Buku Saku Farmakoterapi/Nyeri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Helito (bicara | kontrib)
←Membuat halaman berisi 'Nyeri merupakan sensorik dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang terkait dengan adanya kerusakan jaringan baik yang bersifat potensial maupun aktual atau...'
Tag: suntingan sumber
 
Helito (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 4:
Patofisiologi nyeri melibatkan jaringan susunan syaraf yang kompleks pada otak yang berespon karena adanya stimulus dari saraf aferen yang menjadi penyebab timbulnya nyeri. Pada nyeri akut, proses tersebut berlangsung singkat, namun pada beberapa kondisi, perubahan yang terjadi dapat bersifat menetap dan berkembang menjadi nyeri kronik. Klasifikasi nyeri berdasarkan patofisiologinya dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu nyeri nosiseptif dan nyeri neuropati.
 
=== Nyeri nosisiseptif ===
NYERI NOSISEPTIF
 
Nyeri nosisiseptif dapat diklasifikasikan baik sebagai nyeri somatik (timbul dari kulit, tulang, persendian, atau jaringan penghubung) atau nyeri viseral (nyeri yang timbul dari organ dalam seperti usus besar atau pankreas. Umumnya nyeri somatik akan berupa nyeri yang berdenyut dan terlokalisir pada lokasi atau tempat nyeri tertentu, sedangkan nyeri viseral  dapat bermanifestasi pada rasa nyeri apabila muncul dari struktur lain atau fenomena nyeri yang terlokalisir dengan baik.
 
Baris 13 ⟶ 12:
 
Tahap awal yang menyebabkan munculnya rasa nyeri adalah stimulasi dari nosiseptor. Reseptor ini ditemukan baik pada bagian somatik maupun viseral. Reseptor tersebut dapat membedakan stimulus yang berbahaya dan yang tidak membahayakan; diaktivasi dan disensitisasi oleh impuls mekanik, thermal, dan kimiawi.  Mekanisme ketiga stimulus tersebut dapat menyebabkan pelepasan bradikinin, ion-ion hidrogen dan kalium, prostagalandin, histamin, interleukin, TNFα, serotonin, dan substansi P yang dapat mensentisassi/mengaktifkan nosiseptor. Aktivasi reseptor menyebabkan transmisi aksi potensial sepanjang serabut saraf aferen ke sumsum tulang.
 
 
Gambar 2. Gambaran Skematis Nyeri Nosiseptif
 
Transmisi
Baris 35 ⟶ 31:
Nyeri inflamasi dapat dinilai sebagai proses peralihan tubuh dari mencegah kerusakan jaringan ke proses perbaikan/penyembuhan (mis. Luka bedah, kerusakan traumatik). Sebagai hasil dari proses inflamasi, ambang nyeri berkurang dan dan area luka menjadi lebih snsitif terhadap nyeri. Proses tersebut menyebabkan penurunan kontak dan pergerakan area luka, sehingga dapat mempercepat proses perbaikan. Apabila proses tersebut berlangsung lebih lama dari seharusnya atau ketika disebabkan suatu penyakit seperti artritis, maka dapat terjadi perubahan permaslahan akut menjadi kronik (proses inflamasi maaladaptif). Sebagai respon terhadap kerusakan jaringan dan peradangan, perubahan signifikan terjadi pada komposisi kimiawi dan sistem persarafan pada jaringan radang. Perubahan tersebut menunjukkan proses alamiah dan tingkat dari berbagai protein yang diekpresikan oleh saraf sensorik. Perubahan produksi dari beberapa protein tersebut dapat memodifikasi fenotip dan sel saraf, merubah karakteristik transduksi dan transmisinya. Nyeri inflamsi juga dapat terkait dengan peningkatan pada eksitabilitas dan responsivitas sel saraf dalam CNS, yang dikenal dengan istilah ''central sensitization''.
 
