Sinopsis sunting

Bagas merupakan satu-satunya murid di kelas yang belum hafal Pancasila. Sampai bel pulang berbunyi, Bagas selalu tampak murung. Ardi yang pulang bersamanya tiba-tiba mendapatkan ide untuk membantu Bagas menghafal Pancasila melalui permainan "Kereta Pancasila".

Lakon sunting

  1. Bagas
  2. Bu Irma
  3. Ardi
  4. Dodo
  5. Budi
  6. Angga
  7. Maul

Lokasi sunting

Di sebuah desa

Cerita Pendek sunting

 
Ilustrasi suasana di kelas. (Foto diambil oleh USAID Indonesia)

Hari Senin ini ada tes hafalan Pancasila untuk Bagas. Bu Irma, guru pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolahnya itu memanggil Bagas untuk maju ke depan. Di depan Bu Irma dan teman-teman sekelasnya, Bagas hanya bisa terdiam. Bagas berkeringat dingin. Jantungnya berdetak cukup kencang. Bagas merasa gugup karena dia belum hafal Pancasila yang selalu diperingati setiap tanggal 1 Juni 1945 itu sebagai hari Lahir Pancasila. Bagas berdiri di depan cukup lama sampai Bu Irma menegurnya.

"Bagas, kamu masih belum hafal?" tanya Bu Irma dengan suara lembut.

Dengan pandangan yang terus menunduk, menatap lantai, Bagas menggeleng.

Bu Irma menarik napas dan menatapnya iba. Tidak. Bu Irma tidak kesal pada Bagas. Dia kesal pada dirinya sendiri dan merasa gagal sebagai seorang guru karena tidak bisa membantu satu anak didiknya belajar dan melewati kesulitan. Seperti halnya Bagas saat ini. Ini adalah kali keempat Bagas diberikan tes hafalan Pancasila susulan. Bu Irma sudah melakukan berbagai cara dengan memberikan tips-tips menghafal kepada Bagas seperti dengan membacanya ulang selama sepuluh kali atau menghafal satu per satu kelima sila yang ada dalam Pancasila.

"Kamu sudah menghafal sesuai yang ibu ajarkan, bukan?"

Bagas mengangguk.

Bu Irma berpaling menatap buku absensi di mejanya. Bunyi pulpen yang ditekan terdengar, menyembunyikan ujung yang runcing, tempat keluarnya tinta untuk menulis tersebut. Agaknya harapan untuk Bagas mendapatkan nilai hafalan Pancasila harus tertunda lagi. Bagas adalah satu-satunya murid yang belum menyetorkan hafalan Pancasila di kelas yang diajarnya.

"Bagas, kamu boleh duduk kembali," ujar Bu Irma.

Kemudian Bu Irma beranjak berdiri dari kursinya. "Anak-anak, jika ada teman kalian yang kesulitan, tolong dibantu, ya."

"Iya, Bu," sahut anak-anak.

Bu Irma kini menatap Bagas. "Dan Bagas, ibu akan berikan waktu satu minggu lagi. Minggu depan adalah kali terakhirnya ya, Bagas. Jadi, ibu harap kamu sudah hafal saat itu."

"Baik, Bu." Bagas menjawab dengan suara pelan.

Ketika bel pulang, Bagas tak hentinya memasang wajah murung. Ardi, teman sebangkunya itu sangat tahu penyebabnya pasti karena tes hafalan Pancasila. Soalnya wajah murung Bagas sudah muncul selama belajar di kelas hari ini. Ardi kemudian merangkulnya. "Kenapa belum hafal?"

"Aku tidak tahu. Aku sudah mencoba menghafal seperti yang diajarkan, tetapi tidak ada yang menempel di kepalaku. Yang bisa aku ingat hanya 'Pancasila' dan 'sila kesatu: ketuhanan'. Cuma itu," jawab Bagas dengan lesu.

Bagas menoleh pada Ardi. Tatapannya menjadi sendu. "Apa benar aku anak yang bodoh?"

Ardi terdiam sejenak saking terkejutnya. Siapa yang mengatakan temannya itu bodoh? Menurutnya, Bagas adalah anak yang pintar dan rajin. Bagas selalu mengerjakan tugas sekolah. Terlebih, Bagas pintar matematika. Tidak seperti dirinya. Ardi tidak suka matematika yang menurutnya rumit. "Tidak. Tentu tidak, siapa yang bilang?" tanya Ardi.

Bagas menunduk. Dia menjawab lirih, "Ayahku."

Ardi tampak prihatin pada temannya itu. Ketika Ardi memandang rel usang di kejauhan yang melintasi bukit dan sudah tidak beroperasi lagi, matanya berbinar. Ardi tiba-tiba mendapatkan sebuah ide brilian.

"Bagas!"

Ardi meletakkan kedua tangannya di pundak Bagas. Ardi menatapnya dengan sorot mata yakin. "Tidak ada anak yang bodoh. Yang ada hanyalah anak yang malas. Dan kamu bukan anak yang malas, 'kan?"

