Jayanasa Datu Sriwijaya

DANGTUANKU/TUAN BESAR SRI JAYANASA DATU' SRIWIJAYA

Karya: DHIMAS WISNU MAHENDRA


Penulis adalah novelis semi-fiksi sejarah “Geger Satrio Piningit” (Matahari, 2014), travelogue keroyokan “Soul Travellers: Turning Miles Into Memories” (Grasindo, 2017), penulis kontributor “Jejak Pajak Indonesia” (Direktorat Jenderal Pajak, 2017) dan “Cerita di Balik Reformasi Perpajakan” (DJP, 2021), serta antolog tunggal “Lelaki, Semesta dan Kopi” (Pelataran Sastra Kaliwungu, 2019). Penggembira Komunitas Sastra Kemenkeu dan Teater Arta Kemenkeu ini aktif bekerja di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan Republik Indonesia.


Premis: Menggurat perjuangan Dapunta Hyang Sri Jayanasa mempersatukan Nusantara melalui Kedatuan Sriwijaya di abad ke-7, kisah ini menggugah anak-anak pembaca dengan menanamkan arti dan peran penting kekuatan janji, tekad, impian, cita-cita, serta gigih upaya dalam mewujudkannya.


Dapunta_Hyang_Sri_Jayanasa_by_DWM.jpg


BAB I: PANGERAN TANPA MAHKOTA

Alkisah, di Jawadwipa pada abad ke-7 Masehi, berdiri kerajaan Kalingga. Memerintah adil bijaksana, Raja Santanu dan permaisuri Dewi Badrawati mempunyai dua anak laki-laki. Yang tertua dan penuh wibawa bernama Dapunta Syailendra, sementara adiknya yang penuh semangat berseri bercahaya bernama Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Dapunta Syailendra menikah dengan sepupunya, Wasuwari atau Sampula, puteri dari raja Wasugeni dan cucu dari raja Wasumurti asal India. Pendiri kerajaan Kalingga di Jawadwipa itu dahulu bersama keluarga melarikan diri dari negara asal Kalingga di Odisha, karena diserang kerajaan Gupta. Adapun Ibu mereka, Badrawati alias Wasundari adalah adik dari raja Wasugeni. Mereka mendarat di perairan utara Jawa.

Ketika Prabu Santanu mangkat, Dapunta Syailendra diangkat menjadi raja bergelar Prabu Kartikeyasinga. Sayang, usianya tak panjang. Delapan tahun kemudian ia wafat karena sakit dan digantikan istrinya, Ratu Wasuwari yang memerintah dengan tegas dan adil, yang kemudian lebih dikenal sebagai Ratu Shima. Di masa kepemimpinan Sang Maharani, Kalingga mencapai puncak kejayaannya.

Sementara itu, Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang gemar belajar tengah berkelana. Sedih hati Jayanasa, kehilangan kakak panutannya. Ayahnya, Prabu Santanu, sebelum wafat sempat menceritakan asal-usul leluhur mereka yang berasal dari Tarumanegara dan Melayu. Jayanasa tertarik melakukan perjalanan, mengunjungi kerabat dan negeri leluhurnya. Berkuda siang dan malam ke arah Barat, Jayanasa tiba di Tarumanegara dan disambut baik oleh paman jauhnya, Prabu Linggawarman. Sang raja amat terkesan dengan keluhuran budi, kecerdasan wawasan, serta kecakapan paras Jayanasa.

Prabu Linggawarman mempunyai dua puteri cantik jelita. Yang tertua bernama Manasih, dinikahkan dengan Tarusbawa. Adapun puteri yang lebih muda, Sobakancana, dinikahkan dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Saat Linggawarman meninggal dunia, Tarusbawa sang menantu ditunjuk menggantikannya, tetapi Wretikandayun dari Galuh, kerajaan bawahan Tarumanegara, tidak setuju karena merasa dirinya lebih pantas mewarisi tahta, memiliki darah sebagai trah asli Purnawarman dari garis pendahulu, Prabu Suryawarman.

Untuk menghindari perpecahan, Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan, menyatakan berdirinya kerajaan Sunda. Adapun Wretikandayun memilih merdeka dari Tarumanegara dan mendirikan kerajaan Galuh. Berakhirlah era kerajaan Tarumanegara, terpecah dua, diteruskan oleh Sunda dan Galuh.


