Kisah Anak Kampung Reda Meter
Oleh: Sofi Solihah
Petrus merupakan salah satu siswa kelas 4 SDN Reda Meter, Sumba Barat Daya. Dia sebenarnya merupakan anak salah satu kepala adat Kampung Reda Meter, tetapi mengalami masalah kesehatan pada kulitnya sebab kondisi masyarakatnya masih minim kesadaran sanitasi dan kebersihan.
- “Petrus, kenapa Engkau punya kaki eh?” tanyaku. Maksud kalimat tersebut, Tina bertanya kakinya Petrus kena apa, tetapi disesuaikan dengan logat daerah Sumba
- “Hei, tidak usah ikut campur Engkau, Guru, biar sudah kami yang atasi!” Hardik orangtuanya Petrus.
Tina mengelus dada menghadapi hardikan orangtua bocah tersebut. Dalam lubuk hatinya, ia sudah membayangkan apabila Petrus dan orangtuanya mau saja dulu berobat, yayasan tempatnya mengabdi bersedia menanggung seluruh dana akomodasi dari A sampai Z. Bukankah hal tersebut menjadi kesempatan bagus bagi Petrus mengenal Jakarta?
Apalah daya Tina, terhitung orang baru yang menumpang tinggal di Sumba hanya setahun. Barangkali faktor tersebutlah yang menyebabkan Tina kerap dipandang sebelah mata sebagai orang luar. Termasuk dari segelintir warga tempatnya tinggal, tidak suka dengan perkembangan pendidikan wilayah pelosok. Kasihan Petrus, batin Tina.
Sejak kejadian itu, Tina, gurunya Petrus, berpikir bahwa yang bisa mengatasi masalah internal pada suatu komunitas masyarakat adalah masyarakatnya sendiri. Tina pun pulang menuju rumah induk semangnya sembari berpikir. Apa yang bisa kita bantu? Cukup pada masalah permukaan dahulukah? Apakah untuk pengelolaannya guru tidak melibatkan diri di dalamnya. Pada dasarnya kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dana pengelolaan setelah kita terlibat.
Ah, tapi masalahnya begini. Di pelosok desa, kerapkali kita dihadapkan dalam masalah adat. Walau guru tidak terlibat di dalamnya, tetapi sebagai pengajar pelosok yang sudah menjadi bagian dari keluarga di kampung sana terpaksa dengan berat hati harus izin absen sekolah. Demi menjaga nama baik yayasan kepada keluarga tempat kita menumpang tinggal.
Petrus, murid di sekolah tersebut sebenarnya anak baik. Ia rajin masuk kelas, penurut pula, hanya masalahnya Petrus tidak didukung lingkungan keluarga di mana masyarakat di sana tidak berpikir bahwa pendidikan adalah cara mengentaskan kemiskinan. Uniknya, Petrus sesekali berulah terhadap teman sekelas, tetapi sangat menghargai guru. Begitu tinggi rasa menghargai Petrus sampai-sampai bila Tina tengah mengajar dan kerepotan membawa alat tulis ke kelas, Petrus selalu cepat tanggap membantu Tina.