Kamu Manis Sekali!

Kamu Manis Sekali!

Reza melempar begitu saja tas sekolahnya ke atas kasur. Dia tak peduli jika mamanya yang maha sempurna dalam setiap sisi kerapian rumah akan memberikan ceramah. Lagi pula, dia ingat satu hal. Sudah sejak lama mamanya tidak lagi berceramah tentang barang pabalatak di rumah ini.

.

Anak laki-laki yang duduk di kelas tiga SMA itu segera menuju ke meja belajar dan membuka laci yang ada di sebelah kanan. Sebuah smartphone dengan logo perusahaan terbesar di dunia, sekarang ada di tangannya. Tanpa berganti baju atau pun membersihkan diri, Reza segera asyik dengan asisten virtualnya.

.

[Sore ini enaknya ke mana?]

.

Sebuah balasan muncul dengan sangat detail membalas pertanyaan Reza.

.

[Sore ini Anda bisa menuju ke taman kota yang ada di sekitar Jalan Merius. Anda bisa menikmati aneka kuliner yang tersedia di sana. Lalu, Anda juga bisa menikmati keindahan kota dari sebuah kafe yang ada di Bukit Santra. Di sana ada sebuah pertunjukan live music yang siap dinikmati oleh pengunjung.

.

Selanjutnya, masih ada taman bermain anak-anak yang bisa Anda kunjungi untuk menghabiskan weekend ini. Taman bermain anak ada di sebelah selatan Bukit Santra. Hanya perlu sepuluh menit untuk menuju ke sana.

.

Apakah ada yang bisa saya bantu lagi untuk Anda?]

.

Reza hanya mengetikkan tiga kata untuk mengakhiri percakapannya, [kamu manis sekali!]

***

“Mau ke mana, Reza?” tanya seorang laki-laki yang sedang duduk di depan meja kerja di sudut ruang.

.

“Pergi dulu, Pa. Biasa, malam Minggu ini,” jawab Reza sambil memakai sepatu jenis sneaker berwarna hitam.

.

“Hmmm, ingat untuk pulang. Papa tidak punya waktu untuk selalu menelepon dirimu,” jawab laki-laki itu tanpa menatap Reza.

.

Reza segera berjalan ke arah pintu depan. Terlihat mamanya yang baru saja pulang dengan membawa tumpukan map berisi kertas.

.

“Segera pulang jika sudah jam dua belas malam. Mama banyak pekerjaan, Za!” setengah berteriak perempuan itu berusaha memastikan agar Reza mendengar ucapannya.

.

Reza memilih tidak menjawab pesan papa dan mamanya. Dia segera menuju ke mobil pemberian papanya yang berwarna merah. Reza tak tampak marah dengan papa dan mamanya. Justru dia merasa ini adalah kebebasan yang sempurna sebagai seorang anak muda.

.

Segera, musik slow rock menggema mengiringi perginya Reza malam itu. Dia memilih untuk langsung menuju ke Bukit Santra. Sejak beberapa waktu lalu, anak laki-laki itu sangat ingin ke sana. Janji untuk merayakan ulang tahun ke-17 hanya ucapan belaka. Papa dan mamanya terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

.

Reza memilih pergi sendiri. Dia tak suka berkumpul dengan teman sebayanya. Sejak dulu hidupnya hanya sekolah dan kamar tidur. Sesekali dirinya akan berbelanja kebutuhan pribadi dengan uang yang selalu diberikan oleh papanya tiap bulan. Sempurna! Begitu penilaian orang lain terhadap hidup Reza.

.

Bukit Santra cukup ramai. Baru pukul tujuh malam, tapi tempat itu sudah dipenuhi orang-orang yang datang berpasangan atau pun berkelompok. Reza memilih tempat duduk di luar kafe yang menghadap langsung ke tengah kota. Dia merasa saat ini yang diperlukan hanya diam sambil menikmati malam.

.

“Bang, kita duduk di sini ya?” tanya seseorang kepada Reza. Reza terlihat sedikit kaget saat seseorang itu menepuk pundaknya pelan.

