Liburan yang Berbeda, Tetapi Asyik

LIBURAN YANG BERBEDA, TETAPI ASYIK

Setelah melakukan perjalanan lewat tol selama hampir 9 jam, akhirnya Bagus dan Ayu beserta ayah dan ibunya tiba juga di desa nelayan tempat kelahiran ayah dan ibu mereka, di sebelah selatan kota Yogyakarta, yang sering juga disebut Jogja oleh para turis. "Ombak laut di sini besar dan gerak pasang surutnya cepat. Banyak turis yang ceroboh atau sombong melalaikan hal itu dan terseret ke tengah laut. Untung banyak yang tertolong. Nah, kita sudah sampai. Ini dahulu rumah ayah. Rumah ibu ada di sebelah sana. Rumah ayah sudah ayah jual ke pak Wage, tetangga sekaligus teman baik ayah. Sedangkan rumah ibu dikontrakkan ke kerabatnya." "Lalu kita akan tinggal di mana? Bagus tadi tidak melihat satu hotelpun di sekitar sini." "Selama liburan ini, kita diminta tinggal di rumah pak Wage." Baru saja ayah Bagus, turun dari mobil, terdengar suara menyapanya. "Sudah tiba, Mas Joko? Mari masuk. Mana Mbak Sri dan anak-anak?" "Apa kabar, Mas Wage?" sapa ibu Bagus, yang bernama Sri. "Baik, Mbak. Nah, ini pasti Bagus dan Ayu," kata pak Wage. "Betul, Paman. Salam," kata Bagus dan Ayu sambil bergantian mencium tangan pak Wage. "Mari masuk," ajak pak Wage. "Mana anak-anakmu?" kata pak Joko setelah masuk dan duduk di ruang tamu. "Anak-anakku sedang pergi menjual dagangan mereka." "Sungguh rajin mereka, liburan begini, sibuk berdagang. Mereka berjual apa?" "Tiyem berdagang keripik dan Setu berjual suvenir tempurung kelapa." "Mari silakan minum. Dan, ini kunci rumah Mas Joko dulu," kata pak Wage setelah membawa keluar beberapa gelas air mineral. "Tampaknya kamu baru saja merenovasi kedua rumahmu," kata ibu Bagus. "Karena ada rejeki berlebih dari Gusti Allah, Mbak." "Kelihatannya kehidupan di desa ini makin membaik," kata ayah Bagus. "Ya, berkat ada jalan-jalan aspal yang lebar. Tetapi sayang, banyak truk bermuatan lebih dibiarkan lewat sehingga cepat merusak aspal jalan, terutama saat musim hujan." "Nah, ini Tiyem dan Setu pulang." "Oh, ada paman dan bibi. Selamat datang, paman. Selamat datang, bibi," kata Tiyem. "Selamat datang, paman. Selamat datang, bibi," kata Setu. "Tiyem, Setu, itu Bagus dan Ayu, putra-putri paman dan bibi," kata ibu Bagus. "Selamat datang, Kak Bagus dan Dik Ayu," kata Tiyem dan Setu. "Salam kenal Tiyem, salam kenal Setu," kata Bagus dan Ayu sambil tersenyum dan mengajak bersalaman. "Bagaimana dagangan kalian? Sudah habis?" tanya ibu Bagus. "Alhamdulillah, Bi. Tapi, hari ini kami hanya mengantarkan pesanan ke pelanggan," jawab Tiyem. "Lebih enak terima pesanan, ya. Pasti laku dan langsung terima uang, tidak perlu repot menjajakan." "Betul, Bi, dahulu kami harus lama menjajakan dan merayu pembeli, paling tidak untuk mau mencicipi keripik atau mengamati suvenir kami. Sampai sekarangpun, kami terkadang masih berjualan seperti itu, jika pesanan sedikit." "Mas Wage, apakah rumah ini sengaja tidak dipasangi listrik? Aku tadi tidak melihat kabel listrik di atas rumah." "Dahulu, saya pasangi, tetapi karena sering lampu mati dan kami tidak memakai peralatan elektronik, maka pemasangannya saya minta diputus, sebab biaya listrik sering naik tetapi tidak pernah turun." "Berarti kalau malam pakai lampu petromaks seperti dulu?" tanya ayah Bagus. "Tidak, kita pakai lampu LED dengan tenaga listrik dari