Legenda Situ Bagendit

Premis:

sunting

Nyai Endit, seorang wanita kaya, melanggar amanat mendiang suaminya untuk senantiasa berbagi dengan orang miskin dan malah mengusir seorang pengemis tua yang datang ke rumahnya untuk meminta sedikit rezeki. Akibatnya, Nyai Endit tenggelam bersama semua harta kekayaannya.

Lakon:

sunting
  1. Nyai Endit
  2. Pengemis Tua
  3. Den Bageur

Lokasi: Kabupaten Garut, Jawa Barat

sunting
 
Pemandangan suasana Situ Bagendit

Cerita Pendek

sunting

Bila kamu berkunjung ke Garut,

singgahlah di sebuah danau.

Itu lebih baik daripada kamu cemberut

dan larut dalam perasaan galau.

Danau itu bernama Situ Bagendit,

terletak di Kecamatan Banyuresmi.


Jaman dahulu kala, di sebuah desa yang subur,

tinggalah seorang janda bernama Nyai Endit.

Ia berusaha mempertahankan harta hingga ke liang kubur.

Ia enggan membantu orang lain, ia begitu pelit.


Nyai Endit selalu berkata:

“Hartaku adalah hasil jerih payahku."

Ia enggan menolong orang yang sedang kesusahan.

"Biarkan orang-orang miskin itu meminta-minta hingga jerih.

Mereka pasti berhenti kalau sudah lelah dan kepayahan.”


“Mendiang suamiku orang yang sangat dungu.

Sungguh bodoh!

Air matanya mudah meleleh seperti tembaga di dalam dungu.

Seolah berjodoh, suamiku dan orang-orang miskin itu,

mereka bagai jelaga dan tungku."


Den Bageur, mendiang suami Nyai Endit, adalah orang yang dermawan.

Semakin kekayaannya bertambah, ia semakin pemurah.

Dengan orang miskin pun ia mau berkawan.

Tidak seperti istrinya yang pelit lagi pemarah.


Den Bageur tidak berumur panjang.

Dengan sisa napasnya, terbaring di atas ranjang,

ia berpesan pada istrinya:

“Hartamu hanyalah titipan.

Di dalamnya ada sisipan,

terselip hak untuk negara dan hak bagi sesama.

Akan datang seorang petapa yang tampak papa.

Sebetulnya, ia tidak miskin.

Jika kelak ia datang, janganlah nanti engkau menghardik.

Sesungguhnya, ia datang untuk mendidik."


Demi mendengarnya, Nyai Endit terlihat murka.

“Demi Tuhan, aku tak akan memberinya walaupun ia marah!”

Demi harta, Nyai Endit akan melakukan apapun.

Hari demi hari, Nyai Endit semakin melupakan pesan Den Bageur.

Ia berdandan demi seorang peri, berpesta bak seorang ratu.


Kemarau panjang menyengsarakan penduduk desa.

Kini tak ada lagi hasil panen dan makanan yang tersisa.

Meminjam beras kepada Nyai Endit hanya membuat mereka makin tersiksa.

Mereka harus membayar dengan bunga yang tinggi atau kerja paksa.

Ibaratnya, jika kamu meminjam setangkai kembang

maka kamu harus mengembalikan dua tangkai.


Namun, anehnya, sawah dan ladang milik Nyai Endit panen melimpah ruah.

"Bibit padi dan benih buah pemberian pengemis tua

kepada Den Bageur dulu memang bertuah," cerita pekerja tertua.

"Ia berpesan agar Den Bageur memberi tanpa merendahkan

dan menolak tanpa menyakiti.

Kita harus hidup saling mengasihi."


"Omong kosong!" jawab Nyai Endit setiap kali ada yang mengingatkannya.

“Itu hanya cerita bohong bualan orang tua untuk anak dalam buaian.

Hasil panen sawah dan ladangku adalah buah upayaku,

bukan doa orang-orang miskin yang meningkatkannya."

Nyai Endit dan orang-orang kaki tangannya berpesta setiap malam.

Memamerkan perhiasan di kepala hingga kaki dan tangannya,

tak peduli dengan penduduk desa yang malang.


Pada suatu hari, saat Nyai Endit tengah berleha-leha di ruang tengah,

terdengar pengawalnya menyeru seseorang.

"Kemarilah, Pak Tua! Tuanku tidak akan memberimu beras walau sejumput.

