Kampung dari Bambu
Sinopsis
suntingKisah pendek untuk menghargai kebiasaan yang biasa dilakukan oleh orang setempat
Cerita
suntingPembuka
suntingDi kampung terpencil di Babelan, kabupaten Bekasi, dimana hampir semua tanaman dan buah-buahan dapat tumbuh segar dan cepat berkembang hiduplah seseorang yang biasa menyendiri yang suka menanam bambu. Orang-orang terbiasa memanggil dia sebagai "orang gila" karena hobinya itu, dan keengganan ia untuk memanen maupun menjual bambu-bambunya.
"Mana bisa dimakan itu" "Mau dipanen rebungnya pak" "Nanem tuh padi, singkong, tebu ada harganya" "pantes miskin" dan banyak lagi komentar-komentar dari pendatang yang suka kebingungan melihat kelakuan si penanam bambui ini. Tapi ia tetap tidak menghiraukan komentar mereka, dan terus menanam bambu.
"Ini tuh pohon bakalan lindungin kalian semua" geram sang penanam bambu mendengar komentar orang-orang di sekitar ia.
"Lindungi mbahmu"
"Gaada kerjaan banget ish"
"Uangmu pak lindungin dulu. dah miskin kerjaannya ngutang bukan cari duit malah cari masalah"
Sang penanam bambu memang dikenal suka berhutang, ia hidupnya serba terlantar karena sejak kecil sudah tidak ada sanak saudara yang mengurus ia. Ia tinggal di kampung ini sebatang kara setelah kampung ini dihinggapi bencana besar, angin puting beliung yang memakan korban satu kampung kecuali dia. Ia terus tinggal sendiri hingga beberapa tahun kemudian banyak orang kota yang berpindah ke kampung ini karena tanah murah yang dijual oleh saudara-saudara dari orang-orang yang pernah tinggal di kampung ini.
"Bapaak bayar hutang" teriak seseorang menggedor-gedor pintu sang penanam bambu.
"Bapaaaak tolong bayar hutang saya butuh duit" teriak lagi semakin menggebu-gebu.
Pintu rumah akhirnya dibuka. Sang penanam bambu memasang muka melas untuk meminta kelonggaran waktu.
"Maaf pak. saya belum punya uang sama sekali. Minggu depan saya mungkin ada uang"
"Minggu depan mbahmu. minggu kemaren juga bilang sama, kemarennya lagi juga bilang sama. mau ampe kapan minggu depannya?" Sang penagih hutang semakin guram setelah mendengar janji kosong sang penanam bambu.
"Beneran pak minggu depan baru saya bayar"
"Makanya jadi orang kerja yang bener. setiap hari kerjaannya ngurusin bambu. paling nggak dijual kek itu rebung ke pasar apa bambunya ke tukang bangunan. capek gue setiap minggu bolak balik ke rumah elu bawa tangan kosong" Teriak sang penagih hutang
"Udah pak tapi..."
"Tapi abis lagi? jual yang banyak. basi omongan elu" semakin keras ujaran sang penagih hutang hingga salah satu tetangga dia yang letaknya agak berjauhan dari rumah sang penanam bambu datang melerai mereka berdua.
"Minggu depan terakhir. pokoknya bayar. bukan elu doang yang butuh duit gue juga." ultimatum sang penagih hutang sembari pergi setelah dilerai oleh tetangganya.
"Terima kasih pak udah ba..."
"Halah lu bayar utang gue juga. bukan karena gue gak nagih berarti lu bisa seenaknya" sela tetangganya karena ia juga dihutangi oleh sang penanam bambu.
"Iya pak maaf pak". pinta sang penagih bambu sambil melihat tetangganya kembali ke rumahnya.
Panceklik
suntingKehidupan sang penanam bambu pun terus berlanjut seperti biasa hingga panceklik melanda kampung ini. Panceklik yang memperparah keadaan ini berasal dari musim kemarau panjang yang tidak diprediksi datang lebih awal membuat berbagai sumber mata air kosong. Air tanah yang biasa diambil warga melalui pompa air semakin menipis, membuat pemakaian listrik semakin tinggi hingga menyebabkan berbagai tanaman layu.
