Kucing Pincang yang Hilang

Sinopsis

sunting

Tafka, seorang anak penyandang disabilitas yang kerap dikucilkan oleh anak-anak seusianya memilih bermain dengan seekor kucing yang juga merupakan penyandang disabilitas bernama Moya. Suatu hari, Moya yang berkaki pincang dikabarkan hilang. Tafka dan anak-anak yang mengucilkannya diminta oleh Kak Sandi untuk mencari kucing itu. Pencarian Moya membuat anak-anak tersebut harus menerima Tafka untuk bergabung bersama mereka. Tim detektif cilik dadakan itu pun harus memecahkan teka-teki yang menjadi petunjuk keberadaaan Moya.

  1. Moya
  2. Tafka
  3. Bian
  4. Kiki
  5. Dwi
  6. Kak Sandi
  7. Bu Nur

Lokasi

sunting

Komplek Griya Permai

Cerita Pendek

sunting

Dialah Tafka, seorang anak kecil penyandang disabilitas. Ia terlahir bisu dan tuli. Karena kondisinya tersebut ia sering disisihkan oleh anak-anak seusianya. Meski begitu Tafka tidak pernah merasa malu atau minder untuk berbaur dengan masyarakat di sekitarnya.

Setiap sore di lapangan dekat rumah Tafka selalu ramai dengan warga yang bermain voli, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Tafka datang untuk bergabung saat Kiki, Dwi, dan Bian sedang asyik bermain lempar-tangkap bola. Disodorkannya tangan ke depan tanda meminta agar bola dilempar ke arahnya. Senyumnya merekah ingin bermain bersama anak-anak itu. Tafka sudah siap untuk menyambut bola tapi Kiki, Dwi, dan Bian terus bermain tanpa menghiraukannya. Meski berkali-kali Tafka menyentuh mereka dan menggunakan isyarat meminta untuk ikut bermain, mereka sama-sekali tidak mempedulikannya.

“Aku gak ngerti apa yang kamu bilang. Jangan ganggu kami,” ujar Dwi berbohong.

Tafka bisa mendengar perkataan Dwi berkat alat bantu dengar yang dipasang di telinganya.

“Kamu main yang lain aja sana. Jangan di sini!” teriak Kiki.

Tafka bergerak menghampiri bola dan mengambilnya dari tangan Kiki. Kemudian ia kembali ke posisinya berdiri semula dan melempar bola itu ke arah Dwi. Dwi pun refleks menangkapnya, itu membuat Tafka senang dan bersemangat. Namun, lagi-lagi Dwi dan teman-temannya malah mengusir Tafka.

Keesokan harinya masih sama yang dialami Tafka. Kali ini Tafka bermain sendiri, ke arah tembok dia lempar dan servis sendiri bola itu dengan lihai. Nyaris setiap hari seperti itu.

Di hari yang berbeda, Tafka kembali menghampiri anak-anak di lapangan voli seakan hari kemarin tidak terjadi apa-apa. Namun, perlakuan yang didapat Tafka masih sama. Anak-anak itu sebenarnya tidak begitu pandai bermain voli seperti Tafka, tapi mereka terlalu sombong dan memilih mengucilkannya.

Tafka yang merasa kesal berkata lewat gerakan tangan. Tafka menunjuk mereka satu persatu lalu seakan menulis huruf J dengan kelingkingnya, yang artinya “Kalian bermain jelek!” Tafka kemudian mengepalkan tinju dan ibu jari ke arah bawah, seolah berkata “Dasar payah!” lantas dia pergi meninggalkan tempat itu. Dari kejauhan Kak Sandi mengamati kejadian itu. Dia tak suka melihatnya, hatinya tidak tega.

Seperti hari-hari sebelumnya, sore itu Tafka berjalan menuju lapangan voli. Bedanya, hari itu ia tidak se-semangat biasanya. Langkah kakinya pelan, keceriaannya pun memudar. Namun, dia terus berjalan menuju lapangan, melewati sebuah rumah. Langkahnya terhenti ketika melihat seekor kucing putih sedang bermain di halaman rumah. Ia memasuki halaman dan mendekati kucing yang sedang memainkan sebuah bola kecil. Tapi yang lebih menarik perhatian Tafka selain bulunya yang lebat, kakinya juga pincang. Ya, meski kakinya pincang tapi kucing itu tampak lincah berlari-lari mengejar bolanya. Tafka terpana, sesekali diambilnya bola tersebut lalu dilemparnya untuk dikejar oleh si kucing. Pemandangan yang dilihat oleh Kak Sandi dari dalam rumahnya itu membuatnya tersenyum. Kucing putih berkaki pincang itu tidak lain adalah milik Kak Sandi.

