Kebebasan
Disudut kamar dengan lampu remang-remang, kuambil buku catatan dan mulai memenuhinya dengan tulisan. Mengeluarkan segala isi pikiran yang sejak tadi bergelut ingin dilampiaskan, kini keinginannya kukabulkan, dengan perasaan campur adukku tuangkan dalam cerita.
Terkadang kita butuh mood yang hancur dan kacau untuk kembali kepada diri sendiri. Mendengar musik galau, mengambil Buku Deary dan menceritakan berbagai hal, meluapkan perasaan yang ada di dalam hati dan kepala, membuat sebuah cerpen ataupun puisi, sangat menyenangkan untuk memberi waktu kepada diri sendiri di saat segalanya seakan pergi, merasakan bagaimana besarnya dunia dan kita yang kecil terlihat bagai debu yang dapat dengan mudah diterbangkan angin. Jika hal kecil saja sudah begitu menyakitkan, lalu bagaimana dengan hal besar, mungkin aku akan mati atau paling tidak mungkin aku akan terbangun di ruang UGD dengan kondisi infus yang menempel dipunggung tangan. Entah kita yang tidak siap dewasa atau dunia yang memang terlalu kejam untuk remaja yang baru masuk usia 20an. Lulus SMA telah dituntut dengan pilihan—menikah, kerja, atau kuliah. Menikah untuk masa depan, kerja untuk tidak menjadi beban, dan Kuliah untuk impian. Aku yang saat itu memutuskan mengejar impianku untuk menjadi seorang guru memilih kuliah dan mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun kini aku dihadapkan dengan keraguan, mempertanyakan apakah keputusan kuliah adalah pilihan yang tepat, karna melihat kondisi keluarga yang kini tidak baik-baik saja. Ayah yang kini renta dan kesulitan dalam bekerja, Ibu yang mulai sakit-sakitan dan bergantung pada obat, saudara yang sikapnya bermanja-manja dan sering foya-foya, dan aku yang kini di perantauan hidup tanpa batasan.
Sebagai anak perempuan bapak aku harus kuat. Dengan memilih kuliah sambil bekerja, kuharap dapat sedikit meringankan bahunya. Meski bapak sempat tidak sepakat karna katanya
"Ngga boleh kerja, biayamu biar bapak yang pikirkan, kamu fokus saja dengan kuliah agar cepat lulus dan sarjana, mendapatkan kerja yang layak dan cepat kembali ke kampung" "Tapi dengan uang yang bapak kirimkan saja Ngga akan cukup untuk biaya hidup aku di sini Pa.." "Ya uda bapak bakal cari cara buat kirimi kamu uang yang lebih" "Ngga perlu Pa, aku Ngga mau lagi merepotkan, aku berhenti kuliah saja, mau bantu bapak dan mamak di kampung" "Kamu itu anak perempuan, kamu balik ke kampung buat apa?, Yang ada kamu bakal dibawa orang ke rumahnya buat di jadi-in istri, sudah kamu di sana saja, kuliah yang benar".
Itu kata bapak saat aku masih kuliah di semester awal, dan kini aku di semester tengah, namun tampaknya harapan bapak untuk aku fokus kuliah dan cepat sarjana telah aku kecewakan, karna seorang pria yang kujadikan tempat pulang dan sandaran telah membuatku melupakan impian, harapan, dan tujuan, dia memberiku kebahagiaan dan kenyamanan, dan luka yang begitu dalam.
Jauh dari orang tua memberiku kebebasan untuk melakukan hal yang kuinginkan, pergi berkencan, ke Cafe untuk nongkrong bersama teman, dan mengesampingkan kuliah yang hanya membebankan kepalaku dengan tugas yang berat. Normal-normal saja kan bagi anak remaja untuk melakukan hal itu, masa mudaku terlalu membosankan hanya untuk memikirkan soal kuliah, mending kunikmati dulu, lagian nanti kalau sudah nikah bakal jadi ibu rumah tangga.
Andai bapak dan mamak tahu, kehidupan anakmu di kota ini yang sudah terlampau bebas, tak ada lagi aturan makan, bangun, dan belajar. Uang yang bapak kirimkan kugunakan untuk membeli makanan mahal sedangkan kalian di sana hanya makan jagung atau nasi sebagai karbohidrat, dan ikan yang bapak tangkap di kali sebagai lauknya atau terkadang hanya tahu, tempe, dan sayur yang kalian tanam. Pakaian yang kugunakan di sini semua di atas harga ratusan, katamu agar temanku tidak memandangku rendah aku harus berpakaian mewah, sedangkan kalian di sana hanya memakai pakaian yang lusuh dan mungkin tak pernah lagi membeli baju baru sejak lebaran 2 tahun yang lalu.
Sudah terlalu lama aku hidup di kota yang berisik dan sibuk ini, aku rindu bermain di sawah bareng bapak, aku rindu makanan buatan mamak, tapi apalah dayaku yang malu melihat wajah kalian lagi, tak pantas untuk kalian sebut anak perempuan kebanggaan kalian lagi. Andai kita bisa membekukan waktu, mungkin aku akan sangat senang hanya menjadi gadis kecil yang sering bapak bawa ke sawah untuk menangkap ikan ataupun membawakan bapak bekal bersama mamak, tidak tumbuh dewasa dan tak ada yang datang atau pun pergi, hanya ada kita, dan pah..., Aku tak ingin mengenal cinta.
Aku akan pulang Pa, tapi tanpa toga dikepala tanpa gelar dibelakan nama, dan tanpa profesi yang bisa membuatmu bangga. Jika nanti aku kembali ke kampung apakah bapak akan membukakan pintu untuk menyambutku, apakah mamak akan memberikan pelukan hangat dan menepuk pundakku, dan apakah kalian akan menerimaku dan cucu yang ada di perutku. Maaf tak menjadi anak perempuan kebanggaan kalian.