BAB II: PERJALANAN KE NEGERI LELUHUR DI BARAT

Sadar tak mendapat tempat di Jawadwipa, Dapunta Hyang Sri Jayanasa mengajak istrinya Sobakancana mengunjungi negeri nenek buyutnya di kerajaan Melayu yang sudah berganti nama menjadi Sriboja, di jantung pulau emas Swarnadwipa. Sobakancana menangis karena harus terlunta-lunta meninggalkan Tarumanegara. Dengan lembut Sri Jayanasa menceritakan pada istri tercinta tentang riwayat kebesaran leluhurnya.

Prabu Purnawarman, raja ketiga dan terbesar kerajaan Tarumanegara dahulu punya dua anak, putera bernama Wisnuwarman yang kelak menggantikannya, dan seorang puteri sangat rupawan yang menikah dengan seorang pangeran dari Swarnadwipa. Dari pernikahan sang adik dengan pangeran Swarnadwipa itulah turun-temurun penerus bergenerasi, sebagian berpindah ke Jawadwipa, hingga lahirlah Santanu. Dengan demikian benar adanya, Santanu memiliki trah kerajaan Melayu dan Tarumanegara. Begitu pula halnya dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa dan kakaknya, Dapunta Syailendra, yang belum lama tiada.

Puteri Sobakancana terhibur. Nasib Jayanasa ternyata lebih mengenaskan, harus meninggalkan Kalingga dan Tarumanegara. Meski demikian, suaminya tetap tersenyum dan tegar bertahan. Jayanasa berjanji kepada Sobakancana, ia akan membahagiakan istrinya di negeri leluhurnya. Jika tidak dapat mewarisi bagian tahta dari kerabat, Jayanasa bertekad mendirikan sendiri kerajaan barunya di sana, sebagaimana inspirasi iparnya, Tarusbawa mendirikan Sunda, dan Wretikandayun mendirikan Galuh.


Jayanasa and Sobakancana by DWM


BAB III: KEKUATAN JANJI, IMPIAN DAN CITA-CITA

Singkat cerita, Jayanasa dan Sobakancana berlayar menyeberangi Selat Sunda, meninggalkan Jawadwipa menuju harapan baru di negeri emas Swarnadwipa. Negeri yang dituju, Sriboja, terletak di pantai timur Swarnadwipa, dekat Semenanjung Malaya, yang ramai dilalu-lalangi perahu dagang dari India menuju Cina, atau sebaliknya. Jayanasa dan Sobakancana terkagum-kagum saat perahu yang mereka tumpangi mendarat di pelabuhan Sriboja. Sebersit gagasan besar muncul dalam benak Jayanasa, saat menyadari potensi luar biasa dari keuntungan letak strategis Sriboja bagi jalur lalu lintas perdagangan bahari dunia. Diam-diam, Jayanasa menanamkan impian dan menggantungkan cita-cita agung mulia dalam benaknya.

Jayanasa dan Sobakancana tiba di istana Melayu Sriboja. Sungguh sayang, raja yang memerintah tak mempercayai Jayanasa sebagai bangsawan yang berdarah Melayu. Jayanasa tidak dapat membuktikan, karena tak punya lempeng lencana atau catatan silsilah resmi, simbol legitimasi bertrah Melayu, selain hanya berdasar cerita mendiang ayahnya. Meski demikian, karena ia putera Raja Santanu dari Kalingga dan istrinya puteri raja Linggawarman dari Tarumanegara, mereka berdua disambut baik dan diterima, serta diperkenankan belajar di Mandala Sriboja yang sangat megah dan luas, sebuah pusat studi agama terbesar kedua di zaman itu, setelah Mahavihara Nalanda di India.

Mandala Sriboja terletak di area percandian Muaro Jambi, alias Cham-Pi, di tepi sungai Batanghari, tak jauh dari Bukit Sengalo alias Bukit Perak. Ribuan pelajar berduyun-duyun datang dari dalam negeri dan mancanegara untuk belajar agama Buddha di kota berbenteng bata merah, Boja atau Fo-Sih. Pelajar dari India, Benggala, Champa, Funan, hingga Cina membuat nama Sriboja termasyhur diwartakan mendunia, antara lain dikenal sebagai Shi-Li-Fo-Sih dalam lafal Cina pada kronik di Tiongkok.

Jayanasa senang belajar. Ia betah tinggal di Sriboja, begitupun istrinya. Meski demikian, Jayanasa tetap tidak melupakan mimpi besar dan janjinya kepada Sobakancana. Menyaksikan betapa toleran penduduk Sriboja terhadap kemajemukan, Jayanasa mendapat ide cemerlang, mulai menyusun rencana.

