NASKAH-NASKAH IBRANI DAN PARA NABI

§ 1. Tempat Bangsa Israel dalam Sejarah. § 2. Saul, Daud, dan Salomo. § 3. Yahudi Bangsa Berdarah Campuran. § 4. Pengaruh Para Nabi Ibrani.

§ 1

Kita kini berada dalam posisi untuk menempati hubungan sebenarnya mereka dengan ikhtisar umum sejarah manusia bangsa Israel, dan kumpulan paling menonjol dari dokumen kuno di dunia, yang kumpulannya dikenal pada seluruh orang Kristen sebagai Perjanjian Lama. Kami mendapati dalam dokumen-dokumen tersebut sorotan paling penting dan berharga pada perkembangan peradaban, dan indikasi terjelas jiwa baru yang datang pada kepentingan manusia kala perjuangan Mesir dan Asiria untuk penguasaan di dunia umat manusia.

Seluruh kitab yang tercantum dalam Perjanjian Lama tentunya dilestariakn, dan dalam bentuk saat ininya, terbaru pada tahun 100 SM. Kitab-kitab tersebut mungkin diakui sebagai tulisan-tulisan suci pada zaman Aleksander Agung (330 SM), dan dipelajari dan dibaca dengan penghormatan besar sepanjang ratusan tahun sbeelum zamannya. Pada masa itu, beberapa kitab tersebut pada dasarnya adalah komposisi terkini; yang lainnya dianggap sangat kekunoan. Kitab-kitab tersebut adalah sastra suci dari sebuah bangsa, Yahudi, yang, kecuali untuk sebagian kecil orang umum, kini telah dideportasi ke Babil dari daerah mereka sendiri pada 587 SM oleh Nebuchadnezzar II, orang Kaldea. Mereka kembali ke kota mereka, Yerusalem, dan membangun ulang bait mereka disana di bawah naungan Cyrus, penakluk Persia yang, mereka catat, pada 539 SM, menggulingkan Nabonidus, penguasa Kaldea terakhir di Babel. Pembuangan Babel berlangsung sekitar lima puluh tahun, dan banyak otoritas berasal dari wacana bahwa terdapat perpaduan menonjol terhadap ras dan gagasan dengan bangsa Babel pada masa tersebut.

Posisi tanah Yudea dan Yerusalem, ibukotanya, adalah suatu hal menonjol. Daerah tersebut merupakan jalur berbentuk melengkung antara Laut Tengah di barat dan gurun Yordania di timurl walau wilayah tersebut belintang pada jalan besar alami antarta Hittite, Siria, Asiria, dan Babel sampai utara dan Mesir sampai selatan. Sehingga, ini merupakan daerah yang memiliki sejarah panjang. Daerah tersebut melintasi Mesir, dan kekuatan apapun timbul di utara; berjuang demi kekaisaran; melawan bangsanya yang mereka perebutkan rute dagangnya. Daerah itu sendiri memiliki luas, peluang pertanian, maupun kekayaan mineral yang penting. Kisah bangsanya yang tercantum pada kitab-kitab tersebut tertoreh seperti tafisran sejarah besar dari dua sistem peradaban di utara dan selatan serta suku bangsa laut di barat.

Kitab-kitab tersebut berisi sejumlah unsur berbeda. Lima kitab pertama, Pentateuch, awalnya diperlakukan dengan penghormatan besar. Kitab-kitab tersebut dimulai dalam bentuk riwayat alam semesta dengan catatan ganda penciptaan dunia dan umat manusia, kehidupan awal ras tersebut, dan air bah yang, selain sosok-sosok penting tertentu, umat manusia dihancurkan. Penggalian menguak versi Babel dari kisah penciptaan dan kisah air bah sebelum masa pemulihan Yahudi, dan sehingga dianggap oleh kritikus Alkitab bahwa bagian pembuka dicantumkan oleh Yahudi pada masa pembuangan mereka. Kitab tersebut berisi sepuluh pasal pertama Kitab Kejadian. Kisah tersebut disusul riwayat para bapa dan pendiri bangsa Ibrani, Abraham, Ishak, dan Yakub. Mereka dihadirkan sebagai pemimpin patriarkal Bedouin, menjalni kehidupan gembala nomadik di daerah antara Babel dan Mesir. Catatan Alkitab yang ada dikatakan oleh para kritikus terdiri dari banyak versi pra-keberadaan; namun apapun cikal bakalnya, ceritanya, sebagaimana yang kami dapat pada saat ini, dipenuhi warga dan vitalitas. Apa yang disebut Palestian pada saat ini adalah tanah Kanaan pada masa itu, dihuni oleh bangsa Semitik yang disebut bangsa Kanaan, yang sangat berkerabat dengan bangsa Foenisia yang mendirikan Tyre dan Sidon, dan bangsa Amorit yang mendirikan Babel dan, di bawah kepemimpinan Hammurabi, mendirikan Kekaisaran Babel pertama. Bangsa Kanaan adalah bangsa penetap pada masa itu—yang mungkin sezaman dengan zaman Hammurabi—kala kawanan ternak dan rombongan Abraham melintasi daerah tersebut. Allah Abraham, yang dituturkan dalam penjelasan Alkitab, menjelaskan tanah kebahagiaan dari kota-kota makmur kepadanya dan anak-anaknya. Pada Kitab Kejadian, pembaca harus membaca bagaimana Abraham, yang tak beranak, meragukan janji tersebut, dan kelahiran Ismael dan Ishak. Dan dalam Kitab Kejadian juga, ia akan mendapati kehidupan Ishak dan Yakub, yang namanya diubah menjadi Israel, dan dua belas bani Israel; dan bagaimana pada masa kelaparan besar mereka pergi ke Mesir. Dengan itu, Kitab Kejadian, kitab pertama dari Pentateuch, berakhir. Kitab berikutnya, Keluaran, berkisah tentang kisah Musa.