=== Nyeri Neuropati atau Fungsional ===
 
NYERI NEUROPATI/ NYERI FUNGSIONAL
 
Nyeri neuropati dan nyeri fungsional berbeda dengan nyeri nosiseptif, terlepas dari stimulus yang membahayakan atau proses perbaikan dan umumnya dikategorikan sebagai nyeri kronik. Nyeri neuroati merupakan akibat dari kerusakan saraf, sedangkan nyeri fungsional dinilai sebagai abnormalitas proses pada sistem saraf. Beberapa sindrom nyeri neuropati mis. Postherpetic neuralgia, diabetic neuropathy dan sindrom nyeri fungsional seperti fibromyalgia, Irritable Bowel Disease, nyeri kepala tipe ketegangan dan beberapa nyeri dada nonkardiak. Sebagian besar nyeri tersebut tidak teridentifikasi dan sulit untuk ditangani. Sebagai tambahan, laporan nyeri tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan fisik.
 
Baris 44 ⟶ 38:
Secara klinis, pasien dengan transmisi nyeri spontan (umumnya digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan) menunjukkan respon nyeri hebat terhadap stimulus berbahaya (hiperalgesia) dan atau respon nyeri terhadap stimulus tidak berbahaya (allodynia). Perubahan ini secara berangsur dapat menjelasakan mengapa tipe nyeri ini umumnya bermanifestasi lama setelah kerusakan aktual pada saraf atau ketika tidak ada luka aktual yang teridentifikasi.
 
== Klasifikasi Nyeri ==
KLASIFIKASI NYERI
 
NYERI AKUT
 
=== Nyeri Akut ===
Nyeri akut merupakan peringatan proses fisiologis seseorang terkait tingkat keparahan penyakit dan berpotensial menandakan kondisi kesehatan yang membahayakan. Sayangnya, nyeri berat, terus-menerus, tidak mendapat terapi yang sesuai, nyeri akut, jika melebihi proses biologis normal dapat menyebabkan efek yang merugikan seprti munculnya permaslahan psikologis. Nyei akut umumnya nosiseptif, meskipun juga dapat berupa nyeri neuropati dalam perkembangannya, yang memiliki keterkaitan kuat dengan derajat patologis penyakit. Beberapa penyebab umum nyeri akut termasuk pembedahan, penyakit akut, trauma, melahirkan, prosedur medis. Pada nyeri akut dapay menyebabkan peningkatan respon aktivitas saraf simpatis (mis.peningkatan tekana darah, takikardia, takipnea); respon tersebut umumnya berkurang seiring progresivitas nyeri akut yang berkembang menjadi nyeri kronik.
 
=== Nyeri Kronik ===
NYERI KRONIK
 
Saat kondisis normal, nyeri akut dapat mereda secara cepat seiring proses penyembuhan menurunkan stimulus penyebab nyeri; namun demikian, nyeri juga dapat bertahan selama beberapa bulan hingga tahun, menyebabkan tingkat nyeri kronik dengan manifestasi yang sedikit berbeda dengan nyeri akut. (Tabel 1.)
 
 
Tabel 1. Perbedaan Nyeri Akut dengan Nyeri Kronik
Baris 89 ⟶ 80:
|umum
|}
 
 
Tipe nyeri ini dapat berupa nosiseptif, neuropatik/fungsional atau bahkan keduanya. Subtipe dari nyeri tersebut trmasuk nyeri yang bertahan selama proses perbaikan akibat cedera akut, nyeri yang terkait penyakit kronik (mis.nyeri sekunder pada osteoartritis), nyeri tanpa penyebab organik yang dapat diidentifikasi (mis.fibromyalgia), nyeri pada kanker, dan lain sebagainya.
 
== Nyeri Pada Kanker ==
NYERI PADA KANKER
 
Nyeri yang terkait dengan kondisi yang berpotensi mengancam jiwa seringkali dinamakan nyeri malignansi atau secara sederhana disebut nyeri kanker. Tipe nyeri ini termasuk baik kategori nyeri akut manupun kronik serta umumnya memiliki berbagai penyebab. Nyeri yang muncul akibat penyakit kanker yang dialami (mis.akibat adanya invasi tumor, obstruksi organ), terapi (kemoterapi, radiasi, insisi pembedahan) atau prosedur diagnostik (mis.biopsi).
 
Baris 102 ⟶ 91:
 
1. Penggalian informasi komprehensif yang meliputi sejarah dan hasil pemeriksaan fisik penting untuk dilakukan untuk dapat mengevaluasi penyakit penyebab dan kemungkinan adanya faktor-faktor yang berkontribusi terhadapnya munculnya rasa nyeri pada pasien. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan saat building patient’s database tertera pada Tabel 2.
 