Di sore berikutnya, Kak Sandi melihat lagi Tafka bermain dengan kucingnya di halaman rumah.

“Tafka senang sekali ya bermain dengan kucing?” tanya Kak Sandi saat sudah berada di sebelah Tafka.

Tafka pun menggerakkan tangannya untuk mengatakan, “Iya. Kucing ini hebat bisa main bola walaupun kakinya pincang!”

Kak Sandi memang sudah memahami berbahasa isyarat, itu dipelajari dari adiknya yang merupakan guru bahasa isyarat.

“Kamu juga hebat! Kamu selalu dapat ranking teratas di sekolah dan juga pandai bermain voli.”

“Tapi teman-teman tidak mau bermain bersamaku.”

Kak Sandi mulai memikirkan cara agar anak-anak bisa berteman dengan rukun.

Keesokan harinya Tafka datang lagi ke rumah Kak Sandi untuk bermain dengan Moya, si Kucing Pincang milik Kak Sandi.

“Bantu kakak menemukan Moya,” ujar Kak Sandi.

Tafka sedih mendengar kabar hilangnya Moya dan ingin membantu Kak Sandi menemukannya. Tak lama kemudian datang Kiki, Dwi, dan Bian menghampiri mereka. Rupanya Kak Sandi juga meminta anak-anak itu untuk membantu mencari Moya.

“Tolong ya anak-anak, cari Moya sampai ketemu,” pinta Kak Sandi dengan muka memelas.

“Aku tidak mau mencari bersama Tafka, dia akan menyulitkan kami saja,” kata Dwi.

Kak Sandi menunjukkan sebuah bungkusan plastik dan mengeluarkan isinya. “Lihat, siapa yang mau?”

Mata anak-anak itu langsung berbinar melihat apa yang ada di depan mereka. Sepasang jersey voli berwarna biru muda dengan bordiran nama dan nomor punggungnya.

“Ini namaku,” seru Dwi sambil menunjuk namanya yang tertera di jersey itu.

Kak Sandi mengeluarkan 3 pasang jersey lagi, masing-masing jersey terdapat nama mereka.

“Kalian boleh memilikinya jika berhasil menemukan Moya. Tapi kalian semua harus bekerjasama untuk mencarinya, kalau tidak baju ini akan kakak jual lagi saja.”

“JANGAN!” seru mereka serentak.

“Tafka akan ikut dengan kami mencari Moya. Iya kan teman-teman?” ucap Bian.

“Iya benar,” timpal Kiki dan Dwi. Kak Sandi pun tersenyum senang dan berharap mereka bisa akur.

“Kakak akan memberikan kalian petunjuk untuk mencarinya. Berhati-hatilah dan semoga berhasil para Detektif Cilik!”

Kak Sandi meminjamkan ponselnya dan menyerahkan sebuah kertas yang bertuliskan, MISI MENEMUKAN MOYA.

Petunjuk pertama pada kertas itu yaitu: Bergelinding bersama Moya.

“Apa maksudnya?” tanya Kiki.

Tafka menggerak-gerakkan tangannya untuk memberi isyarat. Sementara teman-temannya tidak mengerti dengan maksud Tafka. Ia pun menuliskan sesuatu di ponsel yang dipinjamkan kak Sandi lalu menunjukkan tulisannya, “Sesuatu yang bergelinding".

“Bola?” tanya Bian.

Tafka mengangguk dan menulis, “Moya suka bermain bola.”

“Dimana bolanya?” tanya Bian lagi.

Tafka lantas berlari dan diikuti teman-temannya. Mereka tiba di warung Bu Nur. Tafka menulis di ponsel untuk mengatakan ingin membeli bola kecil. Bu Nur pun memberikan bungkusan berisi bola kecil. “Ambil saja bolanya, tidak usah bayar,” kata Bu Nur sambil tersenyum.

“Terimakasih, Bu.” Ucap mereka.

“Lihat! Ada kertas di dalam bungkusan bola itu,” kata Kiki lalu membacanya.

Petunjuk ke-2 : Tunggu suara dari tempat yang tinggi dan gunakanlah daun yang tidak bisa dicabut.

 

Mereka berempat saling pandang satu sama lain setelah membaca petunjuk itu. Tapi ternyata dalam bungkusan bola masih ada satu kertas lagi yang bertuliskan angka 10 dan gambar jari-jari yang semakin tidak mereka mengerti.