.

“Oh, silakan!” jawab Reza.

.

Sekelompok orang-orang tadi segera menggeser meja dan kursi agar tak berdekatan dengan Reza. Mereka cukup memahami Reza yang hanya ingin sibuk dengan dirinya sendiri malam ini. Sebuah kursi disisakan tepat di hadapan Reza. Kelima orang tadi yang terdiri dari tiga laki-laki dan dua perempuan, segera asyik dengan obrolan mereka.

.

“Aku sedang jatuh cinta dengan seorang perempuan tua,” ucap salah satu laki-laki yang ada di kelompok tadi. Keempat lainnya hanya tertawa renyah mendengar pengakuan temannya.

.

“Aku serius. Perempuan bersuami, memiliki anak yang sudah dewasa. Sayang, dia merasa bahwa suaminya terlalu sibuk hingga merasa hidupnya hampa,” lanjut laki-laki itu. “Pegawai di sebuah bank swasta, Rini namanya.”

.

Seketika senyum Reza hilang mendengar laki-laki itu menyebut nama Rini. Itu nama mamanya. Namun, bukankah banyak nama Rini di dunia ini? Reza memilih untuk mendengarkan cerita lima orang yang ada di dekatnya. Tangannya mulai meremas sandaran tangan sebagai tanda menahan gejolak.

.

“Jangan membuat api, kawan! Masih banyak perempuan yang bisa kau dapatkan. Jangan merusak rumah tangga orang lain. Apa engkau tak memikirkan anak perempuan itu?” tanya salah satu perempuan.

.

“Kalian tahu aku bertemu dengan perempuan itu di mana?”

.

Semuanya terdiam karena tak bisa menebak dan tak mau ambil pusing dengan menebak permulaan pertemuan temannya dengan seorang perempuan berkeluarga.

.

“Biro jodoh. Aku bertemu dengannya melalui biro jodoh.” Laki-laki itu melanjutkan penjelasannya.

.

“Hah? Dia berbohong maksudmu?” tanya laki-laki lainnya.

.

“Begitulah! Katanya dia tak bahagia. Suaminya tak ada waktu, selalu tak ada waktu saat dirinya ingin berbicara. Perempuan itu masih cantik. Perempuan baik-baik sejauh ini. Lihat!” kata laki-laki itu sambil menunjukkan sebuah foto dari smartphone miliknya.

.

Reza memberanikan melirik kepada sekumpulan orang yang ada di sebelahnya. Betapa kaget dirinya, saat sekilas foto yang ditunjukkan laki-laki itu adalah Rini, mamanya. Foto dengan seragam khas di bank tempat mamanya bekerja. Tangannya makin kuat mencengkeram sandaran tangan dari kursi yang didudukinya.

.

Reza ingin cepat pulang, tetapi dia tak mampu menahan kakinya untuk berdiri. Dia selama ini menganggap mamanya adalah segalanya walaupun dirinya terhitung jarang berinteraksi dengan perempuan itu. Reza memilih pilihan kedua. Dia memilih tinggal dan menikmati percakapan lima orang yang ada di sampingnya.

.

Pukul dua belas tepat, Reza akhirnya bangkit dari tempat duduknya. Selisih lima menit dari kepergian sekelompok orang yang ada di sampingnya.

.

[Lewat jalan mana untuk pulang dengan cepat?]

.

Asisten virtualnya segera memberi jawaban, [terus saja di Jalan Bundar, selanjutnya belok kanan untuk masuk ke Jalan Merius. Jalanan cukup lancar pagi ini. Semoga harimu menyenangkan.]

.

Reza tak membalas seperti biasa. Dia segera pulang untuk tidur, jika bisa.

***

“Ma, sibuk kah? Aku mau bicara sebentar,” tanya Reza.

.

“Bicara lah. Mama akan berusaha mendengarkan dirimu, sayang,” ucap perempuan itu. Matanya tak sedikit pun menatap Reza. Dia masih terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

.

