MANUSIA NEANDERTHAL, SEBUAH RAS PUNAH

(Zaman Palæolitikum Awal)

§ 1. Dunia 50.000 Tahun Lampau. § 2. Kehidupan Sehari-hari Manusia Pertama. § 3. Manusia Palæolitikum Terakhir.

§ 1

Pada masa Interglasial Ketiga, ikhtisar Eropa dan Asia barat sangat berbeda dari apa yang ada sekarang ini. Sebagian besar wilayah di barat dan barat laut yang kini berada di bawah perairan Atlantik kala itu adalah tanah kering; Laut Irlandia dan Laut Utara merupakan lembah sungai. Sepnajng wilayah utara menyebar dan menyebarkan lagi tudung es besar seperti yang menyelimuti Greenland tengah sekarang ini. Tudung es besar tersebut, yang menyelimuti kawasan kutubuh bumi, menyerap kadar air yang tinggi dari samudra, dan permukaan laut kemudian jatuh, menghimpun wilayah darat besar yang kini terhubung lagi. Kawasan laut Tengah mungkin adalah lembah besar di bawah permukaan laut umum, berisi dua laut tanah dalam yang terputus dari samudra utama. Iklim cekungan Laut Tengah mungkin bersuhu dingin, dan wilayah Sahara di selatan kala itu bukanlah gurun yang diselimuti bebatuan dan pasir, namun wilayah subur dan sangat diairi. Antara lapisan es di utara serta lembah Alpen dan Laut Tengah sampai selatan membentang hutan belantara yang lebat tempat iklim berubah dari keras menjadi ringan dan kemudian mengeras lagi sepanjang Zaman Glasial Keempat.

Sepanjang hutan belantara tersebut, yang kini menjadi dataran besar Eropa, diisi beragam fauna. Mula-mula, terdapat kuda nil, badak, mammoth, dan gajah. Harimau bergigi tajam menuju kepunahan. Kemudian, kala udara mendingin, kuda nil, dan kemudian makhluk-makhluk pecinta kehangatan lain, berhenti untuk datang sampai utara jauh, dan dan harimau bergigi taham lenyap secara bersamaan. Mammoth berbulu wol, badak berbulu wol, kerbau kesturi, bison, auroch, dan rusa kutub menjadi tersebar, dan vegetasi hangat menggantikan tumbuhan yang lebih bertipe arktik. Gletser-gletser menyebar ke selatan sepanjang sebagian besar Zaman Glasial Keempat (sekitar 50.000 tahun lalu), dan kemudian terhenti lagi. Pada fase sebelumnya, Zaman Interglasial Ketiga, sejumlah kelompok keluarga manusia kecil tertentu (Homo Neanderthalensis) dan mungkin sub-manusia (Eoanthropus) mengembara sepanjang daratan, tak meninggalkan aappaun selain peninggalan mereka yang dipakai untuk menunjukkan keberadaan mereka. Mereka mungkin memakai sejumlah dan berbagai alat kayu juga; mereka mungkin banyak belajar soal bentuk benda dan meamakai bentuk berbeda dari kayu, pengetahuan yang setelah itu mereka terapkan pada batu; namun tak ada bahan kayu yang masih ada; kami hanga mengira-ngira soal bentuk dan penggunaannya. Karena cuaca mengalami puncak kesengitannya, manusia Neanderthal, yang nampaknya menggunakan api, mulai mencari perlidnungan di bawah bebatuan dan gua-gua —dan sehingga meninggalkan sisa di belakang mereka. Kemudian, mereka memutuskan untuk terbuka terhadap api, dan mendekati suplai air mereka. Namun, mereka sangat cerdik untuk mengadaptasi diri merekja sendiri pada kondisi baru dan lebih keras. (karena bagi sub-manusia, mereka nampak menghadapi tekanan Zaman Glasial Keempat. Pada tingkat apapun, jenis tertonjol dari Palæolitikum kini menimbulkan pelenyapan.) Bukan manusia sebenarnya yang bergerak ke gua. Zaman tersebut juga muncul singa gua, beruang gua, dan hyæna gua. Makhluk-makhluk tersebut bergerak keluar gua dan membiarkan gua tersebut ditempati manusia awal tersebut yang ingin bermukim dan bersembunyi; dan tak ada keraguan bahwa api adalah metode efektif dari pengusiran dan perlindungan.

