Ibu Masih Terus Menangis
Ibu Masih Terus Menangis
Djadjat Sudradjat
Minggu, 17 Mei 2015
IBU masih terus menangis. Tangis yang tak pernah bersuara, tetapi kadang tubuh Ibu terguncang guncang. Seluruh tubuh Ibu seperti bergerak ritmis. Namun yang mengherankan, setelah itu wajah Ibu amat tenang. Kalau sudah begini, Ibu seperti merasakan kenikmatan yang luar biasa dalam tangisnya.
Tangis Ibu tak pernah berhenti sejak melahirkan anaknya yang pertama, lima puluh tahun lalu. Ia menangis dalam suasana apa pun. Bagi Ibu, menangis ialah bagian dari komunikasi dengan banyak pihak yang tidak bisa ia ungkapkan dengan bahasa ujaran. Hanya tangis itu yang bisa menggantikan bahasa ujaran yang kini, menurutnya, kian tak mudah dipahami, sebab katanya lagi, seluruh kata seperti tak bisa lagi mewakili pikiran. Katakata telah menjadi sampah. Bagi Ibu, tangisan justru punya medan makna yang amat luas. Punya ruang tafsir yang tak bertepi. “Bahasa ujaran itu apa? Ia kotor! Ia telah menjadi alat penistaan manusia. Ia lebih dari kebusukan apa pun!” tulis Ibu dalam buku hariannya.
Karena itu, menangis bagi Ibu ialah juga sebuah ikhtiar pembebasan. Bebas dari seluruh bahasa verbal yang intimidatif dan bahkan serupa teror. Pernah aku bertanya kepada Ibu, kenapa harus berkomunikasi dengan air mata? Ia menjawab, justru dengan tangis yang tak tertahankan, ia merasa terbebas dari rantai yang membelenggu. Begitulah jawaban Ibu, juga yang tertulis dalam buku hariannya.
Kakakku pernah meminta dengan sangat agar Ibu menghentikan tangisnya supaya tak membuat suasana menjadi muram. Namun, alih-alih berhenti, air mata Ibu justru kian deras bergulir. Yang mengherankan, tangis Ibu tak menimbulkan suara sedikit pun. Tubuhnya memang terguncang-guncang, tapi wajahnya teramat tenang. Setenang Telaga Galela di Halmahera. Saya belum pernah melihat, di mana pun, orang menangis dengan air mata yang deras tanpa suara sedikit pun.
Dalam sejarah tangis para perempuan hebat sejak ribuan tahun yang lalu hingga kini, seperti Dewi Hera, Sappho, Arimbi, Cleopatra, Dewi Sinta, Kartini, Eleanor, Cut Nyak Dhien, Malahayati, dan Dewi Sartika, mereka menangis dengan suara. Bahkan Cleopatra, perempuan hebat yang kecantikannya separuh dunia, menangis dengan suara keras. Ibu tak begitu. Ia lebih banyak menangis dalam hening.
Aku makin lama makin takjub dengan tangis Ibu karena seakan tengah melakukan sesuatu yang sangat sakral. Semacam ritual yang tak tergantikan dengan apa pun. Ibu ialah tangis yang tak kunjung usai.
Berpuluh tahun menangis, mata Ibu justru menjadi amat bening. Retinanya sama sekali tak memerah. Kelopak mata, pipi, hidung, bibir, dan alis, tetap tak berubah. Matanya yang bulat justru kian jernih. Lewat matanya aku bahkan sering berkaca. Lewat mata Ibu, aku bisa melihat seluruh bagian tubuhku. Ia ibarat alat pemindai organ tubuh bagian dalam. Jantung, empedu, hati, usus, limpa, dan ginjal, semuanya terlihat jelas. Mata Ibu kadang seperti tengah membaca pikiran dan perasaan kami, anak-anaknya.
