Manajemen Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan/Aspek perencanaan dalam pengembangan

Perencanaan merupakan langkah untuk melihat kedepan, memperkirakan apa yang akan terjadi sehingga dapat dirumuskan strategi yang akan ditempuh pemerintah ataupun perusahaan dalam mengembangkan sistem angkutan sungai, danau dan penyeberangan.

Dasar pelaksanaan perencanaan

sunting

Secara umum perencanaan transportasi harus dikaitkan tata ruang sebagaimana diatur dalam Undang-undang no 20 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dimana dikatakan bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

 

Selanjutnya didalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dikatakan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara. Sedangkan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dan tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang. Terkait dengan RTRWN adalah Rencana Jangka Panjang Kementrian Perhubungan 2005-2025 yang merupakan rencana indikatif yang berisikan latar belakang, kondisi transportasi nasional tahun 1995-2004, aspek-aspek fundamental, arah pembangunan transportasi jangka panjang 2005-2025 serta penutup, digunakan sebagai acuan bagi seluruh unit kerja di lingkungan Kementrian Perhubungan dalam penyusunan Rencana Strategis, Rencana Kerja serta Rencana Kerja dan Anggaran Kementrian Perhubungan, yang selanjutnya dituangkan dalam Master Plan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan sirinci lebih lanjut dalam Program kerja Direktorat LLASDP.

Perencanaan ASDP

sunting

Perencanaan transportasi adalah suatu perencanaan kebutuhan prasarana transportasi seperti jalan, terminal, pelabuhan, pengaturan serta sarana untuk mendukung sistem transportasi yang efisien, aman dan lancar serta berwawasan lingkungan. Secara sederhana proses perencanaan mengikuti alur sebagaimana digambarkan berikut ini:

 

Pengembangan Angkutan Penyeberangan Nasional sebagaimana dirumuskan dalam Masterplan Perhubungan Darat[1] mengkuti pola berikut :

  1. Poros memanjang: meliputi poros Utara, Tengah dan Selatan yang menghubungkan pulau-pulau arah Timur dan Barat. Untuk mendukung struktur ruang nasional yang telah ditetapkan dalam RTWN maka pengembangan jaringan penyeberangan dititik beratkan pada jaringan transportasi penyeberangan lintas Utara dari Sabang sampai Jayapura melalui Pontianak, Nunukan, Manado, Ternate dan Biak. Jaringan transportasi lintas tengah dari Palembang ke Jayapura melalui Banjarmasin,Ujung Pandang, Kendari, Ambon, Sorong dan Biak. Jaringan transportasi penyeberangan lintas selatan dari Sabang sampai Merauke melalui Jakarta, Bali, Bima, Kupang, Dilli dan Tual.
  2. Penghubung poros: lintas penyeberangan jarak jauh yang menghubungkan pulau-pulau utama Utara – Selatan. Lintas penyeberangan penghubung poros merupakan lintas penghubung simpul aktivitas ekonomi yang terdapat sepanjang poros. Lintas penghubung poros yang diidentifikasikan dapat dikembangkan diantaranya : Surabaya - Ujung Pandang, Apatuna - Mbai, Bima - Bau-bau
  3. Poros internasional: Lintas penyeberangan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga untuk mendukung kerjasama regional dan kutub-kutub pertumbuhan. Untuk mendukung kerjasama regional dan kutub-kutub pertumbuhan, diidentifikasikan lintas penyeberangan yang perlu dikembangkan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yaitu Kupang - Darwin, Medan - Langkawi, Sulawesi Utara - Tawao.

Kondisi saat ini

sunting

Indikator kinerja sistem transportasi harus dipantau secara terus menerus agar dapat diketahui posisi demand dan supply sistem, bila demand sudah semakin dekat dengan supply, maka semakin kritis keadaan. Informasi yang perlu dikumpulkan diantaranya:

  1. Pertumbuhan kebutuhan angkutan, yang dilihat dari data historis bagi pelayanan yang sudah ada, termasuk juga perlu diketahui faktor musiman, apakah musim tanam, musim panen, musim hujan, musim kemarau ataupun faktor yang terkai dengan liburan anak sekolah ataupun pada saat hari-hari besar keagamaan.
  2. Tingkat penggunaan prasarana, untuk melihat sejauh mana faktor muat yang ada, apakah sudah mencapai titik kritis. Titik kritis berada pada kisaran faktor muat antara 0,7 sampai 0,8, bila sudah berada angka tersebut perlu langkah terobosan sehingga tidak terjadi antrian pada saat puncak arus angkutan.
  3. Waktu tunggu merupakan salah satu indikator pelayanan yang penting, waktu tunggu yang panjang mengindikasikan terjadinya masalah kapasitas dalam penyediaan pelayanan.
  4. Kecepatan pelayanan merupakan indikator lain yang terkait dengan efisiensi sistem pelayanan.
  5. Panjang antrian merupakan indikator lain dari pelayanan angkutan, bila antrian panjang maka dapat diartikan bahwa waktu tunggu yang panjang.