Reza memilih kembali ke kamar. Dia merasa tak ada gunanya memulai percakapan dengan orang dewasa yang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Reza memilih tak mengunjungi papanya pagi itu. Dia juga akan mendapatkan hal yang sama saat menuju ruang kerja papanya. Tumpukan pekerjaan, tidak lebih.

.

[Hai, beritahu aku, apa yang asyik untuk dilakukan saat libur begini oleh anak-anak sekolah?. Reza memilih untuk mengunjungi sebuah tempat yang menyenangkan.]

.

[Biasanya anak-anak sekolah akan mengajak orang tuanya pergi berlibur. Berlibur ke tempat-tempat wisata atau melakukan hal yang berguna di rumah.]

.

Jawaban asisten virtualnya membuat Reza agak sedikit jengkel, berlibur dengan orang tua.

.

[Bagaimana jika aku tak punya teman bermain?]

.

[Anda bisa pergi ke tempat wisata atau ke mana pun yang Anda mau hari ini.]

.

[Beritahu aku tempat yang asyik untuk dikunjungi hari ini!]

.

[Tempat berkemah mungkin bisa jadi tujuan Anda saat liburan]

.

[Tunjukkan aku tempat berkemah yang menarik!]

.

[Crazy Bubble. Itu sangat menarik. Anda cukup pergi ke daerah pegunungan bernama Balu, kemudian gunakan petunjuk atau maps untuk ke sana.]

.

[Ok. Kamu Manis Sekali!]

.

Reza mengakhiri percakapan dengan asisten virtual dan menutup smartphone miliknya. Dia segera bersiap untuk menuju ke tempat bernama Crazy Bubble. Tak lama, dirinya segera keluar rumah tanpa berpamitan pada papa dan mamanya.

.

Dua jam perjalanan tak membuat Reza bosan. Ada banyak hal baru yang ditemui Reza selama perjalanan. Perjalanan menuju Crazy Bubble melewati tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi oleh Reza. Memilih tempat dan pergi sendirian bukan karena dia adalah orang yang susah beradaptasi, Reza hanya enggan bertemu banyak orang.

.

Reza memilih untuk menempati kamar berbentuk bubble yang ada di tempat paling ujung. Tak banyak komunikasi yang dia lakukan dengan resepsionis. Dia ingin segera menuju ke salah satu bubble yang ada di tempat itu. Sebuah tempat yang dia pilih untuk tempat melarikan diri sejenak dari rumah.

.

Segera Reza mencari smartphone yang ada di tas kecilnya.

[Tempatnya bagus!]

Reza membuka percakapan dengan asisten virtualnya.

.

[Betul. Crazy Bubble adalah tempat yang indah. Banyak orang-orang yang datang untuk menghabiskan waktu bersama orang-orang tercintanya di sini.]

.

[Sayang aku tak punya teman untuk diajak ke sini.]

Rasa kecewa terlihat di wajah Reza saat menumpahkan pikirannya pada asisten virtualnya.

[Bisa mengajak sahabat, orang tua, atau pun pasangan ke Crazy Bubble.]

.

[Kamu tidak paham!]

Reza menutup smartphone tanpa memberikan tiga kata penutup seperti biasanya. Dia merasa asisten virtualnya kali ini tidak memahami apa yang dimaksud olehnya.

.

Ingatan Reza kembali tertuju pada malam di mana dirinya mendapati foto mamanya ada di seorang laki-laki yang lebih muda. Reza segera membuka kembali smartphone-nya. Dia mencari situs biro jodoh yang ada di sekitar kota tempatnya tinggal. Ada tiga, dan anak laki-laki itu mendaftarkan dirinya dengan nama panggilan yang berbeda dari sebutannya sehari-hari. Hendra.

.

Reza mencari keberadaan mamanya dalam tiga situs yang masing-masing sudah berisi lebih dari sepuluh ribu anggota. Beberapa kata kunci dimasukkan untuk menemukan di mana perempuan bernama Rini. Satu jam, akhirnya Reza menemukan Rini.

.

[Halo]

.