Entah kenapa, Ibu pernah berhenti menangis selama sepekan. Namun, ketika berhenti menangis, Ibu menjadi banyak bicara. Apa saja dikomentarinya. Kadang ngawur, logikanya tak jalan. Kalau membuat analogi sama sekali tidak nyambung.Kalau ada orang sedang bicara ia langsung memotongnya, tapi salah konteks. Ia menjadi perempuan yang sangat sok tahu. Mata Ibu juga jadi kehilangan pesona: layu dan keruh. Tubuh Ibu menjadi loyo. Ia serupa pohon yang mulai menua dan di ambang kelapukan. Ia tak punya gairah untuk meneruskan hidup.
“Astaga, Ibu!” Kami teriak serentak ketika mendapati Ibu tengah meracau di kamar.
Kami gelisah. Secara serentak pula kami memohon seraya bersujud di depan Ibu. “Ibu, teruslah menangis. Kami memahami cara Ibu membebaskan diri dari banyak persoalan. Kami memahami cara Ibu mencapai kebahagiaan. Menangislah, Ibu. Menangislah...Jangan berhenti....”
Kami berlima secara spontan dan mengejutkan mengucapkan bahasa yang sama, dengan intonasi yang sama, dan ekspresi wajah yang sama.
Ibu sepakat. Ia pun melanjutkan tangisnya yang ia sebut sebagai ‘air mata pembebasan’. Air mata bagi Ibu telah menjadi energi yang terus menjadi daya hidup. Kami tak mau kehilangan Ibu.
Yang juga tak masuk akal buat kami, sejak 50 tahun lalu, Ibu juga tak pernah tidur. Tidur bagi Ibu menjadi belenggu untuk mengeluarkan air mata. Tidur, kata Ibu, paling hanya membuahkan mimpi, dan mimpi merupakan realita semu yang menyesatkan. Justru ketika air mata keluar dari kelopak matanya, lagi-lagi kata Ibu, itulah kenikmatan tiada terperi. Itulah pembebasan manusia yang sesungguhnya. Itulah komunikasi yang paling autentik dengan semesta.
Menurut Ibu, dengan terus terjaga dan tidak tidur, artinya totalitas pengorbanan untuk anak-anaknya setelah keluar dari rahimnya tak ‘ternoda’. Ia semacam bentuk penjagaan yang tak mengenal rumpang dalam hitungan detik sekali pun. Kata Ibu, ia tak ingin rahimnya hanya menjadi tempat bersemainya sang janin menjadi jabang bayi. Ia juga ingin mengawasi seluruh denyut napas anakanaknya setelah keluar dari gua garba itu. Ibu ingin lebih dari Dewi Kunthi dalam berkorban untuk anak-anaknya.
Namun, tidak seperti Dewi Kunthi, Ibu tak pernah menjelaskan siapa suaminya. Sudah pasti kami, kelima anak laki-lakinya, tak tahu siapa bapak kami. “Tak penting siapa bapak kalian. Yang pasti tak ada anak yang tak lahir dari rahim Ibunya,” kata Ibu.
Aku kaget ketika membaca buku harian Ibu yang kudapat secara sembunyi-sembunyi. “Aku memang tak akan pernah memberi tahu siapa ayah kalian. Tak penting betul bagiku ayah atau suami. Buatku semua laki-laki merupakan `para pejalan kaki’. Ia bisa datang dan pergi. Ia akan singgah atau terus menjelajah. Aku membentuk mental pertahanan seperti ini agar perempuan tak cengeng. Agar perempuan tak terlalu banyak berharap, tapi pada akhirnya mendapatkan terlalu sedikit. Bahkan, tak mendapatkan sama sekali.”
Aku tahu dari catatan harian pula, rupanya nenek Ibu, dulu, dengan 10 anak ditinggal begitu saja oleh suaminya, seorang serdadu zaman Belanda. Ayah Ibu, seorang tentara, anak buah Jenderal Soedirman, raib begitu saja meninggalkan 10 anak. Ibuku bungsu. Ibu paling membekas soal sang ayah. Ia tak ingin kisah itu terulang pada anak-anaknya. Ia ingin bebas dari harapan pada laki-laki.