“Apa artinya ini?” tanya Kiki bingung.

“Artinya kita harus mencari daun yang gak bisa dicabut di pohon yang tinggi!” jawab Bian dengan lantang.

“Mungkin Moya sedang tersangkut di atas pohon yang tinggi itu,” timpal Kiki

“Kalau begitu ayo cari pohon yang paling tinggi,” ajak Dwi kemudian bergegas disusul yang lain.

Sementara itu Tafka hanya termenung dan menggelengkan kepala tanda dia tidak yakin dengan pendapat teman-temannya. “Tapi Moya itu pincang, jadi pasti sulit untuk memanjat pohon yang tinggi.” Begitulah yang ingin Tafka sampaikan.

Di sebuah taman, dilihatnya Dwi sudah berada di atas pohon yang paling tinggi dan Kiki juga tengah berusaha memanjat pohon itu.

“Ayo Bian, cepat naik juga! Kita harus dengar suara dari atas pohon ini,” teriak Dwi.

“Aku nunggu di bawah aja, aku gak bisa manjat pohon,” jawab Bian.

“Mana daun yang gak bisa dicabut itu? Semuanya bisa aku cabut dengan mudah,” tanya Kiki yang terus mancabut daun di atas pohon satu persatu.

“Aku gak mendengar suara Moya dari sini. Sampai kapan kita harus menunggu suaranya?”

Sudah seperempat jam mereka menunggu dan sibuk mencabut daun-daun di dahan pohon. Tapi sia-sia saja. Tafka melihat lagi isi kertas pada petunjuk ke-2. Ia merasa bahwa ada maksud lain dari petunjuk itu yang belum dia mengerti.

“Aaah mana ada daun yang gak bisa dicabut. Gigiku aja masih bisa dicabut oleh ibuku!” Kiki frustasi dan turun ke bawah.

Mendengar itu tiba-tiba saja Tafka teringat sesuatu. Dia membaca lagi sebaris kalimat pada petunjuk itu. Daun yang tidak bisa dicabut artinya….

Daun telinga! Seru Tafka dalam hati. Telinga untuk mendengar suara.

Dia menengadah menatap langit, hingga pandangannya terpusat pada atap-atap rumah yang menjulang tinggi.

“Apa mungkin suara yang dimaksud berasal dari atas atap?” batinnya. “Tapi suara apa yang ada di atas atap?”

Dilihatnya pula angka 10 dan gambar-gambar jari pada kertas yang lain. Tentu saja dia memahami arti gambar itu, karena itu adalah bahasa isyarat bagi penyandang tuli. Simbol jari itu merupakan huruf M dan A. Tapi apa hubungan angka 10, huruf M dan A dengan suara di tempat tinggi? pikirnya.

Beberapa saat kemudian Tafka baru menyadari sesuatu. Dilihatnya jam tangan yang membuat matanya nyalang. Ia langsung memberi isyarat pada teman-temannya untuk mengikutinya. Dia berlari dengan cepat tanpa menggubris teman-temannya yang selalu bertanya hendak kemana.

Mereka semua pun tiba di halaman sebuah masjid. Tafka menunjuk ke arah menara masjid dan terlihat ada toa di sana.

“Jadi suaranya berasal dari toa masjid ini?” tanya Bian menyimpulkan.

Tafka menjelaskannya di ponsel untuk kemudian dibaca oleh teman-temannya.

“Daun yang tidak bisa dicabut adalah daun telinga. Jadi kita harus menggunakan telinga untuk mendengarkan suara dari toa di menara masjid yang tinggi itu.”

“Lalu kenapa kita harus berlari ke sini seperti dikejar hantu?” tanya Kiki

“Karena kita dikejar waktu,” jawabnya dengan bahasa isyarat yang tidak dimengerti teman-temannya.

Kemudian Tafka menulis lagi di ponsel.

“Arti angka 10 dan simbol jari itu adalah 10 a.m. Pada penulisan waktu dalam bahasa Inggris artinya jam 10 pagi. Sedangkan kita hanya punya waktu kurang dari 5 menit untuk ke sini.”

Jarum jam bergeser menunjukkan pukul 10 tepat. Saat itu pula terdengar suara pengumuman dari toa masjid.

Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokaatuh. Diingatkan kepada warga Griya Permai bahwa hari ini akan diadakan kegiatan sosial yaitu donor darah, yang bertempat di Markas Belajar Tumbuh Kembang pukul 2 siang. Selain itu akan ada bazzar buku dan bapak/ibu dapat mengajak anak-anak kita untuk hadir pada kegiatan tersebut.