Mungkin manusia awal tak bergerak lebih dalam ke gua, karena mereka tak memiliki alat penerangan yang diciptakan oleh mereka. Mereka bergerak jauh untuk keluar dari cuaca, dan menyetor kayu dan pangan di sudut-sudut. Mungkin, mereka membarikade mulut gua. Mereka hanya menyediakan penerangan untuk bergerak lebih dalam pada bagian gua menggunakan obor-obor.

Apakah manusia Neanderthal berburu? Satu-satunya senjata yang memungkinkan mereka untuk membunuh makhluk-makhluk raksasa seperti mammoth atau beruang gua, atau bahkan rusa kutub, adalah tonbak kayu, tusukan kayu dan potongan batu besar yang mereka tinggalkan di belakang mereka, "Chellean" dan "Mousterian" menerapkannya; dan mungkin tindakan lazim mereka menjadi permainan kecil. Namun mereka tentunya menyantap daging makhluk besar kala mereka memiliki kesempatan, dan mungkin mereka mengikuti mereka kala sakit atau kala terluka oleh penyerang, atau mengambil pergerakan mereka kala mereka tak dapat bergerak atau dalam ketegangan dengan es atau air. (Indian Labrador masih membunuh caribou dengan tombak di perlitnasan sungai rancu.) Di Dewlish, Dorset, sebuah parit buatan didapati dipakai menjadi jebakan Palæolitikum untuk para gajah. Kami memahami bahwa orang-orang Neanderthal sebagian menyantap buruan mereka kala terjatuh; namun mereka membawa balik tulang-tulang besar ke gua untuk meremukkan dan menyantapnya kala senggang, karena beberapa daging dan vertebræ ditemukan di gua-gua, selain sejumlah besar tulang panjang terpisah dan remuk. Mereka memakai kulit untuk menyelimuti mereka, dan wanita mungkin mengenakan kulit tersebut.

Kami juga mengetahui bahwa mereka memakai tangan kanan seperti manusia modern, karena sisi kiri dari otak (yang menggerakkan sisi kanan tubuh) lebih besar ketimbang kanan. Nmaun walau bagian belakang otak yang dipakai untuk penglihatan dan penyentuhan dan tenaga tubuh juga berkembang, bagian depan, yang terhubung dengan pikiran dan perkataan, berukuran kecil. Ini sebesar otak kita, namun berbeda. Spesies Homo tersebut tentunya tak dapat berbicara secara keseluruhan, atau sangat terbatas. Mereka tak memiliki apa yang seharusnya kita sebut bahasa.

§ 2

Dalam Man the Primeval Savage karya Worthington Smith, terdapat penjelasan tertulis yang sangat terlihat dari kehidupan Palæolitikum awal, dari banyak catatan berikut yang dipinjam. Dalam karya aslinya, Mr. Worthington Smith menyatakan kehidupan sosial yang lebih luas, masyarakat yang lebih besar dan pembagian buruh yang lebih pasti di kalangan para anggotanya ketimbang dibenarkan di hadapan tulisan-tulisan berikutnya seperti esay peringatan J. J. Atkinson tentang Hukum Primal. Untuk suku kecil, Mr. Worthington Smith kemudian menyebut kelompok keluarga di bawah kepemimpinan Pria Tua, dan saran Mr. Atkinson selaku perilaku Pria Tua yang bekerja dalam sketsa tersebut.

Mr. Worthington Smith menyatakan tempat jongkok di dekat sungai, karena manusia primitif, tak memiliki pot atau wadah lain, harus membutuhkan kedekatan dengan suplai air, dan dengan jurang kapur yang berdekatan dari batu api agar dapat bekerja. Udaranya suram, dan api memiliki pengaruh besar, karena api sempat tak mudah dinyalakan ulang pada masa itu. Kala tak mengharuskan untuk menyalakannya, ini mungkin dimanfaatkan dengan abunya. Cara paling memungkinkan agar api menyala adalah dengan meretas sekumpulan besi dengan batu api di tengah-tengah dedauinan mati kering; pemanfaatan alat besi dan batu api ditemukan bersamaan di Inggris tempat arang dan kapur dipakai satu sama lain. Sekelompok kecil orang akan berjongkok di tengah-tengah sejumlah pakis, lumut dan bahan kering. Beberapa wanita dan anak-anak akan membutuhkan pengumpulan bahan bakar secara berkelanjutan untuk menjaga api. Ini akan menjadi tradisi yang bertumbuha. Orang muda akan meniru para tetua mereka dalam tugas tersebut. Mungkin, terdapat hunian angin di satu sudut perkemahan.

