Pengantar

sunting

Fransisca Emilia gemar berjalan-jalan ke desa dan hutan. Ia senang membagikan pengalamannya itu melalui cerita anak. Beberapa bukunya yang sudah terbit antara lain: Di Mana Adik? (Room to Read dan YLAI), Mijil dan Telur Si Blorok (Litara dan BNN), Cepatlah Tumbuh (Let's Read), dan Nanti Saja (Kemendikbud)..

Premis

sunting

Siluq ingin memenangkan sebuah lomba menulis karena pemenangnya akan diundang ke pekan budaya di ibu kota kabupaten. Ia ingin menulis tentang ulap doyo, namun ternyata tidak semudah ketika ia berbicara menjelaskan tentang ulap doyo kepada wisatawan.

Cerita Pendek

sunting

Kain dari Rumput

Oleh Fransisca Emilia


Siluq dan Kak Tutui tiba di puncak bukit. Rumput doyo di tempat itu tumbuh subur. Daun-daunnya hijau segar dan berukuran besar, siap dipanen.

Siluq menurunkan anjat, sebuah tas anyaman rotan berbentuk tabung, dari punggungnya. Ia baru akan memetik sehelai daun doyo ketika ekor matanya menangkap pemandangan di kaki bukit. Sebuah mobil melintasi jalan berkelok keluar kampung. Jalan yang menghubungkan kampungnya dengan kampung-kampung lain dan kota kabupaten.

Seperti apa pemandangan di luar kampung? Apakah sama seperti di kampungnya? Apakah ada hutan, bukit, dan kebun? Ataukah penuh gedung bertingkat dan kendaraan lalu lalang seperti yang ia lihat di televisi?

Seumur hidup Siluq tinggal di kampungnya. Setiap bukit, lembah, sungai, dan hutan sudah ia jelajahi. Semua binatang yang tinggal di hutan ia ketahui. Setiap pohon dan rumput yang tumbuh di kebun ia kenali. Namun ia tak tahu, apa yang ada di luar kampungnya.

Siluq mengingat pengumuman dari Bu Guru beberapa hari lalu di sekolah. Ada lomba menulis untuk siswa sekolah dasar. Pemenangnya akan diundang dalam pekan budaya di ibu kota kabupaten. Kalau ia ikut, dapatkah memenangkan lomba itu? Perasaan Siluq membuncah. Ia membayangkan naik mobil keluar desa. Namun, apa yang harus ia tulis?

“Siluq… ayo petik daun doyonya. Jangan melamun!” Kak Tutui berseru mengejutkan.

Siluq menggeragap. Ia buru-buru mengikuti kakaknya memetik daun-daun doyo terbaik. “Berapa banyak yang harus kupetik, Kak?”

“Sampai anjatmu penuh!”

Senyum jail muncul di bibir Siluq. “Kak, ayo kita berlomba mengisi anjat! Yang kalah harus membawakan anjat yang menang ke sungai.” Siluq yakin bisa menang karena anjatnya lebih kecil dari anjat Kak Tutui.

“Siapa takut?” jawab Kak Tutui menerima tantangan Siluq

Siluq cepat-cepat memetik daun doyo yang tumbuh subur di bukit. Ketika anjatnya penuh, ternyata anjat Kak Tutui juga sudah penuh. Mereka pun menggendong anjat masing-masing dan berlomba lagi ke sungai.  

Siluq dan Kak Tutui mengeluarkan daun-daun doyo, lalu merendamnya di sungai. Mereka memulai proses nglorot, yaitu menyerut daun dalam air mengalir menggunakan sebilah bambu hingga tersisa seratnya saja.

“Kak, aku mau ikut lomba menulis. Sebaiknya apa yang kutulis supaya menang?” tanya Siluq sambil nglorot sehelai daun doyo.

“Tulis saja tentang kebiasaanmu mandi di sungai,” canda Kak Tutui sambil mencipratkan air kepada Siluq.

“Ih… Kakak!” Siluq balas mencipratkan air. Mereka bermain air dan saling menciprat. Tak peduli baju basah kuyup,  mereka tertawa lepas.

“Cukup, Siluq! Ayo kita lanjutkan nglorot.” Kak Tutui menghentikan cipratannya.  

Menjelang tengah hari, semua daun doyo sudah dilorot. Serat-serat doyo yang halus tertumpuk di tepi sungai. Siluq dan Kak Tutui memasukkannya ke dalam anjat dan bergegas pulang.

