Logika Pendidikan Neoliberalisme


Permasalahan pendidikan di Indonesia sering kali dilihat oleh pengamat maupun praktisi pendidikan hanya sebatas pada permasalahan sistem pendidikannya. Tanpa analisis yang lebih dalam, mereka cenderung berpikir bahwa faktor penentu utama masalah pendidikan adalah kebijakan atau sistem pendidikan itu sendiri. Padahal, pendidikan – kalau mengacu pada definisi secara umum – merupakan proses pembentukan karakter dan tingkah laku manusia. Sedangkan perilaku dan karakter manusia terbentuk dari pengalaman hidup yang ditentukan oleh kegiatannya sehari-hari. Maka jelas, bahwa faktor penentu permasalahan pendidikan terdapat dalam kegiatan manusia sehari-harinya.

Kegiatan manusia sehari-harinya yang paling mendasar adalah bekerja atau berproduksi. Tanpa bekerja manusia tidak mampu bertahan hidup. Kerja adalah hal alamaiah yang sudah melekat pada manusia. Pada hakikatnya bekerja merupakan aktifitas manusia saat merubah alam untuk mengambil manfaatnya sebagai kebutuhan hidup. Aktivitas bekerja biasa dikenal dalam istilah perekonomian dengan kegiatan produksi. Marx, pernah menyebutkan bahwa di dalam kegiatan produksi terdapat dua hal yang saling berkaitan.

Pertama adalah kekuatan produktif, yaitu mencakup sarana atau alat-alat produksi, pengetahuan teknis, bahan material, dan tenaga kerja produksi manusia. Kedua, relasi sosial produksi, pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang hidup berkelompok. Sehingga dalam kegiatan produksi tidak bisa terlepas dari relasi antarindividu dan membentuk suatu hubungan sosial tertentu. Relasi sosial produksi, termasuk relasi atas alat produksi, kekuasaan dan kontrol kepemilikan, serta relasi antara kelas-kelas sosial. Terdapat kombinasi antara kekuatan produktif dengan relasi sosial produksi yang disebut dengan mode of production atau corak produksi. Corak produksi merupakan proses manusia melakukan aktivitas produksi.

Di atas sudah dijelaskan bahwa aktivitas manusia menentukan cara berpikirnya dan bentuk suprastruktur – termasuk budaya, pendidikan, agama, politik, gender, dan lain-lain – dalam kehidupan masyarakat. Saat ini kehidupan masyarakat yang berkarakter kapitalistik tentu karena corak produksi yang mengakar adalah corak produksi kapitalis. Sehingga pendidikan yang merupakan suprasrtruktur masyarakat pun akan memiliki karakter kapitalistik.

Pendidikan dan Kepentingan Kapitalis sunting

Corak produksi kapitalis lebih identik dengan bentuk industri manufaktur yang membutuhkan banyak jenis tenaga kerja. Pendidikan dalam masyarakat kapitalis memiliki peran sebagai sarana reproduksi tenaga kerja. Hal ini diterapkan dengan “kurikulum dan sistem pendidikan yang diharapkan ‘link and match’ dengan dunia operasinya kapital.” (Dede Mulyanto, 2018 : 164). Marx sendiri pernah meramalkan jauh sebelum hal ini menjadi lumrah dalam bukunya, yaitu :

Kedua, karena keahlian-keahilian dasar, pengetahuan mengenai perdagangan dan bahasa-bahasa, dan sebagainya, direproduksi dengan semakin cepat, mudah, pada umumnya dan murah, semakin cara produksi kapitalis itu mengadaptasi metode-metode pembelajaran, dan sebagainya untuk tujuan-tujuan praktis. Perluasan umum dari pendidikan populer memungkinkan varitas kerja ini direkrut dari kelas-kelas yang sebelumnya tidak diikut-sertakan dan yang terbiasa dengan suatu standar hidup yang lebih rendah. (Marx, 2007 : 294)