perangkat itu." "Oh, pandai kamu, dapat memanfaatkan air laut untuk menghasilkan listrik dan memakai lampu LED, sehingga tanpa perlu banyak listrik, ruangan sudah terang." "Itu bukan hasil kerjaku, tetapi hasil kerja Tiyem dan Setu." "Mereka belum SMA, bagaimana mereka paham cara tersebut?" "Mungkin dari bertanya pada langganan mereka atau pada guru mereka." "Mas Wage, seingatku, dahulu jam sekian sudah ada banyak nyamuk, hari ini mengapa aku belum merasakan gigitan nyamuk?" kata ibu Bagus. "Apakah kamu merindukan gigitan nyamuk?" tanya ayah Bagus menggoda ibu Bagus. "Ini karena sekeliling rumah ditanami Tiyem aneka tumbuhan yang baunya tidak disukai nyamuk dan pintu serta jendela rumah aku beri kawat nyamuk." "Pantas, tidak ada nyamuk." "Maaf, Mas Wage, aku mau istirahat dahulu ya. Punggungku capai, mataku juga capai." "Silakan Mas." Ayah dan ibu Bagus lalu pergi ke rumah sebelah. "Kalian tidak istirahat juga?" "Maukah kalian ajak kami jalan-jalan?" "Baik, tapi kami makan dahulu ya. Kalau kalian belum makan, mari kita makan bersama," ajak Tiyem. "Terima kasih, Kami tadi sudah makan di tempat istirahat yang ada di jalan tol. Silakan kalian makan."

Selesai Tiyem dan Setu makan. mereka berempat keluar rumah setelah berpamitan kepada ayah Tiyem. "Maaf, Kak Tiyem, nama Kakak mengapa terdengar aneh. Begitupun dengan nama Kak Setu," tanya Ayu tiba-tiba. "Banyak wisatawan domestik juga berkata begitu. Nama kakak merupakan singkatan dari dua kata Jawa 'Ati Ayem' yang berarti hati tenteram. Sedangkan Kak Setu diberi nama begitu karena dia lahir pada hari Sabtu, yang dalam bahasa Jawa disebut Setu." "Oh begitu," kata Ayu dan Bagus secara hampir bersamaan. "Sebelum bertemu kalian, aku pikir anak desa bodoh-bodoh karena hanya mendapat materi pelajaran yang sudah usang, tetapi setelah bertemu dengan kalian aku baru tahu bahwa meski aku tinggal di kota besar, aku masih seperti katak dalam tempurung, belum tahu banyak, tetapi bahkan sudah sok pintar. Memalukan, ya. Bahkan mungkin saja, nanti aku akan mendapat kejutan-kejutan lain dari kalian." "Ah, tidak, mana mungkin pengetahuan kami lebih luas daripada pengetahuan kalian," jawab Tiyem. "Mungkin dalam pengetahuan secara teori, kami lebih paham, tetapi terapan pengetahuan di alam nyata mungkin kalian lebih paham. Seorang guruku pernah berkata, orang yang mengalami banyak kesulitan akan makin cerdas dan cepat tanggap, terutama orang yang bertekad mau belajar dan melangkah maju, meski jatuh berkali-kali." "Betul juga ucapan gurumu itu." "Dik Setu, kamu kelas berapa sekarang?" "Kelas lima." "Kalau kamu, Dik Tiyem?" "Kelas tujuh." "Ayu kelas empat dan aku kelas delapan." "Kalian berdua, apa yang biasa kalian lakukan sepulang sekolah?" tanya Bagus lagi. "Aku membuat keripik pisang, keripik singkong, dan keripik ketela. Lalu sore mencoba belajar bahasa Inggris dan belajar tarian tradisional Jawa untuk ikut melestarikan budaya Jawa." "Sedangkan aku, sepulang sekolah, mengolah tempurung kelapa supaya dapat aku jadikan suvenir yang indah. Oh ya, nanti ingatkan aku untuk memberi kalian suvenir buatan aku," kata Setu. "Boleh aku melihat cara kamu membuatnya?" "Tentu saja boleh." "Kak Tiyem, maukah Kakak mengajari aku membuat keripik, Aku suka keripik, tetapi dekat rumahku tidak ada yang jual keripik." "Oh, tentu saja boleh. Hanya