 
Rumah lamin

Siluq dan Tutui tinggal di rumah lamin, rumah adat Suku Dayak Benuaq yang ditempati beberapa keluarga dan menjadi pusat kegiatan warga kampung. Rumah itu merupakan rumah panggung yang sangat panjang, dibuat dari kayu ulin yang sangat kokoh. Bila ada keluarga baru, lamin akan bertambah panjang karena bilik dibangun tepat di sebelahnya.

Tiba di rumah lamin, Siluq dan Kak Tutui memberikan serat daun doyo kepada seorang perempuan yang kemudian menjemurnya hingga kering. Serat-serat yang telah kering tersebut akan dipilin menjadi benang doyo. Pilinan benang disambung memanjang dan digulung membentuk bola.  

Siluq mendekati Ina, panggilannya kepada  ibu. Ina sedang memasang benang doyo pada alat tenun. Benang-benang itu lalu diikat dengan tali rafia sesuai motif yang akan dibuat.

“Mau mencoba?” tanya Ina.

Seperti biasa Siluq menggeleng. Ia lebih suka berjalan ke hutan mencari daun doyo dari pada duduk menenun sepanjang hari. Meski demikian, ia senang memperhatikan jari-jari Ina bergerak lincah pada alat tenun.

Benang-benang yang telah diikat kemudian dicelup dengan pewarna yang terbuat dari bahan-bahan alami. Ada buah glinggam, kayu oter, dan buah londo untuk pewarna merah. Kayu uwar untuk pewarna cokelat. Kunyit untuk pewarna kuning. Adapun warna hitam dari campuran putri malu, umbi kunyit, dan getah akar.

“Aku juga mau mencelup, Ina.” Siluq membantu  mewarnai benang doyo. Saat pencelupan, bagian yang diikat tidak terkena pewarna sehingga membentuk motif yang dikehendaki.

Beberapa perempuan sedang menenun benang-benang doyo yang telah diwarnai. Semua menggunakan alat tenun tradisional yang terbuat dari bambu. Siluk mendekati dan memperhatikan mereka bekerja. Ia selalu takjub melihat motif-motif yang muncul dari setiap helai benang.

“Mau mencoba, Siluq?” tanya seorang perempuan.

 
Seorang perempuan menenun ulap doyo


Lagi-lagi Siluq menggeleng. Ia lebih suka nglorot  daun doyo dan bermain air di sungai daripada duduk tenang seharian. Meski begitu, ia tak pernah bosan melihat ulap doyo cantik yang terbentuk pada alat tenun. Ulap artinya kain. Ulap doyo berarti kain dari daun doyo.

“Siluq, sini!” Ina melambaikan tangan. Di dekat tangga masuk rumah lamin terlihat Ina bersama beberapa turis.

“Temani mereka berkeliling, ya. Jelaskan tentang ulap doyo!” pinta Ina.

Siluq sudah sering memandu wisatawan yang datang berkunjung ke lamin. Ia tahu bagaimana membuat mereka terpesona dan terkesan pada ulap doyo.

Siluq menunjukkan  ulap doyo dengan berbagai motif yang dipajang di galeri. “Setiap motif ulap doyo memiliki makna tersendiri. Motif naga pada ulap ini melambangkan kecantikan wanita. Ini motif limar atau perahu yang melambangkan kerja sama.” Siluq menjelaskan dengan fasih. “Motif timang atau harimau pada kain ini melambangkan keperkasaan pada seorang pria. Motif tangga tukar toray atau tangga rebah melambangkan perlindungan usaha dan kerja sama masyarakat,” lanjut Siluq

“Menarik sekali,” sambut seorang turis perempuan. “Apakah benar kain ini dibuat dari daun?”

Siluq tersenyum. “Mari kita keluar,” ajak Siluq. Ia membawa para turis ke halaman. Ada beberapa rumput doyo yang ditanam di sana. “Kain-kain yang indah tadi dibuat dari rumput ini,” kata Siluq.

“Wah, bagaimana bisa?” Para wisatawan keheranan.

Siluq memetik sehelai daun doyo, lalu membawanya ke kolam kecil di dekatnya. Ia menunjukkan bagaimana cara nglorot. Ia juga mengajak mereka berkeliling, menunjukkan bagaimana cara memilin serat, mengikat benang, mewarnai, dan menenun hingga menjadi sehelai kain.

Para pelancong terkesima mendengar penjelasan Siluq. Mereka tak mengira bahwa kain secantik itu terbuat dari rumput. Mereka juga memuji kepiawaian Siluq, “Kamu berbakat menjadi pemandu, Nak.”

“Saya beli masing masing-masing satu untuk setiap motif,” kata seorang turis perempuan. Turis lain juga banyak yang membeli. Hampir setengah isi galeri terjual.

