Legenda Putri Fikare; Sang Putri Dewa Matahari
Putri Fikare; Sang Putri Dewa Matahari
suntingPenulis:
Achmad Hambali
Achmad Hambali
Pada zaman dahulu kala di sebuah kampung yang bernama Takpala yang terletak di daerah Kepulauan Alor Nusa Tenggara Timur, hiduplah sekelompok orang yang dikenal dengan sebutan suku Takpala. Suku ini hidup dengan damai di tengah hutan yang terletak di tengah Pulau Alor.
Alkisah diceritakan ada dua orang laki-laki kakak beradik dari suku Takpala yang bernama Kolfani dan Maufani yang sedang berburu di hutan, mereka menemukan seorang gadis cantik yang tak sadarkan diri di atas pohon. Gadis itu berkulit putih, bersih dan bersinar layaknya sinar matahari yang memberikan cahaya mahkluk di bumi. kagum melihat kecantikan Fikare, kedua lelaki itu pun kemudian membantu gadis itu untuk turun dari atas pohon dengan penuh kehati-hatian.
Setelah berhasil menurunkan gadis itu dan menunggu hingga gadis itu sadar, kemudian mereka pun mencari tahu jati diri Fikare dengan menanyakan asal usul gadis itu.
“Hey.. siapa kamu?” tanya Kolfani.
“Namaku Fikare”. Jawab gadis itu singkat dengan intonasi suara yang masih lemah.
“Dari mana kamu berasal? Kenapa kamu bisa sampai diatas pohon?” tanya Kolfani lagi.
“Aku berasal dari Matahari, Aku melarikan diri dari kerajaan dewa Matahari karena mau dijodohkan” Jawab gadis itu menjelaskan.
Namun, Kolfani dan Maufani tidak begitu lantas percaya. Mereka berdua pun masih menganggap Fikare hanya mengarang cerita yang tak masuk akal dan dianggap mengada-ngada.
"Ada-ada saja, mana ada kerajaan matahari. Aneh-aneh saja." Gumam Maufani dalam hati.
Maufani pun menghiraukan perkataan Fikare yang menyebutkan dirinya berasal dari kerajaan Matahari.
Atas dasar rasa kemanusiaan dan karena melihat keadaan Fikare yang masih lemas dan butuh pertolongan, akhirnya Kolfani pun mengajaknya pulang ke rumahnya untuk memberikan Fikare tempat tinggal untuk sementara waktu sampai ia menemukan keluarganya.
Fikare merupakan gadis yang sangat rupawan, semua lelaki yang melihatnya pasti akan jatuh cinta kepadanya, tanpa terkecuali Kolfani dan Maufani.
Kedua saudara itu sebenarnya sudah mempunyai istri dan mempunyai anak, namun Kolfani nampaknya menaruh hati kepada Fikare. Berbeda dengan Maufani yang merupakan adik dari Kolfani lebih memilih mengalah dan menahan agar untuk tidak tergoda dengan Fikare, meskipun Maufani sebenarnya mempunyai rasa kepada Fikare. Maufani menyadari bahwa kakaknya juga menyukai Fikare. Akhirnya Maufani pun mengalah dan meninggalkan mereka berdua dan memilih kembali bersama anak dan istrinya.
Setelah beberapa hari Fikare tinggal bersama di tengah-tengah keluarga kecil Kolfani, benih-benih cinta pun tumbuh dari hati Kolfani kepada Fikare. Fikare yang mempunyai paras yang menawan tentunya tidak ada seorang lelaki pun yang kuat menahan pancaran kecantikan Fikare.
Kolfani pun meminta izin kepada istrinya yang bernama Maubey untuk menikahi Fikare. Maubey yang awalnya menentang pernikahan itu, namun ia sadar bahwa suaminya mempunyai watak yang keras dan suka bermain kasar kepada istri dan anak-anakny Akhirnya lebih memilih mengalah dan mengizinkan suaminya menikah lagi dari pada dia harus menerima perlakuan kasar dari suaminya atau kemungkinan terburuk adalah Maubey di pulangkan kepada orang tuanya, tentunya hal itu merupakan aib bagi keluarganya.a.
“Istriku,... kasihan Fikare yang hidup sebatang kara tanpa keluarga. Agar keluarga kita lebih ramai, boleh kah saya menjadikan Fikare sebagai istriku?” Bujuk Kolfani kepada istrinya Maubey.
“Aku tak berani menolak permintaanmu, jika itu yang kau rasa baik, lakukanlah.” Maubey mengizinkan karena tak berani melawan permintaan suaminya yang tempramental.
“Terima kasih istriku, aku akan tetap berlaku adil kepada istri-istriku dan anak-anakku” sahut Kolfani kegirangan.
Pernikahan antara Kolfani dan Fikare pun akhirnya terjadi dan mereka berdua di karunia dua orang anak laki-laki yang bernama Furkol, Fankol, dan satu anak perempuan yang bernama Fikal. Rumah tangga antara Kolfani dan Fikare sangat harmonis, meskipun Fikare merupakan istri kedua akan tetapi mereka bertiga tinggal dalam satu atap. Tak ada rasa cemburu yang nampak diperlihatkan oleh Maubey yang merupakan istri pertama Kolfani.
Rasa cemburu bukannya sama sekali tidak nampak pada Maubey, namun Maubey sangat takut kepada suaminya yang dulu sebelum kedatangan Fikare merupakan lelaki yang tempramen dan suka bermain kasar kepadanya. Setelah kedatangan Fikare, sikap tempramen suaminya sudaberkurang dan hampir tidak terlihat lagi.t.
