Filsafat Islam Pasca-Ibn Rusyd/Filsuf Islam Pasca-Ibn Rusyd/Ibn Taimiyyah: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
←Membuat halaman berisi 'Fenomena Filsafat Dan Mantiq Ibn Taimiyyah Oleh: Ilham Mustofal Ahyar فمنه نتعلم وبه نتكلم وفيه ننظر ونفكر وبه نستدل ونحكم I...'
 
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 30:
 
Pada abad ketujuh dan kedelapan yang merupakan masa penghabisan Daulah Abbasiah, kaum muslimin telah terpecah-belah dalam kerajaan-kerajaan kecil yang antara satu dengan yang lainnya saling memusuhi. Lebih dari itu, kerajaan-kerajaan kecil ini mendapat ancaman besar dari tiga sisi: serangan bangsa Tartar dari arah timur (Mongolia), serangan pasukan Perang Salib yang terus mendesak dari arah barat, serta ancaman akibat perpecahan dari umat Islam sendiri, sampai-sampai Ibn Al-Atsir dalam kitabnya "Al-Kamil" mengatakan: "Agama Islam dan kaum Muslimin pada waktu ini benar-benar ditimpa oleh musibah yang belum pernah menimpa satupun dari umat-umat sebelumnya…".
 
 
 
 
Baris 61 ⟶ 59:
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Ibn Taimiyyah mendalami filsafat bukanlah untuk memahami dan menyingkap kebenaran yang mungkin didapatkan didalamnya, melainkan untuk menghancurkan sendi-sendinya, maka dalam analisanya ia membagi metode-metode kaum filosof yang dianggabnya sebagai ahli bid’ah dalam dua kelompok:
 
D Metode penggantian (tabdil), yang diikuti oleh dua golongan:
 
1. Kaum Pengkhayal
Baris 68 ⟶ 66:
 
Sebagian dari kelompok ini menganggap bahwa kedudukan para filosof dan wali lebih utama dibandingkan dengan para Nabi dan Rasul, karena mereka mengetahui yang sebenarnya, dan sebagian yang lain menganggap para Nabi dan Rasul lebih mulia dibanding filosof dan wali, karena mereka mengira bahwa para Nabi dan Rasul mengetahui yang sebenarnya akan tetapi mengabarkan pada umatnya dengan apa yang dapat diterima oleh umatnya. Kelompok ini banyak diikuti oleh golongan Filsafat Kebatinan dan para pengikut Ikhwan al-Shofa, juga Al-Farabi, Ibn Sina, al-Syahrurdi al-Maqthul dan Ibn Rusyd.
 
 
 
Baris 75 ⟶ 72:
Kaum ini berpendapat bahwa para Nabi dan Rasul tidak mengungkapkan tentang Allah SWT, malaikat, surga dan neraka serta perkara ghaib lainnya kecuali untuk kebenaran, dan kebenaran adalah apa yang diketahui dan dibuktikan oleh akal kita, maka kemudian mereka mencoba untuk mentakwilkan ucapan-ucapan ini dengan apa yang mereka pandang cocok dengan pendapatnya, dengan beragam takwilan yang membawa bahasa asalnya untuk keluar dari pengertian yang sebenarnya, seperti halnya mereka merubah suatu lafadz dari satu makna ke makna lain yang mereka inginkan tanpa bertujuan untuk mengetahui maksud pembawa lafadz, walaupun sebenarnya mereka mengetahui maksud sebenarnya dari Sang Mutakallim. Jika setiap pentakwilan tidak bertujuan untuk menjelaskan makna yang dimaksud dari pembawa lafadz maka menurut Ibn Taimiyyah mereka telah melakukan kebohongan dengan menutupi makna asalnya, karena itulah menurutnya sebagian besar kaum filosof tidak secara tegas menyatakan takwilannya, akan tetapi kebanyakan mereka mengatakan: “ ini boleh dimaksudkan begini…” dan sebagainya yang tujuannya untuk menunjukkan adanya kemungkinan-kemungkinan dalam suatu lafadz. Secara global menurutnya, ini adalah metode kebanyakan ahli kalam, seperti: Mu’tazilah, Kullabiyah, Salimiyah, Karramiyah dan Syi’ah.
E Metode Pembodohan
 
Inilah yang menurut Ibn Taimiyyah sebagai ahli kesesatan dan kebodohan, dimana mereka berpedoman bahwa para Nabi dan Rasul serta seluruh pengikutnya adalah orang-orang bodoh lagi sesat, yang tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah SWT dari apa yang disifati-Nya untuk diri-Nya sendiri yang tertuang dalam ayat-ayat-Nya. Adapun sebagian lain dari kelompok ini mengatakan bahwa kandungan dari ayat-ayat Allah SWT sebenarnya bertentangan dari apa yang tampak dari lahiriyah teks, dan tidak ada satupun dari para Nabi, Rasul, Malaikat, Sahabat dan Ulama yang mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah seperti halnya mereka tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat.
Baris 82 ⟶ 79:
 
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah, Al-Ghazali mempelajari dan mendalami filsafat adalah untuk menyingkap kebenaran-kebenaran yang mungkin akan ditemukan didalamnya, yang mana dalam hal ini ia berpedoman, bahwa keraguan adalah sarana untuk sampai pada keyakinan. Setelah mendalami filsafat ia mendapatkan kesalahan-kesalahan yang banyak dilakukan oleh para filosof, maka kemudian ia mencoba untuk keluar dari filsafat dan kembali kepada agama serta menenggelamkan dirinya dalam dunia kesufian untuk selanjutnya menggunakan pengetahuannya tentang filsafat untuk menyingkap kesesatan-kesesatan para filosof dalam karyanya “Tahâfut Al-Falâsifah”. Akan tetapi pada kenyataannya Al-Ghazali tidak bisa benar-benar lepas dari filsafat, dimana dalam jiwanya masih tersisa pengaruh filsafat, karena ketika ia memutuskan untuk meninggalkan filsafat, pikirannya sudah terbentuk kedalam pola pemikiran filsafat, bahkan kemudian ia mengambil salah satu cabang filsafat sebagai bahan kajian utamanya, yaitu ilmu mantiq yang menurutnya merupakan salah satu unsur dasar dalam mempelajari Ushul Fiqh, ia meyakini bahwa tidak mungkin memahami suatu keilmuan secara sempurna kecuali dengan ilmu mantiq.