Pendidikan tak bisa terlepas dari kepentingan ideologi atau politik kelas berkuasa. Saat ini kelas yang berkuasa adalah kelas kapitalis. Sehingga, pendidikan kita saat ini cenderung menjadi kepentingan kapitalis. Seperti yang dikemukakan Dave Hill (dalam Darmaningtyas, 2010) bahwa kapitalisme era neoliberal memiliki tiga konsep dalam memandang dan memperlakukan pendidikan. Pertama, Capitalist plan for education, bahwa pendidikan memiliki tujuan untuk menciptakan tenaga kerja. Melalui kebijakan-kebijakan negara yang mendukung kepentingan kapitalis, kurikulum pendidikan serta jurusan-jurusan di dalam sekolah atau kampus disesuaikan dengan variasi jenis pekerjaan yang semakin beragam. Misalnya Program Kelas Industri di SMK yang dicanangkan menteri pendidikan tahun 2019 lalu. Program Kelas Industri ini sangat jelas berorientasi pada logika neoliberalisme. Dalam petunjuk pelaksanaannya, program tersebut bertujuan agar pengetahuan dan keterampilan lulusan selaras dengan kebutuhan industri (work-based competence).

Keselarasan pengetahuan dan keterampilan dengan kebutuhan dunia industri ini mendorong lembaga-lembaga pendidikan lebih mengutamakan tujuan praktis. Artinya, pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan di lembaga pendidikan sama dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian kapitalis. Sehingga sistem pendidikan di Indonesia ini membatasi kebebasan seseorang untuk memperoleh pengetahuan lebih luas. Karena kurikulum yang diterapkan hanya sebatas pada kebutuhan perekonomian kapitalis yaitu, menciptakan tenaga kerja siap pakai.

Sistem pendidikan kita memang sudah sejak dahulu dicocokkan dengan kebutuhan industri. Seperti sekolah Belanda (Eurospeesch Lagere School) yang diperuntukan pribumi pada masa politik etis yang mempunyai tujuan politik terselubung, yaitu mencetak pegawai pemerintahan dari kalangan pribumi yang bisa dibayar murah. Awalnya sekolah ini hanya diperuntukan bagi kalangan Belanda dan Eropa. Setelah politik etis dicetuskan, sekolah tersebut bisa diakses oleh pribumi. Namun hanya berlaku untuk orang-orang dari golongan bangsawan.

Kebijakan ini pada akhirnya menciptakan deskriminasi ekonomi di dalam pendidikan. Deskriminasi dalam pendidikan terus berlanjut hingga sekarang. Orang-orang dengan standar hidup rendah, tidak bisa mengakses jenjang pendidikan tinggi. Hal ini sudah diramalkan secara ilmiah oleh Marx satu setengah abad yang lalu bahwa “perluasan umum dari pendidikan populer memungkinkan varitas kerja ini direkrut dari kelas-kelas yang sebelumnya tidak diikut-sertakan dan yang terbiasa dengan suatu standar hidup yang lebih rendah” (Marx, 2007 : 294).

Sistem pendidikan yang berjenjang dengan kebijakan seleksi masuk membuktikan adanya deskriminasi pendidikan secara jelas. Contohnya sistem seleksi masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN dan SBMPTN), kalau kita kritisi lebih dalam, sistem seleksi ini bertujuan untuk menyaring “anak-anak yang berkualitas secara intelektual dan ekonomi untuk dapat diolah (diberikan ‘nilai tambah’ dalam konsep ekonomi kapitalis) menjadi produk lulusan yang berkualitas, dalam istilah sekarang disebut sebagai memiliki kompetisi yang memadai.” (Darmaningtyas, 2012 : 43)

Kedua, capitalist plan in education yang berarti bahwa pendidikan termasuk dalam kategori badan usaha. Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan sarana penciptaan laba. Dalam logika kapitalis, penciptaan barang dan pengadaan jasa bukan merupakan hal yang menjadi tujuan utama. Kapitalis tidak memproduksi barang untuk kebutuhan masyarakat. Begitu juga dengan jasa, kapitalis tidak menyediakan layanan kesehatan, layanan pendidikan, dan sebagainya untuk membantu keperluan masyarakat. Pendidikan sebagai salah satu yang dibutuhkan masyarakat di mata kapitalis adalah komoditas yang yang bisa memuluskan agenda akumulasi kapitalnya. Maka kemudian pendidikan dikomodifikasi menjadi suatu badan usaha layanan masyarakat.