 
 
Tabel 2. Pertanyaan yang Dapat Diajukan Apoteker saat ''Building Patient’s Database pada Pasien Nyeri pada Kanker''
Baris 139 ⟶ 126:
|Apakah intensitas nyeri yang dirasakan berubah seiring waktu ?
|}
 
 
Beberapa perangkat penilaian nyeri yang sudah tervalidasi ''(numeric rating scale'', ''visual analog scale''; '''Belum ada penelitian validasi''' kedua perangkat penilaian nyeri tersebut dalam versi bahasa Indonesia). Moron Merchante dkk (2013) telah merangkum perangkat/instrumen penilaian nyeri dan kaitan nyeri dengan kualitas hidup (Moron dkk., 2013). Instrumen tersebut dapat bermanfaat untuk Apoteker Pelayanan Farmasi Klinik maupun peneliti serta dapat digunakan dengan uji reliabilitas dan uji validitas sebelumnya. Jikalau sudah tervalidasipun, perlu adanya konsistensi dan ''clinical judgement'' yang sesuai.
 
2. Pelayanan kefarmasian yang sesuai pada pasien nyeri pada kanker termasuk evaluasi pengelolaan nyeri yang telah dilakukan. Intensitas nyeri, reda/belum rasa nyeri yang dirasakan, reaksi obat antinyeri yang tidak dikehendaki (misal golongan opioid dapat menyebabkan sedasi atau konstipasi) haris dinilai dan dinilai ulang pada rentang waktu tertentu. Waktu dan keteraturan penilaian tersebut tergantung dari tipe nyeri dan jenio obat antinyeri yang digunakan. Nyeri setelah operasi dan nyeri akut pada pasien kanker dapat dilakukan setiap jam, sedangkan nyeri kronik pada pasien non kanker dapat dilakukan setiap hari ataupun dengan frekuensi yang lebih jarang.
 
Gambar 3. Macam Perangkat/ Instrumen Penilaian Nyeri Diakses dari <nowiki>http://www.medscape.org/viewarticle/453496_1</nowiki>
 
2. Pelayanan kefarmasian yang sesuai pada pasien nyeri pada kanker termasuk evaluasi pengelolaan nyeri yang telah dilakukan. Intensitas nyeri, reda/belum rasa nyeri yang dirasakan, reaksi obat antinyeri yang tidak dikehendaki (mis. Gol opioid dapat menyebabkan sedasi atau konstipasi) haris dinilai dan dinilai ulang pada rentang waktu tertentu. Waktu dan keteraturan penilaian tersebut tergantung dari tipe nyeri dan jenio obat antinyeri yang digunakan. Nyeri setelah operasi dan nyeri akut pada pasien kanker dapat dilakukan setiap jam, sedangkan nyeri kronik pada pasien non kanker dapat dilakukan setiap hari ataupun dengan frekuensi yang lebih jarang.
 
Penilaian intensitas nyeri PENTING dilakukan pada kondisi nyeri akut, sedangkan pada nyeri kronik diutamakan kemampuan fungsional pasien. Empat parameter yang direkomendasikan untuk dilakukan penilaian pada pasien dengan nyeri kronik meliputi, reda/tidaknya rasa nyeri, kemampuan menjalani aktivitas keseharian, reaksi obat yang tidak dikehendaki pada penggunaan obat nyeri dan hal-hal yang dirasakan saat menggunakan obat antinyeri (mis.adakah muncul nyeri meski telah menggunakan obat nyeri secara rutin pada kondisi nyeri kronik yang dialami).
 
== Manifestasi Klinik Nyeri ==
MANIFESTASI KLINIK NYERI
 
Faktor mental/emosional perlu diperhatikan karena dapat merubah ambang nyeri seseoran. Kecemasan, depresi, kelelahan, kemarakan, ketakutan diketahui dapat menurunkan ambang nyeri, sedangkan istirahat, perbaikan moodsimpati, pengalihan rasa nyeri dapat meningkatkan ambang nyeri.
 
