Jelangkung Pulang Kampung
JELANGKUNG PULANG KAMPUNG Oleh : Suhartini Samiun
Suatu hari Ayah mengajak kami pulang kampung ke Desa Munjul Kecamatan Mekar Sari Purwokerto. Kampung Eyang yang sudah belasan tahun tidak dikunjungi sejak Eyang meninggal dunia. Sejak saat itu pula rumah di kampung ditinggalkan kosong, sebab Ayah dan semua adik-adik Ayah sukses di perantauan. Kek Muin, tetangga sebelah Eyang yang merawat rumah itu.
Ayah mengaku rindu dengan kampungnya, rindu dengan teman sebayanya, rindu dengan teman-teman Sekolah Dasarnya, rindu dengan teman-teman SMP-nya, rindu dengan sawah milik Eyang yang digarap tetangga sebelah, kemudian setiap panen kami mendapatkan kiriman beras dari tetangga Eyang. Dan yang terpenting kata ayah, Ayah rindu permainan kampung yang tidak pernah Ayah temui di ibu kota, tempat Ayah merantau.
“Asyik....!,” gumamku. Aku membayangkan libur semester yang hanya dua minggu sebelum ujian Nasional Sekolah Dasar ini, pasti menyenangkan. Anganku pun berkelana dan menghayalkan sesuatu yang tidak pernah aku alami. Aku akan menikmati suasana desa, budaya di sebuah kampung yang hanya kulihat di You Tube, TikTok dan media sosial. Karena kata ayah, terakhir kali kami pulang kampung, usiaku saat itu baru tiga tahun.
Kemudian aku mencari alamat tersebut di Google, hanya dalam hitungan detik terlihat lokasi jalan setapak dengan kanan-kirinya ada bentangan sawah hijau.
“Ayah..., ini kampung kita Ayah, Dito cari di Google,” kataku bersemangat, sembari menunjukkan hasil penelusuran Google dari alamat yang kutulis. Ayah kemudian melihat handphone yang kusodorkan.
“Iya, ini dia tempatnya. Untuk menuju Desa Munjul hanya ada satu jalan, melewati sawah,” kata ayah dengan senyum sumringah tanda bahagia.
“Asyik, kapan kita pulang kampung, ya ?,” tanyaku sudah tak sabar.
“Nanti, ayah ajukan cuti dulu, kalau cutinya sudah disetujui, baru kita pulang. Insya Allah cuti ayah disetujui, karena sudah lama ayah tidak mengajukan cuti,” jelas Ayah.
##
suntingAku bernyanyi bahagia saat mobil yang dikendarain Ayah memasuki jalan tol menuju luar kota. Ayah pun terlihat bahagia, sementara Ibu dan adikku Laras, duduk manis di belakang kami dengan wajah-wajah bahagianya. Hanya butuh waktu 8 jam untuk sampai di Desa Munjul, itu pun dua kali Ayah menghentikan mobil di Rest Area jalan tol untuk mengisi BBM dan makan siang. Begitu dekatnya jarak Jakarta- Purwokerto, tapi entah mengapa Ayah tidak pernah mengajak kami pulang kampung. Jika kami bertanya, kata Ayah sudah tidak ada sanak saudara yang mau dikunjungi di sana. Kalau ibu menjelaskan penyebab Ayah tidak pulang kampung, karena libur yang terbatas, sibuk kerja. Jika pulang saat lebaran, jalanan macet, karena itu Ayah tak pernah mau pulang kampung. Sebagai anak tertua, Ayah selalu dikunjungi adik-adiknya saat lebaran, dan kami biasa ngumpul di rumah nenek dari ibu yang ada di Bekasi. Pulang kampung kali ini selain membuat bahagia juga membuat aku penasaran dengan suasana di kampung. Memasuki pintu desa, ada gapura dari kayu dengan ornamen ukiran dengan bahasa Jawa, di sisi kanan dan kiri ada bentangan batu yang dapat digunakan untuk duduk. Di bentangan batu sebelah kanan, terlihat dua bocah sedang main lato-lato, sementara di sisi kirinya dua remaja sedang bermain gadget. Mereka serius sehingga tidak memperhatikan kami yang lewat melintasi mereka. “Anak-anak di desa juga main lato-lato, ya Yah,” ujarku, aku bingung