Kisah pemukiman dan perbudakan bani Israel di Mesir adalah hal menyulitkan. Terdapat catatan Mesir dari pemukiman suku bangsa Semitik tertentu di tanah Goshen oleh Firaun Rameses II, dan menyatakan bahwa mereka datang ke Mesir untuk meminta makanan. Namun kehidupan dan kiprah Musa tak muncul dalam catatan mesir secara keseluruhan; tak ada catatan tulah Mesir apapun atau Firaun manapun yang ditenggelamkan di Laut Merah. terdapat banyak kisah Musa yang memiliki unsur mistis, dan salah satu peristiwa paling menonjol di dalamnya, keputusan ibunya merajut rajutan perahu semak, juga ditemukan dalam penjelasan Sumeria kuno yang dibuat sekitar seribu tahun sebelum masanya oleh Sargon I yang mendirikan Kekaisaran Sumeria Akkadia kuno. Pernyataan tersebut menuturkan bahwa:

"Sargon, raja yang kuat, raja Akkadia-ku, ibuku adalah orang miskin, ayahku tak aku kenal; saudara-saudara ayahku tinggal di pegunungan.... Ibuku, yang miskin, diam-diam melahirkanku; ia menempatkanku pada keranjang ilalang, ia mengarungkannya pada muara sungai dengan hati-hati, ia meninggalkanku di sungai, yang tak melampauiku. Sungai mengalirkanku dan membawaku ke Akki sang irigator. Akki sang irigator mengambilku dengan kebaikan hatinya. Akki sang irigator membesarkanku pada masa kecil. Akki sang irigator menjadikanku tukang taman. Jasaku sebagai tukang taman dihargai Istar dan aku menjadi raja."

Ini adalah penyelarasan. Penyelarasan lainnya adalah penemuan prasasti tanah liar yang ditulis oleh para penguasa kota Mesir di Kanaan untuk Firaun Amenophis IV, yang muncul pada Dinasti XVIII sebelum Rameses II, yang nampaknya menyebut bangsa Ibrani dengan namanya dan mendekalrasikan bahwa mereka tersebar di Kanaan. Secara perwujudan, jika bangsa Ibrani merebut Kanaan pada zaman Dinasti XVIII, mereka takkan mengalami pembuangan dan penindasan, sebelum mereka merebut Kanaan, oleh Rameses II dari Dinasti XIX. Namun sangat dimengerti bahwa kisah Keluaran, yang ditulis lama sebelum peristiwa tersebut dikisahkan, dapat dikonsentrasikan dan disederhanakan, dan mungkin menghimpun personifikasi dan simbolisasi, apa yang benar-benar menjadi sejarah panjang dan terkomplikasi dari invasi-invasi suku. Satu suku Ibrani bergerak ke Mesir dan diperbuka, sementara lainnya menyerang serangkaian kota Kanaan. Tanah pembuangan tersebut bahkan diyakini bukanlah Mesir (Ibrani, Misraim), namun Misrim di utara Arabia, di sisi lain Laut Tengah. Pertanyaannya sepenuhnya dan secara menonjol dibahas dalam Encyclopædia Biblica (bagian Musa dan Keluaran), yang harus dirujuk oleh pembaca.

Dua kitab Pentateuch lainnya, Ulangan dan Imamat, berisi tentang hukum dan aturan imamat. Kitab Bilangan mengisahkan pengembaraan bangsa Israel di padang gurun dan penyerbuan mereka ke Kanaan.

Apapun kebenaran dari penyerbuan Ibrani terhadap Kanaan, tak ada keraguan bahwa kawasan tersebtu diserbu oleh mereka secara sangat bergantian sejak masa janji legendaris tersebut, yang dibuat berabad-abad sebelumnya, kepada Abraham. Kemudian, kitab tersebut nampak banyak berkisah tentang tanah Semitik, dengan banyak kota dagang yang makmur. Namun, gelombang besar bangsa asing terhimpun di sepanjang pesisir tersebut. Mereka berujar tentang bagaimana suku bangsa Iberia atau Laut Tengah gelap dari ras pentuur Arya, seperti bangsa Italia dan Yunani, dan bagaimana Cnossos diserbu pada sekitar tahun1400 SM, dan hancur bersamaan pada sekitar 1000 SM. Kini, ini membuktikan babwa bangsa pelabuhan laut Ægea tersebut melintasi laut dalam pencarian sarang tanah yang aman. Mereka menyerbu delta Mesir dan pesisir Afrika di barat, mereka membentuk aliansi dengan bangsa Hittite dan bangsa Arya atau ter-Aryanisasi lainnya. Ini terjadi usai zaman Rameses II, pada zaman Rameses III. Monumen-monumen Mesir mencatat pertaringan laut besar, dan juga kirab bangsa tersebut di sepanjang pesisir Palestina menuju Mesir. Pengangkutan mereka dilakukan menggunakan gerobak kerbau yang khas dengan suku-suku Arya, dan menjelaskan bahwa bangsa Kreta bertindak dalam persekutuan dengan beberapa penyerbu Arya awal. Tak ada penjelasan terhubung dari konflik tersebut yang terjadi antara 1300 SM dan 1000 SM, dilakukan, namun bukti dari penjelasan Alkitab, menyatakan bahwa kala bangsa Ibrani di bawah kepemimpinan Yosua mengerahkan pergerakan lambat mereka ke tanah terjanji, mereka berhadapan melawan bangsa baru, bangsa Filistin, yang tak diketahui Abraham, yang bermukim di sepanjang pesisir di serangkaian kota yang meliputi Gaza, Gath, Ashdod, Ascalon, dan Joppa yang menjadi kota utamanya, yang sebetulnya, seperti bangsa Ibrani, adalah pendatang baru, dan mungkin utamanya bangsa Kreta dari laut dan dari utara. Sehingga, penyerbuan tersebut, yang dimulai sebagai serangan terhadap bangsa Kanaan, dengan cepat menjadi perjuangan panjang tak tak terlalu sukses untuk tanah terjanji dan tersoroti dengan pendatang baru yang lebih terbentuk, bangsa Filistin.