Baris 197 ⟶ 179:
c. Tidak ada uji laboratorium spesifik untuk nyeri; namun riwayat dan atau pemeriksaan diagnostik setelah trauma (mis.computed tomography) atau satus penyakit saat ini (mis.autoantibodi) dapat bermanfaat untuk diagnostik penyebab nyeri
|}
 
 
Para tenaga profesional kesehatan, termasuk Apoteker, sebaiknya senantiasa memahami bahwa nyeri bersifat subyektif. Observasi obyektif seperti mimik wajah pasien yang menunjukkan menahan nyeri, takikardia dapat bermanfaat dalam menilai rasa nyeri maupun mengevalausi terapi nyeri, namun tanda-tanda tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien dengan nyeri kronik akibat lesi struktur. Tidak ada parameter neuropsikologis dan parameter kimiawi yang dapat digunakan untuk mengukur nyeri. Para tenaga profesional kesehatan dapat melakukan penilaian nyeri dan mengevaluasi efektivitas antinyeri hanya berdasarkan laporan (keluhan, atau parameter obyektif berdsarkan hasil pemeriksaan (mis.tekanan darah, kecepatan pernafasan, denyut nada, dll) pasien.
 
== Pengelolaan Nyeri ==
PENGELOLAAN NYERI
 
TERAPI NONFARMAKOLOGI
 
=== Terapi Nonfarmakologi ===
Penerapan strategi pengelolaan nyeri dengan terapi nonfarmakologi sebenarnya bukan merupakan kompetensi Apoteker Indonesia. Namun demikian, Apoteker Indonesia diharapkan dapat memberikan alternatif terapi non farmakalogi sesuai dengan kondisi pasien (tertera pada Standar Kompetensi Apoteker Indonesia SK Pengesahan Standar Kompetensi Apoteker Indonesia, 2010).
 
'''Terapi Stimulasi'''
Stimulation Therapy
 
Beberapa terapi nonfarmakologi diketahui dapat bermanfaat dalam pengelolaan baik nyeri akut dan kronik, termasuk terapi panas, terapi dingin, masasse, atau gerakan latihan tertentu. Di beberapa negara maju, Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) telah digunakan untuk mengelola baik terapi akut dan kronik (mis.pada nyeri pembedahan, traumatik, nyeri punggung, artritis, neuropati, fibromyalgia, dan nyeri area mulu-wajah). Namun demikian, bukti kemanfaatan penerapan TENS berdasarkan penelitian yang dipublikasikan adalah terbatas. Oleh karena itu, strategi TENS belum dapat direkomendasikan secara luas pada pengelolaan nyeri.
 
'''Pendekatan Psikologis'''
 
 
Pendekatan Psikologis
 
Meskipun aspek kognitif, behavioral, dan aspek sosial pada nyeri telah diketahui secar luas, namun pendekatan psikologis dalam pengelolaan nyeri belum banyak digunakan. Intervensi sederhana (mis.penyampaian informasi kepada pasien tentang sensasi nyeri yang dirasakan setelah prosedur tertentu) dapat mengurangi tekanan psikologis pasien dan dapat menurunkan nyeri secara baik setelah prosedur invasif tertentu. Teknis pendekatan psikologis lainnya yang juga bermanfaat termasuk relaksasi, hipnotik, teknik pengalihan nyeri lainnya telah terbukti efektif dalam pengelolaan nyeri setelah prosedur invasif maupun nyeri pada kanker.
Baris 219 ⟶ 197:
Pendekatan spiritual SANGAT PENTING dalam pengelolaan nyeri terutama pada nyeri kronik dan nyeri pada kanker. Penelitian pada 37.000 pasien berusia lebih dari 15 tahun merekomendasikan bahwa pendekatan spiritual menjadi bagian strategi komprehensif pengelolaan pada nyeri kronik (Baetz dan Bowen, 2008). Sebanyak 100 pasien nyeri pada kanker dengan stadium lanjut menunjukkan bahwa pendekatan spiritual dapat menurunkan persepsi nyeri (Delgado-Guay dkk., 2011). Penelitian lain pada 69 pasien nyeri pada kanker stadium lanjut yang mendapatkan terapi radiasi menunjukkan terapi spiritual meununjukkan kualitas hidup yang lebih baik (Vallurupalli dkk., 2012). Namun demikian, diperlukan pemahaman dan kemampuan spiritual yang baik pula dari para tenaga profesional kesehatan yang melayani pasien. Penelitian pada 34 caregivers pasien neri pda kanker stadium lanjut menunnjukkan adanya tekanan psikologis dan penurunan kualitas hidup yang dialami para caregivers (Delgado-Guay dkk., 2013). Dibutuhkan keikhlasan, kerja keras, dan kemampuan spiritual yang baik dari para caregivers terutama pada caregivers pada ranah pelayanan nyeri pada kanker sebagai upaya memberikan pelayanan terbaik untuk peningkatan kualitas hidup pasien nyeri pada kanker stadium lanjut.
 
