Kepingan Ingatan tentang Ibu, Dermaga, dan Rahasia yang Dibawanya
Ibu mungkin tidak akan pernah kembali meski aku menunggunya seratus tahun atau lebih, menjadi tua, atau bahkan hingga aku mati berdiri. Dan, terus terang, hal itu sudah tidak terlalu penting lagi. Entah nanti ia akan kembali atau tidak. Aku sudah cukup lama tanpa dirinya, aku sudah cukup cakap melakukan banyak hal tanpa dirinya. Aku sudah tumbuh lebih tua, tinggi dan mandiri untuk terbiasa tanpa kehadirannya. Tapi andai ia tahu, rindu bukanlah perihal menjadi tua dan bertumbuh tinggi, atau bisa melakukan banyak hal sendiri.
Sepuluh tahun nyatanya bukan waktu yang singkat. Kadang aku masih berpikir, seandainya ia masih hidup, bagaimana rupa ibuku sekarang. Apakah rambutnya masih hitam dan panjang? Apakah bibirnya masih merona? Apakah jari-jarinya masih lentik dan kuku-kukunya berkilau? Lekuk tubuhnya, dan hal-hal lain yang membuat ia kerap menjadi perbincangan hangat orang-orang yang tinggal di sekitar dermaga. Dan, seandainya ia sudah meninggal, aku ingin tahu di mana ia bermakam sekarang. Sungguh, meskipun kebencian ini menjalar tumbuh dari hari ke hari memenuhi dadaku, tapi jika suatu saat ia memilih untuk kembali, tentu aku masih akan memaafkannya.
Mengunjungi dermaga ini tidak kurang dari lima kali dalam setahun adalah sebuah bukti bahwa aku tidak pernah betul-betul mengingkari keberadaan ibu di dalam hatiku. Meskipun rasa kecewa itu selalu menyertai setiap jengkal langkah kakiku yang mendekati dermaga ini, karena memang tidak pernah kunjung ada sesuatu pun yang tiba dari dirinya kepadaku; wujud, suara, aroma, atau bahkan selintas kabar.
Bulan Desember adalah waktu favoritku untuk menghampiri dermaga ini. Ibuku pernah berkata, Desember adalah bulan yang baik untuk menunggu dan bersembunyi. Desember membuat pagi di dermaga ini menjadi lebih berkabut, sementara ketika petang tiba, segalanya akan terasa jadi lebih sejuk.
Aku tidak terlalu mengerti apa yang dimaksud oleh ibu saat itu. Dan, menurut Nyonya Clara, teman lama ibu yang juga adalah satu dari sedikit tetangga yang peduli dan baik kepada kami, sebelum tinggiku segagang pintu dan ibu pergi meninggalkanku, aku dan ibu pernah tiga kali berpindah tempat tinggal. Ingatan Nyonya Clara masih hangat ketika ibu datang kepadanya dengan wajah gelisah, meminta bantuan untuk dicarikan sebuah rumah.
Sejak saat itu, sepertinya ibu memang belum pernah mengatakan kepada siapa pun—termasuk aku—apa yang sebenarnya sedang ia tunggu, atau dari apa ia bersembunyi.
Namun sekarang, aku jadi sedikit lebih mengerti kenapa ibu menyukai suasana dermaga di bulan Desember; kabut pagi adalah rahasia dari siapa dan apa yang akan datang dan tidak akan pernah datang, sementara petang yang sejuk adalah pelukan untuk menenangkan segala hal yang mengecewakan.
Pukul lima lebih sore ini, aku memandang ke arah laut lepas. Kutemukan kapal-kapal berlabuh dan seakan-akan aku sedang mencatat ulang kepingan ingatan itu; sore hari ketika ibu berkata ia akan pergi ke pasar sebentar, lalu aku dengan polosnya mengangguk. Kalau saja aku tahu itu berarti selamanya, aku tidak akan pernah berkata iya.
Setelah ibu pergi, berjam-jam aku menunggunya pulang. Sore luruh dan menjelma malam. Hingga Nyonya Clara datang dan aku menangis karena perlahan menyadari bahwa aku adalah anak gadis yang ditinggalkan oleh ibunya pergi ke pasar, namun tidak kunjung kembali.
Sebagai seorang anak kecil, pada awalnya aku tidak benar-benar memahami alasan mata ibu memerah sebelum ia menaiki kapal yang membawanya pergi di hari itu. Meski aku sudah tahu bahwa sejak beberapa hari sebelumnya, ibu berubah menjadi lebih pemurung, sering melamun, dan terkadang ia malah tetiba menangis.
Aku pikir semua itu bermula setelah ibu menerima beberapa orang tamu di depan rumah. Aku juga sempat mendengar ibu membentak mereka dengan suara yang cukup keras hingga mengagetkan kucing kami. Aku bahkan masih ingat ada seorang wanita yang mencoba memaksa masuk ke dalam rumah kami sebelum ibu menahan pintu dan menghalanginya masuk, sampai seorang lelaki berbadan besar dari mereka mendobrak pintu. Ibu terjatuh sesaat, memberi isyarat dengan tangannya agar aku masuk ke dalam kamar, sementara ia berbicara dengan beberapa orang itu di luar.
Berselang tidak begitu lama, ibu masuk ke kamar menyusulku. Ia peluk aku. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk memandangi wajahnya kala itu, tapi yang kuingat, sepertinya itu adalah pelukan terakhir dari ibu yang aku tubuhi.