Tanpa disadari oleh raja Melayu Sriboja, perlahan tapi pasti, Jayanasa yang memang mudah bersahabat dengan siapa saja dan memiliki karisma kepemimpinan disenangi dan disegani murid-murid Mandala Sriboja. Ia mulai berani membagikan impiannya, mengajak para murid hingga penduduk untuk bersatu dalam ikatan lebih besar yang kuat, bekerja sama demi kepentingan dan kemakmuran bersama. Raja Sriboja saat itu dianggap terlalu lemah, lagi kurang memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Gayung bersambut. Warga menanggapi baik mimpi dan cita-cita Jayanasa serta mulai berani bermimpi bersama.


BAB IV: PERJALANAN SUCI SIDDHAYATRA

Mahaguru Acharya Satyakirti yang waskita memahami maksud mulia Jayanasa saat diutarakan cita-cita besarnya. Ia memberkahi dan menyarankan Jayanasa untuk mengawali ikhtiarnya dengan melakukan perjalanan suci yang dinamakan Siddhayatra, agar memperoleh restu dari Hyang Widhi Wasa.

Tercatat pada Tahun Saka 605, hari kesebelas paro-terang bulan Waisakha, Dapunta Hyang Sri Jayanasa mengambil air suci dan menancapkan prasasti di Kedukan Bukit, lambang kebulatan tekad melakukan perjalanan untuk mendirikan kedatuan. Pada hari ketujuh, paro-terang bulan Jyestha, Dapunta Hyang Sri Jayanasa menaiki sampan ke daerah pertemuan dua sungai kembar, Kampar Kiri dan Kampar Kanan, dikenal dengan Minanga Tamwan, sekitar daerah Palembang atau Fa-Lin-Fong. Dari sana berangkatlah Jayanasa diiringi dua laksa alias dua puluh ribu pengikutnya, dengan perbekalan 200 peti, diikuti 1312 prajurit berjalan kaki, semua berderap serempak menuju Hulu Upang alias Muka Upang alias Matajap, memanjatkan doa suci dan bersuka cita.

Pada hari kelimabelas bulan Asadha, dengan lega gembira Dapunta Hyang Sri Jayanasa membuat wanua atau desa mandiri yang diberi nama SRIWIJAYA! Artinya Kemenangan Yang Bercahaya Gilang-Gemilang. Sebagaimana terukir dalam penutup prasasti, semboyan yang jadi dasar sumpah pemersatu berbunyi:

“MARVUAT VANUA… SRIVIJAYA JAYA… SIDDHAYATRA SUBHIKSA… NITYAKALA!”

Membuat wanua… Sriwijaya Berjaya… Perjalanan Siddhayatra berhasil… Berbahagia sepanjang masa!

Malam itu, Sobakancana menangis haru dalam pelukan suaminya tercinta yang gagah perkasa, Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang kini telah memenuhi janjinya dengan mendirikan Kedatuan Sriwijaya! Bersyukur pada Yang Maha Kuasa, keduanya sekaligus menyadari, esok hari, tugas besar menanti di depan mata!

Berawal dari Minanga Tamwan, yang penduduknya sukarela mengikuti Sri Jayanasa melebur ke dalam Kedatuan Sriwijaya, ternyata perjuangan mendirikan kemaharajaan tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh bertahun kemudian, baru seluruh Melayu Sriboja tunduk ke dalam Mandala Sriwijaya. Sepanjang kurun itu, Sri Jayanasa bergerak diplomatis dan taktis memperluas wilayah kekuasaannya, melalui ajakan bekerjasama maupun dengan peperangan. Sriwijaya mengalahkan Palembang, Jambi, Tulang Bawang, hingga Bengkulu. Begitupun Bangka dan Belitung, satu demi satu menyatakan takluk. Dapunta Hyang Sri Jayanasa menjadi sosok disegani sekaligus momok ditakuti. Sriwijaya berkembang menjadi kedatuan yang diperhitungkan bahkan terkuat di bumi belahan selatan.


BAB V: DHARMACITTA SANG MAHARAJA

Sebuah perahu dagang dari Cina merapat. Puluhan penumpang turun ke dermaga, termasuk Yi Jing atau I Tsing, seorang biksu dari Kanton alias Guangzhou di negeri Cina. Ia datang ke Sriboja untuk belajar di mahavihara sebelum meneruskan perjalanan ke Nalanda di India, sebagai negeri asal Buddha Gautama. Tujuannya adalah mengumpulkan sebanyak mungkin serat sastra ajaran agama Buddha, untuk kelak diterjemahkan ke dalam bahasa Cina, dan disebar-ajarkan sekembalinya. Mahaguru Acharya Satyakirti menyambut baik maksud mulia Yi Jing, memberkahinya, dan menerimanya di Mandala Sriboja. Ia juga memperkenalkan Yi Jing kepada Baginda Sriwijaya, Dapunta Hyang Sri Jayanasa.