Panceklik membuat sang penagih hutang lebih intens mengunjungi sang penanam bambu. Walaupun begitu ia sering pulang dengan tangan kosong. Warga kampung lainnya yang pernah dihutangi oleh sang penanam bambu ikutan menagih, tetapi mereka pulang dengan hasil yang sama.
Sang penagih hutang pun kehabisan akal. Bukan hanya ia yang butuh uang untuk menghidupi dirinya, melainkan orang-orang sekitar juga membutuhkannya. Panceklik yang melanda kampung ini membuat para penduduk terus menerus meneror siapapun yang pernah berhutang untuk membayar, termasuk si sang penanam bambu ini.
"Bapak duh tolonglah utang dibayar. pada gak ada duit ini satu kampung" Geram sang penagih hutang sembari terus-menerus menggedor pintu sang penanam bambu.
"Pak. Utang tuh dibayar" Timpa warga lain yang ikutan berkerumun di rumahnya.
Sang Penanam bambu tetap kukuh tidak membuka pintunya. Bukan karena tidak mau membayar, tetapi ia sendiri tidak punya uang untuk mrmbayar utang-utang tersebut. Warga yang berkumpul akhirnya bubar setelah matahari mulai tenggelam.
Esoknya sang penagih hutang membawa temannya yang berasal dari kota. Diajak temannya menjelajahi kampung untuk melihat apa yang bisa dia atau orang sekampung untuk sementara menyelesaikan masalah keuangan yang diakibatkan musim panceklik.
Temannya ini melihat dengan seksama potensi yang mungkin bisa dikembangkan oleh sang penagih hutang tetapi perhatiannya takjub dengan bambu yang sangat rimbun sepanjang mata memandang.
"Ini kampung rimbun sangat dengan bambu. ada yang ngurus kah?"
"Wah iya pak. ada satu orang kurang kerjaan suka nanemin bambu disini"
Ide pun muncul di dalam kepala temannya untuk menjual bambu-bambu inu ke luar negeri. "Ooh. Eksporlah ke luar negeri. butuh banyak sangat kami dengan bambu. disana pengrajin suka dengan bambu kualitas negeri ini. lebih alami kata mereka"
Dengan gembira ia menyutujinya "Oh iya pak iya pak. Nanti kami diskusiin ama orang sekampung. tapi nanti pengirimannya"
"Alah itu urusan gampang sangat. tak perlu pusing kau. banyak aku punya kenalan buat ekspor impor. kau cuma terima jadi saja "
Bak mendapatkan durian runtuh, Ia pun dengan senang hati bergegas menuju ke balai di kampung untuk mendiskusikan penjualan bambu kepada temannya. Ia meminta kepala desa untuk mengumpulkan warga sekampung di balai desa.
Berkat imbauan dari kepala desa, satu kampung pun berkumpul di balai desa. Beberapa piring berisi makanan ringan seadanya disediakan untuk diskusi yang akan dibuka oleh kepala desa, membahas mengenai pembabatan bambu di kampung untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Sang penanam bambu terkejut mendengar kabar itu. Ia bersikeras menolak bambu-bambu yang telah ia tanam sejak kecil untuk dijual kepada pengekspor. Akan tetapi hutang yang menumpuk dan gagasan ini pula diinisiasi oleh orang yang paling banyak ia hutangi membuay pendapat ia tidak digubris. Sebaliknya orang-orang satu kampung setuju untuk membabat habis bambu tersebut, karena si penanam bambu tidak hanya berhutang kepada sang penghutang, melainkan kepada orang-orang satu kampung juga.
"Babat ae ampe abis pak. itu pohon gaada gunanya juga."
"Iye tuh mumpung ada yang mau bayarin. Kapan lagi yekan kesempatan kek gini ada lagi"
Satu kampung pun setuju untuk membabat habis bambu-bambu yang ada guna membayar hutang si penanam bambu. Sayangnya keputusan ini ditolak habis-habisan oleh penanam bambu. Walaupun begitu tidak ada yang mau mendengar pendapat ia karena disini ialah yang berhutang, yang berada di posisi tidak mengenakkan. Ia terus-terusan meminta agar bambunya tidak ditebang, dan hal ini memicu amarah kepala desa.