Sebuah kata dititipkan oleh Reza di kolom chat pribadi dengan Rini. Anak laki-laki itu tidak siap membaca balasan chat, begitu terkirim Reza langsung menutup smartphone. Kedua tangannya menutup muka, seakan-akan dia begitu malu dan tidak siap dihadapkan pada kenyataan yang akan terjadi beberapa saat kemudian.

.

Lima menit berlalu, sebuah notifikasi akhirnya muncul tepat di bagian situs biro jodoh tempatnya menjadi anggota beberapa menit lalu.

.

[Halo, Mas.]

Reza semakin hancur membaca balasan chat-nya. Tangannya gemetar di antara rasa penasaran yang sudah mulai merasuki diri. Dia memberanikan diri untuk berbasa-basi dengan perempuan yang sudah dikenalnya itu.

.

[Boleh kenalan? Tinggal di mana?]

.

[Boleh, Mas. Saya Rini. Tinggal di Jalan Merius. Mas Hendra kan? Atau bukan nama sebenarnya?]

.

[Oh, itu nama saya. Saya tidak memakai nama samaran. Tidak bagus rasanya. Betul usia mbak Rini sudah 45 tahun?]

.

[Iya betul. Saya mencari yang satu umur saja, Mas. Biar adem.]

.

[Mbak sudah pernah berumah tangga?]

.

[Jika Mas Hendra hanya mau mengenal saja, lebih baik kita berteman saja dulu. Jika cocok saya akan memberikan informasi keadaan saya sekarang.]

.

[Oh, iya. Yang membuat Mbak nyaman saja. Saya izin menutup chat ya, Mbak Rini. Saya ada pekerjaan dulu.]

.

[Silakan.]

.

Reza keluar dari situs biro jodohnya dan segera melempar smartphone ke bagian ujung kasur. Laki-laki yang masih menuju masa dewasa itu akhirnya menangis tanpa malu-malu. Menangis membuat dirinya memperlihatkan sisi sebenarnya dari seorang Reza. Seorang anak laki-laki yang menuju dewasa. Belum dewasa, masih anak-anak.

***

“Aku di Crazy Bubble, Pa. Nanti Minggu aku pulang. Papa bersenang-senang saja dengan Mama. Mungkin Papa bisa mengajak Mama makan malam di luar selama aku tak ada.” Reza menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari papanya. Dirinya kembali merebahkan tubuh di kasur. Matanya menatap ke atas bubble yang menampakkan taburan bintang malam ini.

.

Suara notifikasi dari smartphone membuat Reza kembali ke kenyataan bahwa hidupnya tidak seindah bintang yang banyak dikagumi orang-orang.

.

[Mas Hendra sedang sibuk?]

.

[Sedang ada pekerjaan sedikit, Mbak. Kenapa, Mbak?]

.

[Tidak apa-apa. Silakan dilanjutkan kembali.]

.

[Oia, Mbak. Mbak sudah ketemu orang yang cocok selama di sini?]

.

[Belum, Mas. Saya terlalu pemilih rasanya. Ada seorang laki-laki yang lebih muda usianya dari saya, tapi saya ragu. Saya saat ini masih berkeluarga, Mas.]

.

Pengakuan Rini membuat Reza semakin bertanya-tanya, kenapa mamanya tidak berbohong saja. Bukankah itu akan memuluskan rencana bersenang-senangnya.

[Maksud mbak?]

.

[Saya tidak bahagia selama pernikahan, Mas. Setelah saya menemukan laki-laki yang cocok, saya berencana untuk bercerai dengan suami saya. Saya akan menjelaskan keadaan pada anak laki-laki yang selama ini sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri.]

.

Reza semakin tidak mengerti dengan kalimat-kalimat Rini. Setahu dirinya, mama dan papanya tidak memiliki anak lain selain dirinya.

[Oh, Mbak sudah punya anak dari suami mbak?]

.

