Lompat Batu
Pengantar
suntingSaya Mesrawati Telaumbanua. Saya berasal dari Nias.
Premis
suntingSore itu Heri berkeliling desa sambil menaiki sepedanya. Perjalanannya terhenti karena kerumunan orang yang sedang latihan Lompat Batu. Awalnya Heri kesal dengan kerumunan itu. Tapi setelah melakukan pembicaraan dengan Bang Yama, Heri menyukai kerumunan itu.
Lakon
sunting- Heri
- Bang Yama
Lokasi
suntingNias Selatan
Cerita Pendek
suntingBersepeda
suntingSore itu Heri kembali menaiki sepedanya. Ia mengayuhnya dengan kencang. Heri memang sangat senang bermain sepeda. Hampir setiap sore dia mengelilingi halaman desa dengan sepedanya.
Tapi sore itu halaman desa Hilisimaetanὃ cukup ramai. Ada banyak pemuda yang sedang berdiri mengitari Hombo Batu. Hombo Batu adalah salah satu warisan budaya dari Pulau Nias. Hombo Batu terbuat dari batu-batu yang dibentuk seperti piramida. Tinggi Hombo Batu biasanya sekitar 2 meter. Orang Nias menggunakan Hombo Batu sebagai media untuk melakukan aksi Lompat Batu. Dalam bahasa Nias, aksi Lompat Batu disebut Fahombo. Tampaknya para pemuda desa sedang melaksanakan latihan Fahombo.
Wajah Heri yang tadinya semangat tiba-tiba berubah menjadi kesal. Kumpulan keramaian itu menghalanginya untuk bersepeda. Ia pun membuat laju sepedanya semakin melambat. Ia tidak ingin ada kecelakaan karena sepeda yang dikayuhnya.
Dari kejauhan Bang Yama berteriak memanggilnya. Sepertinya Bang Yama juga ikut mempersiapkan diri untuk antraksi budaya desa.
"Bang Yama ikut latihan juga, ya?" tanya Heri sambil meletakkan sepedanya di dekat kursi batu.
"Iya. Bang Yama harus ikut latihan. Persiapannya tinggal satu minggu lagi. Jadi semua harus dipersiapkan dengan baik,” jawab Bang Yama.
Bang Yama menggeser badannya agar Heri bisa duduk di sebelahnya. Ternyata saat itu Bang Yama kehausan. Air minum yang dibawanya sudah habis. Ia ingin meminta air minum milik Heri.
“Bang Yama mau minta air minum Heri, dong. Air minum Abang sudah habis, nih. Abang boleh minta sedikit, enggak?" tanya Bang Yama kepada Heri. Bang Yama kelihatan sangat letih. Wajahnya memerah penuh dengan keringat.
"Tentu saja, Bang. Ini airnya. Sebentar lagi aku juga akan pulang ke rumah, kok," jawab Heri sambil memberikan botol minumnya. Ia kasihan melihat Bang Yama yang kehausan.
Setelah meminum beberapa teguk, kekuatan Bang Yama langsung pulih kembali. Ia mengembalikan botol minum Heri sambil mengucapkan terima kasih.
"Saohagὃlὃ, ya,” kata Bang Yama. Dalam Bahasa Nias, saohagὃlὃ artinya terima kasih. Heri mengangguk sambil tersenyum ramah.
“Heri tidak bersepeda lagi?" tanya Bang Yama kepada Heri. Heri menarik nafasnya panjang. Sebenarnya ia tidak menyukai keramaian ini. Tapi ia takut mengatakannya kepada Bang Yama.
"Tidaklah Bang. Bersepeda di keramaian seperti ini kurang seru,” Jawab Heri sekenanya.
“Hampir tiap sore abang-abang pemuda latihan Lompat Batu. Untuk apa sih, Bang?" tanyanya sambil memandangi kumpulan pemuda yang ada di depannya.
"Minggu ini ada tamu dari Jakarta. Mereka ingin melihat antraksi Fahombo.”
Mendengar jawaban Bang Yama, Heri menoleh kebingungan.
"Apakah di Jakarta tidak ada Hombo Batu?
"Tidak. Fahombo itu tradisi asli orang Nias. Itu pun hanya ada di beberapa daerah tertentu di Pulau Nias."
Heri terkejut heran. Selama ini ia mengira antraksi Lompat Batu ada di semua daerah di Indonesia.
“Karena Lompat Batu ini budaya asli Nias, makanya orang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihatnya," tambah Bang Yama sambil mengacak-acak rambut Heri. Heri masih belum bisa merespon penjelasan Bang Yama. Ia masih larut dalam keheranannya.
"Jangan-jangan kamu sendiri tidak tahu kisah di balik Lompat Batu ini, ya?" tanya Bang Yama pada Heri.
Heri mengangguk sambil tersipu malu.
"Hehe.. Heri tidak tahu, Bang. Kalau abang tidak keberatan, ceritalah, Bang. Heri mau mendengarnya," pintanya kepada Bang Yama.