saja, kamu harus hati-hati sebab minyak yang dipakai untuk menggoreng, makin lama akan makin panas. Jika terkena kulit, kulit akan melepuh." "Apakah tidak ada cara menggoreng yang aman?" "Ada, nanti kakak buatkan." "Terima kasih, Kak," kata Ayu dan kemudian merangkul Tiyem dengan kedua tangannya. "Oh ya, selesai menyiapkan dagangan kalian, kalian belajar bahasa Inggris. Kalau aku boleh tahu, untuk apa?" tanya Bagus. "Bukankah bahasa Inggris adalah bahasa yang sering digunakan untuk penyiaran ilmu pengetahuan bidang apapun secara global dan gratis lewat Internet? Biarpun sekarang aku belum punya laptop, aku dapat belajar mandiri dan jika ada kesulitan aku dapat bertanya pada guruku atau siapapun yang paham bahasa Inggris, bahkan bertanya pada wisatawan asing yang sering ke pantai ini dan tertarik untuk menikmati keripikku. Bila perlu, mereka akan aku beri diskon yang menarik supaya sering beli padaku dan menyebarkan kelezatan keripikku ke orang lain. Promosi gratis yang manjur, karena dapat dipercaya." Tanpa mereka sadari mereka telah berjalan jauh sehingga tiba di tepi sebuah sungai. "Melihat air yang mengalir ini, aku teringat ucapan orang 'Jalanilah hidup seperti air mengalir'," kata Bagus. "Ya, aku juga sering mendengar ucapan itu. Aku yakin orang-orang itu hanya asal ucap, hanya menirukan ucapan orang lain, belum pernah mengamati sendiri perilaku air." "Kalau menurutmu, apakah ada pelajaran yang dapat kita peroleh dari pengamatan perilaku air?" "Mari kita menyusuri sungai ini dan coba kalian berdua perhatikan perilaku air yang terlihat." "Saat ada batu besar seperti itu, air tidak membenturnya, tetapi berputar mengelilinginya. Air seolah-olah tidak mau buang waktu dan tenaga hanya untuk suatu benturan yang dapat menghambat gerak alirnya," kata Bagus. "Tapi, Kak, saat ada batu kecil, air mengalir lewat atasnya dan jika ada ranting yang menghalang seperti itu, air mengalir lewat bawahnya. Berarti air tetap bergerak lurus jika memungkinkan," kata Ayu. "Wah, orang itu buang sampah ke dalam sungai. Bukankah jika menumpuk dapat membuat banjir?" gerutu Ayu ketika melihat orang buang sampah ke dalam sungai. "Betul, Ayu. Untung air punya perilaku yang bijak, tanpa keluh kesah, dia alirkan segala sampah busuk itu." "Wah, air di sini dapat berkeluh kesah?" tanya Bayu menggoda. "Sesungguhnya air mempunyai banyak perilaku yang baik, antara lain dapat membasahi sawah dan ladang sehingga apa yang ditanam dapat tumbuh subur. Dan bila dijernihkan dapat dimanfaatkan oleh manusia dan hewan," kata Setu. "Ternyata air yang sedang mengalir juga menghadapi masalah, hanya saja air tampak selalu teguh dalam mencapai tujuan akhirnya dan bertingkah bijak saat muncul masalah," kata Bagus. "Begitu juga air di laut, yang geraknya kita sebut ombak," kata Tiyem. "Tetapi air di laut dapat membuat orang celaka," kata Bagus. "Sebetulnya banjir, longsor, dan lainnya, bukan Gusti Allah ingin mencobai manusia atau alam tidak bersahabat, tetapi semua itu gara-gara menusia yang lalai, ceroboh, tidak peduli pada alam lingkungan, tidak peduli pada tanda-tanda yang diberikan." "Omong-omong, apakah kalian lelah dan mau pulang? Atau mau ikut kami pergi beli bahan?" tanya Tiyem. "Kak, aku mau ikut mereka. Aku mau belajar banyak," kata Ayu yang ternyata suka belajar. "Ya, kakak juga mau belajar banyak."