Tak dapat dikatakan bahwa tanah terjanji bahkan sepenuhnyia berada dalam genggaman bangsa Ibrani. Menyusul Pentateuch dalam Alkitab, timbul kitab-kitab Yosua, Hakim-hakim, Ruth (sebuah digresi), Samuel I dan II, dan Raja-raja I dan II, dengan Tawarikh yang diulang dengan banyak ragam dari isi Samuel II dan Raja-raja; terdapat unsur pertumbuhan realitas dalam banyak riwayat berikutnya tersebut, dan dalam kitab-kitab tersebut, kami mendapati bangsa Filistin dengan cepat menduduki dataran rendah subur di selatan, dan bangsa Kanaan dan Foenisia bergerak melawan bangsa Israel di utara. Kemenangan pertama Yosua tak terulang. Kitab Hakim-hakim adalah katalog melankoli dar kegagalan-kegagalan. Bangsa tersebut kehilangan hati. Mereka meninggalkan penghormatan terhadap tuhan mereka sendiri Yehuwa, dan menyembah Baal dan Ashtaroth (= Bel dan Ishtar). Mereka membaurkan ras mereka dengan bangsa Filistin, dengan bangsa Hittite, dan seterusnya, dan menjadi, sebagaimana yang selalu mereka alami, menjadi bangsa belasteran secara rasial. Di bawah serangkaian pahlawan dan sosok bijak, mereka menhalami kegagalan besar dan tak pernah bersatu dalam perang melawan musuh mereka. Secara bergantian, mereka diduduki oleh bangsa Moab, Kanaan, Midian dan Filistin. Kisah-kisah konflik tersebut, Gideon dan Samson dan pahlawan lainnya yang kini dan kemudian menghimpun serangkaian harapan terhadap penekanan Israel, dituturkan dalam kitab Hakim-hakim. Dalam kitab pertama Samuel, dikisahkan kisah bencana besar mereka di Ebenezer pada masa kala Eli menjadi hakim.

Ini adalah pertempuran sebenarnya kala bangsa Israel kehilangan 30.000 (!) pasukan. Mereka sebelumnya mengalami pengerahan dan kehilangan 4000 pasukan, dan kemudian mereka membawa keluar simbol paling keramat mereka, Tabut Perjanjian Allah.

"Segera sesudah tabut perjanjian TUHAN sampai ke perkemahan, bersoraklah seluruh orang Israel dengan nyaring, sehingga bumi bergetar. Dan orang Filistin yang mendengar bunyi sorak itu berkata: "Apakah bunyi sorak yang nyaring di perkemahan orang Ibrani itu?" Ketika diketahui mereka, bahwa tabut TUHAN telah sampai ke perkemahan itu, ketakutanlah orang Filistin, sebab kata mereka: "Allah mereka telah datang ke perkemahan itu," dan mereka berkata: "Celakalah kita, sebab seperti itu belum pernah terjadi dahulu. Celakalah kita! Siapakah yang menolong kita dari tangan Allah yang maha dahsyat ini? Inilah juga Allah, yang telah menghajar orang Mesir dengan berbagai-bagai tulah di padang gurun. Kuatkanlah hatimu dan berlakulah seperti laki-laki, hai orang Filistin, supaya kamu jangan menjadi budak orang Ibrani itu, seperti mereka dahulu menjadi budakmu. Berlakulah seperti laki-laki dan berperanglah!"'

"Lalu berperanglah orang Filistin, sehingga orang Israel terpukul kalah. Mereka melarikan diri masing-masing ke kemahnya. Amatlah besar kekalahan itu: dari pihak Israel gugur tiga puluh ribu orang pasukan berjalan kaki. Lagipula tabut Allah dirampas dan kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas, tewas.

"Seorang dari suku Benyamin lari dari barisan pertempuran dan pada hari itu juga ia sampai ke Silo dengan pakaian terkoyak-koyak dan dengan tanah di kepalanya. Ketika ia sampai, Eli sedang duduk di kursi di tepi jalan menunggu-nunggu, sebab hatinya berdebar-debar karena tabut Allah itu. Ketika orang itu masuk ke kota dan menceritakan kabar itu, berteriaklah seluruh kota itu. Ketika Eli mendengar bunyi teriakan itu, bertanyalah ia: "Keributan apakah itu?" Lalu bersegeralah orang itu mendapatkan Eli dan memberitahukannya kepadanya. Eli sudah sembilan puluh delapan tahun umurnya dan matanya sudah bular, sehingga ia tidak dapat melihat lagi. Kata orang itu kepada Eli: "Aku datang dari medan pertempuran; baru hari ini aku melarikan diri dari medan pertempuran." Kata Eli: "Bagaimana keadaannya, anakku?" Jawab pembawa kabar itu: "Orang Israel melarikan diri dari hadapan orang Filistin; kekalahan yang besar telah diderita oleh rakyat; lagipula kedua anakmu, Hofni dan Pinehas, telah tewas, dan tabut Allah sudah dirampas." Ketika disebutnya tabut Allah itu, jatuhlah Eli telentang dari kursi di sebelah pintu gerbang, batang lehernya patah dan ia mati. Sebab telah tua dan gemuk orangnya. Empat puluh tahun lamanya ia memerintah sebagai hakim atas orang Israel.