World Trade Organization(WTO) sebuah organisai internasional yang mewadahi kepentingan kapitalis global memandang dan memperlakukan pendidikan sebagai badan usaha. Atas asumsi bahwa pendidikan termasuk ke dalam kategori industri karena pendidikan mengubah benda fisik, keadaan manusia, dan benda simbolik, di mana kegiatan pokonya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan tidak memiliki keterampilan menjadi memiliki pengetahuan dan keterampilan.

Pendidikan yang berorientasi akumulasi laba membuat biayanya semakin mahal. Orang dengan standar hidup yang rendah tidak mampu menempuh pendidikan tinggi. Mereka yang mentok pada jenjang SLTA bahkan SLTP lebih memilih menjadi pekerja upahan dan sebagian kecil dari mereka menjalankan bisnis kecil-kecilan. Beberapa memang sanggup menempuh jenjang pendidikan tinggi, entah dapat beasiswa atau bekerja keras menjadi pekerja sambilan di samping ia bersekolah. Namun, pada akhirnya ia hanya menjadi sekrup pada bangunan raksasa kapitalisme.

Engels, satu abad yang lalu pernah menuliskan bahwa “para tukang magang (apprentice) dan para pekerja-tukang (journeyman) di dalam gilda bekerja bukan untuk upah dan sesuap nasi semata, tetapi terutama untuk pendidikan supaya mereka sendiri akhirnya bisa menjadi kepala tukang – master craftsman.” Artinya, setinggi apa pun pendidikannya jika ia tidak menjadi kapitalis, ia tetap akan menjadi kelas buruh. Menjadi first-line manager, akuntan, ilmuan, peneliti, insinyur, teknisi dan sebagainya – kerja-kerja yang mendorong modernisasi – tentulah membutuhkan pendidikan yang tinggi. Tentu hanya orang-orang dengan standar hidup tinggi dan mereka yang mendapatkan beasiswa – atau bekerja keras menjadi pekerja sambilan – yang bisa menempuhnya.

Watak deskriminatif kepitalisme merupakan dampak dari kompetisi antar individu. Logika kompetisi adalah menang atau kalah, sehinga mendorong terjadinya diferensiasi kelas. Orang yang menang dalam persaingan akan naik kelas (kapitalis) sedangkan orang yang kalah dalam persaingan akan turun kelas (buruh). Pada era neoliberal seperti saat ini, di mana segala sesuatu diatur dalam mekanisme pasar maka seorang kapitalis akan tetap menang sedangkan seorang buruh akan tetap kalah. Karena kelas kapitalis-lah yang membentuk dan menguasai pasar.

Ketiga, capitalist plan for education corporations globally, yaitu jual beli layanan pendidikan skala internasional. Kapitalisme adalah sistem produksi dan reproduksi yang membutuhkan wilayah luas untuk sirkulasi kapitalnya. Wilayah ini sebagai pasar untuk melakukan aktivitas pertukaran barang dan jasa. Semakin luas pasar yang dikuasainya, maka laba yang didapatkan akan semakin besar. Oleh karena itu pendidikan sebagai salah satu layanan jasa menjadi komoditas yang diperjual-belikan dalam skala internasional. Misalnya, pendirian cabang kampus luar negeri di Indonesia yang dicanangkan pemerintah pada 2018 lalu. Meskipun pemerintah menggunakan dalih untuk peningkatan mutu pendidikan, pendirian cabang kampus luar negeri ini merupakan contoh jual beli layanan pendidikan skala internasional.

Liberalisasi Pendidikan di Indonesia sunting

Upaya liberalisasi pendidikan di Indonesia sudah dimulai pada akhir pemerintahan Soeharto. Namun, dapat terlihat jelas setelah reformasi tahun 1998 bersamaan dengan gerakan demokratisasi Indonesia. Indonesia pada saat itu mengalami krisis politik dan ekonomi. Untuk menangani hal tersebut, Presiden Habbibie mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum. Kebijakan ini merubah status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkemuka yaitu UI, UGM, ITB, dan IPB menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) yang sifatnya publik menjadi privat.