Tapi, kalau kau lapar, kami punya banyak rumput."

Gelak tawa mereka terdengar hingga ke dalam rumah.


Nyai Endit bangkit dari dipan dan berjalan menuju halaman depan.

Ia ingin melihat ada keriuhan apakah gerangan.

Terlihat seorang lelaki tua, badannya kurus kering.

Pakaiannya compang-camping dan mengenakan topi caping.

"Huh! Pengemis," Nyai Endit membatin.


Lelaki tua itu terlihat ringkih, berdiri rengkuh di hadapan wanita angkuh.

"Aku lapar dan haus, berilah aku barang sesuap dari rezekimu.

Barang Tuhan akan Melindungimu dan hartamu.

Aku akan mengajarimu menanam pohon dengan jarimu.

"Ketahuilah, pohon kayu akan menjagamu dari banjir

dan musim kemarau yang paling kering."


"Hey, Pengemis Tua!"

Nyai Endit membentaknya.

"Entah dari mana kau berasal,

enyah dari hadapanku sekarang juga.

Sawah dan ladangku tidak pernah kekurangan air walau setetes pun.

Di sini hanya ada banjir padi dan buah."

Nyai Endit tertawa tergelak-gelak

diikuti anak buahnya lagaknya penguasa negeri.


"Tuan Bageur tak pernah mengusirku seperti engkau, wahai Puan Nyai."

Dari balik bajunya, Pengemis Tua mengeluarkan sebatang ranting.

"Hanya ini harta yang aku punyai.”

Nyai Endit tak menyana pengemis itu mengenal mendiang suaminya.

Namun, Nyai Endit urung bertanya.


Pengemis itu lalu menancapkan ranting yang ia bawa.

“Harta telah membuat hatimu berselimut jelaga.

Kau dan semua kekayaanmu akan tenggelam di bawah telaga.”

Nyai Endit tak mengindahkan peringatan Pengemis Tua,

yang ia peduli hanya memperindah pakaian dan rumah.


Sepeninggal Pengemis Tua, Nyai Endit memerintahkan anak buahnya

membuang ranting yang ia anggap sampah.

Akan tetapi, tak seorang pun mampu membuangnya.

Bumi seakan kuat mencengkeram.

Semua orang dibuat heran.

“Bahkan sekadar membuang ranting?!” Nyai Endit geram.

“Aku harus melakukannya sendiri.”


Aneh.

Ranting tercerabut dengan mudah seperti serabut alang-alang.

Tiba-tiba, air menyembur dari dalam tanah.

Nyai Endit terkejut bukan alang kepalang.

Air memancur membasahi badan hingga kepala.

Para pekerja tak dapat menahan tawa.


Nyai Endit mengusir mereka karena merasa malu dan marah.

Kini hanya tersisa beberapa orang pengawalnya.

Sambil bersungut-sungut, Nyai Endit kembali ke dalam rumah.

Para pengawalnya bersungguh-sungguh berusaha menyumbat air.


Alih-alih berhenti, air mengalir kian deras.

Air mulai menggenangi gudang padi dan beras.

"Nyai, kita harus segera menyelamatkan diri.

Tempat ini akan segera tenggelam."

Namun, Nyai Endit tak mau hirau.

"Pergilah,” suaranya terdengar parau.

“Aku harus menyelamatkan semua perhiasanku.”

Ketakutan di wajahnya tak bisa disembunyikan oleh riasan.

“Lebih baik aku mati di sini daripada harus meninggalkan hartaku.

Hidup tanpa harta, bagiku, adalah seperti hidup tanpa kehormatanku."


Dengan berat hati, mereka meninggalkan Nyai Endit.

Berusaha menyelamatkan diri ke daerah berbukit.

Ramalan Pengemis Tua itu kini telah terbukti.

Nyai Endit tenggelam bersama harta kekayaan yang sangat ia cintai.

Ia disibukkan oleh harta bahkan saat maut telah mengintai.


Genangan air itu lama kelamaan menjelma menjadi sebuah danau.

Dalam bahasa Sunda, mereka menyebutnya dengan situ.

Menjadi pelajaran bukan hanya bagi penduduk di sekitar situ.

Kedermawanan Den Bageur dan sifat pelit Nyai Endit

akan selalu diajarkan dalam cerita legenda Situ Bagendit.


Tamat