apakah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan. Ibu kemudian berkomentar, “lato-lato saat ini jadi permainan viral, jadi wajar jika ada juga di desa,”. Melintasi beberapa rumah, terlihat anak-anak duduk di depan pintu rumah mereka dengan memegang handphone. Jelas gadget juga sebuah kebiasaan di desa, sama seperti di Jakarta atau di Bekasi saat kami berkunjung ke rumah nenek. “Sama aja mainan di desa, Dito kira mereka anak-anak desa nggak pegang HP, ternyata hampir semua rumah, anak-anaknya pada pegang HP,” ucapku dengan perasaan kecewa. “Dunia sekarang sudah terbuka Dito, mereka masyarakat desa sudah tidak ketinggalan lagi soal perkembangan informasi, termasuk Hp,” ujar Ayah menjelaskan. Tetapi, lanjut Ayah, masih ada permainan-permainan di desa yang tidak Dito temui di Jakarta atau di Bekasi, karena permainan itu memang spesial. Aku penasaran dengan ungkapan ayah dengan permainan spesial. “Permainan apa itu, Ayah?,”. “Banyak, dulu Ayah sama teman-teman sebaya Ayah sering main Enggrang, Gobak Sodor, Petak Umpet, bahkan ada yang lebih seru lagi, main Jelangkung,” kata Ayah sembari tertawa mengenang masa anak-anaknya. “Kalau permainan Enggrang, Gobak Sodor dan Petak Umpet, meskipun Dito tidak pernah main permainan itu tapi Dito pernah dengar, tapi kalau Jelangkung baru ini Dito tau kalau itu permainan,” ujarku. Aku penasaran dengan permainan Jelangkung yang Ayah sebutkan menjadi permainannya dulu saat masih anak-anak. Karena sepengetahuanku Jelangkung adalah film horor yang cuplikannya ramai di TikTok dan Instagram. Karena film itu menyeramkan, ibu bahkan masih melarang kami, anak-anaknya untuk menonton. “Kok bisa ya, itu jadi permainan ?,” tanyaku dalam hati. “Nanti kita main Jelangkung di rumah Eyang,” ujar Ayah berjanji, membuat aku terdiam, sembari penasaran menunggu permainan itu dimainkan nanti.
##
suntingSampai di rumah Eyang, kami disambut Kek Muin yang sering berkunjung ke Jakarta dengan membawa beras. Selain beras dengan karung kecil, Kek Muin juga memberikan amplop berisi uang pada Ayah, tapi Ayah selalu mengembalikan amplopnya pada Kek Muin dan hanya menerima beras yang kek Muin bawa. Belakangan aku tahu, Kek Muin memberikan sebagian hasil panen dari sawah Eyang yang ada di kampung. Kadang aku penasaran dengan jumlah uang dalam amplop yang diberikan Kek Muin yang selalu dikembalikan Ayah. Aku pernah bertanya sama Ayah, seberapa luas sawah Eyang, yang ditanami padi oleh Kek Muin. Ayah bilang sawah kakek itu hanya tiga rantai, maka kuhitung luasnya, satu rantai itu luasnya 400 meter maka sawah Eyang yang ditanam padi itu seluas 12.000 meter. “Ya, lumayan juga luasnya,” pikirku. Rumah Eyang terlihat bersih, ada pohon rambutan di halaman rumah, pohon jampu di samping rumah, dengan halaman yang masih luas. Kek Muin merawat rumah tersebut, Kek Muin benar-benar memegang kepercayaan yang diberikan Ayah. Tidak begitu lama, datang seorang lelaki seumuran Ayah naik sepeda motor bersama anaknya. Mereka ternyata anak Kek Muin dan cucunya yang bernama Ambi. Setelah ngobrol panjang lebar tentang perkembangan desa, lelaki seumuran Ayah itu pun pamit pulang, tetapi Ambi tidak ikut pulang karena ingin menemani aku. Sepulangnya ayah Ambi, aku penasaran dengan permainan Jelangkung yang Ayah janjikan. Aku mulai merayu Ayah untuk memulai permainan. Ayah kemudian meminta bantuan Kek Muin membuat boneka dari kayu dengan kepala dari tempurung kelapa. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, bakda Isya, Ayah mengajak aku, kek Muin, dan Ambi ke halaman depan, sementara Ibu dan adikku Laras memilih istirahat di kamar. Kek Muin membawa boneka kayu yang Ayah pesan kemudian Kek Muin bertanya pada Ayah, “Yakin, mau memainkan permainan ini ?,”. “Iya, nggak papa Kek, biar mereka tahu permainan dulu yang sudah tidak pernah lagi dimainkan,” kata Ayah. Di halaman rumah Eyang, di bawah remang-remang cahaya rembulan dan lampu pijar di teras, Ayah kemudian membuat lingkaran dengan abu dapur. Aku dan Ambi diminta memegang boneka kayu itu dalam lingkaran yang dibuat Ayah. Ayah juga meletakkan kertas putih dan pensil di lingkaran tersebut. “Mengapa harus berdua yang pegang, yah ?. Aku sendiri atau Ambi bisa,” ujarku bertanya. “Udah, ikutin aja apa yang Ayah katakan, boneka tidak sembarangan boneka ketika Jelangkung sudah datang,” ujar Ayah. Ayah memulai ritual dengan mengucapkan kata-kata berupa mantra ; “Jelangkung jelangsat, di sini ada pesta, pesta kecil-kecilan, Jelangkung jelangsat, datang tak dijemput, pulang tak diantar. Jelangkung jelangsat bolehkah kami bertanya ?, Siapa kamu Jelangkung ?, kapan kau meninggal ?, apa penyebab kamu meninggal, tahukah kamu tentang desa ini ,?” ucap ayah pada media boneka yang sudah kurasakan berat di tanganku. Secara menakjubkan, pensil yang berada di depan boneka yang kupegang bersama Ambi mulai menulis, dengan isi tulisan, Aku Rohman, aku asli warga kampung ini, aku meninggal tahun 1987 saat terjadi tragedi Bintaro, peristiwa kecelakaan tragis kereta api di Pondok Betung Bintaro Jakarta Selatan, tepatnya tanggal 19 Oktober 1987. Sekujur tubuhku mulai mengeluarkan keringat dingin, aku merinding ketakutan. Kutatap wajah Ayah untuk memperlihatkan rasa takutku. Sepertinya Ayah paham akan ketakutanku, dia tersenyum dan berkata lirih; “Nggak papa, kita panggil dia baik-baik, dia nanti akan pulang dengan baik-baik pula”.
Jelangkung yang menyebutkan diri dengan nama Rohman itu masih menulis, melalui media pensil dan kertas putih yang disediakan ayah. Jelangkung menulis, aku tahu pasti tentang kampung ini, aku lahir tahun 1966 di Desa Munjul ini. Saat terjadi kecelakaan usiaku 21 tahun. Aku suka desa ini, meskipun aku merantau di Jakarta tapi aku sering berkunjung dan pulang kampung. Aku bahkan mau menikahi gadis desa sini, Romlah namanya, sayang seminggu sebelum pernikahan aku mati karena kecelakaan.
Ayah terperangah membaca tulisan tersebut, wajah Ayah menjadi pucat pasi membaca tulisan itu. Tapi sepertinya Ayah menutupi rasa ketakutannya lalu menjelaskan mengapa kami melakukan permainan ini. “Maaf Mas Rohman, kami memanggil Mas dipermainan Jelangkung ini karena anakku penasaran dengan permainan ini. Jadi udah cukuplah pertemuan ini, silahkan kembali ke tempatmu tanpa kami hantarkan pulang, sebelum pulang berikanlan nasihat baik buat kami” beber Ayah menyelesaikan permainan. Pensil di depan Jelangkung pun kembali bergerak dengan menulis kalimat, sering-seringlah pulang kampung meskipun sudah sukses di perantauan, aku saja selalu rindu dengan kampung halamanku. Usai menuliskan kalimat itu, boneka yang kupegang bersama Ambipun tidak lagi berat, boneka kayu itu menjadi boneka biasa, membuat aku dan Ambi saling pandang. “Udah selesai Om ?,” tanya Ambi. Ayahpun mengangguk tanpa menjawab, lalu masuk ke rumah tanpa ada kata-kata penutup membuat kami takut dan ikut masuk ke rumah. (Selesai)