Yi Jing dari Cina kemudian bersahabat dengan Raja Sriwijaya. Yi Jing mengagumi tekad Jayanasa yang punya cita-cita mulia, hendak mempersatukan negara-negara di kawasan Nusantara, demikian sebutan daerah bernegeri-negeri dan kepulauan di Asia belahan Tenggara khususnya. Jayanasa amat menyadari, bahwa Sriwijaya punya potensi menjadi kerajaan besar dengan membentuk mandala atau kemaharajaan bersama, mendirikan kedatuan agung yang sejajar dengan India dan Cina. Kata Mandala selain memiliki arti pusat studi agama, juga berarti lingkaran atau perserikatan kekuasaan. Jayanasa yakin dan percaya, jika semua bangsa-bangsa memiliki pandangan lapang serupa dengannya, mereka dapat bersama-sama berjuang mewujudkannya.

Yi Jing menitipkan pesan, jika kelak Jayanasa benar-benar menjadi maharaja, hendaknya ia menerapkan sungguh-sungguh ajaran kebaikan Buddha, menjadi raja welas asih dan cinta damai kepada sesama, memperhatikan tak hanya manusia tapi alam juga, berbagi kebahagiaan kepada semesta, meneladani jiwa suci nan agung Sang Siddharta. Jayanasa berterima kasih untuk nasihat dari sahabatnya.

Sebagai wujud kebersyukuran, sang raja membangun sebuah taman buah-buahan bernama Sriksetra, dengan pesan sebagaimana terukir pada Prasasti Talang Tuo di Palembang, ditujukan bagi kemakmuran semua makhluk. Baik Yi Jing maupun Mahaguru Satyakirti sangat bahagia dan memuji kebesaran hati Dapunta Hyang Sri Jayanasa atas kepeduliannya tak hanya kepada rakyat tapi juga alam dan semesta.

Yi Jing belajar selama enam bulan di Sriwijaya, ditambah dua bulan di Minanga, sebelum melanjutkan pelayarannya, melalui Kedah dan Nikobar, menuju pantai timur Tamralipti hingga tiba di Nalanda, India.

Sementara Dapunta Hyang Sri Jayanasa kian memperbesar kemaharajaan dan pengaruhnya di kawasan, termasuk menjalin hubungan diplomatik, mengirim upeti, bersahabat dengan negara adikuasa, di barat dengan India dan Timur Tengah, serta di timur dengan kekaisaran Tiongkok alias Cina.

Dapunta Hyang Sri Jayanasa berhasil menjadikan Sriwijaya penguasa pengendali lalu lintas perdagangan bahari dunia, berdaulat penuh atas Selat Malaka dan Selat Sunda, dan dengan demikian memenuhi janji untuk memerintah dengan adil bijaksana sekaligus memakmurkan sejahtera seluruh rakyatnya.


File:Jayanasa_and_Yi_Jing_by_DWM.jpg


BAB VI: SUTERA INDAH PERPISAHAN

Empat belas tahun kemudian, Yi Jing kembali dari India. Dalam perjalanan pulang ke Cina, ia mampir dan mengunjungi sahabat lamanya. Dapunta Hyang Sri Jayanasa menyambut sukacita seraya bercerita, betapa ia telah mewujudkan janji, impian dan cita-citanya, mempersatukan Swarnadwipa, Jawadwipa, seluruh Semenanjung Malaya, di bawah kesatuan mandala agung, kemaharajaan Kedatuan Sriwijaya!

Yi Jing mencatat eksistensi dan kiprah Sriwijaya dalam catatan pengembaraan dua dekadenya, Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan, berarti Kiriman Catatan Praktik Buddha Dharma dari Laut Selatan. Setelah memutuskan menetap sepuluh tahun di Sriwijaya, ia kembali ke Cina membawa ratusan buku hasil terjemahannya.

Sri Jayanasa mengantarkan sendiri hingga dermaga, geming menunggu hingga perahu menjadi titik kecil pada gores senja di garis cakrawala, lalu meniada. Mereka tidak pernah bertemu lagi. Tinggallah sejarah mencatat jasa Dapunta Hyang Sri Jayanasa dengan tinta emas, terabadi hingga bermilenia lamanya.[]