Pria Tua tersebut, yang merupakan ayah dan pemimpin dari kelompok tersebut, mungkin akan memutuskan untuk memalu batu api di samping api. Anak-anak akan menirunya dan belajar memakai potongan yang ditajamkan. Mungkin, beberapa wanita akan berburu batu api yang baik; mereka akan mengambilnya dari kapur dengan batang dan mengirimkannya ke tempat jongkok.

Terdapat kulit di sekitarnya. Ini mungkin menunjukkan bahwa pada masa paling awal, manusia primitif memakai kulit. Mungkin, mereka membalutinya pada anak-anak, dan dipakai kala wilayahnya menjadi lembab dan dingin. Wanit amungkin akan menyiapkan kulit. Di dalam kulit akan dipisahkan dari daging dengan batu api yang dipangkas, dan kemudian dibentangkan dan ditarik dan didatarkan di rumput, dan dikeringkan dengan sinar matahari.

Selain api, para anggota kali dari kelompok keluarga tersebut ditugaskan mencari makanan, namun pada malam hari mereka semua berkumpul di dekat sekitaran api dan menghimpunnya, karena ini merupakan perlindungan mereka melawan beruang mengembara dan makhluk-makhluk pemangsa. Pria Tua sepenuhnya hanyalah pria dewasa dalam kelompok kecil. Terdapat wanita, putra dan putri, namun kemudian para putra menjadi kebutuhan besar untuk menumbuhkan keirian Pria Tua, ia akan menjatuhkan mereka dan membawa jauh mereka atau membunuh mereka. Beberapa putri mungkin bergerak ke pengasingan, atau dua atau tiga pemuda bertahan bersama selama suatu waktu, mengembara sampai mereka datang pada beberapa kelompok lain, tempat mereka berniat untuk mencuri seorang rekan. Kemudian, mereka mungkin akan menempatkannya di kalangan diri mereka sendiri. Beberapa hari, kala mungkin ia berusia empat puluh tahun atau lebih, dan giginya dirias dan tenaganya mampu, beberapa pria muda akan mendatangi ke Pria Tua dan membunuhnya dan menyatakan pendiriannya. Terdapat kemungkinan penggantian pendek untuk tetua di tempat jongkok. Kemudian, mereka melemah dan bersikap buruk, ketegangan dan kematian datang pada mereka.

Apakah mereka bersantap di tempat jongkok?

"Manusia purba umumnya dijelaskan sebagai pemburu mammoth berrambut besar, beruang, dan singa, namun berada dalam tingkat tertinggi yang memungkinkan agar kekejian manusia kala berburu hewan yang lebih besar ketimbang terwelu, kelinci dan tikus. Manusia mungkin berburu melebihi pemburu.

"Kekejian purba bersifat herbivora dan karnivora. Ia mengambil kacang hazel, kacang beech, kenari manis, kacang tanah dan acorn untuk disantap. Ia mengambil apel kepiting, pir liar, ceri liar, gooseberry liar, bullace, sorb, sloe, beri hitam, yewberi, hip and haws, water-cress, jamur,leaf-bud yang lebih besar dan lunak, Nostoc (bahan sayuran yang disebut 'bintang jatuh' oleh cerita rakyat), rhizoma mirip asparagus yang berair dan berdaging atau hasil bumi dari Labiatæ dan tumbuahn serupa, serta jenis-jenis kerajaan sayuran lainnya. Ia mengambil telur burung, dan madu dan sarang madu dari lebah liar. Ia mengambil newt, siput, dan katak—dua hasil bumi yang masih sangat diminati di Normandy dan Brittany. Ia mengambil ikan, mati dan hidup, dan mussel air tawar; ia dapat dengan mudah menangkap ikan dengan tangannya dan dayung dan bergerak dan menjebaknya. Di pinggir laut, ia akan mengambil ikan, mollusca, dan rumput laut. Ia mengambil banyak burung besar dan mamalia kecil, yang dapat dengan mudah didapatkan dengan melempar batu dan kayu, atau dengan menyiapkan senar sederhana. Ia mengambil ular, ulat, dan lobster air tawar. Ia mengambil berbagai grub dan serangga, larvæ besar dari jenis kumbang dan berbagai ulat. Peminatan akan ulat masih ada di Tiongkok, tempat ulat-ulat dijual dalam keadaan kering di pasar. Tujuan pangan utama dan sangat dijunjung secara tanpa ragu dilakukan dengan merremukkannya menjadi pasta kaku dan berpasir.