"Pak, pisang, singkong, dan ketela yang saya perlukan ada berapa banyak?" tanya Tiyem kepada seorang kuli pikul pasar yang dapat membantunya mengumpulkan ketiga bahan itu dari para penjual di pasar, sebab Tiyem sendiri tidak punya cukup waktu untuk mengerjakan hal itu. Setelah membeli bahan kebutuhan Tiyem, mereka pergi ke penjual kelapa. "Pak, mana tempurung kelapa untuk saya." Begitulah cara kerja efisien dan efektif Tiyem dan Setu dalam membeli bahan, yang menurut guru Tiyem 'mengolah waktu, mendelegasi tugas, dan mendudukan orang yang tepat di tempat yang tepat'. "Mengapa kamu beli tempurung tanpa ukuran yang sama?" tanya Bagus. "Ini namanya memanfaatkan limbah yang tidak berguna untuk dijadikan barang berharga. Tempurung kecil dapat dibuat untuk gantungan kunci, sedangkan tempurung besar dapat dijadikan suvenir bentuk lain," kata Setu menjelaskan. "Kalau kamu Tiyem, mana mungkin pisang tua dijadikan keripik?" "Pisang muda untuk dibuat keripik, sedangkan pisang tua dihaluskan untuk dicampur dengan tepung terigu dan tepung beras dan dijadikan camilan rasa pisang." "Kakak berdua hebat," kata Ayu memuji. Menjelang petang, ayah Bagus mengajak mereka semua untuk jalan-jalan dan belanja di Jogja. Sebelum berangkat, Setu membagikan gantungan kunci yang dia buat. Tiyem membagikan camilan kerupuk pisang dan aneka keripik buatannya. Setelah makan malam secara lesehan berupa nasi gudeg khas Jogja, nasi liwet khas Solo, sambil minum wedang uwuh khas Wonogiri, mereka pergi ke Mall yang ada toko bukunya sebab Tiyem dan Setu ingin membeli kamus bahasa Inggris. Ketika Tiyem dan Setu akan membayar kamus-kamus yang mereka beli, ibu Bagus berkata, "Biar Bibi yang bayar sekalian." "Terima kasih, Bi, tetapi sebelumnya kami minta maaf karena kami tetap ingin bayar sendiri. Kami ingin kamus ini akan menjadi pendorong semangat kami untuk lebih rajin berusaha karena kamus ini menjadi petanda jika kita mau, usaha sesulit apapun, akan dapat kami lakukan, termasuk membeli kamus yang mahal ini dan mempelajari bahasa Inggris yang sering dikatakan sulit dipelajari." "Oh begitu, baiklah." Setelah puas jalan-jalan, beli baju batik, minum jamu, pia pathuk, dan juga lauk gudeg lengkap untuk dibuat sarapan, mereka pulang. Sambil makan keripik, mereka bertujuh bercakap-cakap. "Hm, lezat," kata ibu Bagus. "Apa mungkin Bibi pesan untuk acara arisan dan bantu jual di Jakarta?" "Boleh, Bi." "Karya tempurung Setu juga dapat Bibi bantu jualkan." "Aku pikir teman-temanku akan banyak yang suka karena gantungan kunci ini indah. Dik Setu, coba kamu buat suvenir dengan gambar gajah dan pagoda atau lainnya yang khas Thailand, kemudian tuliskan kata Thailand atau Bangkok atau Phuket, pasti mereka pikir kamu beli di tempat-tempat wisata itu dan dijual kembali di sini." "Apakah itu tidak berarti menipu, Kak?" "Bukankah di suvenir itu tidak ada kata 'made in'. Bila perlu cantumkan namamu. Apakah kamu tahu, namamu itu mirip sebuah nama di negeri itu." "Ya, Setu, itu bukan tindak pemalsuan. Itu hanya trik dalam dunia bisnis," kata ayah Bagus.

Selama liburan Bagus dan Ayu menjadi murid Tiyem dan Setu. Mereka belajar untuk dapat hidup lebih mandiri, mengolah uang dan waktu dengan lebih baik, belajar dan berusaha dengan memperhatikan jadwal dan prioritas nyata. Saat akan pulang, Bagus dan Ayu merasa liburan kali ini berbeda, tetapi asyik dan bermanfaat.