Liburan Tasya
Pengantar
suntingNada Karima lahir pada tanggal 29 April 2002, Bantul, Yogyakarta. Penulis mempunyai hobi menulis sejak kecil, dimulai dari menulis cerpen, artikel, hingga novel. Catatan Harian Seorang Gadis Belanda merupakan novel perdananya yang dirilis pada 2018 silam. Nada merupakan alumni Darussalam, Jawa Timur. Setelah lulus ia sempat mengajar selama satu tahun sebelum melanjutkan kuliahnya. Ia pernah memenangkan lomba menulis generasi sastra Gen-Z dengan kategori cerpen terbaik tingkat nasional. Beberapa karya cerpennya telah dimuat dalam buku antologi maupun platform-platform tertentu. Keikutsertaannya dalam Proyek Yuwana yang diadakan oleh Wikibuku Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa melalui dongeng maupun cerpen. Penulis bisa dihubungi melalui email: nada29karima@gmail.com
Premis
suntingLiburan kali ini Tasya mengunjungi Kota Yogyakata ditemani dengan sepupunya, Kak Dimas. Mereka mengunjungi tempat bersejarah yang mempunyai peran penting untuk kota ini. Dalam sehari Tasya belajar banyak hal.
Lakon
sunting- Tasya
- Kak Dimas
Lokasi
suntingKota Yogyakarta :
- Stasiun Lempuyangan
- Alun-alun Kidul
- Keraton Yogyakarta
- Malioboro
Cerita Pendek
suntingPertemuan
suntingGejes gejes gejes! Suara kereta api terdengar menderu-deru. Tasya tampak duduk nyaman sambil menikmati pemandangan di luar kereta. Ia tidak sabar bertemu dengan sepupunya, yaitu Kak Dimas yang telah berjanji untuk mengajaknya jalan-jalan setibanya di Yogyakarta.
"Ibu, berapa lama lagi kita sampai di Yogyakarta?", tanya Tasya penasaran.
"Sebentar lagi", jawab ibunya.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya Tasya sampai di Stasiun Lempuyangan. Suasananya begitu ramai. Berpuluh orang berlalu lalang memenuhi stasiun. Tak lama tampak seseorang yang melambai pada Tasya. Rupanya Kak Dimas datang menjemput. Dengan penuh antusias Tasya berlari menghampiri sepupunya itu.
"Kak, besok jadi ajak aku jalan-jalan keliling Yogyakarta 'kan?", tanya Tasya memastikan.
"Jadi dong!", jawab Kak Dimas sambil mengacungkan jempol, membuat Tasya tak sabar menanti hari esok.
Waktunya Jalan-jalan!
suntingTasya menyambut pagi dengan penuh semangat. Ia mandi pagi-pagi sekali kemudian menyantap sarapan. Kata Kak Dimas, mereka akan mengunjungi salah satu tempat bersejarah di Yogyakarta. Kira-kira tempat apa ya itu?
Setelah berpamitan dengan Ibu, mereka berangkat. Motor Kak Dimas mulai menyusuri jalanan Yogyakarta. Hari tampak begitu cerah. Cahaya mentari terasa hangat menyinari bumi. Di tengah perjalanan, Tasya melihat lapangan luas yang di tengahnya terdapat dua pohon beringin, membuatnya penasaran.
"Kak Dimas, tempat apa ini?"
Akhirnya sepupunya itu menghentikan motor sejenak. Mereka berhenti tepat di sisi lapangan.
"Ini namanya Alun-alun Kidul, Tasya. Kamu lihat beringin kembar yang berada di tengah lapangan itu?", tanya Kak Dimas sambil menunjuk. Tasya cukup mengangguk.
"Nah, mitosnya barang siapa yang berhasil berjalan di antara dua beringin kembar dengan mata tertutup, semua keinginannya akan terkabul! Tradisi itu disebut dengan tradisi masangin yang masih dipercayai oleh beberapa masyarakat setempat", ujar Kak Dimas menjelaskan.