Sekali lagi, bagi warga Griya Permai yang ingin mendonorkan darahnya dapat hadir ke Markas Belajar Tumbuh Kembang pukul 2 siang nanti. Terimakasih atas perhatiannya. Wassalamualaikum wa rohmatullahi wa barokaatuh.

“Wah, ada bazzar buku! Pasti banyak komik disana. Ayo kita kesana” seru Kiki bersemangat.

“Tapi kita belum menemukan Moya,” tulis Tafka di ponsel.

“Nanti saja kita cari lagi,” jawab Kiki.

“Memangnya Markas Belajar Tumbuh Kembang itu dimana?” tidak ada yang tahu jawaban untuk pertanyaan Dwi selain Tafka.

“Aku tidak tahu dimana, tapi kita akan mencarinya dengan ponsel ini,” tulis Tafka.

Mereka berjalan sesuai arahan google map pada ponsel di genggaman Tafka. Hingga akhirnya mereka pun sampai di sebuah rumah dengan plang yang bertuliskan Markas Belajar Tumbuh Kembang. Suasana di tempat itu masih sepi, hanya ada beberapa anak seusia mereka terlihat sedang menata buku-buku di atas meja. Tafka terpana melihat anak-anak itu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat sebagaimana yang dilakukannya. Tampak juga beberapa anak lainnya yang bisa berbicara dan mendengar namun bermain dengan riang bersama anak-anak tuli seperti dirinya.

“Acaranya kan baru dimulai pukul 2, tentu saja masih sepi,” ujar Dwi.

“Padahal aku udah gak sabar mau baca komik dan donor darah,” gumam Kiki.

“Hei kamu mau disuntik? Lagipula kita ini masih kecil jadi belum boleh donor darah, tahu!” ucap Bian.

“Ah, kita udah jalan jauh ke sini tapi acaranya masih lama. Lihat, sekarang kita juga belum menemukan Moya dan Kak Sandi gak akan memberikan kita jersey itu,” omel Dwi.

Seketika Tafka menggerak-gerakkan tangannya tanpa bisa ketiga anak itu mengerti. Padahal dia ingin mengatakan, “Lihat saja ke sana! Itu Moya!” Tapi dia lari saja ke teras rumah itu. Di sana Moya sedang bermain bola kecil seperti yang sering dilihat Tafka.

“Teman-teman, kita berhasil menemukan Moya! Ini karena Tafka yang pintar.” kata Dwi.

“Iya benar. Terimakasih Tafka, kamu baik dan pintar,” sahut Bian. “Maaf ya kami sering menjauhi kamu.”

“Maaf ya Tafka.” Kiki, Bian dan Dwi mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Tafka.

Kak Sandi keluar dari rumah itu menghampiri mereka dengan senyum mengembang. Nyatanya, Kak Sandi sendirilah yang membawa Moya ke tempat itu. Ia membuat kesan bahwa Moya hilang dan menciptakan permainan agar anak-anak itu dapat bergaul dan bekerjasama memecahkan masalah tanpa mengucilkan yang lainnya.

"Di sini banyak teman-teman seperti aku!" Kata Tafka dengan isyaratnya lalu melompat kegirangan.

"Iya. Di sini banyak teman-teman disabilitas seperti Tafka. Kalian boleh sering-sering bermain dan belajar di sini kok."

"Hei, kamu tidak bisa dengar?" tanya seorang anak tiba-tiba kepada Tafka.

"Aku tuli tapi bisa dengar dengan alat ini," jawab Tafka memperlihatkan alat bantu dengar di telinganya

Anak kecil itu mampu memahami bahasa isyarat Tafka serta melakukannya sendiri.

"Bagaimana kamu bisa melakukan itu? Kamu kan bukan tuli seperti Tafka?" tanya Kiki.

"Aku belajar bahasa isyarat di sini. Seru sekali!" jawab anak itu.

"Aku juga mau!" Kiki dan teman-temannya mulai menyukai tempat itu.

"Iya, boleh. Sebelum itu, coba lihat ini!" ujar Kak Sandi.

Anak-anak itu bersorak riang mendapat hadiah jersey dari Kak Sandi setelah misi mereka berhasil. Mereka mendapat teman baru dan belajar bahasa isyarat lewat lagu-lagu dan permainan. Kelak, anak-anak itu tidak lagi mengucilkan para penyandang disabilitas dan dapat berkomunikasi dengan teman-teman tuli lainnya.