Tahap pengumpulan data

sunting

Pada tahap ini akan dilakukan pergumpulan data, baik data dari sumber sekunder (instansi terkait) maupun data primer yang diperoleh dari survei di lapangan. Pada dasarnya pengumoulan data diusahakan semaksimal mungkin dari data sekunder, dimana pelaksanaan survei primer hanya dilakukan untuk melengkapi dan memperbarui data yang ada.

Persiapan Survei

sunting

Persiapan survei ini dilakukan untuk merencanakan secara detil pelaksanaan survei yang berkaitan dengan :

  1. Pemilihan metoda survei
  2. Penyiapan formulir survei sesuai derga1 metoda survei yang digura<an
  3. Penyiapan sumber daya survei dan penyusunan jadual pelaksanaan survei

Kebutuhan Data

sunting

Secara umum data yang dibutuhkan dapat digolongkan dalam 2 (dua) kategori yakni: data untuk pemodelan transportasi dan data untuk meramalkan pola pengembangan sistem jaringan transportasi dimasa yang akan datang. Data yang digunakan untuk memodelkan sistem jarngan transportasi regional yang terdiri dari:

  1. Data sosioekonomi, yang meliputi data jumlah dan penyebaran penduduk, tingkat pendidikan, jumlah dan ponyebaran tenaga kerja. PDRB dan PDRB perkapita, output (produksi) dari kegiatan ekonomi dan data terkait lainnya yang disusun menurut Kabupaten/Kota.
  2. Data tata ruang yang meliputi data penggunaan lahan per jenis kegiatan , pola penyebaran lokasi kegiatan, besaran penggunaan ruang dan pola kegiataanya.
  3. Data permintaan transportasi, yang merangkum karakteristik perjalanan di daerah yang akan di studi. Data tersebut meliputi kecepatan, waktu perjalanan, biaya, data kecelakaan, asal-tujuan perjalanan dan rute pelayanan utama.
  4. Data Jaringan transportasi, yang merangkum data mengenai kondisi dan tingkat pelayanan jaringan transportasi yang berada di dalam daerah studi, baik ruas maupun simpul pada jaringan jalan yang dioperasikan serta identifikasi kondisi simpul-simpul transfer antara moda lain dengan jaringan jalan.
  5. Data kondisi sungai-sungai, danau dan lintas penyeberangan
  6. Data simpul-simpul transportasi

Sedangkan data yang diperlukan untuk meramalkan pola pengembangan sistem transportasi perairan pedalaman, antara lain terdiri dari:

  1. Dokumen perencanaan dan rencana pengembangan atau tata ruang wilayah (RTRW) baik di level Nasional, Propinsi dan Kota, khususnya besaran-besaran teknis yang dapat digunakan untuk memprediksikan kebutuhan perjalanan dan kebutuhan sarana serta prasarana jalan unluk mendukung pelaksanaannya.
  2. Dokumen peraturan-peraturan yang terkait,
  3. Konsep dan besaran teknis dari sejumlah rencana pengenïbangan sistem jaringan transportasi dari beberapa sumber studi terdahulu untuk kemudian dikembangkan lebih lanjut sebagai alternatif skenario.
  4. Studi-studi terkait lainnya.

Metode pengumpulan data

sunting

Untuk bidang ASDP seperti juga pada bidang lainnya. karena begitu banyaknya data yang diperlukan untuk berbagai tujuan dan kepentingan maka terdapat pula berbagai jenis kegiatan survei yang harus dilakukan.

Adapun secara umum, berdasarkan sifat pergerakan obyek Surveinya. jenis-jenis kegiatan survei dapat dibedakan sebagai berikut:

