Kaus Hitam Dehen
Kata Pengantar
suntingHalo, perkenalkan saya Iwok Abqary. Saat ini saya tinggal di Kota Tasikmalaya. Saya adalah seorang penulis cerita anak. Menulis bagi saya adalah meluapkan imajinasi yang sering berjejalan di kepala. Semoga cerita-cerita yang saya tulis bisa diterima dan disukai anak-anak Indonesia.
Premis
suntingNanjan bingung karena baju yang dipinjamnya dari Dehen terkena cat. Nanjan takut Dehen marah hingga ia berusaha menghilangkan cat itu sekaligus membuat baju Dehen bersih lagi. Tapi bagaimana caranya? Akhirnya Nanjan mengambil inisiatif mencelup baju itu dengan pewarna. Ia sering melihat Indai mewarnai benang dan kain yang ditenunnya dengan pewarna yang dibuat dari daun-daun yang dipetik dari hutan.
Lokasi Cerita
suntingSuku Dayak Iban, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat
Isi Cerita
suntingKaus Hitam Dehen
Oleh : Iwok Abqary
Aku bingung. Dehen menanyakan kaus yang kupinjam dua hari lalu. Kaus itu berwarna hitam. Tidak sepenuhnya hitam sebenarnya karena kaus itu sudah agak pudar warnanya. Aku meminjamnya saat kami akan bertanding bola. Meski hanya 3 orang lawan 3 orang, Dehen ingin kami bertiga mengenakan kaus yang seragam. Biar gaya katanya, padahal tim lawan semua bertelanjang dada. Dehen mengusulkan aku dan Jata mengenakan kaus hitam juga. Karena tidak punya kaus warna hitam, akhirnya aku dipinjamkan kaus milik Dehen.
Dehen memang suka sekali warna hitam. Sebagian besar baju yang dimilikinya berwarna hitam. Tubuh Dehen lebih besar dan tinggi dibanding aku. Bajunya terlihat kebesaran di tubuhku. Meskipun begitu, aku tetap memakainya juga. Aku menghargai niat baik Dehen.
Masalahnya, kaus yang aku pinjam itu sekarang sudah terkena cat! Itu yang membuatku bingung. Bagaimana harus mengatakannya pada Dehen? Aku takut ia marah.
Aku memang tidak hati-hati. Sepulang main bola aku dipanggil Apai yang sedang mengecat di teras rumah betang. Apai adalah panggilan ayah di masyarakat Suku Dayak Iban, sementara indai adalah panggilan untuk ibu. Rumah Betang sendiri adalah rumah khas Suku Dayak di Kalimantan dan sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu.
Rumah betang ini unik sekali. Menggunakan papan kayu hutan sebagai bahan untuk dinding dan lantainya, rumah ini bisa dihuni puluhan keluarga di dalamnya. Kok bisa? Tentu saja bisa, karena rumah betang adalah rumah yang sangat panjang. Panjangnya bisa mencapai 150 meter, lho. Rumah itu disekat menjadi bilik-bilik tersendiri. Setiap bilik di tinggali keluarga yang berbeda. Rumahku berada di bagian tengah.
Karena Suku Dayak biasa tinggal di hulu sungai, rumah betang dibangun dengan tiang penyangga setinggi kurang lebih 5 meter dari permukaan tanah. Hal ini dimaksudkan agar kami terhindar kalau air sungai meluap dan terjadi banjir. Rumah yang dibangun tinggi ini juga untuk menghindarkan dari ancaman hewan buas. Maklum kami tinggal di dalam hutan. Ular atau buaya rawa masih sering terlihat berkeliaran.
“Bantu mengecat, bujang!” kata Apai waktu itu. Bujang adalah panggilan untuk anak laki-laki. Apai menunjuk sebuah bangku yang masih kusam. Itu adalah bangku kayu yang sudah lama tidak tersentuh cat. “Keburu sore dan tidak ada sinar matahari lagi. Akan lama keringnya nanti.”