=== Terapi Farmakologi ===
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
TERAPI FARMAKOLOGI
 
 
Gambar 4. Algoritme Tatalaksana Pengelolaan Nyeri Akut
 
 
 
 
 
Gambar 5. Algoritme Tatalaksana Pengelolaan Nyeri pada Pasien Kanker
 
 
 
TERAPI FARMAKOLOGI
 
Secara umum, terapi nyeri terbagi atas obat golongan narkotika dan non-narkotika. Golongan non-narkotika termasuk golongan NSAIDs dan non NSAIDs. Golongan NSAIDs terbagi atas golongan obat yang selektif menghambat siklo-oksigenase 2 yang merupakan jalur mekanisme utama NSAIDs dalam mengatasi nyeri dan peradangan dan golongan obat yang tidak selektif menghambat siklo-oksigenase 2 (tidak selektif karena selain menghambat enzim siklo-oksigenase 2, golongan obat ini juga menghambat enzim siklo-oksigenase 1 yang berkontribusi dalam menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada penggunaan NSAIDs seperti gangguan pada saluran pencernaan, gangguan pada ginjal, namun memiliki efek penghambatan pembentukan trombus sehingga bermanfaat untuk kelompok pasien dengan pembentukan trombus dihindari untuk mencegah komplikasi penyakit seperti stroke, gagal jantung, dll). Rasio selektivitas penghambatan terhadap siklo-oksigenase 1 dan siklo-oksigenase 2 mempengaruhi keamanan penggunaan pada saluran pencernaan, ginjal, maupun efek terhadap kardiovaskular. Obat dengan tingkat selektivitas penghambatan terhadap siklo-oksigenase 2 yang tinggi memiliki risiko gangguan saluran pencernaan dan ginjal yang lebih rendah namun risiko gangguan ke sistem kardiovaskular (terutama pada pasien yang disertai penyakit penyerta berupa gangguan sistem kardiovaskular).
 
 
Gambar 6, 7. Mekanisme NSAIDs sebagai Obat Antinyeri dan Antiradang serta Rasio Selektivitas COX2/COX1 beberapa NSAIDS (ket. Rofecoxib telah ditarik oleh FDA tahun 2004)
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tabel 4. Uraian Golongan Obat Analgesik di Indonesia
Baris 689 ⟶ 630:
|}
 
== Beberapa EBM Efektivitas dan Keamanan Obat Golongan Analgesik ==
 
=== '''Penggunaan Metamizole Na/ Antalgin/ Metampiron/Dipiron''' ===
 
* Obat ditarik oleh FDA pada Juni 1977 akibat agranulositosis fatal; Di Indonesia dan beberapa negara lainnya masih beredar.
Beberapa EBM Efektivitas dan Keamanan Obat Golongan Analgesik
* Tidak ada perbedaan antara metamizole dan plasebo, parasetamol dan NSAIDs sebagai anlgesik pada penggunaan kurang dari 2 minggu pada 79 penelitian yang melibatkan 4000 pasien (kajian sistematik dan meta-analisis). Hanya terjadi beberapa kejadian yang tidak dikehendaki serius, yang tidak ada perbedaan antara metamizole dengan analgesik lainnya. Tidak ada kejadian agranulositosis maupun kematian pada penggunaan metamizole (Kötter dkk., 2015)
* Risiko kejadian diskrasia darah (agranulositosis atau anemia aplastik) pada penggunaan metamizole adalah sangat rendah berdasarkan penelitian di Polandia (Basak dkk., 2010)
 
