Kok Cuma Dua Ribu?
SINOPSIS
suntingInilah kali pertama Kafka mendapatkan uang dari hasil usaha bersama temannya, Ijar. Apa yang mereka lakukan dan berapa jumlah uang yang mereka dapatkan ya? Simaklah cerita pendek berjudul "Kok Cuma Dua Ribu?" ini.
TOKOH
suntingKafka, Ijar, Bapak Hilma, dan Ibu
PENULIS
suntingWulandari Pratiwi
CERPEN
suntingKOK CUMA DUA RIBU?
suntingKafka memandangi selembar uang Rp2000,- di telapak tangannya. Foto pahlawan di permukaan uang kertas itu menatap balik ke arahnya. Di kepala anak berumur 8 tahun itu kini muncul satu pertanyaan besar.
“Kok cuma dua ribu?” tanyanya pada seorang bapak yang sibuk memindahkan botol-botol plastik bekas dari karung ke sebuah keranjang.
Sebelum menjawab, bapak itu mengembuskan napas panjang. “Ya, memang segitu.”
“Kalau mau dapat lima ribu, ya, kumpulin lebih banyak lagi,” tambah si bapak.
“Tapi itu, kan, sudah sekarung,” Kafka membalas. Seorang anak laki-laki di sebelahnya hanya memainkan ujung kaus dengan kedua tangannya. Ijar, namanya.
Bapak yang dari tadi sibuk itu sekarang berhenti dan meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Eee… Kalau enggak mau, sini kembalikan!”
Kali ini Kafka merasa terancam. Dia meremas uang dua ribuan itu dan memasukkannya ke dalam saku celana. “Ayo, Jar!” ajaknya pada Ijar sambil berlari. Ijar merasa tak perlu menjawab. Secepat kilat, dia ikut berlari.
Kafka menoleh ke belakang. Bapak tadi tidak mengejarnya. Pelan-pelan, dia keluarkan uang dari saku celananya. Ijar melirik. “Beli es teh, yuk,” katanya.
Kedua bocah itu menyedot es teh masing-masing sambil tertawa girang. Kafka menendang batu hingga masuk ke dalam selokan. Dia melonjak dan berteriak dengan gaya pemain sepak bola internasional.
“Akhirnya, bisa jajan juga aku,” celoteh Ijar.
“Emang tadi di sekolah enggak jajan?” tanya Kafka.
“Aku enggak pernah dikasih uang kalau sekolah,” jawab Ijar jujur.
“Terus gimana kalau mau jajan?”
“Yaa… Aku harus cari uang dulu. Kayak sekarang ini nih. Baru aku bisa jajan.”
Kafka mengelap kening yang berkeringat dengan lengan kausnya. “Untung aku bantuin mulung,” ucapnya.
Langit mulai tampak berubah warna menjadi abu-abu. Angin pun mulai bertiup lebih kencang. “Pulang, yuk! Kaki aku pegal banget, nih,” keluh Kafka.
Ijar mencibir. “Segitu aja pegal. Aku pergi ke sekolah jalan kaki. Pulangnya juga.” Matanya kini terarah pada luka bekas lecet di kakinya. “Tuh, sampai kayak gini.”
Kafka hendak membalas cibiran kawannya itu. Tapi sebelum mulutnya terbuka, hujan tiba-tiba saja turun dengan derasnya. Bukannya menepi untuk berteduh, kedua bocah itu melompat-lompat menikmati hujan. Mereka juga tak melewatkan kesempatan untuk bermain-main di kubangan.
Sebuah suara panggilan mengagetkan Kafka dan Ijar. “Ayo cepat pulang!” ajak suara itu. Setelah menyipitkan mata, Kafka mengenali si pemilik suara.
“Bapak Hilma kenapa bisa tahu aku di sini?” tanya Kafka.
“Ibu nyariin. Ayo cepat naik,” perintah bapak yang dipanggil sesuai nama anaknya itu.
Dua bocah itu menaiki motor Bapak Hilma. Di tengah perjalanan, pikiran Kafka melayang. Dia yakin ibunya akan marah melihatnya basah kuyup seperti ini. Anak itu kemudian memberanikan diri untuk bertanya, “Ibu marah ya, Pak?”
“Makanya kalau main jangan jauh-jauh,” jawab Bapak Hilma.
Kafka terdiam. Dia harus memikirkan cara agar ibunya tidak marah saat melihatnya. Ah! Aku tahu! Jeritnya dalam hati.
Bapak Hilma mengendarai motornya ke arah kompleks perumahan tempat Kafka tinggal. Hujan sudah mulai reda. Setelah turun dari motor, Kafka tak lupa mengucapkan terima kasih. Dengan terburu-buru, anak itu mendorong pintu rumahnya. Namun, pintu itu terkunci. Pandangannya beralih ke deretan sandal dekat pintu. tidak dapat dia temui sandal ibunya. Ibu kemana ya?
Tak berselang lama, Kafka mendengar langkah kaki ibunya. Anak itu hapal benar cara ibunya berjalan. Segera dia berlari menghampiri ibunya sambil berteriak, “Ibuuuu….” Tak lupa, dia juga memasang wajah ceria. Dia tahu, ibunya tak akan pernah marah bila melihat wajah cerianya.
“Kafka kehujanan ya?” tanya Ibu saat memegang rambut anaknya yang setengah kering. Dilihatnya baju Kafka yang juga basah.
