“Andi!” Teriak Tio sambil berlari menuju sisi sebelah kanan gawang sembari memberi isyarat kepada Andi untuk memberikan umpan kepadanya.

Kalkulator

Seketika bola melambung dari luar kotak penalti. Tio menyambutnya dengan sundulan yang mengarahkan bola sehingga menukik tajam. Bola melesat hingga tak mampu dihalau oleh sang penjaga gawang.

“Gooool..!!” Andi berteriak seraya mengejar Tio yang berlari menghindari kejaran teman-temannya yang kegirangan.

Tak berapa lama kemudian, peluit panjang tanda selesainya pertandingan berbunyi. Skor akhir kemenangan 2-1 untuk kelas 4B.

Anak-anak kelas 4 sangat menikmati kelas olahraga pagi itu. Matahari yang bersinar cerah seakan menyemangati mereka di sepanjang pertandingan.


Selepas pertandingan, anak-anak bergegas menuju ruang loker untuk berganti pakaian. Waktu mereka tidak banyak, karena 15 menit lagi pelajaran matematika akan segera dimulai.

“Tadi itu umpan yang sangat bagus, Andi! Umpan itu sangat mudah dijangkau olehku namun sangat mematikan untuk kiper lawan.” Tio kembali memuji Andi di ruang loker.

“Sundulanmu juga hebat, akurasi maksimal!” Andi tidak mau kalah membalas pujian dari Tio.

“Ya, Aku pernah menonton ulasan berbagai teknik bola di YouTube. Umpanmu tadi 90% dapat menghasilkan gol.” Tambah Tio.

“Haha, bisa saja kau. Aku hanya mengandalkan insting karena sudah terbiasa bermain bola. Aku kan sudah ikut sekolah sepakbola sejak kelas satu.” Andi tertawa kecil sambil berjalan bersama Tio menuju ruang kelas.


Sepuluh menit sudah suasana kelas diisi dengan riuh gaduh. Tidak seperti biasanya, Bu Nisa, guru matematika kelas empat, telat hadir.

“Aduuh, tumben kok Bu Nisa telat datang ya?” Fina bertanya dalam hati sambil membaca-baca buku catatannya.

Tak mampu lagi menunggu, Fina keluar kelas menuju ruang guru untuk mencari Bu Nisa. Fina sang juara kelas, semua teman sekelasnya sudah paham betul perangainya. Rasa-rasanya hanya Fina seorang lah di kelas yang akan gelisah jika guru terlambat hadir. Tak sampai lima menit kemudian, Fina kembali ke kelas. Dia mengambil buku matematika di mejanya, membolak-balik lembaran sebelum maju ke depan kelas.

“Ehm.. Mohon perhatiannya teman-teman. Hari ini Bu Nisa tidak bisa masuk kelas,” belum selesai Fina menyelesaikan kalimatnya, suasana kelas jadi semakin gaduh. Fina terdiam sebentar, membiarkan teman-temannya kegirangan.

“Beliau memberikan tugas yang harus dikumpulkan di akhir jam pelajaran ini.” Fina melengkapi kalimatnya sembari menuliskan tugas di papan tulis.

“Yaaah…” Reaksi kecewa setengah terpaksa muncul dari sebagian besar siswa.


“Aduuh aku paling tidak suka mengerjakan matematika,” Tio mulai menggerutu sambil mulai mengerjakan tugas-tugas yang diberikan.

“Hah? Kenapa memangnya? Bukankah matematika sangat bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari?” Andi menanggapinya dengan sedikit rasa penarasan.

“Ya, kamu tahu kan, sekarang teknologi sudah berkembang. Kita bisa menggunakan kalkulator untuk menyelesaikan perhitungan, bahkan kita bisa menggunakan Google juga sebagai kalkulator loh!” Tio balas merespon dengan penuh antusias.

Jika membicarakan tentang teknologi, memang Tio adalah jagonya. Ia sangat senang membaca ulasan, berbagai tips dan trik seputar teknologi.

“Ya benar siih tapi bagaimana kalau kamu harus menghitung tanpa kalkulator? Atau saat-saat kamu tidak bisa membuka Google untuk menghitung? Hihihi…” Fina menimpali sekenanya setelah mencuri dengar percakapan antara Tio dan Andi.

“Aku juga sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan matematika, namun aku yakin pasti matematika akan berguna di kehidupan. Ya, meskipun aku berminat untuk menjadi pemain sepakbola profesional.. Setidaknya matematika bisa aku pakai untuk menghitung pendapatanku dari para sponsor kelak. Hahaha.” Andi jadi bersemangat menimpali celetukan Fina.

“Iiih kalian ini. Sebaiknya kalian bantu aku selesaikan tugas ini. Nanti aku akan traktir kalian es krim sepulang sekolah.” Tio segera mengalihkan topik pembicaraannya.