"Adapun menantunya perempuan, isteri Pinehas, sudah hamil tua. Ketika didengarnya kabar itu, bahwa tabut Allah telah dirampas dan mertuanya laki-laki serta suaminya telah mati, duduklah ia berlutut, lalu bersalin, sebab ia kedatangan sakit beranak. Ketika ia hampir mati, berkatalah perempuan-perempuan yang berdiri di dekatnya: "Janganlah takut, sebab engkau telah melahirkan seorang anak laki-laki." Tetapi ia tidak menjawab dan tidak memperhatikannya. Ia menamai anak itu Ikabod, katanya: "Telah lenyap kemuliaan dari Israel" --karena tabut Allah sudah dirampas dan karena mertuanya dan suaminya." (1 Samuel, pasal 4)

Penerus Eli dan Hakim terakhir adalah Samuel, dan pada akhir kekuasaannya, sebuah peristiwa datang dalam sejarah Israel yang bertentetan dan dituturkan lewat pengalaman bangsa-bangsa besar di sekitarnya. Seorang raja naik takhta. Mereka bertutur dalam bahasa nampak yang dituturkan antara penguasa imamat kuno dan gaya baru dalam kepentingan manusia. Ini mungkin untuk menghindari pengutipan kedua.

"Sebab itu berkumpullah semua tua-tua Israel; mereka datang kepada Samuel di Rama dan berkata kepadanya: "Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain."

"Waktu mereka berkata: "Berikanlah kepada kami seorang raja untuk memerintah kami," perkataan itu mengesalkan Samuel, maka berdoalah Samuel kepada TUHAN. TUHAN berfirman kepada Samuel: "Dengarkanlah perkataan bangsa itu dalam segala hal yang dikatakan mereka kepadamu, sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak, supaya jangan Aku menjadi raja atas mereka. Tepat seperti yang dilakukan mereka kepada-Ku sejak hari Aku menuntun mereka keluar dari Mesir sampai hari ini, yakni meninggalkan Daku dan beribadah kepada allah lain, demikianlah juga dilakukan mereka kepadamu. Oleh sebab itu dengarkanlah permintaan mereka, hanya peringatkanlah mereka dengan sungguh-sungguh dan beritahukanlah kepada mereka apa yang menjadi hak raja yang akan memerintah mereka."'

"Dan Samuel menyampaikan segala firman TUHAN kepada bangsa itu, yang meminta seorang raja kepadanya, katanya: "Inilah yang menjadi hak raja yang akan memerintah kamu itu: anak-anakmu laki-laki akan diambilnya dan dipekerjakannya pada keretanya dan pada kudanya, dan mereka akan berlari di depan keretanya; ia akan menjadikan mereka kepala pasukan seribu dan kepala pasukan lima puluh; mereka akan membajak ladangnya dan mengerjakan penuaian baginya; senjata-senjatanya dan perkakas keretanya akan dibuat mereka. Anak-anakmu perempuan akan diambilnya sebagai juru campur rempah-rempah, juru masak dan juru makanan. Selanjutnya dari ladangmu, kebun anggurmu dan kebun zaitunmu akan diambilnya yang paling baik dan akan diberikannya kepada pegawai-pegawainya dari gandummu dan hasil kebun anggurmu akan diambilnya sepersepuluh dan akan diberikannya kepada pegawai-pegawai istananya dan kepada pegawai-pegawainya yang lain. Budak-budakmu laki-laki dan budak-budakmu perempuan, ternakmu yang terbaik dan keledai-keledaimu akan diambilnya dan dipakainya untuk pekerjaannya. Dari kambing dombamu akan diambilnya sepersepuluh, dan kamu sendiri akan menjadi budaknya. Pada waktu itu kamu akan berteriak karena rajamu yang kamu pilih itu, tetapi TUHAN tidak akan menjawab kamu pada waktu itu."'

"Tetapi bangsa itu menolak mendengarkan perkataan Samuel dan mereka berkata: "Tidak, harus ada raja atas kami; maka kamipun akan sama seperti segala bangsa-bangsa lain; raja kami akan menghakimi kami dan memimpin kami dalam perang." (1 Samuel, pasal 8)

§ 2

Namun, alam dan posisi tanah mereka bertentangan dengan orang-orang Ibrani, dan raja pertama mereka Saul tidaklah lebih sukses ketimbang para hakim mereka. Intrik berkepanjangan petualang Daud melawan Saul dituturkan dalam bagian lain dari kitab pertama Samuel, dan akhir Saul adalah kekalahan mutlak terhadap Gunung Gilboa. Pasukannya diperdaya oleh para pemanah Filistin.

"Ketika keesokan harinya orang Filistin datang merampasi orang-orang yang mati terbunuh itu, didapati mereka Saul dan ketiga anaknya tergelimpang di pegunungan Gilboa. Mereka memancung kepala Saul, merampas senjata-senjatanya dan menyuruh orang berkeliling di negeri orang Filistin untuk menyampaikan kabar itu di kuil berhalanya dan kepada rakyat. Kemudian mereka menaruh senjata-senjata Saul di kuil Asytoret, dan mayatnya dipakukan mereka di tembok kota Bet-Sean." (1 Samuel, pasal 31)

Daud (sekitar 990 SM) lebih politis dan sukses ketimbang pendahulunya, dan ia nampak menempatkan dirinya di bawah perlindungan Hiram, Raja Tirus. Aliansi Foenisia tersebut menunjangnya, dan unsur penting dalam kebesaran putranya Salomo. Kisahnya, dengan pembunuhan dan eksekusi, terbaca lebih seperti pemimpin kejam ketimbang penguasa beradab. Ini dikisahkan dengan sorotan besar dalam kitab kedua Samuel.