Pandangan Ibu kemudian beralih ke arah anak laki-laki berambut cepak dan berkaus putih. Warna putihnya tak dapat dibilang bersih. Noda-noda kecoklatan tersebar hampir merata di seluruh kausnya. Anak itu juga terlihat basah. Dia tersenyum lugu memandang Ibu. Dengan ramah, Ibu membalas. “Yuk, masuk,” ajaknya pada kedua anak laki-laki yang baru saja kehujanan itu.
Ibu membuat dua gelas susu cokelat hangat di dapur. Dua anak laki-laki yang menunggu di ruang tamu tersenyum semringah saat melihat Ibu membawanya menggunakan nampan.
“Kalian dari mana?” tanya Ibu. Ia mesti menunggu beberapa menit untuk mendapatkan jawabannya karena kedua anak laki-laki itu sedang menghabiskan susu cokelatnya.
“Tadi aku ngumpulin botol bekas, Bu,” jawab Kafka enteng.
“Ijar juga?” tanya Ibu kepada anak laki-laki di sebelah Kafka. Olehnya, pertanyaan Ibu hanya dijawab dengan anggukan.
“Kita jalan jauh banget, Bu,” terang Kafka. “Karungnya hampir penuh, lho.”
“Enggak capek memangnya?” tanya Ibu. Ia menggaruk-garuk kepala, mencoba sekuat tenaga menahan pertanyaan-pertanyaan lain yang ingin keluar dari mulutnya.
“Capek banget,” sahut Kafka cepat. Anak itu menaikkan kakinya. “Kakiku sampai sakit, Bu. Tapi, karena aku dan Ijar jalan sambil ngobrol, aku bisa tahan.”
Kafka lalu melanjutkan ceritanya, “Habis mulung, kita timbang semua botol bekasnya.”
“Segitu banyaknya botol yang kita kumpulin, masa cuma dapat uang dua ribu doang, Bu?” Terdengar sedikit nada kecewa dalam pertanyaan Kafka.
Ibu tertawa mendengarnya. “Terus uangnya mana?” Ibu balik bertanya.
“Habis untuk beli es teh. Kita, kan, haus habis jalan jauh ya, Jar?” Kafka menyenggol lengan temannya.
Tawa Ibu terdengar makin renyah. Tawa itu baru berhenti ketika Kafka berkata, “Ibu harus bangga. Aku bisa nyari uang sendiri.”
Ibu tersenyum. “Sekarang mandi dulu ya. Sebentar lagi Kafka berangkat mengaji.”
Mengetahui temannya hendak pergi mengaji, Ijar pamit pulang. Ibu sempat bertanya, “Ijar mengaji juga kan?” Anak laki-laki yang irit bicara itu hanya menggeleng. Gelengan kepalanya sempat membuat Ibu keheranan. Biasanya, anak-anak seusia Kafka dan Ijar belajar mengaji di masjid setiap sore.
Malam harinya, sebelum tidur, Ibu menyempatkan untuk mengobrol bersama Kafka. “Masih pegal kakinya?” tanya Ibu. Anak itu menggeleng.
“Tadi Bapak Hilma kok bisa tahu, ya, aku habis mulung?” tanya Kafka.
“Hilma yang bilang. Katanya dia lihat Kafka dan Ijar bawa-bawa karung buat mulungin botol bekas,” sahut Ibu.
Mata Kafka membelalak. “Berarti sebelum tadi nanya, Ibu sudah tahu dong aku mulung sama Ijar?”
Ibu menjawab pertanyaan itu dengan anggukan.
“Bu,” Kafka berhenti sebentar sebelum melanjutkan, “Kasihan deh Ijar.”
“Kenapa?”
“Dia itu kalau pengin jajan harus cari uang sendiri dulu. Kalau pergi sekolah enggak dikasih uang. Berangkat jalan kaki, pulang juga jalan kaki,” jelas Kafka.
“Masa sih?” Ibu penasaran.
Kafka yang awalnya sudah terlentang, kembali duduk di kasur. “Kan tadi aku ngobrol, Bu. Jadi aku tahu. Tadi dia pengin jajan. Dia bilang ngumpulin botol bekas bisa dapat uang. Jadi aku bantuin dia.”
Mendengar penjelasan Kafka, hati Ibu terenyuh. Matanya terasa hangat. Sebelum air matanya jatuh, Ibu lekas-lekas mengusapnya dengan tangan. Ia kini tahu mengapa Ijar tak bisa belajar mengaji seperti anak-anak lainnya. Orang tuanya mungkin tak mampu membayar iuran bulanan. “Kafka tadi capek, kan?” tanya Ibu.
Kafka yang mulai mengantuk menjawab dengan anggukan kepala. Dia mengambil guling dan meringkuk di sebelah Ibu.
“Nah, untuk dapat uang dua ribu saja, Kafka harus berusaha ngumpulin botol bekas dulu. Jalan jauh, bawa karung. Sekarang tahu, kan, kalau cari uang itu enggak gampang? Supaya mencari uang lebih mudah, Kafka harus lebih rajin belajar ya.”
Lagi-lagi Kafka mengangguk. Kali ini dengan mata terpejam.
Ibu tersenyum melihat anaknya tertidur. Dibelainya rambut Kafka, lalu ia cium keningnya sambil bergumam, “Terima kasih, Kafka. Hari ini kamu sudah mengajari Ibu arti empati yang sebenarnya.”