Aku mengangguk dan mendekat. Aku bisa mengecat dan sering membantu apai mengecat dinding kayu rumah kalau catnya sudah mengelupas. Sampai sore, aku menemani apai mengecat tanpa sempat mengganti baju dulu. Gara-gara itu pula kaus Dehen terkena cipratan cat. Aku baru menyadari keesokan paginya saat kaus itu hendak kusimpan di tempat cuci. Ada noda cat di bagian lengan dan dada yang sudah mengering.
Aduh, bagaimana ini?
Aku ingin membersihkan noda cat itu dulu sebelum mencucinya, namun belum sempat kukerjakan. Kemarin siang apai mengajakku menangkap ikan di sungai sampai sore, hingga aku melupakan kaus itu.
Pulang sekolah tadi Dehen menanyakan kausnya dan sekarang aku kebingungan sendiri. Cat kayu berwarna putih itu menempel kuat dan terlihat mencolok di atas kaus hitam. Kalau aku sadar saat itu, harusnya kaus kucuci saat catnya masih basah. Mungkin itu akan lebih mudah dibersihkan. Sekarang setelah dua hari, cat itu sudah semakin melekat.
Kuambil kaus itu lalu kukerik noda cat dengan ujung kuku. Alih-alih bersih, ujung kukuku malah terasa sakit. Aku harus mencari benda yang lebih tajam.
Tring!
Ya, tentu saja. Aku lari ke dapur mencari pisau, lalu kuhamparkan kaus hitam Dehen di atas lantai kayu. Ujung tajam pisau lalu kukerikkan hati-hati di atas noda cat. Aku tidak mau pisau ini malah menyayat kaus dan membuatnya sobek. Bisa tambah marah Dehen nanti.
Tapi … tapi … cat itu tidak bisa terkelupas! Kalaupun terkelupas, hanya sedikit saja. Noda itu masih tetap terlihat jelas. Aduuh … aku menatap noda-noda di kaus itu dengan pandangan nanar. Sekarang aku baru menyesal mengapa harus setuju usulan Dehen mengenakan kaus seragam saat bertanding bola.
Aku membawa kaus itu ke kamar mandi. Kuraup bubuk detergen, lalu kukucek dalam seember air hingga berbusa. Mungkin merendam kaus dalam waktu lama akan membuat noda cat ini mengelupas. Bukankah detergen bisa membersihkan segala macam noda? Noda cat juga termasuk, bukan?
Sesiangan itu aku tidak berani ke luar rumah. Aku ingin menunggui rendaman kaus dan langsung mencucinya saat itu juga. Selain itu, aku takut bertemu Dehen! Aku khawatir ia akan menagih lagi kausnya. Aku harus bilang apa nanti?
“Indai, merendam baju kotor harus berapa lama agar bersih lagi?” aku mengintip dari pintu rumah yang terbuka. Indai sedang menenun kain di teras rumah betang bersama ibu-ibu lainnya. Karena rumah betang ini panjang, maka terasnya pun sama panjangnya. Setiap siang teras ini akan ramai oleh perempuan-perempuan Suku Dayak Iban yang sedang menenun. Suara alat tenun yang terbuat dari kayu akan berkelotak-kelotak.
“Merendam baju? Kamu mau mencuci baju, Jang?” dari balik alat tenun yang diletakkan di atas paha, Indai terbelalak lalu terkikik sendiri. “Tumben?”
Aku merengut. “Satu jam? Dua jam?” tanyaku langsung. Aku tidak ingin berbasa-basi. Aku butuh kepastian kapan kaus itu harus aku angkat dari rendaman.
“Kalau kotorannya melekat, satu jam juga cukup. Tapi kalau tidak terlalu kotor, lima belas menit …”
Aku tidak mendengar lagi kalimat Indai karena sudah melesat kembali ke kamar mandi. Aku sudah merendamnya dari satu jam lalu. Apa perlu aku tambah lima belas menit lagi? Atau tiga puluh menit lagi? Kulirik jam dinding bundar di ruang tamu. Hmm … sepertinya satu setengah jam bisa lebih merontokkan noda-noda cat itu, pikirku. Jadi, aku akan menunggu setengah jam lagi.
