Jangan Khawatir, Elly
Jangan Khawatir, Elly
suntingPremis : Elly, seorang siswi yang merasa takut dan gugup ketika tampil di hadapan banyak orang, padahal kali ini ia akan menceritakan dongeng yang ia buat pada acara pentas seni. Saat merasa ingin mundur dan kabur, Elly bertemu dengan seseorang yang memotivasinya untuk berani mencoba.
Isi Cerpen :
Elly merasa perutnya melilit sejak berangkat sekolah tadi. Ia tidak nafsu makan meskipun menu sarapan yang terhidang di hadapannya adalah makanan favoritnya, nasi goreng, tapi Elly hanya meminum susu vanila karena takut perutnya semakin tidak enak jika makan. Ibunya mencoba membujuknya, tapi Elly menolak tak mau. Alhasil nasi goreng dengan telur suwir itu diletakkan dalam kotak makan oleh ibunya untuk bekal Elly sewaktu istirahat nanti. Bel tanda masuk sekolah berdering, dan Elly masih gelisah di bangkunya. Sebenarnya, perasaan melilit di perutnya bukan karena lapar atau ia sedang gangguan pencernaan, tetapi Elly selalu seperti itu jika tengah cemas. Bagaimana tidak, di jam pelajaran kedua nanti ia harus bercerita di depan teman sekelasnya.
Minggu yang lalu, bu Nita meminta siswa-siswinya untuk membuat cerita pengalaman mereka sewaktu berlibur. Hari ini, bu Nita meminta mereka untuk menceritakannya di depan kelas. Elly dengan senang hati menuliskan pengalamannya, tetapi ia benar-benar bingung cara untuk bercerita di depan kelas. Bagaimana kalau ia membuat kesalahan? Bagaimana kalau teman-temannya merasa bosan? Bagaimana kalau semua orang menertawakannya? Elly bergidik membayangkan jika hal-hal yang ia takutkan menjadi kenyataan. Itu sebabnya Elly enggan untuk berbicara di depan kelas, selain ia pemalu, Elly tiba-tiba menjadi gagap jika harus berhadapan dengan banyak orang.
Padahal, ini adalah kesempatan Elly untuk belajar berbicara di depan banyak orang. Sebab, ia berencana untuk mengikuti perlombaan di acara pentas seni yang diadakan sekolahnya. Elly ingin sekali berpartisipasi dalam perlombaan itu dengan menampilkan cerita dongeng yang ia gemari. Ia telah menulis banyak cerita di buku hariannya. Namun, ia menjadi ciut ketika mengetahui kalau perlombaan harus dibacakan di atas panggung ketik acara pentas seni berlangsung. Elly menceritakan ini pada ibunya tentang ketakutannya harus membacakan dongeng di atas panggung. Ibunya dengan sabar memberi semangat pada Elly dan mengatakan berbicara di depan banyak orang tidak semenyeramkan yang Elly bayangkan. Kobar semangat dalam diri ibunya mau tak mau pun menular kepada Elly. Diam-diam ia telah menyiapkan cerita dongeng untuk perlombaan dan telah mendaftar. Sementara itu, perlombaan pentas seni akan berlangsung esok hari.
Ibu Nita mengucapkan salam dengan ceria kepada siswa-siswinya yang membalas dengan lantang penuh semangat. Bu Nita meminta mereka untuk maju satu per satu di depan kelas menceritakan pengalaman masing-masing. Teman sebangku Elly, Oliv bercerita dengan memukau. Ia pergi ke kebun binatang dan menceritakan kisah lucu ketika di sana. Teman-temannya tertawa dan terlihat begitu antusias dengan cerita Oliv. Sampai akhirnya Oliv mengakiri kisahnya dan bu Nita menunjuk Elly untuk maju.
Perut Elly yang semula melilit kini merasa menjadi sarang seorang monster yang sedang mengaum. Jantungnya berdegup kencang dan keringat dingin membahasi telapak tangannya. Elly menarik napas panjang dan ia sedikit merasa tenteram ketika bu Nita tersenyum tulus padanya. Elly pun mencoba untuk tak gentar dan mencoba memberikan senyuman kepada teman. Elly mulai bercerita tentang liburannya yang mengunjungi perpustakaan kota. Awalnya cukup baik, tapi begitu di tengah-tengah cerita Elly merasa sangat gugup sehingga ia lupa sampai di mana ia bercerita. Teman-temannya menampilkan ekspresi heran dan bosam. Elly merasa gagal karena pengalaman yang ia miliki seolah terburai dan ceritanya menjadi tidak mengalir. Perkataannya terbelit-belit dan suaranya mengecil. Elly pun ingin cepat-cepat mengakhiri ceritanya sampai lupa ia telah melewatkan kesan atas liburan kemarin. Meskipun demikian, teman-teman dan bu Nita tetap memberi penghargaan untuknya dan bertepuk tangan, meskipun tidak seantusias seperti yang diberikan kepada teman-temannya yang lain.