=== '''Penggunaan kombinasi analgesik''' ===
I. '''Penggunaan Metamizole Na/ Antalgin/ Metampiron/Dipiron ( Ditarik oleh FDA pada Juni 1977 akibat agranulositosis fatal; Di Indonesia dan beberapa negara lainnya masih beredar)'''
 
* Kombinasi Tramadol-Parasetamol: review article penggunaan kombinasi parasetamol-tramadol untuk pengelolaan nyeri kronik menyatakan kombinasi tersebut efektif dengan toleransi yang baik, terutama pada pasien geriatri dengan penggunaan analgesik NSAIDs yang terbatas (Moron dkk., 2013)
1. Tidak ada perbedaan antara metamizole dan plasebo, parasetamol dan NSAIDs sebagai anlgesik pada penggunaan kurang dari 2 minggu pada 79 penelitian yang melibatkan 4000 pasien (kajian sistematik dan meta-analisis). Hanya terjadi beberapa kejadian yang tidak dikehendaki serius, yang tidak ada perbedaan antara metamizole dengan analgesik lainnya. Tidak ada kejadian agranulositosis maupun kematian pada penggunaan metamizole (Kötter dkk., 2015)
* Kombinasi Parasetamol-Diklofenak:RCT crossover design pada '''30 partisipan sehat''' yang membandingkan kombinasi parasetamol-tramadol dengan parasetamol-diklofenak meunjukkan bahwa kombinasi parasetamol-tramadol lebih efektif jika dibandingkan parasetamol-diklofenak pada nyeri dengan radiant heat model pada partisipan sehat (Tripathi dkk., 2012)
* Kombinasi Parasetamol dan Ibuprofen: sistematika review penggunaan kombinasi parasetamol dan ibuprofen untuk nyeri paska operasi pada pasien dewasa menunjukkan kombinasi tersebut memberikan efek analgesia yang lebih baik jika dibandingkan penggunaan tunggal (pada dosis sama) dengan kebutuhan analgesik yang lebih rendah selama 8 jam serta dengan kemungkinan kejadian efek samping yang rendah (Derry dkk., 2013)
* Kombinasi Parasetamol dan Codein: sistematika review penggunaan kombinasi parasetamol dan kodein untuk nyeri paska operasi pada pasien dewasa menunjukkan kombinasi tersebut dapat meredakan nyeri pada 50% pasien dengan tingka nyeri sedang-berat, jika dibandingkan plasebo (20%) (Toms dkk., 2009) Perlu ada dosis tambahan berdasarkan kebutuhan antinyeri individual pasien yang daoat merekan secara baik nyeri yang dirasakan.
* Kombinasi Ibuprofen dan Kodein: sistematika review penggunaan kombinasi ibuprofen dan kodein (ibuprofen 400 mg dan kodein 25,6 – 60 mg) untuk nyeri akut tingkat menengah – berat paska operasi memberikan efek analgesia yang baik. Data penelitian ('''sangat terbatas''') yang menunjukkan kombinasi tersebut lebih baik jika dibandingkan dalam pemberian tunggal dosis sama, dengan kejadian yang tidak diharapkan sebanding dengan kelompok plasebo (Derry dkk., 2015)
 
=== '''Keamanan Penggunaan NSAIDs pada Kelompok Geriatri (atau pasien dengan risiko gastritis, perdarahan saluran cerna) dan Opioid pada kelompok geriatri''' ===
2. Risiko kejadian diskrasia darah (agranulositosis atau anemia aplastik) pada penggunaan metamizole adalah sangat rendah berdasarkan penelitian di Polandia (Basak dkk., 2010)
 