Kitab pertama Raja-raja dimulai dengan masa kekuasaan Raja Salomo (sekitar 960 SM). Hal paling penting dalam kisah tersebut, dari sudut pandang sejarawan umum, adalah hubungan Salomo dengan agama nasional dan imamat, dan kesepakatannya dengan tabernakel, imam Zadok, dan nabi Nathan.

Pembukaan masa kekuasaan Salomo sama berdarahnya dengan ayahnya. Pidato tercatat terakhir Daud dihimpun terhadap pembunuhan Shimei; kata tercatat terakhirnya adalah "darah." "dan tahu apa yang harus kaulakukan kepadanya untuk membuat yang ubanan itu turun dengan berdarah ke dalam dunia orang mati," ujarnya, menekankan bahwa melalui Shimei tua dilindungi oleh janji yang dibuat oleh Daud kepada Allah sepanjang Daud hidup, tak ada yang mengikatkan Salomo dalam perkara tersebut. Salomo tergerak untuk membunuh saudaranya, yang berniat merebut takhta namun gagal dan membuat pengajuan. Ia kemudian dengan bebas sepakat ddengan pihak saudaranya. Kelemahan terhadap agama pada secara radial dan mental bersanding dengan orang-orang Ibrani pada masa itu ditunjukkan oleh kemudahan yang menggantikannya dengan kepala imam dengan pengikutnya sendiri Zadok, dan masih sangat bergesekan oleh pembunuhan Yoab oleh Benaiah, kepala ruffian Salomo, di Tabernakel, yang korbannya mengklaim suaka dan memegang perlidnungan dari altar Yehuwa. Kemudian. Salomo berniat untuk bekerja, dalam apa yang pada waktu itu menjadi jiwa modern, untuk menghimpun kembali agama rakuatnya. Ia meneruskan aliansi dengan Hiram, Raja Sidon, yang memakai kerajaan Salomo sebagai jalan besar untuk mencapai dan membangun perkapalan di Laut Merah, dan hal yang tak terdengar-kekayaan yang terkumpul di Yerusalem sebagai hasil kemitraan tersebut. Para tenaga kerja muncul di Israel; Salomo mengirim sejumlah orang untuk memotong pohon aras di Lebanon di bawah naungan Hiram, dan mengadakan pelayanan terhadap para pekerja pelabuhan yang melewati wilayah tersebut. (Hal ini secara menyeluruh mengingatkan pembaca pada hubungan kepala suku Afrika Tengah kepada kepentingan dagang Eropa.) Salomo kemudian membangun istana untuk dirinya sendiri, dan bait tak sedekat kebesaran bagi Yehuwa. Sehingga, Tabut Perjanjian, lambang ilahi Ibrani kuno,ditempatkan pada tenda besar, yang dipindahkan dari satu tempat tinggi ke tempat lain, dan mengurbankan kurban kepada Allah israel pada sejumlah tempat tinggi berbeda. Kini, tabut tersebut dibawa dengan tempat emas dari ruang dalam kuil berbahan aras, dan ditempatkan dia antara figur bersayap besar dari olahan kayu zaitun, dan sehingga pengurbanan tersebut hanya dibuat pada altar di hadapannya.

Inovasi tersentralisasi tersebut akan mengingatkan pembaca terhadap Akhnaton dan Nabonidus. Hal semacam itu hanya dilakukan secara sukses kala prestise dan tradisi dan pemahaman tatanan imamat ditorehkan pada tingkat paling rendah.

"Dan menurut peraturan Daud, ayahnya, ia menetapkan rombongan para imam dalam tugas jabatan mereka, dan orang-orang Lewi dalam tugas menyanyikan puji-pujian dan menyelenggarakan ibadah di hadapan para imam, setiap hari menurut yang ditetapkan untuk hari itu, dan juga penunggu-penunggu pintu gerbang dalam rombongan mereka untuk setiap pintu gerbang. Karena demikianlah perintah Daud, abdi Allah. Mereka tidak menyimpang dari perintah raja mengenai para imam dan orang-orang Lewi dalam perkara apapun, juga mengenai perbendaharaan."

Pendirian pemujaan Yehuwa oleh Salomo di Yerusalem pada penjejakan baru tersebut, maupun tujuan dan perbincangannya dengan Allah-nya pada pembukaan masa pemerintahannya, terjadi dalam cara pengembangan jenis teologinya pada tahun-tahun akhirnya. Ia kerap menikah, jika hanay untuk alasan kenegaraan dan kesenangan, dan ia dihibur sejumlah sitrinya dengan pengurmanan dewa bangsa mereka, kepada dewi Sidon Ashtaroth (Ishtar), kepada Chemosh (dewa Moabit), kepada Moloch, dan lain sebagainya. Pada kenyataannya, catatan Alkitab tentang Salomo menunjukkan kami seorang raja dan orang terkait, baik secara tinggi dan ketidakstabilan secara mental, dalam tanpa cara yang lebih relijius ketimbang orang lainnya di wilayah sekitar.