"Fakta pengaruh besar tersebut adalah bahwa manusia purba takkan mengkhususkan makanan dagingnya terlalu segar. Ia akan mendapatinya dalam keadaan mati, dan, jika setengah busuk, ia takkan akan menghiraukannya—rasa untuk perburuan separuh atau sangat busuk masih berlangsung. Jika digerakkan oleh kelaparan dan sangat menekan, ia mungkin terkadang akan menyantap rekannya yang lebih lemah atau anak kurang sehat yang terjadi pada perasaan atau tak terlihat atau memberatkan. hewna-hewan besar dalam keadaan lemah dan sekarat takkan ragu untuk diambil; kala tak ada yang dimajukan, contoh hewan mati atau separuh sadar akan diambil untuk bertahan hidup. Tindakan tak menyenangkan takkan ditentang; ini tidaklah ditentang di banyak persinggahan besar.

"The savages sat huddled close together round their fire, with fruits, bones, and half-putrid flesh. We can imagine the old man and his women twitching the skin of their shoulders, brows, and muzzles as they were annoyed or bitten by flies or other insects. We can imagine the large human nostrils, indicative of keen scent, giving rapidly repeated sniffs at the foul meat before it was consumed; the bad odour of the meat, and the various other disgusting odours belonging to a haunt of savages, being not in the least disapproved.

"Man at that time was not a degraded animal, for he had never been higher; he was therefore an exalted animal, and, low as we esteem him now, he yet represented the highest stage of development of the animal kingdom of his time."

That is at least an acceptable sketch of a Neanderthal squatting-place. But before extinction overtook them, even the Neanderthalers learnt much and went far.

Whatever the older Palæolithic men did with their dead, there is reason to suppose that the later Homo Neanderthalensis buried some individuals at least with respect and ceremony. One of the best-known Neanderthal skeletons is that of a youth who apparently had been deliberately interred. He had been placed in a sleeping posture, head on the right fore-arm. The head lay on a number of flint fragments carefully piled together "pillow fashion." A big hand-axe lay near his head, and around him were numerous charred and split ox bones, as though there had been a feast or an offering.

To this appearance of burial during the later Neanderthal age we shall return when we are considering the ideas that were inside the heads of primitive men.

This sort of men may have wandered, squatted about their fires, and died in Europe for a period extending over 100,000 years, if we assume, that is, that the Heidelberg jaw-bone belongs to a member of the species, a period so vast that all the subsequent history of our race becomes a thing of yesterday. Along its own line this species of men was accumulating a dim tradition, and working out its limited possibilities. Its thick skull imprisoned its brain, and to the end it was low-browed and brutish.

§ 3

When the Dutch discovered Tasmania, they found a detached human race not very greatly advanced beyond this Lower Palæolithic stage. But over most of the world the Lower Palæolithic culture had developed into a more complicated and higher life twenty or thirty thousand years ago. The Tasmanians were not racially Neanderthalers; their brain-cases, their neck-bones, their jaws and teeth, show that; they had no Neanderthal affinities; they were of the same species as ourselves. There can be little doubt that throughout the hundreds of centuries during which the scattered little groups of Neanderthal men were all that represented men in Europe, real men, of our own species, in some other part of the world, were working their way along parallel lines from much the same stage as the Neanderthalers ended at, and which the Tasmanians preserved, to a higher level of power and achievement. The Tasmanians, living under unstimulating conditions, remote from any other human competition or example, lagged behind the rest of the human brotherhood.

About 200 centuries ago or earlier, real men of our own species, if not of our own race, came drifting into the European area.