SEORANG manusia, selama 50 tahun terus terjaga tanpa pernah terlelap dalam tidur, tapi tetap bugar. Astaga, Ibu! sesungguhnya kekuatan dari manakah yang membuatnya berbeda dengan tubuhtubuh yang lain?
Terbuat dari apakah sesungguhnya seorang manusia bisa bertahan selama setengah abad tanpa tidur?
Kakakku yang pertama pernah menghitung berapa banyak air mata yang keluar dari kelopak matanya selama 50 tahun menangis. Jika rata-rata sehari Ibu mengeluarkan air mata 10 sendok makan, jika satu liter air berisi 100 sendok makan, selama 50 tahun menangis, Ibu telah mengeluarkan air mata lebih dari 2000 liter. Ibu memang mengumpulkan seluruh air matanya di kamar khusus. Berjeriken-jeriken air mata di situ. Itulah air mata yang menjadi saksi, bahkan cermin Ibu sejati untuk anak-anaknya. Yang mengherankan, air mata Ibu tak berkurang karena penguapan seperti umumnya air biasa, juga tak menebarkan bau busuk karena disimpan berpuluh-puluh tahun di tempat tertutup. Ukurannya tetap, bahkan menimbulkan aroma yang amat menyejukkan.
“Aku tak akan menyerah untuk terus menangis. Aku tak akan mengambil hakku untuk tidur. Aku akan terus terjaga dalam keadaan apa pun. Demi anak-anakku,” kata Ibu dalam buku hariannya ketika memperingati 50 tahun ia menangis. Setiap lima tahun, Ibu selalu memperingati tangisnya. Saya pun baru tahu Ibu telah 50 tahun menangis dari buku hariannya yang kami baca secara sembunyi-sembunyi.
Mula-mula aku tak percaya. Namun, akhirnya aku berkesimpulan tak mungkin Ibu berbohong. Ketika aku ceritakan kabar yang mengagetkan itu kepada kakak-kakakku, mereka pun berkesimpulan sama. Catatan harian Ibu autentik dan layak dipercaya kebenarannya.
Kami pun akhirnya berterus terang pada Ibu, telah tanpa izin membaca buku harian itu. Kami minta maaf seraya meminta Ibu menjelaskan kebiasaan hidup yang aneh itu.Namun, Ibu hanya diam sambil terus meneteskan air mata.
KAMI berlima yang semuanya sudah berkeluarga dan tinggal di beberapa kota berbeda bersepakat di sebuah hari libur panjang, menginap di rumah Ibu. Kami ditemani istri masing-masing dan seluruh anak kami yang berjumlah 10 orang. Ramai sekali rumah Ibu. Kami menempati kamar masing-masing, kamar yang dulu, sebelum kami menikah.
Sehabis sarapan, kami berkumpul di ruang tamu, sementara istri dan anak-anak kami heboh bicara tentang macam-macam topik dadakan. Ibu keluar dari kamar dan duduk di tengah-tengah kami. Suasana hening. Semua yang tadinya bersuara, diam seketika. Kami memberi hormat dengan menundukkan kepala. Ibu duduk di kursi kesukaannya. Kursi goyang peninggalan ayahnya, kakek kami.
Ibu kemudian melempar senyum. Tetap dalam tangis tentu saja. Bahkan, kali ini butir-butir air mata sebesar biji jagung itu deras berjatuhan. Makin lama makin deras. Namun, Ibu tak menampung seperti biasanya. Ia biarkan air mata itu membasahi gaun warna merah marun kesukaannya, membasahi lantai. Membasahi ruangan. Mula-mula air mata menggenang setinggi mata kaki, kemudian setinggi lutut, setinggi pinggang, setinggi dada, dan akhirnya setinggi kepala. Kami pun serentak dan spontan mandi dan berenang di kolam air mata Ibu. Sementara Ibu tetap duduk di kursi, dengan tangis yang mungkin abadi.
Lampung, 2010—Jakarta, 2015