Siluq dan Ina mengantarkan kepulangan rombongan wisatawan ke halaman. “Alangkah senangnya kalau aku bisa bisa bepergian seperti mereka,” pikir Siluq saat mobil rombongan wisatawan melaju.

“He, aku tulis tentang ulap doyo saja,” jeritnya lirih. Tanpa menunggu Ina, ia berlari ke bilik, mengambil buku tulis dan pulpen,  lalu duduk di sudut lamin yang sepi. Dengan semangat ia menuliskan judulnya, Kain dari Rumput.

Jemari Siluq berhenti pada baris pertama. Bagaimana mengawali sebuah tulisan? Apa yang harus ia tulis? Siluq pernah menulis karangan singkat untuk tugas sekolah, namun hasilnya tidak begitu bagus.

Namaku Siluq. Siluq mencoba menulis kalimat pertama. Bagaimana selanjutnya? Ah… tidak! Siluq membuat tanda silang besar di halaman buku tulisnya. Ia mengulang menulis judul di halaman baru. Lalu menulis paragraf pertama, namun lagi-lagi ia mencoretnya.

Aduh! Bagaimana membuat tulisan? Mengapa sulit sekali? Padahal kalau bicara memandu wisatawan sangat mudah. Kata-kata dan kalimat begitu lancar keluar dari mulut Siluq. Mengapa sulit sekali menuangkannya menjadi tulisan?

“He! Melamun lagi?” Kak Tutui mengejutkan SIluq dari balik pagar lamin.

“Kak, ajari aku menulis, ya,” pinta Siluq. Ia menceritakan kesulitan yang ia alami.

Kak Tutui pandai menulis. Ia selalu mendapat nilai bagus untuk tugas mengarang. Ia pun  memberikan beberapa tips untuk menulis dengan mudah.  

Berbekal tips dari Kak Tutui, Siluq mencoba menulis lagi. Meskipun beberapa kali mengulang, akhirnya malam itu Siluq berhasil menyelesaikan tulisannya.

Keesokan harinya Siluq memberikan tulisannya kepada Bu Guru. Karena Siluq belum belum bisa mengetik, Bu Guru akan membantu mengetik dan mengirimkan kepada panitia lomba melalui surel. Tulisan tangan Siluq juga difoto dan dilampirkan sebagai bukti bahwa tulisan tersebut benar-benar dibuat oleh Siluq.

Siluq harap-harap cemas menanti pengumuman lomba. Jantungnya berdebar setiap kali memandang jalan keluar kampung dari puncak bukit. Ia sungguh berharap melewati jalan itu.

Waktu pengumuman lomba tiba. Siluq berangkat sekolah lebih awal, berharap Bu Guru mau menunjukkan hasil lomba secepat mungkin. Namun, Bu Guru menolak dan berjanji akan melihat pengumuman saat pelajaran berakhir.

Sepanjang pelajaran Siluq tak dapat berkonsentrasi. Ia berkali-kali melihat jam dinding, berharap jam pelajaran segera berakhir.

Akhirnya pelajaran selesai. Bu Guru membuka internet di laptop dan mencari pengumuman lomba. Saat ditemukan, Bu Guru menunjukkan hasilnya pada Siluq. Tak ada nama Siluq pada daftar pemenang.

“Masih ada kesempatan lain. Kamu bisa berlatih menulis lagi,” hibur Bu Guru.

Siluq berjalan pulang dengan gontai. Pupus sudah harapannya. Mungkin ia tak akan punya kesempatan melihat kota. Sepanjang hidupnya akan dihabiskan di kampung.

Tanpa semangat Siluq menaiki tangga rumah lamin. Ina sedang berbincang dengan Kepala Kampung.

“Siluq, kamu ingat rombongan wisatawan yang memborong ulap doyo beberapa hari lalu?” tanya Ina dengan senyum penuh rahasia.

Siluq mengangguk singkat, ingin segera menjauh dan masuk ke bilik tempat tinggalnya. Namun, Ina memintanya tetap di tempat.

“Salah satu dari mereka adalah panitia pekan budaya dari ibu kota kabupaten,” kata Kepala Kampung. “Beliau terkesan dengan kepiawaianmu dan mengundangmu menjadi pemandu pameran ulap doyo. Apakah kamu mau?”

Siluq tak memercayai pendengarannya. Ia memandang Ina dan Kepala Kampung bergantian. Ia tak dapat berkata-kata.

Ina tersenyum dan mengangguk.

“Bagaimana? Apakah kamu mau?” Kepala Kampung mengulangi pertanyaannya.

Mata Siluq berbinar. Ia tersenyum lebar dan mengangguk, lalu melompat memeluk Ina.


*TAMAT*