“Aku memang tidak bisa berbicara di depan umum,” pikir Elly dan menjadi murung hingga jam istirahat tiba. Ia memikirkan bagaimana ia akan tampil di pentas seni besok. Padahal ia sudah mengisi formulir. Namanya akan dipanggil dan ia hanya memiliki dua kemungkinan, maju atau mundur. Keduanya sama-sama tidak mengenakkan. Kalau Elly maju ia memiliki kemungkinan akan mengacaukan penampilannya. Kalau ia memilih mundur dengan bersembunyi ketika namanya dipanggil, itu juga akan membuatnya seperti seorang yang penakut. Padahal selama ini Elly sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi anak yang pemberani dan percaya diri.
Sedari tadi Elly bergumam pada dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang sekolah. “Tampil di depan kelas saja aku sudah buruk. Apalagi tampil di depan seluruh warga sekolah. Aku pasti akan mengacau dan membuat malu.”
“Bagaimana jika nanti aku salah bicara, dongengku jelek, atau aku bisa saja tersandung ketika naik ke atas panggung.”
“Bagaimana kalau aku menjatuhkan mic dan tidak sengaja membuat kerusakan. Aku takut kalau-kalau aku menangis di atas panggung karena gugup dan terlalu takut. Orang-orang akan menertawakanku.” Diam-diam Elly matanya memanas dan menyesal karena telah mendaftar sebagai peserta lomba pentas seni.
***
Elly tidak punya pilihan lain selain tetap masuk sekolah. Ketika semuanya berkumpul di lapangan untuk bersiap mengikuti acara pentas seni dan perlombaan, Elly malah duduk sendiri di aula sambil memandangi naskah dongengnya dengan putus asa. Ia tak tahu apa ia harus tampil atau tidak. Sejak semalam hingga pagi ini Elly mencoba menghabiskan waktunya dengan membaca dan berlatih mendongeng. Ia sudah hapal di luar kepala, tapi semakin dekat waktuya untuk tampil seolah-olah kata-kata yang telah ia hapal melayang satu persatu dan hilang dari memori Elly. Ia telah mencoba berlatih, tapi kepalanya pening dan ia tak mengingat dengan baik cerita dongengnya.
Elly mendengar samar-samar dari dalam aula bahwa acara telah dimulai. Sorai tepuk tangan bertalun dengan meriah. Sudah tiga peserta yang tampil. Dua di antaranya menampilkan tarian dan satunya menyanyi. Kesemua peserta yang tampil terdengar luar biasa. Elly diam-diam mendengarkannya dengan saksama. Kurang dua puluh peserta lagi sebelum mencapai nomor urut yang Elly dapat, yaitu 23. Ya, ia mendapatkan nomor urut kedua dari belakang.
Tiba-tiba Elly mendengar suara yang begitu jelas, kali ini bukan suara dari arah lapangan tempat pentas seni berlangsung, tapi asalnya dari ruang di mana Elly berdiam diri di sana. Ia menoleh dengan buru-buru dan mendapati seorang anak perempuan kecil bertubuh kurus, dan berambut pendek tengah melakukan gerakan aneh yang lucu. Perhatian Elly seketika tersita oleh aksi anak perempuan itu. Ia mengenakan baju hitam bergaris-garis putih atau putih bergaris-garis hitam. Di atas kepalanya terpasang topi bundar dan bunga mawar kecil. Wajahnya dicat putih dan kedua tangannya memakai sarung tangan. Anak itu membuat gerakan seperti katak, unta, hingga gerakan yang tidak Elly mengerti sambil membuat suara-suara ganjil yang lucu. Ia kemudian mencoba membuat seperti cuitan burung yang sayangnya terdengar tidak mirip dengan suara burung.
“Ah, aku tidak bisa membuat suara seperti itu,” katanya. Ia kemudian mengambil alat perekam yang terletak di meja. Elly menduga anak perempuan itu sedang merekam suaranya. “Aduh kenapa harus hilang, ya,” katanya. Ia pun mencoba membuat suara burung, kokok ayam, dan suara kucing, tapi suaranya yang serak dan berat menyulitkannya. Elly pun mencoba mendekati anak perempuan itu yang kini melepas topinya dan menggaruk rambutnya bingung.
“Kau mau merekam suara hewan-hewan?” tanya Elly mencoba memberanikan diri. Anak itu tersenyum dan mengangguk. Di dadanya terdapat nomor urut peserta yang bertuliskan 24.