Titik kepentingan menonjol dalam kisah Salomo, karena ini menandai fase dalam perkara Mesir, adalah perkawinannya dengan putri Firaun: Ini harus menjadi salah satu Firaun Dinasti XXI: Pada masa kejayaan Amenophis III, sebagaimana yang dituturkan surat-surat Tel Amarna, Firaun dapat untuk menerima putri Babel ke haremanya, namun ia menolak untuk memberikan makhluk seperti putri Mesir dalam perkawinan dengan penguasa Babel. Ini menekankan penurunan cepat prestise Mesir yang kini, tiga abad kemudian, menjadi penguasa sebagaimana Salomo dapat menyelaraskan penyetaraan dengan putri Mesir. Namun, terdapat kebangkitan dengan dinasti Mesir berikutnya (XXII); dan Firaun Shishak, pendirinya, mengambil pergerakan antara Israel dan Yudea, yang telah berkembang melalui masa kekuasaan Daud dan Salomo, merebut Yerusalem dan merampas seluruh hal dengan sangat singkat baik pada bait baru dan rumah raja.

Shishak juga nampak menundukkan Philistia. Dari masa itu dan seterusnya, ini menuturkan bahwa pengaruh bangsa Filistin telah memudar. Mereka telah kehilangan bahasa Kreta mereka dan mengadopsi hal Semit yang menaklukan mereka, dan walau kota-kota mereka masih kurang lebih independen, mereka secara bertahap tergabung dalam kehidupan Semitik umum Palestina.

Terdapat bukti bahwa pengikisan asli selain menunjang penjelasan kekuasaan Salomo, dari berbagai pembunuhannya, dari asosiasinya dengan Hiram, dari istana dan bangunan baitnya, dan keluarbiasaan yang memperlemah dan akhirnya menempatkan kerajaannya dalam pengkembaran, telah ditujukan pada interpolasi luar dan peluasan oleh penulis berikutnya, khawatir untuk melebihkan kemakmurannya dan menjayakan kebijaksanaannya. Ini bukanlah tempat untuk menghimpun kritisisme terhadap cikal bakal Alkitab, namun ini menjadi persoalan esensi umum biasa ketimbang pembelajaran untuk mencatat kenyataan yang termanifestasi dan sekitaran substansi utama dari catatan Daud dan Slaomo, sebuah catatan yang terkadang menjelaskan dan terkadang membenarkan, namun bukannya tanpa fakta terkait, bahkan fakta terkeras, sebagaimana hanya penulis sezaman atau nyaris sezaman, menyatakan bahwa mereka tak dapat menjelaskan, yang aakn mengaitkan mereka, dan kemudian menandai tindak mendadak terhadap penuturan kala pasal-pasal disematkan. Ini adalah penyerahan terhadap kekuatan anggapan tertulis atau kenyataan dalam pikiran manusia bahwa penjelasan Alkitab telah disamarkan, tak hanya pada Kristen, namun pada dunia Muslim, keyakinan bahwa Raja Salomo tak hanya sosok luar biasa, namun sosok paling bijaksana. Sehingga, kitab Raja-raja pertama menuturkan pennjelasan kehendalan menonjolnya, dan di samping keindahan dan keajaiban bangunan dan organisasi dari para penguasa besar seperti Thotmes III atau Rameses II atau separuh Firaun lainnya, atau Sargon II atau Sardanapalus atau Nebuchadnezzar Agung, mereka bersifat sebra-serbi. Baitnya, yang terukur secara internal, memiliki luas dua puluh kubit, sekitar 35 kaki—yang berarti seujuran kediaman vila kecil—dan enam puluh kulit, yang dikatakan memiliki panjang 100 kaki. Dan sebagaimana kebijaksanaan dan kenegarawanannya, orang perlu bergerak tak melebihi Alkitab untuk memandang bahwa Salomo adalah penolong sebenarnya dalam skema mencapai kebesaran dari raja pedagang Hiram, dan kerajaannya yang terbentang antara Foenisia dan Mesir. Pengaruhnya karena sebagian besar penyuapan temporer Mesir, yang mendorong ambisi Foenisia dan menjadikannya perlu untuk menjadi pemegang kunci rute dagang alternatif menuju Timur. Bagi bangsanya, Salomo adalah penguasa penindas dan serakah, dan sebelum kematiannya, kerajaannya terbagi, yang nampak pada seluruh rakyat.

Dengan masa kekuasaan Raja Salomo, kejayaan singkat Ibrani berakhir; bagian utara dan lebih kaya dari kerajaan tersebut, yang lama tertindas oleh perpajakan yang menekan para pemberinya, terputus dari Yerusalem untuk menjadi kerajaan terpisah israel, dan perpisahan tersebut memicu hubungan antara Sidon dan Laut Merah yang membuat kekayaan Salomo menjadi memungkinkan. Tak ada kekayaan lebih dalam sejarah Ibrani. Yerusalem masih menjadi ibukota satu suku, suku Yudea, ibukota wilayah perbukitan, yang diputus oleh Filistin dari laut dan dikelilingi oleh musuh.

Kisah perang, konflik agama, perebutan, pembunuhan dan pergesekan untuk mengamankan takhta berjalan selama tiga abad. Ini adalah kisah yang bersifat barbar. Israel berperang dengan Yudea dan negara sekitar; membentuk aliansi mula-mula dengan satu dan kemudian dengan lainnya. Kekuatan Siria Aram terbakar seperti bintang pada urusan Ibrani, dan kemudian kebangkitan di baliknya kekuatan berkembang dan besar dari Kekaisaran Asiria terakhir. Selama tiga abad, kehidupan Ibrani seperti kehidupan manusia yang menghimpun kehidupan di tengah-tengah kesibukan, dan akibatnya bergerak tetap melalui pergerakan campuran dan cepat.