Setelah rasa penasaran Tasya terjawab, mereka melanjutkan perjalanan. Tasya mengeratkan pegangan dan motor Kak Dimas kembali melaju. Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai tujuan. Tasya melihat sekeliling. Tempat itu sangat ramai. Beberapa orang tampak memakai baju adat Jawa. Tanahnya tertutup paving dikelilingi tembok bercat putih yang usang termakan waktu.
"Selamat datang di Keraton Yogyakarta, Tasya!", ujar Kak Dimas dengan girang. Mereka menuju loket untuk membeli tiket dan mulai memasuki keraton.
"Indah sekali tempat ini, Kak! Pasti orang yang membangun tempat ini memiliki jiwa seni yang kuat!", ujar Tasya menebak.
"Tempat ini didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, Tasya. Dulu tempat ini adalah tempat tinggal raja dan Sultan Yogyakarta."
Tasya terkejut mendengar penjelasan itu, "Berarti sekarang ini kita telah menginjakkan kaki di kerajaan dong, Kak?!"
Kak Dimas terkekeh melihat antusias Tasya, "Yaa… bisa dibilang begitu. Namun sekarang tempat ini menjadi museum kebudayaan Jawa."
Tasya mengangguk paham. Mereka mulai memasuki keraton. Lantunan tembang dalam Bahasa Jawa Kuno terdengar merdu. Seketika mereka disajikan dengan pemandangan gamelan yang berjejer. Kebetulan sekali kala itu sedang diadakan pertunjukan karawitan yang dimainkan oleh abdi dalem. Tasya sangat terpukau melihat pemandangan itu. Perpaduan tabuhan gambang, gendang, dan gong mencipta alunan nada yang harmonis.
"Ayo kamu berdiri di sana biar Kakak foto!"
Tasya menurut kemudian berpose dengan latar belakang para abdi dalem yang tengah memainkan gamelan. Tasya merasa senang sekali.
Mereka kembali melangkah menyusuri keraton. Tasya tampak berlari-lari kegirangan. Bagaimana tidak? Area keraton sangat luas sekali! Terdapat paviliun istana dan tujuh balairung mewah! Tasya berhenti berlari-lari ketika melihat patung besar yang berwajah seram. Matanya melotot dan di tangannya terdapat senjata gada. Gadis itu tampak ketakutan dan berlari ke arah Kak Dimas.
"Kak, patung apa itu? Sangat mengerikan seakan-akan sedang menatapku!"
Kak Dimas tertawa melihat ekspresi Tasya. Ia menjelaskan, "Itu namanya patung Dwarapala. Kamu lihat patung itu ada di dua sisi depan gerbang?"
Tasya baru menyadari patung itu berdiri di depan gerbang ketiga Keraton Yogyakarta. Patung itu berjumlah dua buah mengapit pintu masuk gerbang di kanan dan kiri.
"Dwarapala ini memiliki maksud simbolis sebagai penjaga gerbang", Kak Dimas melanjutkan kalimatnya. Mereka kemudian memasuki gerbang itu. Tasya menggandeng tangan Kak Dimas erat-erat karena masih merasa takut ketika melewati kedua patung Dwarapala. Hihihi, jangan menjadi penakut seperti Tasya ya, teman-teman!
Selanjutnya mereka melihat koleksi barang-barang keraton yang disimpan dalam kotak kaca. Tasya lagi-lagi takjub melihat keramik dan barang pecah belah lainnya yang terkesan antik.
"Kak Dimas, kalau barang-barang ini dipakai untuk vas bunga pasti cantik sekali!", celetuk Tasya.
"Beberapa keramik disini ada yang berasal dari Jerman atau Belanda, loh! Kalau sekedar dipakai untuk vas bunga sayang sekali, Tasya."
"Iya juga ya", jawab Tasya sambil nyengir. Di tempat ini juga terdapat senjata, foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik.
Mata mereka terus dimanjakan dengan barang-barang antik dan bangunan keraton yang mempunyai arsitektur indah. Rasanya seperti menggunakan mesin waktu dan kembali ke zaman dahulu. Tak terasa mereka sudah menjelajahi semua tempat yang ada di keraton.