Beberapa tahun selepas kepergian ibu, tanda tanya itu masih belum terjawab seiring bertambahnya usiaku. Ke mana ia pergi, atau alasan apa yang membuat ia tidak pernah kembali. Aku pernah meminta bantuan Nyonya Clara untuk menyusul ibu ke pasar, atau ke kota, atau ke tempat di mana pun sekiranya ia berada, tapi ia menolak dengan alasan yang kurang bisa kuterima. Nyonya Clara berdalih bahwa ia trauma dengan dunia luar, terlebih untuk bepergian ke kota. Sejak aku dan ibu tiba di perkampungan dekat dermaga ini, aku memang tidak pernah mendapati Nyonya Clara pergi meninggalkan desa hingga akhir hayatnya tiba.
Nyonya Clara mengembuskan napas terakhirnya ketika aku berusia lima belas tahun. Dengan pesan pendek yang ia bisikkan pelan di telinga kananku. Katanya, aku tidak boleh menyusul ibu ke mana pun sebelum usiaku mencapai tiga puluh lima. Dunia luar sangat tidak terduga dan berbahaya, tambahnya. Sekarang, dua tahun berlalu sejak kematiannya. Walau bagaimanapun, aku sudah berjanji pada Nyonya Clara untuk menuruti pesan darinya itu.
Kini aku benar-benar sendirian, diserang lebih sering oleh kebencian bertubi-tubi kepada ibu, tapi di sisi lain aku juga memiliki keinginan untuk berjumpa dengannya, atau setidaknya mengetahui sedikit kabar tentangnya. Dan, tanpa memasang ekspektasi berlebih, barangkali pilihan paling tepat bagiku saat ini adalah datang ke dermaga, semata-mata untuk mengingat wajahnya, aroma tubuhnya, juga suaranya yang dulu menenangkan masa kecilku.
Sesekali aku mencatat tanggal di dalam kepalaku. Sebentar lagi bulan Desember akan memenuhi nama-nama di dinding dan ibu akan terasa jauh lebih dekat denganku ketimbang di bulan-bulan yang lain.
Tepat di bulan Juli kemarin, usiaku genap tujuh belas tahun. Kata orang, tujuh belas adalah perpindahan masa remaja menuju jenjang yang lebih matang. Seperti yang Nyonya Clara pernah bilang, semakin usiaku bertambah, aku jadi semakin mirip dengan ibu. Aku mengamininya setiap kali menemukan diriku sedang becermin; mata sayuku, rambut hitamku, bentuk bibir juga jari-jariku yang lentik. Bedanya, ibu selalu tampak cantik, sedangkan aku sungguh tidak pandai bersolek. Ibu akan selalu ada dan hidup di dalam diriku, kata Nyonya Clara lagi.
Matahari sedikit demi sedikit menenggelamkan dirinya. Dari dermaga ini, ia nampak akan bersembunyi ke dasar air. Di kejauhan, kapal-kapal perlahan membentuk siluet. Burung-burung yang aku tak tahu jenisnya beterbangan. Mataku menangkap seekor burung yang terpisah cukup jauh dari rombongannya. Aku membayangkan burung itu adalah aku. Bedanya, ia mampu dan tahu ke mana harus menuju, sementara aku tidak.
Aku memutuskan untuk kembali ke rumah setelah lebih dari tiga jam duduk di kursi yang memuat selonjoran kaki di atas dermaga ini. Menikmati embusan angin yang semakin sejuk seiring cahaya di langit berubah jadi lebih merah dan sendu. Segala yang terasa, terdengar, terlihat dan tercium oleh indraku menciptakan kedamaian sekaligus kesepian.
Aku tahu hari ini ibu masih tidak akan pulang. Andai pun pulang, kecil kemungkinan ia memilih petang sebagai waktu kepulangannya. Sebab, setahuku ibu lebih menyukai pagi, awal dari sesuatu yang baru, sekaligus waktu yang menyimpan rahasia dari siapa dan apa yang datang dan tidak akan pernah datang.
Sekitar satu jam setelah aku tiba di rumah, aku mendengar suara ketukan di balik pintu. Aku cukup kaget dan agak semringah. Barangkali itu Tuan Charles, tetangga dekat yang bekerja sebagai nelayan. Ia sering pergi ke kota dan memberiku ikan hasil tangkapannya. Mungkin hari ini, selain memberiku beberapa ekor ikan, ia juga mendapatkan sedikit informasi mengenai ibu untuk ia bagikan kepadaku.
Perlahan aku mendekati pintu, mengintip tamu itu dari celah lubang kunci. Namun, aku tahu pasti itu bukan Tuan Charles. Aku melihat ada seorang wanita di luar. Dan, mataku bisa menangkap kalau ia tidak sendiri. Setidaknya ada dua orang pria berpakaian hitam dan bertubuh cukup besar yang masing-masing berdiri di sisi kiri dan kanannya.
Sedikit demi sedikit pintu kubuka. Cahaya redup dari lampu-lampu di ruang tamuku perlahan sampai ke wajah wanita itu. Kulitnya agak keriput. Ia mengenakan pakaian bekerlipan yang agak mencolok jika digunakan di malam hari, serta topi model fedora berwarna ungu yang menutupi sebagian besar kepalanya.
Kupadangi lekat-lekat rupanya yang secara samar-samar, sepertinya aku pernah melihatnya. Ia tersenyum ke arahku dengan sangat lebar. Sayup-sayup kudengar wanita itu berkata sambil melihat ke arah dua pria di sebelahnya dengan masih mengumbar senyuman.
"Lihat, ia sudah besar dan semakin mirip dengan ibunya. Tentu. Ia adalah pengganti yang sepadan. Ia jauh lebih muda dan segar. Mereka pasti tidak akan merasa kehilangan perempuan itu lagi kalau gadis ini ikut dengan kita."