Tanpa pikir panjang, Andi dan Fani menyetujui tawaran Tio. “Sepakat!” Ucap mereka kompak.


Siang itu memang matahari bersinar lebih terik dari hari biasanya. Keputusan Tio untuk mampi ke toko es krim sepulang sekolah adalah pilhan yang tepat. Toko es krim di dekat sekolah agak ramai siang itu. Untungnya, ada kursi kosong untuk mereka duduk. Tanpa basa-basi, Tio membuka percakapan, “Aku mau beli es krim vanila sundae dengan tambahan boba. Kalian mau es krim apa?”.

“Aku mau juga tapi yang rasa cokelat ya!” seru vina.

“Kalau aku yang vanila saja, seperti kamu Tio.” Andi menjawab sambil membetulkan posisi tasnya di lantai.

“Oke, tunggu sebentar ya.” Tio berjalan pelan menuju kasir sambil membuka aplikasi kalkulator di ponselnya. Sesekali wajahnya berpaling dari layar ponsel, menuju daftar menu yang terpampang besar di belakang kasir.

“Tiga eskrim.. Dikali delapan ribu.. Ditambah dua ribu untuk tambahan boba.. Sama dengan.. Ah iya, dua puluh enam ribu!” Tio bergumam sembari memencet-mencet layar ponselnya.

“Kak, pesan tiga eskrim sundae dengan tambahan boba. Dua es vanila dan satu cokelat.” Tio memesan dengan penuh rasa percaya diri karena sudah menyiapkan uang tiga puluh ribu rupiah.

“Sisa uangku tiga puluh ribu rupiah. Jika membeli es krim seharga dua puluh enam ribu, aku masih punya kembalian untuk naik angkot pulang.” Tio bergumam dalam hati sambil tersenyum lebar.

“Baik, total semuanya jadi tiga puluh ribu rupiah,” ucap kakak kasir singkat.

“Ha.?! Itu tidak salah hitung?” Tio kaget bukan kepalang karena hasil perhitungannya berbeda dengan jumlah yang ditagih oleh kasir. Tio berusaha meyakinkan kakak kasir untuk melakukan perhitungan ulang meski ia lebih yakin terhadap perhitungan kakak kasir dibandingkan dengan perhitungannya sendiri.

“Sudah sesuai, untuk tiga sundae dengan tambahan boba,” balas kakak kasir sambil tersenyum.

Perlahan tapi pasti, Tio menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribu rupiah ke kakak kasir.


Raut wajah Tio masih tidak keruan, kecut, cemberut, kaget dan kecewa. Tio membawa tiga buah es krim dari meja kasir dengan wajah termenung.

“Tio, kenapa wajahmu tiba-tiba pucat seperti itu?” Tanya Andi keheranan mendapati wajah Tio yang berubah 180 derajat.

“Ehm, aku bingung kenapa perhitungan kalkulator di ponselku itu salah ya..” Tio menjawab sekenanya dengan suara pelan.

“Ha?? Bagaimana maksud kamu?” Fina jadi ikut penasaran.

“Tadi aku hitung total harga es krim menggunakan kalkulator ponselku. Tiga buah es krim sundae seharga delapan ribu dengan tambahan boba dua ribu rupiah…” Tio menjelaskan sekenanya sambil memencet-mencet layar ponselnya kembali.

“Seharusnya total harga es krimnya dua puluh enam ribu saja kan.” Dia masih percaya dengan hasil perhitungan kalkulator di ponselnya.

“Aduuh Tio…” Fina sontak tertawa kecil diikuti Andi yang hampir tersedak boba.

“Hah kenapa tertawa? Apa kalkulator ponselku rusak ya? Tapi itu hal yang sangat tidak mungkin.” Tio masih kebingungan.

“Bukan kalkulatornya yang rusak, Tio… Tapi kamu salah menggunakannya. Harusnya kamu menggunakan operator tanda kurung di kalkulatormu.” Fina menjelaskan dengan sabar.

“Oooh.. Tanda kurung di tugas yang kita kerjakan di sekolah ya?” Tio teringat dengan tugas yang mereka kerjakan bersama di sekolah tadi.

“Iya Tio, penggunaan tanda kurung menandakan operasi matematika yang dilakukan terlebih dahulu. Tiga, dikali, kurung buka, delapan, ditambah dua, kurung tutup. Naah. Hasilnya tiga puluh kan?” Fina mendikte Tio.

“Wah.. Aku baru paham sekarang. Aduuh tapi aku tidak punya uang lagi untuk naik angkot pulang.” Keluh Tio spontan.

“Aah tenang saja, kamu bisa aku bonceng pulang naik sepeda. Lagipula rumah kita searah kan?” Ucap Andi menenangkan Tio yang sedikit panik.

Mereka pun tertawa bersama-sama sambil menikmati sisa es krim yang mencair dengan cepat.