* Studi kohort retrospektif untuk membandingkan risiko fraktur terkait penggunaan awal opioid dengan NSAIDs, dan variasi risiko berdasarkan penggunaan opioid, durasi aksi, dan durasi penggunaan menunjukkan pasien geriatri dengan artritis yang mendapatkan terapi awal dengan opioid lebih berisiko mengalami fraktur jika dibandingkan kelompok pasien yang menggunakan NSAIDs pada 2 minggu pertama, namun tidak setelahnya. Golongan opioid aksi singkat memiliki risiko lebih tinggi mengakibatkan fraktur jika dibandingkan opioid aksi lama (Miller dkk., 2011).
II'''. Penggunaan kombinasi analgesik'''
* Sistematika review mengenai potensi kejadian yang tidak dikehendaki pada penggunaan analgesik pada pasien geriatrik dengan osteoartritis (OA) menunnjukkan parasetamol merupakan terapi analgesik pemeliharaan pilihan untuk nyeri OA pada pasien geriatri. Penggunaan NSAIDs sebaiknya terbatas, hanya untuk penggunaan jangka pendek. Dan untuk nyeri OA kategori menengah-berat, golongan opioid dapat digunakan dengan kewaspadaan kejadian ketergantungan, dan lain-lain (O’Neil dkk., 2012).
* Golongan analgesik yang direkomendasikan pada pasien geriatri adalah golongan obat dengan risiko pada saluran cerna, ginjal, cerebrovaskular, sistem saraf pusat rendah. Parasetamol, nonasetil salisilat, NSAIDs t<sub>1/2</sub> pendek (mis.ibuprofen) atau opioid dosis rendah/kombinasi opioid-like agents dengan parasetamol (pada pasien yang sesuai) menjadi pilihan obat analgesik pada kelompok geriatri (Marcum dan Hanlon, 2010).
 
=== '''Keamanan Penggunaan NSAIDs pada Pasien Asma''' ===
1. Kombinasi Tramadol-Parasetamol: review article penggunaan kombinasi parasetamol-tramadol untuk pengelolaan nyeri kronik menyatakan kombinasi tersebut efektif dengan toleransi yang baik, terutama pada pasien geriatri dengan penggunaan analgesik NSAIDs yang terbatas (Moron dkk., 2013)
Mekanisme NSAIDs dalam menghambat siklo-oksigenase 1 dan siklo-oksigenase 2 menyebabkan produksi leukotrien sebagai mediator asma dapat meningkat. Penggunaan NSAIDs pada pasien dengan penyakit asma diduga dapat meningkatkan risiko eksaserbasi. Prevalensi  eksaserbasi asma yang diinduksi penggunaan aspirin pada pasien dengan asma sebanyak 4,3% di Polandia , 8,8% di Finlandia, dan 10,5% di Australia. Kejadian ini lebih sering pada pasien perempuan (Gohil dkk., 2010).
 
=== '''Terapi Analgesik pada Anak''' ===
2. Kombinasi Parasetamol-Diklofenak:RCT crossover design pada '''30 partisipan sehat''' yang membandingkan kombinasi parasetamol-tramadol dengan parasetamol-diklofenak meunjukkan bahwa kombinasi parasetamol-tramadol lebih efektif jika dibandingkan parasetamol-diklofenak pada nyeri dengan radiant heat model pada partisipan sehat (Tripathi dkk., 2012)
Meta-analisis pada 31 peneltian RCT untuk mengetahui efek penambahan parasetamol atau NSAIDs terhadap penurunan kebutuhan golongan opioid, memperbaiki efek analgesia dan menurunkan efek obat yang tidak diharapkan. Kajian meta-analisi merekomendasikan penambahan NSAIDs dan atau parasetamol pada penggunaan opioid sistemik sebagai terapi nyeri peri-operatif pada anak (Wong dkk., 2013).
 
3. Kombinasi Parasetamol dan Ibuprofen: sistematika review penggunaan kombinasi parasetamol dan ibuprofen untuk nyeri paska operasi pada pasien dewasa menunjukkan kombinasi tersebut memberikan efek analgesia yang lebih baik jika dibandingkan penggunaan tunggal (pada dosis sama) dengan kebutuhan analgesik yang lebih rendah selama 8 jam serta dengan kemungkinan kejadian efek samping yang rendah (Derry dkk., 2013)
 
4. Kombinasi Parasetamol dan Codein: sistematika review penggunaan kombinasi parasetamol dan kodein untuk nyeri paska operasi pada pasien dewasa menunjukkan kombinasi tersebut dapat meredakan nyeri pada 50% pasien dengan tingka nyeri sedang-berat, jika dibandingkan plasebo (20%) (Toms dkk., 2009) Perlu ada dosis tambahan berdasarkan kebutuhan antinyeri individual pasien yang daoat merekan secara baik nyeri yang dirasakan.
 