Menikmati Senja
suntingHari menjelang sore. Tiba-tiba terdengar suara aneh yang muncul dari perut Tasya. Ia memegang perutnya, "Duh, aku lapar, Kak!"
"Pas sekali, Tasya. Di dekat sini banyak sekali penjaja makanan. Kali ini kamu harus mencoba kuliner khas Yogyakarta!"
Mata Tasya berbinar-binar seketika, "Wah, apa itu, Kak?! Aku nggak sabar!"
Sejurus kemudian mereka beranjak kembali menaiki motor. Ngeng… tak sampai lima belas menit mereka sampai di Jalan Malioboro. Tasya takjub melihat estetika tatanan jalanan tersebut. Tersedia banyak tempat duduk di kanan-kiri jalan. Warung-warung lesehan berjejer rapi. Kak Dimas dan Tasya menikmati senja dengan berjalan kaki menyusuri Jalan Malioboro.
"Indah sekali tempat ini, Kak! Padahal cuma jalan, tapi terkesan istimewa!", Tasya tampak antusias. Sepertinya ia lupa dengan rasa laparnya.
"Memang ada hal yang membuat jalan ini istimewa, Tasya. Jalan Malioboro adalah elemen penting sebagai garis imajiner yang menghubungkan keraton dengan Gunung Merapi. Hal ini dianggap sakral sesuai dengan sumbu filosofi kota Yogyakarta, Tasya!"
Mulut Tasya sempurna membentuk huruf O. Penjelasan Kak Dimas membuatnya benar-benar takjub mendengar tatanan Kota Yogyakarta yang begitu rapi dan terkonsep. Mereka terus melangkah. Banyak orang yang berjalan-jalan maupun hanya sekedar duduk-duduk menikmati indahnya senja. Perhatian Tasya tercuri ketika melihat para seniman mengekspresikan kemampuan mereka seperti bermain musik atau melukis. Selain itu banyak kerajinan khas Yogyakarta yang dijual disini.
"Tasya, awas!"
Saking antusiasnya, Tasya sampai tidak memperhatikan jalan. Ia hampir saja menabrak kuda yang berada di sisi jalan. Ia sungguh terkejut.
"Hahahaha, hati-hati dong kalau jalan!"
Kak Dimas tak tahan untuk tidak tertawa. Tasya baru menyadari ternyata banyak delman dan becak yang terparkir di bibir jalan. Tak lama mereka sampai di salah satu restoran yang menjual kuliner khas Yogyakarta yang dimaksud Kak Dimas. Setelah memesan, mereka menunggu beberapa menit hingga makanan itu dihidangkan.
"Wah, makanan apa ini, Kak? Kelihatannya lezat sekali!"
"Ini namanya gudheg, Tasya. Kuliner khas Yogyakarta yang terbuat dari nangka muda yang dimasak dengan santan", jawab Kak Dimas menjelaskan. Karena sudah lapar, Tasya lekas berdoa sebelum makan dan langsung menyantap makanan itu. Rasanya sungguh nikmat. Jangan lupa ditambah dengan ayam kampung, telur, tempe, tahu dan sambal goreng krecek supaya lebih mantap!
"Ah kenyang sekali, Kak. Ternyata bukan kotanya saja yang istimewa. Kulinernya juga istimewa! Enak sekali!"
Tasya memegang perutnya. Sesekali meneguk air mineral. Kini rasa laparnya telah sirna.
Mereka pulang ketika malam menjelang. Tak lupa Tasya membeli beberapa aksesoris di Malioboro seperti gantungan kunci dan kaos. Tak lupa Tasya juga membelikan oleh-oleh untuk Ibu. Namun karena ia bingung hendak membelikan barang apa, akhirnya Tasya meminta saran pada Kak Dimas.
"Kak, kira-kira aku membeli barang apa ya untuk Ibu?", tanya Tasya sambil mengelus dagunya.
"Batik kawung saja karena itu terkenal sebagai batik khas Yogyakarta, Tasya! Ibumu pasti suka!"
Tanpa pikir panjang akhirnya Tasya membeli barang yang direkomendasikan Kak Dimas. Hari itu Tasya merasa sangat bahagia. Liburan kali ini teramat sangat berkesan!