Namun, sebuah malapetaka datang ketika omongan tetangga pun terus membuat gatal telinga Maubey, hingga ia harus menahan rasa malu ketika pergi ke pasar dan bertemu dengan orang-orang sekitarnya. Tidak ada istri dimanapun yang rela untuk dimadu. Namun kesabaran Maubey terus menerus bertahan meskipun orang-orang disana berkata jelek tentangnya dan keluarganya. Hingga suatu ketika kesabaran Maubey goyah juga oleh omongan tetangganya yang berhasil mempengaruhi Maubey untuk melawan suami dan istri keduanya itu.
“Kamu ini wanita lemah, bagaimana bisa suamimu direbut oleh wanita yang tak jelas asal-usulnya.” Kata tetangga Maubey berusaha memanaskan suasana.
“Kamu harus melawan, kita wanita suku Takpala jangan mau ditindas oleh lelaki.” Tambah tetangga yang satu.
Maubey pun terdiam yang terus merenungkan apa yang telah tetangganya itu katakan. Hingga suatu ketika, terjadilah pertengkaran antara Maubey dan Fikare. Pertengkaran itu diakibatkan Maubey cemburu terhadap perlakuan Kolfani yang terus memperlakukan Fikare lebih baik dibandingkan dirinya. Amarah Maubey pun tiba-tiba memuncak karena tersulut oleh perkataan tetangganya.
Maubey pun hendak untuk membunuh Fikare pada malam hari ketika Fikare tertidur pulas. Diam-diam Maubey mengambil sebilah pisau di dapur. Namun, usaha Maubey pun nampaknya telah diketahui oleh sang suami yang secara tidak sengaja terbangun dari tidurnya. Merasa curiga dengan gerak gerik Maubey, Kolfani pun bangun dan bersembunyi di belakang pintu kamarnya untuk mengikuti Maubey.
Hingga pada akhirnya Maubey pun masuk ke dalam kamar Fikare yang masih tertidur pulas dan berusaha menikam Fikare dengan sebilah pisau. Namun usaha itu pun berhasil digagalkan oleh Kolfani yang berhasil menghalau dan menangkis pisau yang ingin dihujamkan oleh Maubey kepada Fikare.
Fikare pun terbangun dan melihat hal itu, Fikare pun marah dan pergi dari rumah karena dianggap perempuan yang ingin menghancurkan keluarga Kolfani. Kolfani berusaha mengejar dan mencoba menasehati Fikare agar tidak pergi meninggalkannya, akan tetapi Fikare masih bersikeras untuk pergi dan meninggalkan Kolfani karena sudah terlanjur tersinggung dengan perbuatan Maubey yang telah mengganggapnya sebagai perempuan penghancur rumah tangganya.
Dengan amarah yang sangat besar, sebelum meninggalkan rumah Kolfani, Fikare pun berkata bahwa dalam tujuh hari lagi keluarganya dari kerajaan matahari akan datang. Kolfani dan Maubey pun tidak terlalu percaya dengan perkataan Fikare. Mereka mengangap perkataan itu hanya omongan orang yang sedang dilanda emosi sesaat. Di lain sisi Maubey pun merasa puas dengan kepergian Fikare dari kehidupan keluarga mereka. Berbeda dengan Kolfani yang terpukul dengan kepergian Fikare wanita yang sangat ia cintai. Kolfani pun akhirnya melampiaskan kemarahannya kepada Maubey yang telah mengakibatkan kepergian Fikare dari rumahnya.
Seperti perkataa Fikare, pada hari ketujuh terjadi hujan batu api. Banyak warga kampung yang tewas tertimpa batu api yang turun dari langit. Semua masyarakat kampung suku Takpala ketakutan dan melarikan diri mencari tempat berlindung. Kampung Takpala hancur lebur akibat terjangan batu api dari langit.
Kolfani dan keluarganya pun berlari menyelamatkan diri menuju ke atas Nuh Mate (Gunung besar), di dalam perjalanan Kolfani dan adiknya Maufani dihadang oleh batu-batu api yang jatuh dari langit. Beberapa kali Kolfani dan Maufani terkena batu tersebut dan terluka, namun karena tekad yang kuat mereka berupaya sekuat tenaga untuk sampai ke atas gunung itu untuk meminta pertolongan pada Fikare.
Melihat perjuangan Kolfani dan Maufani, akhirnya Fikare pun merasa iba. Fikare meminta mereka untuk memotong ujung rambutnya dan membuangnya di sisi kampung. Saat itu juga hujan batu api berhenti. Namun sayang, di saat yang sama Fikare dan anak perempuanya terangkat ke matahari.
Sebelum menghilang dari pandangan, Fikare berpesan bahwa dia tidak akan kembali lagi, tetapi setiap tahun pada bulan ke enam dan ke tujuh saat purnama warga kampung harus membuat ritual. Ritual itu sekarang dinamai Tifolto (Ritual Tifolto adalah sebuah ritual memancang bambu muda pada mesbah diserati serangkai pinang muda pada tiang mesbah).
Bambu dipancang dengan ujung mengarah ke timur/matahari terbit. Seekor babi dikurbankan di mesbah tersebut dan darahnya dioleskan pada bambu dan pinang tersebut. Setelah melakukan tarian lego-lego, tetua adat memercikkan air berkat kepada semua warga, pinang pun dibagikan kepada setiap warga kampung.
Daging pinang dimakan sedangkan kulitnya disimpan untuk mendatangkan keberhasilan saat berladang dengan cara dirobek dan dibakar sedikit demi sedikit kulit tersebut di kebun atau ladang.
Selesai.