5. Kombinasi Ibuprofen dan Kodein: sistematika review penggunaan kombinasi ibuprofen dan kodein (ibuprofen 400 mg dan kodein 25,6 – 60 mg) untuk nyeri akut tingkat menengah – berat paska operasi memberikan efek analgesia yang baik. Data penelitian ('''sangat terbatas''') yang menunjukkan kombinasi tersebut lebih baik jika dibandingkan dalam pemberian tunggal dosis sama, dengan kejadian yang tidak diharapkan sebanding dengan kelompok plasebo (Derry dkk., 2015)
 
III. '''Keamanan Penggunaan NSAIDs pada Kelompok Geriatri (atau pasien dengan risiko gastritis, perdarahan saluran cerna) dan Opioid pada kelompok geriatri'''
 
'''1.''' Studi kohort retrospektif untuk membandingkan risiko fraktur terkait penggunaan awal opioid dengan NSAIDs, dan variasi risiko berdasarkan penggunaan opioid, durasi aksi, dan durasi penggunaan menunjukkan pasien geriatri dengan artritis yang mendapatkan terapi awal dengan opioid lebih berisiko mengalami fraktur jika dibandingkan kelompok pasien yang menggunakan NSAIDs pada 2 minggu pertama, namun tidak setelahnya. Golongan opioid aksi singkat memiliki risiko lebih tinggi mengakibatkan fraktur jika dibandingkan opioid aksi lama (Miller dkk., 2011)
 
2. Sistematika review mengenai potensi kejadian yang tidak dikehendaki pada penggunaan analgesik pada pasien geriatrik dengan osteoartritis (OA) menunnjukkan parasetamol merupakan terapi analgesik pemeliharaan pilihan untuk nyeri OA pada pasien geriatri. Penggunaan NSAIDs sebaiknya terbatas, hanya untuk penggunaan jangka pendek. Dan untuk nyeri OA kategori menengah-berat, golongan opioid dapat digunakan dengan kewaspadaan kejadian ketergantungan, dll (O’Neil dkk., 2012)
 
3. Golongan analgesik yang direkomendasikan pada pasien geriatri adalah golongan obat dengan risiko pada saluran cerna, ginjal, cerebrovaskular, sistem saraf pusat rendah. Parasetamol, nonasetil salisilat, NSAIDs t<sub>1/2</sub> pendek (mis.ibuprofen) atau opioid dosis rendah/kombinasi opioid-like agents dengan parasetamol (pada pasien yang sesuai) menjadi pilihan obat analgesik pada kelompok geriatri (Marcum dan Hanlon, 2010)
 
IV. '''Keamanan Penggunaan NSAIDs pada Pasien Asma'''
 
Mekanisme NSAIDs dalam menghambat siklo-oksigenase 1 dan siklo-oksigenase 2 menyebabkan produksi leukotrien sebagai mediator asma dapat meningkat. Penggunaan NSAIDs pada pasien dengan penyakit asma diduga dapat meningkatkan risiko eksaserbasi. Prevalensi  eksaserbasi asma yang diinduksi penggunaan aspirin pada pasien dengan asma sebanyak 4,3% di Polandia , 8,8% di Finlandia, dan 10,5% di Australia. Kejadian ini lebih sering pada pasien perempuan (Gohil dkk., 2010)
 
V. '''Terapi Analgesik pada Anak'''
 
Meta-analisis pada 31 peneltian RCT untuk mengetahui efek penambahan parasetamol atau NSAIDs terhadap penurunan kebutuhan golongan opioid, memperbaiki efek analgesia dan menurunkan efek obat yang tidak diharapkan. Kajian meta-analisi merekomendasikan penambahan NSAIDs dan atau parasetamol pada penggunaan opioid sistemik sebagai terapi nyeri peri-operatif pada anak (Wong dkk., 2013)
 
 
Baris 772 ⟶ 703:
 
White, W.B., West, C.R., Borer, J.S., Gorelick, P.B., Lavange, L., Pan, S.X., dkk., 2007. Risk of Cardiovascular Events in Patients Receiving Celecoxib: A Meta-Analysis of Randomized Clinical Trials. ''The American Journal of Cardiology'', '''99''': 91–98.
 
 
Wong, I., St John-Green, C., dan Walker, S.M., 2013. Opioid-sparing effects of perioperative paracetamol and nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) in children. ''Paediatric Anaesthesia'', '''23''': 475–495.