"Pul" (apparently the same person as Tiglath Pileser III) is, according to the Bible narrative, the first Assyrian monarch to appear upon the Hebrew horizon, and Menahem buys him off with a thousand talents of silver (738 b.c.). But the power of Assyria is heading straight for the now aged and decadent land of Egypt, and the line of attack lies through Judea; Tiglath Pileser III returns and Shalmaneser follows in his steps, the King of Israel intrigues for help with Egypt, that "broken reed," and in 721 b.c., as we have already noted, his kingdom is swept off into captivity and utterly lost to history. The same fate hung over Judah, but for a little while it was averted. The fate of Sennacherib's army in the reign of King Hezekiah (701 b.c.), and how he was murdered by his sons (ii Kings xix. 37), we have already mentioned. The subsequent subjugation of Egypt by Assyria finds no mention in Holy Writ, but it is clear that before the reign of Sennacherib, King Hezekiah had carried on a diplomatic correspondence with Babylon (700 b.c.), which was in revolt against Sargon II of Assyria. There followed the conquest of Egypt by Esarhaddon, and then for a time Assyria was occupied with her own troubles; the Scythians and Medes and Persians were pressing her on the north, and Babylon was in insurrection. As we have already noted, Egypt, relieved for a time from Assyrian pressure, entered upon a phase of revival, first under Psammetichus and then under Necho II.

Again the little country in between made mistakes in its alliances. But on neither side was there safety. Josiah opposed Necho, and was slain at the battle of Megiddo (608 b.c.). The king of Judah became an Egyptian tributary. Then when Necho, after pushing as far as the Euphrates, fell before Nebuchadnezzar II, Judah fell with him (604 b.c.). Nebuchadnezzar, after a trial of three puppet kings, carried off the greater part of the people into captivity in Babylon (586 b.c.), and the rest, after a rising and a massacre of Babylonian officials, took refuge from the vengeance of Chaldea in Egypt.

"And all the vessels of the house of God, great and small, and the treasures of the house of the Lord, and the treasures of the king, and of his princes; all these he brought to Babylon. And they burnt the house of God and brake down the wall of Jerusalem, and burnt all the palaces thereof with fire, and destroyed all the goodly vessels thereof. And them that had escaped from the sword carried he away to Babylon; where they were servants to him and his sons until the reign of the kingdom of Persia." (ii Chron. xxxvi. 18, 19, 20.)

So the four centuries of Hebrew kingship comes to an end. From first to last it was a mere incident in the larger and greater history of Egypt, Syria, Assyria, and Phœnicia. But out of it there were now to arise moral and intellectual consequences of primary importance to all mankind.

§ 3

The Jews who returned, after an interval of more than two generations, to Jerusalem from Babylonia in the time of Cyrus were a very different people from the warring Baal worshippers and Jehovah worshippers, the sacrificers in the high places and sacrificers at Jerusalem of the kingdoms of Israel and Judah. The plain fact of the Bible narrative is that the Jews went to Babylon barbarians and came back civilized. They went a confused and divided multitude, with no national self-consciousness; they came back with an intense and exclusive national spirit. They went with no common literature generally known to them, for it was only about forty years before the captivity that king Josiah is said to have discovered "a book of the law" in the temple (ii Kings xxii.), and, besides that, there is not a hint in the record of any reading of books; and they returned with most of their material for the Old Testament. It is manifest that, relieved of their bickering and murderous kings, restrained from politics and in the intellectually stimulating atmosphere of that Babylonian world, the Jewish mind made a great step forward during the captivity.

It was an age of historical inquiry and learning in Babylonia. The Babylonian influences that had made Sardanapalus collect a great library of ancient writings in Nineveh were still at work. We have already told how Nabonidus was so preoccupied with antiquarian research as to neglect the defence of his kingdom against Cyrus. Everything, therefore, contributed to set the exiled Jews inquiring into their own history, and they found an inspiring leader in the prophet Ezekiel. From such hidden and forgotten records as they had with them, genealogies, contemporary histories of David, Solomon, and their other kings, legends and traditions, they made out and amplified their own story, and told it to Babylon and themselves. The story of the Creation and the Flood, much of the story of Moses, much of Samson, were probably incorporated from Babylonian sources. When the Jews returned to Jerusalem, only the Pentateuch had been put together into one book, but the grouping of the rest of the historical books was bound to follow.

The rest of their literature remained for some centuries as separate books, to which a very variable amount of respect was paid. Some of the later books are frankly post-captivity compositions. Over all this literature were thrown certain leading ideas. There was an idea, which even these books themselves gainsay in detail, that all the people were pure-blooded children of Abraham; there was next an idea of a promise made by Jehovah to Abraham that he would exalt the Jewish race above all other races; and, thirdly, there was the belief first of all that Jehovah was the greatest and most powerful of tribal gods, and then that he was a god above all other gods, and at last that he was the only true god. The Jews became convinced at last, as a people, that they were the chosen people of the one God of all the earth.

And arising very naturally out of these three ideas, was a fourth, the idea of a coming leader, a saviour, a Messiah who would realize the long-postponed promises of Jehovah.

This welding together of the Jews into one tradition-cemented people in the course of the "seventy years" is the first instance in history of the new power of the written word in human affairs. It was a mental consolidation that did much more than unite the people who returned to Jerusalem. This idea of belonging to a chosen race predestined to pre-eminence was a very attractive one. It possessed also those Jews who remained in Babylonia. Its literature reached the Jews now established in Egypt. It affected the mixed people who had been placed in Samaria, the old capital of the kings of Israel when the ten tribes were deported to Media. It inspired a great number of Babylonians and the like to claim Abraham as their father, and thrust their company upon the returning Jews. Ammonites and Moabites became adherents. The book of Nehemiah is full of the distress occasioned by this invasion of the privileges of the chosen. The Jews were already a people dispersed in many lands and cities, when their minds and hopes were unified and they became an exclusive people. But at first their exclusiveness is merely to preserve soundness of doctrine and worship, warned by such lamentable lapses as those of King Solomon. To genuine proselytes of whatever race, Judaism long held out welcoming arms.