Tepat satu setengah jam aku mengangkat kaus itu dari air rendaman. Dadaku bertalu. Apakah noda-noda cat itu sudah terlepas sekarang? Ternyata tidak! Aku melotot. Noda-noda putih itu masih bertengger manis di kaus hitam Dehen. Kukucek pelan-pelan. Tidak ada perubahan. Kukucek lebih kencang. Lebih kencang lagi. Noda itu masih melekat kuat! Aduuuh …
Pusing!
Apa lagi yang harus kulakukan sekarang? Mengganti kaus Dehen tentu tidak mungkin. Aku tidak punya uang untuk membeli kaus baru. Meminta Apai dan Indai juga lebih tidak mungkin. Aku tidak mau merepotkan mereka. Aku bahkan takut mereka akan menyalahkan keteledoranku nantinya. Indai pasti akan menceramahiku dengan segala nasihatnya untuk tidak begini dan begitu. Aku tahu kebiasaan Indai.
Aku beringsut dari kamar mandi dengan tubuh lunglai. Habislah sudah nasibku sekarang. Dehen pasti akan marah besar dan mungkin tidak mau berteman denganku lagi. Di ambang pintu aku terduduk, menatap Indai yang tengah asyik menenun.
Klotak! Klotak!
Kayu alat tenun beradu dan menimbulkan suara gaduh. Seperti perempuan-perempuan Suku Dayak Iban lainnya, Indai sangat pintar menenun. Ia bisa membuat macam-macam kain tenun khas Suku Dayak Iban, seperti kain kebat, kain sidan, dan kain sungket. Semua kain memiliki motif yang unik-unik. Menenun butuh ketelitian dan proses yang panjang. Satu helai kain bisa diselesaikan dalam beberapa minggu maupun bulan. Semua tergantung serumit apa motif kain yang dikerjakan. Kain-kain ini nanti dijual dan Indai mendapatkan penghasilan dari penjualan kain tersebut.
Indai sedang menenun benang hitam saat aku kemudian terkejut sendiri. Itu dia!
“Indai, untuk membuat pewarna hitam kain menggunakan daun apa?” tanyaku.
Indai menghentikan gerakan menenunnya. Ia menatapku dengan kening berkerut. “Kok sekarang jadi nanya-nanya daun?”
“Daun engkerabai, kan?” tebakku.
Indai menggeleng. “Engkerabai untuk warna merah. Kalau hitam menggunakan daun rengat.”
Itu dia yang aku butuhkan sekarang! Aku berlari ke luar dengan cepat meninggalkan Indai yang menatapku bingung. Aku melesat cepat ke arah belakang rumah melalui jalan sebelah kanan. Aku tidak mau ke arah sebaliknya karena rumah Dehen berada di ujung sebelah kiri rumah betang ini. Aku tidak mau ia melihatku. Aku harus menghindar dulu dari sahabatku itu sementara, sampai urusan kausnya selesai.
Aku memasuki hutan dengan mata celingukan. Aku harus mencari daun rengat. Aku sering membantu indai mencari daun-daunan di hutan untuk dijadikan sebagai pewarna benang atau pakaian. Aku tahu daun engkerebai. Pohonnya tidak terlalu tinggi dengan daun yang lonjong sepanjang telapak tangan. Aku biasa memetiknya kalau Indai butuh pewarna merah untuk benang yang akan ditenunnya. Bahkan daun rengat pun aku tahu ada dua macam, yaitu daun rengat akar untuk pewarna hitam dan daun rengat padi untuk pewarna biru. Indai sudah mengenalkanku sejak kecil jenis daun-daunan ini. Hanya saja aku sering lupa dan tertukar warnanya.
Warga Suku Dayak Iban memang menggunakan hasil alam sebagai pewarna alami. Setiap kain yang ditenun tidak menggunakan pewarna sintetis atau kimia. Tidak hanya daun-daunan, batang-batang pohon tertentu pun sering digunakan untuk menghasilkan pewarna lain. Contohnya kulit batang pohon beting menghasilkan warna kuning, atau kulit batang pohon jangau menghasilkan warna coklat.
Petik! Petik!
Setengah jam kemudian aku sudah memetik satu ikat besar daun rengat. Aku berlari pulang dan … salah memilih jalan! Aku baru sadar saat harus melewati rumah Dehen dan melihatnya duduk di anak tangga!