Bagas mengangguk.

Ardi mengetahui kalau Bagas sedang menatapnya dengan bingung. Ardi pun menjelaskan, "Benar, kamu tidak bodoh dan tidak malas, Bagas. Hanya saja caramu sebelumnya untuk menghafal sepertinya tidak cocok untukmu."

Ardi kemudian bertanya, "Kamu tidak akan kemana-mana, kan, sepulang sekolah?"

Bagas semakin menatap Ardi bingung. Tidak biasanya Ardi menanyakan apa dirinya ada di rumah, biasanya Ardi langsung mengatakan bahwa dia akan ke rumahnya untuk bermain jika memang ingin. "Iya, aku ada di rumah."

"Baiklah. Nanti aku dan teman-teman akan main ke rumahmu. Tunggu ya!"

Ardi kemudian berlari pergi sambil melambaikan tangannya. Wajahnya yang ceria dan semangat membuat Bagas menatap kepergiannya dengan pandangan bingung dan penuh tanya. Ada apa dengan tingkah temannya itu?

Bagas pun memasuki halaman rumahnya. Tidak mau bersusah payah memikirkannya lebih lanjut. Nanti juga Bagas akan tahu, pikirnya.

 
Ilustrasi anak-anak dalam cerpen ini. (Foto diambil oleh Dhita Gustiani)

Sekitar satu jam kemudian, Ardi dan keempat teman sekelas Bagas yang lain yakni Dodo, Budi, Angga, dan Maul benar-benar datang ke rumah Bagas seperti yang Ardi bilang sebelumnya pada Bagas. Bagas yang sedang duduk bersandar di teras dan memegang buku di tangannya menatap bingung mereka yang masuk ke halaman rumahnya dengan berbaris rapi memanjang dari depan ke belakang dan sambil memegang pundak teman di depannya.

"Bagas. Perhatikan, ya. Ini adalah urutannya," ucap Ardi yang berada di paling depan.

Ardi maju ke depan satu langkah. Bagas memperhatikan ada yang aneh di tubuh Ardi. Ada kertas yang diikat tali dan terkalung di leher temannya itu. Begitu juga dengan teman-temannya yang lain. Gambar yang ada di kertas milik Ardi adalah burung garuda. Bagas tahu burung garuda adalah lambang Pancasila. Bagas mulai berpikir kalau mereka akan melafalkan Pancasila.

Tepat seperti dugaan Bagas, Ardi berkata dengan lantang.

"Pancasila!"

Ardi membalik kertasnya. Kini ada gambar bintang berwarna kuning. Ardi pun mengumandangkan sila pertama Pancasila itu.

"Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa!"

Lalu, Ardi bergeser ke arah kanan dan kini Dodo maju satu langkah sehingga berada di posisi Ardi sebelumnya. Gambar punya Dodo adalah rantai. Dodo mengucapkan sila kedua Pancasila dengan suara bulat dan lantang seperti anak pramuka.

"Dua. Kemanusiaan yang adil dan beradab!"

Kemudian Dodo bergeser merapat ke sebelah Ardi.

"Wihh, aku juga nggak mau kalah!" celetuk Budi yang gigi susu bagian atasnya sudah tanggal satu.

Budi melangkah maju, gambarnya adalah pohon beringin. Teriakan Budi yang cempreng terkadang membuat jantung Dodo terkejut. Persis seperti saat ini.

"Tiga. Persatuan Indonesia!"

Dodo melirik Budi aneh. Pasalnya Budi kini cengar-cengir ketika telah berada di samping Dodo.

"Jantungmu aman?" tanya Budi.

Bukannya menjawab, bibir Dodo malah monyong menandakan kalau suara Budi tadi mengagetkan jantungnya. Budi pun tertawa karena paham.

Giliran Angga tiba. Gambar miliknya adalah kepala banteng. Angga mulai membuka mulutnya. Dengan lantang dan cepat, dia mengucap sila keempat. "Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat–"

"Pelan-pelan, Angga," ujar Ardi menyela.

Kecepatan bicara Angga terkadang memang jauh di atas mereka. Bagas dan yang lain cekikikan. Angga akhirnya meminta maaf sambil cengengesan dan mengulang kembali.

"Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan!"

Akhirnya, sila terakhir Pancasila dengan lambang padi dan kapas akan dikumandangkan oleh Maul. Maul pun maju. Dia menarik napas dan berteriak, "Lima!"

"Maul, kamu terlalu bersemangat. Aku suka, tapi ini bukan pelatihan tentara ya," ujar Dodo.

Mereka termasuk Maul kembali cekikikan.

Setelah tawa mereka berhenti, Maul mengulang sila kelima Pancasila. "Lima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!"

"Yeeeyy! Akhirnya selesai! Berarti tinggal permainannya!" jerit Budi.

 
Ini adalah Garuda Pancasila (lambang Pancasila dan lambang Negara Republik Indonesia) yang berwujud burung garuda. Pancasila yang berusaha dihafal oleh Bagas.