Perubahan status ini mengasumsikan bahwa dengan diubahnya PTN menjadi PT BHMN akan mendorong otonomi, demokrasi, dan kemandirian dari lembaga pendidikan (Darmaningtyas, 2009). Padahal, jelas di dalamnya ada kepentingan kapital yang menginginkan pendidikan menjadi sarana akumulasi kapital. Dengan otonomi itu, perguruan tinggi bebas dalam memungut biaya sehingga biaya kuliah menjadi bermacam-macam. Mulai dari uang masuk, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), Satuan Kredit Semester (SKS), dan lain-lain yang sekarang menjadi uang pangkal dan Uang Kuliah Tunggal (UKT).

Upaya privatisasi pendidikan pun terus berlanjut dan dilakukan secara terang-terangan dimulai setelah pemerintah mengeluarkan UU nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) . Meskipun pada tahun 2010 UU BHP ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, namun dua tahun berselang melalui UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), pendidikan kembali menjadi berstatus badan hukum dengan istilah baru yakni PTN BH. Perubahan ini pun akhirnya mendorong semua perguruan tinggi menjadi badan hukum milik negara.

Dunia yang telah di manipulasi oleh logika kapitalis merubah pola pikir masyarakat bahwa pendidikan mampu merubah kehidupan seseorang menjadi lebih mapan. Orientasi masyarakat terhadap dunia pendidikan adalah orientasi kerja bukan pada substansinya. Ada sebuah ungkapan yang sering penulis dengar dari motivator-motivator, “kalau mau sukses, kamu harus rela berkorban uang.” Artinya, jika ingin sukses atau memiliki jabatan yang tinggi dalam pekerjaan, ia harus rela mengeluarkan uang lebih banyak untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini ada kaitannya dengan pragmatisme mahasiswa di lingkungan kampus.

Cara berpikir menggunakan rasio telah tertanam pada kehidupan masyarakat. Orang lebih menitikberatkan untung-rugi dalam melakukan kegiatan sehari-harinya. Hal ini pun terjadi di kalangan akademisi dan profesional seperti mahasiswa. Misalnya, seorang mahasiswa yang kuliah di jurusan kedokteran. Karena menempuh pendidikan kedokteran harus dengan membayar mahal, maka mahasiswa tersebut akan melihat untung atau rugi dari biaya kuliah tersebut. Mahasiswa tersebut akan melakukan tindakan-tindakan yang mendukung agar perkuliahannya cepat selesai. Atau melakukan tindakan yang sekiranya senilai dengan apa yang telah dibayarkannya. Hal ini pun mempengaruhinya setelah ia lulus. Profesi seorang dokter yang sebelumnya memiliki misi untuk kemanusian berubah menjadi misi untuk mengembalikan modal kuliah bahkan untuk akumulasi modal.

Liberalisasi pendidikan memang terkesan selalu baik, karena upaya tersebut dilakukan dengan menumpang gerakan aktivis pro-demokrasi. Padahal demokrasi yang diperjuangkan adalah demokrasi kapitalisme. Pendidikan pun hilang esensinya sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang disebutkan dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Kini pendidikan hanya menjadi sarana penciptaan laba bagi kapitalis. Pendidikan hanya mereproduksi ketimpangan sosial dan menciptakan kesenjangan intelektual antara orang kaya dan orang miskin.


Bacaan Tambahan : sunting

Darmaningtyas. 2012. Manipulasi Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta : Resistbook

Darmaningtyas, Edi Subkhan, dan Panimbang, Ismail Fahmi. 2009. Tirani Kapital dalam Pendidikan : Menolak UU BHP (Badan Hukum Pendidikan). Jakarta : Damar Press dan Pustaka Yashiba

Mulyanto, Dede. 2018. Genealogi Kapitalisme, Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik. (Cetakan Kedua). Yogyakarta : Resistbook

Marx, Karl Heinrich. 2007. Kapital : Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Proses Produksi Kapitalis Secara Menyeluruh : Buku III. Penerjemah Oey Hay Djoen. Surabaya : Hasta Mitra

Tompatimasang, Roem. 2018. Sekolah Itu Candu. Cetakan ke-13. Yogyakarta : Insist Press