To Phœnicians after the falls of Tyre and Carthage, conversion to Judaism must have been particularly easy and attractive. Their language was closely akin to Hebrew. It is possible that the great majority of African and Spanish Jews are really of Phœnician origin. There were also great Arabian accessions. In South Russia, as we shall note later, there were even Mongolian Jews.

§ 4

The historical books from Genesis to Nehemiah, upon which the idea of the promise to the chosen people had been imposed later, were no doubt the backbone of Jewish mental unity, but they by no means complete the Hebrew literature from which finally the Bible was made up. Of such books as Job, said to be an imitation of Greek tragedy, the Song of Solomon, the Psalms, Proverbs, and others, there is no time to write in this Outline, but it is necessary to deal with the books known as "the Prophets" with some fullness. For those books are almost the earliest and certainly the best evidence of the appearance of a new kind of leading in human affairs.

These prophets are not a new class in the community; they are of the most various origins—Ezekiel was of the priestly caste and of priestly sympathies, and Amos was a shepherd; but they have this in common, that they bring into life a religious force outside the sacrifices and formalities of priesthood and temple. The earlier prophets seem most like the earlier priests, they are oracular, they give advice and foretell events; it is quite possible that at first, in the days when there were many high places in the land and religious ideas were comparatively unsettled, there was no great distinction between priest and prophet. The prophets danced, it would seem, somewhat after the Dervish fashion, and uttered oracles. Generally they wore a distinctive mantle of rough goat-skin. They kept up the nomadic tradition as against the "new ways" of the settlement. But after the building of the temple and the organization of the priesthood, the prophetic type remains over and outside the formal religious scheme. They were probably always more or less of an annoyance to the priests. They became informal advisers upon public affairs, denouncers of sin and strange practices, "self-constituted," as we should say, having no sanction but an inner light. "Now the word of the Lord came unto"—so and so; that is the formula.

In the latter and most troubled days of the kingdom of Judah, as Egypt, North Arabia, Assyria, and then Babylonia closed like a vice upon the land, these prophets became very significant and powerful. Their appeal was to anxious and fearful minds, and at first their exhortation was chiefly towards repentance, the pulling down of this or that high place, the restoration of worship in Jerusalem, or the like. But through some of the prophecies there runs already a note like the note of what we call nowadays a "social reformer." The rich are "grinding the faces of the poor"; the luxurious are consuming the children's bread; influential and wealthy people make friends with and imitate the splendours and vices of foreigners, and sacrifice the common people to these new fashions; and this is hateful to Jehovah, who will certainly punish the land.

But with the broadening of ideas that came with the Captivity, the tenour of prophecy broadens and changes. The jealous pettiness that disfigures the earlier tribal ideas of God give place to a new idea of a god of universal righteousness. It is clear that the increasing influence of prophets was not confined to the Jewish people; it was something that was going on in those days all over the Semitic world. The breaking down of nations and kingdoms to form the great and changing empires of that age, the smashing up of cults and priesthoods, the mutual discrediting of temple by temple in their rivalries and disputes—all these influences were releasing men's minds to a freer and wider religious outlook. The temples had accumulated great stores of golden vessels and lost their hold upon the imaginations of men. It is difficult to estimate whether, amidst these constant wars, life had become more uncertain and unhappy than it had ever been before, but there can be no doubt that men had become more conscious of its miseries and insecurities. Except for the weak and the women, there remained little comfort or assurance in the sacrifices, ritual and formal devotions of the temples. Such was the world to which the later prophets of Israel began to talk of the One God, and of a Promise that some day the world should come to peace and unity and happiness. This great God that men were now discovering lived in a temple "not made with hands, eternal in the heavens." There can be little doubt of a great body of such thought and utterance in Babylonia, Egypt, and throughout the Semitic east. The prophetic books of the Bible can be but specimens of the prophesyings of that time....

We have already drawn attention to the gradual escape of writing and knowledge from their original limitation to the priesthood and the temple precincts, from the shell in which they were first developed and cherished. We have taken Herodotus as an interesting specimen of what we have called the free intelligence of mankind. Now here we are dealing with a similar overflow of moral ideas into the general community. The Hebrew prophets, and the steady expansion of their ideas towards one God in all the world, is a parallel development of the free conscience of mankind. From this time onward there runs through human thought, now weakly and obscurely, now gathering power, the idea of one rule in the world, and of a promise and possibility of an active and splendid peace and happiness in human affairs. From being a temple religion of the old type, the Jewish religion becomes, to a large extent, a prophetic and creative religion of a new type. Prophet succeeds prophet. Later on, as we shall tell, there was born a prophet of unprecedented power, Jesus, whose followers founded the great universal religion of Christianity. Still later Muhammad, another prophet, appears in Arabia and founds Islam. In spite of very distinctive features of their own, these two teachers do in a manner arise out of, and in succession to these Jewish prophets. It is not the place of the historian to discuss the truth and falsity of religion, but it is his business to record the appearance of great constructive ideas. Two thousand four hundred years ago, and six or seven or eight thousand years after the walls of the first Sumerian cities arose, the ideas of the moral unity of mankind and of a world peace had come into the world.