Kelima sila Pancasila tersebut sudah selesai dikumandangkan oleh teman-teman Bagas. Ardi menjelaskan bahwa inilah urutan lambang dari sila-sila Pancasila: bintang, rantai, pohon beringin, kepala banteng, serta padi dan kapas. Sebelum bermain "Kereta Pancasila", Ardi dan teman-teman mengajak Bagas untuk menebak sila dan lambangnya. Meskipun Bagas tidak dapat menjawab semuanya dengan benar, mereka tetap menyemangati Bagas dan mengatakan bahwa Bagas nanti juga pasti akan hafal.

Setelah itu, Ardi mengajak Bagas untuk bangkit dan bermain "Kereta Pancasila". Ardi menjadi kepala kereta. Bagas menjadi masinis. Dodo, Budi, Angga, dan Maul menjadi badan keretanya.

"Baiklah. Tujuan kereta kita adalah kebun mangga ayahku! Tapi sebelum itu, kita isi bahan bakar dulu ya, Teman-Teman!"

Mereka berteriak senang.

Ardi pun memulai dengan meneriakkan Pancasila sebagai awalan. Lalu, mereka bersama-sama mengumandangkan sila-sila Pancasila dari sila pertama sampai dengan sila kelima sambil melangkah pelan. Setelah keenam anak itu selesai mengumandangkan sila-sila Pancasila, Ardi kemudian berteriak, "Keretanya oleng, Teman-Teman!"

"Wuuuuu!"

Semuanya bersorak-sorai. Bagas awalnya malu-malu, tetapi akhirnya dia ikut bersorak-sorai juga. Ardi menuntun mereka berjalan berkelok-kelok seperti kereta yang oleng atau keluar jalur dari relnya. Senyum bahagia terpampang di wajah Bagas. Bagas tampaknya mulai menganggap bahwa permainan ini menjadi seru. Begitu juga dengan Ardi, Dodo, Budi, Angga, dan Maul tak kalah gembiranya dari Bagas. Mereka terlihat sangat senang.

"Isi bahan bakar lagi!" seru Ardi ketika berhenti berkelok-kelok. Ardi memelankan jalannya dan diikuti Bagas serta yang lain.

Mereka mulai mengumandangkan lagi kelima sila Pancasila dengan pelan sehingga bisa diikuti oleh Bagas. Pelan-pelan Bagas mengikuti setiap sila walaupun masih terbata-bata. Suara mereka terdengar cukup keras dan lantang ketika melewati rumah para warga di desa.

"Pancasila!

Satu. Ketuhanan Yang Maha Esa!

Dua. Kemanusiaan yang adil dan beradab!

Tiga. Persatuan Indonesia!

Empat. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan!

Lima. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!"

Setiap ada rintangan seperti batu, Ardi sebagai kepala kereta memberitahu pada teman-temannya untuk loncat. Termasuk juga kalau ada kubangan air. Begitu seterusnya mereka mengumandangkan Pancasila sepanjang perjalanan mereka. Sesekali berhenti kala suara mereka hampir habis.

Ketika di pesawahan, mereka memulai kembali. Suara mereka terdengar begitu lantang dan berani sampai para petani yang sedang memanen padi menghentikan kegiatan mereka dan memperhatikan anak-anak penuh semangat itu dengan senyuman.

Akhirnya, rombongan anak-anak itu tiba di kebun mangga milik ayah Ardi. Saat Ardi berbalik, alangkah terkejutnya dia. Ternyata selama perjalanan mereka tadi, "Kereta Pancasila" mereka bertambah semakin panjang. Seperti kereta sungguhan.

"Lagi! Lagi!" seru anak-anak di belakang teman-temannya dengan wajah riang penuh tawa. Bagas, Dodo, Budi, Angga, dan Maul juga ikut berseru senang.

Ardi tak mampu menahan senyumnya. "Kita makan buah mangga dulu di kebun ayahku, ya! Habis itu kita lanjut!"

"Yeeeyy!"

Bagas, Dodo, Budi, Angga, Maul, dan anak-anak lainnya berseru gembira. Siapa sangka kegiatan menghafal menjadi begitu menyenangkan. Bagas kini sudah mulai hafal Pancasila. Dia tidak takut lagi untuk tampil di depan bu Irma dan teman-temannya di kelas nanti.

"Saat tes hafalan Pancasila di kelas nanti, jangan bayangin aku jadi pohon beringin ya," kata Budi tiba-tiba. Dia membuang kulit mangga di satu tumpukan.

Bagas terkejut. "Eh? Kok, kamu bisa menebak apa yang kupikirkan?"

"Eh, beneran?! Kamu bakal ngebayanginnya?!" jerit Budi.

Bagas mengangguk. "Soalnya saat melihat wajah kalian, aku jadi teringat dengan lambang-lambangnya."

Budi menangkup kedua pipinya dengan wajah syok.

"Lha, berarti nanti wajahku jadi pohon beringin, dong?!"

Bagas dan teman-temannya seketika tertawa.

TAMAT