“Nanjan! Aku baru saja dari rumahmu tapi kamu tidak ada,” teriaknya sambil berdiri.
Aduh, ketahuan! Pasti ia mau menagih kausnya lagi. Aku mempercepat langkah, berusaha menghindarinya. “Maaf Hen, indai menunggu daun rengat ini. Nanti aku ke sini kalau sudah selesai,” elakku sambil berharap Dehen tidak mengejar langkahku.
Satu detik. Dua detik. Lima detik. Tidak terdengar Dehen mengejarku. Fyuuuh … syukurlah.
Tiba di rumah aku langsung menjerang air hingga mendidih. Setelah itu aku memasukkan daun rengat ke dalam panci yang air di dalamnya sudah meletup-letup. Dengan cara direbus dalam air mendidih seperti ini daun rengat akan mengeluarkan warna hitamnya. Begitulah cara yang kami lakukan untuk membuat zat pewarna pakaian. Kulit batang pohon pun dilakukan cara yang sama. Hanya saja, kulit batang pohon harus dipotong kecil-kecil terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam air mendidih. Sesekali daun atau potongan kulit pohon itu diaduk-aduk agar semuanya terendam dengan baik.
Beberapa saat kemudian aku tersenyum lebar. Air rebusan itu sudah berwarna hitam pekat. Tinggal disaring dan kausnya dicelup, maka kaus Dehen akan terlihat hitam kembali. Bahkan mungkin akan terlihat seperti baru! Dehen pasti senang sekali.
Aku baru saja mengangkat daun-daun rengat dan mencelupkan kaus ke dalam panci saat suara itu mengagetkanku.
“Bikin apa, Jan?”
Aku menoleh dan terbelalak. Dehen! Bagaimana ia bisa masuk tanpa kedengaran seperti itu?
“I—i—ni …” aku menoleh ke arah kaus yang baru saja terendam. Bahuku lunglai.
“Itu kausku yang kamu pinjam kemarin?” Dehen melotot. Ia tahu aku tidak punya kaus warna hitam.
Aku mengangguk, bersiap pasrah kalau Dehen akan marah setelah itu. Tapi tunggu, bukankah setelah ini kaus Dehen akan kembali hitam sempurna? Sepertinya aku tidak perlu khawatir lagi, kan?
“Kausmu … terkena cipratan cat. Maaf Hen, aku tidak sengaja. Tapi tenang, aku sedang berusaha membersihkannya,” senyumku gugup. “Lihat, sebentar lagi kausmu akan seperti baru lagi.”
Dehen terdiam. Matanya tidak lepas dari kaus yang sedang aku aduk-aduk di dalam panci. Apakah ia marah? Aku tidak tahu. Aku tidak berani menatap matanya.
Aku mengaduk dan terus mengaduk. Batinku berdoa semoga noda-noda cat ini akan mengelupas atau tertutup pewarna dengan baik. Hingga aku kemudian bersiap untuk mengangkatnya. Ini dia …
Kaus itu sekarang terlihat lebih pekat warnanya, tidak kusam lagi seperti sebelumnya. Tapi, noda cat itu masih ada! Ya ampun! Karena sudah terendam cairan pewarna, noda cat itu sudah tidak terlihat putih, tapi menjadi abu-abu. Tapi tetap saja masih terlihat jelas!
Kulirik Dehen dengan panik. Ia memicingkan matanya.
“Maaf Hen, aku …”
“Tapi ini jadi bagus!” teriaknya mengagetkan.
Eh? Aku terlonjak.
“Cipratan catnya seperti motif yang unik. Malah jadi bagus, Jan. Seperti baju yang baru.” Mata Dehen berbinar-binar.
Aku melongo. Dehen tidak sedang bercanda dan membuatku senang saja, kan?
“Bagaimana kalau besok aku bawa kaus-kaus hitamku yang sudah kusam, lalu kita cipratkan cat lagi? Setelah itu kita rendam dengan rebusan daun rengat ini lagi?"
Aku masih melongo, tapi kemudian tertawa lega.
***