Kenangan Bersama Si Mbah

Kenangan Bersama Si Mbah

Waktu berjalan begitu cepat sampai suatu saat kami harus rela berpisah. Mereka membawaku kembali untuk tinggal di kota.

Katanya, kota adalah tempat yang pas untuk mengadu nasib. Itulah terakhir kalinya aku menatap tubuhnya yang bungkuk. Tidakah mereka merasakan iba padanya.

Pulang bekerja meladeni beberapa orang yang sedang sakit, sangat menguras tenagaku, mungkin inilah yang ia rasakan sewaktu itu.

Kulihat bapak mondar-mandir bersama ponselnya ditangan dan berhenti ketika suara seseorang telah terdengar ditelinganya. Ibu memegang pundak bapak saat tangan bapak bergetar.

Aku menghampiri mereka yang diam ditempat itu. Ibu mengetahui kehadiranku dan langsung mengusap pipinya yang basah lalu memeluku dengan tubuh yang lemas.

Deg.....

Aku masih tidak percaya kabar yang mereka katakan ketika sore itu, karena bulan lalu aku masih mendengar suaranya lewat telepon.

Kenangan itu tersimpan dalam album foto yang berada dilemari kecilku.

Rumah sederhana bertembok kayu dan bernuansa tradisional tempatku bercanda gurau bersamanya. Nasihatnya masih teringat sampai saat ini dan terkadang pula aku melihatnya seperti sedang kesepian menanti anak-anaknya pulang.

Penantiannya tidak membuahkan hasil hingga ia terpaksa merelakan aku tinggal bersama mereka.

Setiap pagi Ia akan menyiapkan seragam sekolah dan sarapan kesukaanku.

“wuenak tenan, mbah.” kataku, walau hanya nasi dan ceplokan telur rasanya tidak akan bisa digantikan oleh siapapun.

Meja dan tempat duduk itu kini terlihat rapuh dimakan rayap. Aktivitasnya masih berasa cukup nyata bagiku. Sebuah lampu sebagai penerangannya terkadang mati dan terpaksa ia akan menggantinya oleh lampu semprong. Kamarnya masih utuh dengan amben bambu yang berada ditempat yang sama.

Selesai mengurusku dipagi hari ia akan bersiap dengan sejumlah peralatannya untuk dibawa ke kebun. Tubuhnya yang rapuh tidak akan pernah berbohong ketika ia kembali kerumah.

Didepan pintu wajahnya akan menampilkan senyuman yang sama. Tapi, aku tidak mempercayainya. Garis kerutan terlihat jelas disana dan aku tahu itu adalah caranya untuk menenangkanku. Menurutku ia memiliki luka yang disembunyikan cukup dalam.

“belajarlah yang giat ndo, agar kelak mbah bisa senang mendengar kabar gembira itu darimu.” Kata Mbah sambil membelai kepalaku dipangkuannya.

“mbah, suatu saat nanti risma janji gak bakalan lupain mbah.” Ucapku menatapnya.

Senyuman terukir diwajahnya.

Tetes demi tetes air jatuh dari atap membasahi lantai tanah, gubuk ini terasa memprihatinkan. Tapi, baginya ini bukanlah masalah yang serius.

Lemarinya yang antik masih menyimpan beberapa pakaian didalamnya. Kain adalah benda yang melekat dengannya, contohnya rok yang terbuat dari jarik parang yang sering ia pakaikan padaku ketika ulang tahun. Motifnya yang seperti ombak diharapkan bisa memotivasi sang pemakai agar pantang menyerah.

Setelah bangun cukup pagi untuk menyiapkan semuanya. Pada hari ulang tahunku. Mbah akan memanggil orang-orang untuk datang kerumah dan menyajikan beberapa makanan,

seperti gudangan, gorengan, dan jenang. Tradisi ini dilaksanakan secara turun menurun sejak dulu.

Tradisi ini disebut dengan Among-among untuk memperingati hari kelahiran seseorang berdasarkan penanggalan jawa serta sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih.

Kesederhanaan dalam kebersamaan memberikan makna yang sangat dalam. Tawa canda kami masih terdengar dilangkahan kaki ini.

menulusuri lebih jauh ke tengah aku melihat vas bunga batok kelapa berisi bunga mawar hias. Ia pernah bilang kalau bunga mawar berlambang sebagai cinta dan kasih sayang dan itu memang benar.

Rasa kasih sayangnya yang tulus adalah bentuk nyatanya sampai saat ini.

Selesai melihat untuk melampiaskan kerinduan. Di teras rumah aku melihat seorang wanita menghampiriku.

“Bu Setyo.” Sapaku.

“Risma, ini kamu apa kabar?” jawabnya.

“Alhamdulillah baik, ibu apa kabar juga.”

“saya juga baik Risma, kamu kenapa baru kesini, banyak yang menanti kehadiran kamu dan orang tua kamu. Tapi, sayangnya kalian tak kunjung datang pada hari itu.” katanya balik.

“iya, bu seharusnya saya datang waktu itu” jawabku singkat karena merasa bersalah.

“nak, kamu harus sabar yah, jangan menyalahkan diri kamu ,semua sudah diatur oleh yang maha kuasa.”

Seperti mengetahui akan suatu hal ia menegarkanku. Aku sangat kecewa dan marah pada diriku sendiri saat ini mengapa aku harus menemuninya setelah semuanya sudah terlambat.

Kata-kata singkat itu mampu untuk menyadarkan keambisiusanku.

Perlahan air yang kubendung jatuh membasahi pipi. Tahu begitu aku lebih rela kehilangan pekerjaanku.

Seolah tahu ia memeluk dan mengusap bahuku. “terima ini semua dengan ikhlas nak, ia pasti bangga padamu karena berhasil mewujudkannya.” Ujarnya padaku. Diusapnya air mataku lalu mengantarkanku ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Mungkin maksudnya kebanggaan yang dibalas oleh ingkaran itu bisa jadi kata yang lebih tepat.

Tunggu....

mereka berdua datang terlebih dahulu dari ku. Wanita itu tersenyum tulus padaku dan akupun menghampiri mereka. Kulihat mereka bersujud ditanah itu dan mengusap batu yang berisikan nama dengan senggukan penyesalan.

“kalian datang?” ucapku.

“tentu kami datang nak, tidak ada anak yang mau kehilangan orang tuannya.” Jawab laki-laki berkacamata itu.

Benar kata orang penyesalan mungkin akan datang diakhir.

Apakah masih ada kesempatan?

Mungkin tuhan akan mengutuk kami lebih dulu tapi, perisai darinya bisa membuat kesempatan untuk kami. Tapi, terkadang semuanya tidak sesuai dan satu-satunya jalan adalah menerimanya.

Seseorang kembali memeluku dan kami kembali terisak dengan menyebut kata-kata yang sama.

“maaf.”

Entahlah permintaan maaf ini masih berlaku atau tidak. Tapi, semoga saja.