[Tidak. Saya tidak pernah memiliki anak dari suami saya. Anak laki-laki yang sekarang tinggal di rumah adalah anak suami saya dengan mantan kekasihnya dulu. Saya tidak pernah bisa menggantikan posisi mantan kekasihnya sampai dengan hari ini. Dia mencoba berbohong dengan berkata bahwa dirinya mencintai saya. Namun, tetap saja dia tidak akan pernah bisa menyembunyikan betapa besar cinta untuk mantan kekasihnya. Dia tidak pernah memadamkan apinya.]

.

Reza seperti dihancurkan berkeping-keping membaca kalimat yang ditulis oleh Rini. Ingatan masa lalu mengajaknya berjalan-jalan saat itu juga. Sekarang dia paham bahwa Rini seperti menahan sesuatu padanya. Rini takut menjadi semakin sayang pada anak seorang perempuan yang menjadi lawan memperebutkan hati seorang laki-laki. Padahal, Reza tahu betul jika suatu hari perempuan itu memasak makanan kesukaannya, tapi mengatakan jika itu didapatkan dari membeli di sebuah restoran.

.

Anak laki-laki yang saat ini asyik menyusun puzzle hidupnya mulai memahami bahwa hidupnya didesain tidak sesederhana seperti yang dipikirkan. Lagi-lagi air matanya mengalir mengingat potongan puzzle itu akhirnya terangkai membentuk gambar yang jelas.

.

[Mas?]

.

Reza segera menghapus air mata.

.

[Mbak, semoga mbak bisa menemukan laki-laki yang membuat bahagia ya. Oia, saya berencana menutup akun saya di sini. Saya sedang ingin fokus mengerjakan pekerjaan, mbak. Mungkin kita hanya bisa berkenalan sebentar saat ini. Saya izin pamit ya Mbak.]

.

[Oh, iya Mas. Silakan. Terima kasih untuk doanya. Saya berharap Mas Hendra juga bisa berbahagia dengan orang yang tepat.]

.

[Semoga.]

.

Setelah itu yang tersisa hanya keheningan. Rini tak lagi mengirim pesan. Reza segera menutup semua akun miliknya di tiga situs biro jodoh. Dia tidak ingin lagi mendapatkan cerita-cerita yang di luar harapan dirinya.

.

[Bagaimana membuat Mama bahagia?]

.

[Anda bisa membelikannya makanan kesukaan, barang kesukaan, atau memberikannya kejutan istimewa.]

.

Reza melempar kembali smartphone-nya ke ujung kasur. Dirinya memutuskan akan pulang besok pagi.

***

“Mama! Mama! Aku pulang!” teriak Reza.

Rini segera berlari ke arah pintu depan. Perempuan itu menahan tangannya untuk refleks memeluk Reza. Reza membaca gerakannya. Kali ini dia segera memeluk Rini dengan erat.

.

“Mama suka capcay, kan? Ini tadi aku lewat di restoran yang katanya menjual capcay paling enak. Jadi, kubeli untuk Mama. Aku membereskan barang dulu ya. Nanti kita makan sama-sama ya, Ma,” kata Reza. Dia tidak membiarkan Rini berkata apa pun. Reza sekarang mengerti kenapa perempuan di depannya ini tak banyak bicara dan lebih banyak menahan diri terhadap dirinya.

.

Rini langsung menuju ke dapur menyiapkan makanan untuk Reza. Dia terdiam sejenak dan menangis pelan. Reza yang diam-diam melihat mamanya dari kejauhan, memilih untuk tidak berlama-lama mengamati mamanya menangis. Dia akan membuat hidup perempuan itu lebih berarti setelah cintanya tak pernah bisa dilihat oleh papanya.

***

Reza tidur di kamarnya dengan perasaan berbeda. Dia tak bisa menerjemahkan apa yang ada di hati dan di kepalanya. Namun, dia mulai tersenyum. Tangannya meraih smartphone yang ada di atas meja.

.

[Mungkin aku tidak akan sering lagi bertanya padamu, asisten virtualku. Aku ingin bertanya saat ini tentang satu hal padamu. Apakah cinta itu?]

.

[Cinta adalah perasaan yang tidak dapat dikatakan.]

.

[Manis sekali kamu!]

.

Tamat