaib itu. I Kaco sudah mahir memanjat pohon kepala. Dia yang memanjat pertama dan menyuruh kakaknya memegangnya dari belakang. Mereka berdua saling menolong dalalll memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi itu.

“Ayo Kak ... ," kata I Kaco.

Rupanya dia tidak menangis lagi. Dia menyemangati kakaknya. I Cicci pun berusaha dengan sekuat tenaga.

I Kanne Pakande'ate sangat kesal ketika berada di atas loteng melihat atap rumahnya terbuka dan pohon kelapa ajaib itu telah dipanjat oleh I Cicci dan I Kaco. Padahal, pohon kelapa itu sejak dulu tak ada yang berani memanjatnya. Dia pun berusaha memanjatnya, tetapi tubuhnya sudah tidak kuat lagi, sehingga jatuh ke tanah.

Sementara itu, I Cicci dan I Kaco berjuang untuk sampai di puncak pohon kelapa. Karena tidak ingin bertemu dengan I Kanne Pakande'ate, tidak lama kemudian mereka sudah tiba di atas langit. Ternyata, di pintu langit dijaga oleh dua orang perempuan. I Cicci dan I Kaco dihadapkan kepada Ratu Langit karena dianggap sebagai penyelundup.

Ratu Langit ternyata perempuan yang sangat cantik dan bijaksana. Sebenarnya Ratu Langit marah karena ada dua anak manusia yang dengan lancang memasuki daerah kekuasaannya, yaitu istana Langit. Namun, setelah melihat keadaan Cicci dan I Kaco yang sangat menderita, Ratu Langit merasa kasihan. Apalagi, I Cicci dan I Kaco berterus terang bahwa mereka tengah diburu oleh nenek pemakan hati manusia.

I Cicci dan I Kaco pun dijadikan tamu kerajaan. Mereka diberi pakaian yang layak dan pantas. Mereka berdua juga diberi makanan dan minuman. Anehnya, di langit banyak makanan dan minuman dari bumi yang telah disediakan, tetapi mereka tidak pernah menemukan lauk ikan.

Sudah berhari-hari I Cicci dan I Kaco tinggal di langit. Mereka berdua memohon kepada Ratu Langit agar diizinkan hidup lebih lama di sitana sampai mereka berdua merasa aman dan nyaman untuk kembali ke bumi. Ratu Langit mengizinkan mereka tinggal lebih lama di langit dengan syarat, yaitu selama di langit mereka harus bekerja kepada Ratu Langit. Akan tetapi, semua pekerjaan telah dikerjakan oleh semua pembantu Ratu Langit sehingga I Cicci dan I Kaco hanya bertugas sebagai tukang sisir rambut dan tukang pijit Ratu Langit.

“Maaf Ratu, bila hamba lancang, hamba ingin bertanya, mengapa di tengah-tengah belahan rambut Ratu ada belahan kulit kepala?" tanya I Cicci yang terkejut ketika melihat kepada Ratu Langit. I Kaco yang tengah memijat Ratu Langit berhenti memijat.

Ratu Langit pun bercerita dengan terus-terang tentang dirinya. Dia dahulu adalah makhluk bumi yang menikah dan mempunyai dua anak, perempuan dan laki-laki. Ketika dia tinggal di bumi, mereka masih sangat kecil. Karena kasih dan sayangnya kepada anak-anaknya, Ratu Langit melanggar pesan suaminya. Akhirnya, si suami memotong tubuhnya menjadi dua bagian. Yang satu dibuangnya ke tengah laut dan yang satunya lagi dilemparkan ke atas langit sehingga dia pun menjadi Ratu Langit. Dia pun tidak mau lagi memakan ikan yang menjadi penyebab kejadian yang dramatis itu.

Setelah mendengar cerita Ratu Langit, meledaklah tangisan I Cicci dan I Kaco. Mereka menyadari bahwa Ratu Langit adalah ibunya yang lama tidak bertemu. Mereka bertangis-tangisan dalam suasana yang penuh haru. I Cicci dan I Kaco meminta maaf kepada ibunya, Ratu Lngit. Ratu Langit pun memaafkan kesalahan anak-anaknya. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia. I Cicci dan I Kaco selalu mematuhi ibunya dan tidak akan melanggar kata-kata ibunya lagi.

Keterangan

  • Tapang: loteng di atas rumah panggung
  • Sandeq : nama perahu
  • Parang : pisau yang berukuran besar, biasanya dipakai untuk membelah kelapa.