Bang Yama mengangguk tak keberatan. Ia mau memberi penjelasan tentang Hombo Batu kepada Heri.
Pelompat Batu
sunting"Zaman dulu peperangan antar desa sering sekali terjadi. Situasinya tidak aman dan damai seperti yang kita lihat saat ini. Sebentar-sebentar, ada saja peperangan. Tentu diperlukan prajurit yang bertugas untuk melindungi desa. Nah, aksi Fahombo pun dilakukan untuk melihat seberapa besar kekuatan para calon pejuang. Kalau seseorang dapat melompati batu ini, dia dianggap sudah memiliki kemampuan yang cukup untuk ikut di medan perang," jelas Bang Yama penuh dengan semangat.
"Tapi mengapa menyeleksinya harus dengan lompat batu, Bang? Mengapa tidak dengan lomba lari saja?" tanya Heri.
"Situasi desa-desa di Nias dulu bukan seperti ini, Her. Biasanya ada tembok-tembok tinggi yang mengitari desa. Tembok tinggi itu berguna untuk melindungi desa dari serangan musuh. Tentu orang yang bisa melompati Hombo Batu tadi akan lebih mudah juga untuk melompati tembok-tembok yang tinggi. Oleh karenanya, prajurit diseleksi dengan cara tadi. Lagipula, aksi Hombo Batu tidak hanya sekedar melihat kemampuan melompat, tetapi juga terdapat kemampuan berlari, ketepatan waktu, dan kesiapan mental dalamnya. Kalau satu hal itu saja diabaikan, calon pejuang pasti akan sulit melompati Hombo Batu ini."
Ckckck. Heri terkagum mendengar penjelasan Bang Yama yang cukup detail.
"Iya juga ya, Bang,” jawabnya sambil mengangguk kecil. Tampaknya ia mulai paham.
“Tapi saat ini peperangan antar desa kan sudah tidak ada lagi. Semua orang sudah hidup dengan damai. Mengapa antraksi Fahombo ini masih tetap dilakukan?" Heri kembali penasaran. Ia berharap Bang Yama mau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkannya.
"Benar. Peperangan antar desa memang sudah tidak ada lagi, Her. Tapi semangat untuk menjaga desa itu tidak boleh hilang. Kita tidak ikut berperang seperti prajurit dulu. Tapi kita bisa menjaga desa dengan tetap mengingat perjuangan para prajurit dulu. Berkat perjuangan merekalah, kita bisa menikmati banyak hal-hal baik saat ini. Kalau sejarah perjuangan mereka dilupakan, maka kita ini sama seperti......."
Belum sempat Bang Yama menyelesaikan penjelasannya, Heri segera memotong, "Seperti kacang yang lupa akan kulitnya, Bang!" sambung Heri. Ia ingat peribahasa yang telah diajarkan oleh gurunya tadi siang.
“Betul sekali apa yang Heri katakan. Bayangkan kalau sampai saat ini kita masih berperang. Apa yang akan terjadi?” tanya Bang Yama pada Heri.
"Mmm...kalau sampai sekarang desa kita tidak aman, Heri mungkin tidak akan bisa bermain sepeda dengan bebas seperti saat ini, Bang. Mungkin Heri akan mengurung diri saja di dalam rumah saja sepanjang waktu. Hiiii... " Heri berdigik ngeri membayangkan situasi pada zaman dulu. Betapa tidak menyenangkannya hidup di masa perang.
"Nah, itulah alasan mengapa Hombo Batu ini masih ada sampai saat ini. Hombo Batu bukan hanya sekedar antraksi semata. Tapi sebagai bentuk semangat kita untuk menjaga desa yang tercinta ini."
Bertekad
suntingHeri mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar penjelasan Bang Yama. Pada akhirnya ia memahami mengapa para pemuda di desanya melakukan aksi lompat batu. Ia juga kagum pada Bang Yama yang dapat menjelaskannya dengan baik.
"Kalau nanti aku sudah besar, aku mau latihan lompat batu, Bang. Untuk saat ini, biarlah aku belajar banyak hal tentang lompat batu. Paling tidak aku bisa menjelaskan tentang lompat batu ini kepada para tamu dari Jakarta. Biar mereka juga tahu sejarah kita," tekad Heri pada dirinya sendiri. Ia jadi tidak sabar menunggu kedatangan tamu dari Jakarta.
"Nah, gitu dong. Kalau bukan kita yang menjaga desa kita, siapa lagi?" kata Bang Yama sambil menutup penjelasannya. Ia menepuk-nepuk pundak Heri dengan bangga. Ia senang Heri mau belajar tentang warisan desanya.
Heri menarik nafasnya lega. Keramaian di depannya tidak lagi membuatnya cemberut. Hari ini dia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Tumpukan batu yang selalu dilewatinya dengan sepeda itu ternyata memiliki banyak cerita. Di atas tumpukan batu itu, prajurit-prajurit desa sering melompat dengan hebat. Mereka gigih dan penuh semangat. Heri tahu bahwa suatu saat dia juga akan menjadi seorang pelompat batu. Semoga.