“Ya. Aku tadinya punya suara-suara hewan dari sepupuku, tapi aku tidak sengaja menghilangkannya. Aku harus merekam suara-suara hewan lagi sebelum tampil. Tapi suaraku tidak sesuai hahaha …. Andai saja ada anak-anak yang bisa menirukannya. Sayangnya mereka sibuk menonton,” katanya. Meskipun terlihat bingung, anak itu tetap terlihat ceria dan bersemangat.
“Aku m-mungkin bisa membantumu. Apa ini terdengar seperti burung?” Elly pun mencoba membuat suara seperti burung, kucing, dan kokok ayam. Mendengar suara Elly, anak perempuan itu matanya berbinar dan menganga takjub.
“Wow, itu sangat mirip. Sungguh-sungguh mirip. Bagaimana bisa kau melakukannya?” Elly hanya tersenyum dan merasa senang sudah bisa membantu.
“Namaku Ariel dari kelas 4 C.” Anak perempuan bernama Ariel itu pun mengulurkan tangannya dan dijabat oleh Elly.
“Aku Elly dari kelas 4 A.”
“Pantas saja aku tidak mengenalmu karena ruangan kita ada di lantai yang berbeda.” Ariel dengan melompat-lompat mulai berlatih lagi setelah mengatakan terima kasih pada Elly yang sudah membantunya.
“Nanti ayo pergi ke lapangan bersama-sama. Nomor urut kita bersebelahan, kan?” kata Ariel. Elly ragu menjawabnya sebab ia belum tahu apa ia akan tampil, tapi melihat semangat dari Ariel, ia merasa tetap ingin tampil meskipun Elly tak tahu bagaimana mengatasi rasa gugupnya. Ariel pun menyadari perubahan air muka pada Elly yang berubah murung. Ia menanyai Elly apakah ia baik-baik saja.
“Aku baik-baik saja, kok. Hanya cukup gugup,” aku Elly. Ariel menghentikan latihannya dan menuju tempat duduk Elly.
“Itu wajar, Elly. Semua orang pasti gugup ketika tampil di hadapan orang banyak. Kau pasti bisa, anggap saja kau tampil untuk dirimu sendiri di ruang kosong.”
“Tapi, bagaimana kalau aku membuat kesalahan?”
Ariel tertawa menangkan. “Itu bisa terjadi pada siapa saja. Asal kita berlatih sungguh-sungguh dan rileks kurasa itu bisa diatasi. Ngomong-ngomong aku pernah tersungkur di panggung karena terlalu bersemangat dan kurang hati-hati hahaha ….”
Ariel pun menawarkan diri untuk membantu Elly berlatih sekali lagi sebelum mereka tampil. Berkat bantuan Ariel, Elly pun berlatih dan merasa lebih tenang. Cerita dongeng yang semula timbul-tenggelam di kepalanya kini kembali ia dapatkan ketika dirinya merasa lebih rileks.
“Dan sekarang kita harus melihat penampilan peserta lain dulu. Itu membuat kita lebih siap,” kata Ariel sambil mengajak Elly pergi ke tempat pentas seni berlangsung. Keduanya berlari menyusuri lapangan dan menyaksikan peserta nomor 19 membawakan pantun.
Tiba waktunya Elly maju. Debar jantungnya bertalu-talu dan ia mulai gugup. Ariel ikut berdiri dan memberi isyarat pada Elly untuk mengambil napas dan membuang napas. Sewaktu Elly berdiri di atas panggung dan membacakan dongengnya, Ariel bertepuk paling keras di antara penonton lain. Meskipun rasa gugup masih menyelimutinya, Elly berhasil tampil dengan baik dan itu membuatnya merasa lega. Kakinya cukup gemetaran ketika turun dan itu membuatnya tertawa. Setelah itu Ariel pun menjadi sebagai peserta terakhir yang memukau. Elly mendukung Ariel yang menampilkan gerakan pantonim yang menghibur.
Elly merasa bersyukur karena telah bertemu dengan Ariel, jika tidak, ia tak tahu apa ia akan tampil atau memilih untuk bersembunyi. Jika Elly tak tampil, itu artinya ia tak mencoba berusaha mengalahkan rasa takutnya dan menyesal karena itu. Meskipun Elly tidak mendapatkan juara utama, ia tetap membawa piala juara 3 karena cerita dongeng yang ia buat sangat menarik. Kebahagiaan Elly bertambah meluap ketika megnetahui bahwa Ariel berhasil mendapat juara utama dengan piala yang bahkan lebih besar dari tubuhnya. Semua orang termasuk Ariel pun tertawa, ketika si juara utama terhuyung saat menuju panggung untuk menerima piala.