"Bacot. Lu tuh diem bisa? Lu nanem itu bambu bukan di tanah elu. lu nanem bambu di tanah bebas di tanah yang gaada yang punya. Gue tau lu orang lama disini tapi kalo lu pengen bambu elu gak ditebang paling nggak bayar utang. Orang-orang disini pada capek. Sekarang lagi musim panceklik. Semuanya butuh duit dan lu di otak elu yang dipikirin cuma bambuuuu aja kayak gaada kerjaan" Kepala desa terus-menerus menumpahkan amarah hingga membuat si penanam bambu diam tertunduk.
Esoknya satu kampung berkumpul. Para pria dewasa menyiapkan alat untuk memotong bambu dan para wanita sebagian membantu membersihkan sisa-sisa potongan bambu dan yang lainnya menyediakan makanan untuk para perkerja. Sang penanam bambu berusaha untuk menjegal usaha satu kampung tapi sayangnya ia tidak bisa berdaya apa-apa.
"Kamu tuh diem aja. utang banyak pula sok jual mahal. bambu mumpung lagi ada yang mau. ini kita-kita baik bantuin elu jualin ini. orang kok sukanya ngeyel" Imbuh sang penagih hutang sembari memaksa memotong bambu-bambu yang ada di sekitaran desa. Sang penanam bambu pun terus-terusan menangis melihat tanaman-tanaman yang ia tananm dengan tulus dirubuhi satu per satu, sampai akhirnya tidak ada lagi bambu yang tersisa.
Setelah tidak dihargai
suntingSang penanam bambu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan desa yang ia tinggali selama 55 tahun, ditertawai oleh penduduk yang merasa lega bahwa hutang sang penanam bambu terbayar lunas berkat penjualan bambu tersebut, bahkan ada uang lebih. Tetapi si penanam bambu enggan mengambil keuntungan, dan meninggalkan kampung tersebut tanpa membawa harta benda selain baju-baju di koper ia.
3 bulan berlalu setelah penanam bambu itu meninggalkan kampung, kampung ini akhirnya memasuki musim hujan. Pada hujan yang ketiga terjadilah angin puting beliung yang besar. Tim SAR dan pemerintah setempat bergegas menyelamatkan kampung tersebut, tapi sayangnya hanya satu orang yang terselamatkan.
Satu-satunya yang selamat dari kejadian tersebut adalah seseorang yang sebelumnya suka menagihi hutang sang penanam bambu. Secara sigap ia dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan pertama
"Ini kenapa kejadian begini duh Gusti....." keluh sang penagih hutang di dalam rumah sakit di hadapan tim penyelamat.
Salah satu orang yang paling tua di tim penyelamat itu pun bercerita tentang kejadian di kampung tersebut sebelumnya bertahun-tahun lalu, "Daerah sini emang sering kena puting beliung. Sebelumnya pak, disini juga pernah ada kejadian kayak gini gara-gara orang disana pada motongin bambu biar dapet duit, terus pas musim ujan orang-orangnya pada mati semua kecuali satu anak kecil"
"Kok bisa motongin bambu bikin pada mati?" imbuh si penagih hutang kebingungan.
"Lho ya iya itu bambu yang buat nahan angin. kalo gaada bambu disini buat anginnya kenceng-kenceng" timpal balik tetua di tim SAR tersebut.
"Makanya kalo situ liat di sekitar kampung sini banyak kampung yang masih banyak bambunya" tambah dari orang pemerintah setempat.
Sang penagih hutang pun terkejut mendengar pendapat dia. Ia merasa tidak percaya tindakan serakah ia bisa mengakibatkan kejadian seperti ini. "Barangkali kalau gue tidak seserakah itu, mungkin mereka semua masih hidup..." gerutu sang penagih hutang dalam hati, menyesali yang tidak bisa dikembalikan lagi.
Sesampainya kembali ia di kampung tersebut, ia mulai menanami bambu satu persatu dari tunas yang tersisa, di tempat yang dahulu ia pernah babati.