  1. Survei ASDP yang bersifat statis/pasif di mana obyek dan subyek survei (surveyor) pada umumnya tidak melakukan proses pergerakan/perpindahan (masih berada pada suatu titik pindah dan belum melaksanakan kegiatan pengangkutan) yäng antara lain terdiri dari :
    1. Survei prasarana angkutan, seperti survei alur pelayaran (sungai, kanal/anjir, danau, waduk maupun selat) maupun terminal (pelabuhan/dermaga) untuk mencari data menyangkut tentang ketersediaan prasarana ASDP seperti panjang, dimensi, kondisi perairan, kelengkapan alur (rambu dll), fasilitas pelabuhan, kondisi iklim/alam dll
    2. Survei sarana angkutan (kapal) yang menyangkut tentang ketersediaan sarana angkut seperti macam-macam kapal, dimensi, jumlah kapal yang ada di suatu tempat dll
    3. Survei muatan (barang, penumpang dan kendaraan) yang menyangkut besarnya / banyaknya jumlah tingkat permintaan / tingkat produktivitas angkutan / jumlah muatan yang melalui pelabuhan / dermaga (bongkar- muat barang, embarkasi-debarkasi penumpang dan turun-naik kendaraan) serta jenis/karakteristik muatan tersebut (pengepakan, cair/padat, sembako/bukan dll)
    4. Survei asal tujuan, yang menyangkut tentang dari mana dan akan kemana muatan (penumpang, barang dan kendaraan) diangkut oleh kapal
    5. Survei sistem dan prosedur, yang menyangkut peraturan mengenai sarana, prasarana maupun muatan seperti survei standar kenyamanan alat angkut, penempatan muatan, kondisi kelaikan, persyaratan kelengkapan, sertifikasi, tarif, jaringan angkutan/trayek, Lalu lintas muatan di pelabuhan dll
    6. Survei organisasi/institusi, yang menyangkut kinerja dan kondisi keorganisasian dari institusi yang terlibat dalam penyediaan jasa transportasi, baik institusi pembina, pengelola (pengelola terminal, angkutan dan pendukung) maupun pengguna jasa, mengenai struktur organisasi, kegiatan operasional, jumlah pegawai, pendapatan dll
  2. Survei ASDP yang bersifat dinamis/aktif, di mana obyek dan subyek survei (surveyor) pada umumnya melokukan proses pergerakaniperpindahan (berada pada ruang transportasi/alur pelayaran dan sedang metaksakanakan kegiatan pengangkutan) yang antara lain :
    1. Survei volume lalu lintas, yang menyangkut intensitas/jumlah sarana yang melaluf suatu titik pada alur dalam suatu jangka/kurun waktu tertentu, seperti jumlah kapal yang bertalu lalang di Sungai Musi terutama yang melintas di depan Dermaga Cinde dll
    2. Survei kecepatan kapal, yang menyangkut tentang waktu tempuh yang díbutuhkan kapal untuk menempuh jarak tertentu seperti ecepatan sesaat, kecepatan rata-rata dll
    3. Survei perjalanan kapal, yang menyangkut trayek/rute yang ditempuh, berapa kali kapal tadf melakukan perjalanari dalam kurun waktu tertentu, tarif, jarak dan waktu tempuh, jumlah muatan yang dibawa, biaya operasional dll
    4. Survei kecelakaan kapal, yang menyangkut tentang kejadian kecelakaan yang terjadi pada alur pelayaran (tabrakan, tenggelam, jatuhnya penumpang ke perairan, pencurian/perompakan, kebakaran, pelanggaran peraturan, polusi lingkungan/tumpahan minyak, dsb) seperti jumlah kecelakaan dalam jangka waktu tertentu, jenis kecelakaan, jumlah korban, sebab kecelakaan dll
    5. Survei persepsi pengguna jasa, yang menyangkut opini dan kepuasan pengguna jasa terhadap pelayanan jasa transportasi yang dilakukan dll

Kemudian, berdasarkan sifat data yang disurvei, jenis-jenis kegiatan survei dapat dibedakan sebagai berikut :

  1. Survei Inventarisasi ASD, di mana surveyor pada umumnya melakukan proses pengumpulan data mengenai kelengkapan komponen obyek survei (melakukan inventarisasi) yang antara lain terdiri dari :
    1. Survei inventarisasi alur, yaitu mengambil data mengenai komponen- komponen alur dan kelengkapannya seperti dimensi, arus, debit, rambu dll
    2. Survei inventarisasi pelabuhan/dermaga yang menyangkut tentang ketengkapan fasilitas di wilayah pelabuhan seperti dimensi lapangan parkir, kolam pelabuhan, dll
    3. Survei inventarisasi kapal yang menyangkut tentang jenis, dimensi, ukuran GRT, sertífikasi kapal, kelengkapan, kelaikan dll
    4. Survei inventarisasi awak kapal, yang menyangkut tentang personil di kapal seperti sertifikasi awak, jumlah, kecakapan, kebangsaan dll
    5. Survei inventarisasiinstitusi dll
  2. Survei Karakteristik & Kinerja ASDP, di mana surveyor pada umumnya melakukan proses pengumpulan data mengenai kondisi, sifat maupun unjuk kerja obyek survei yang antara lain terdiri dari :
    1. Survei muatan
    2. Survei volume lalu lintas
    3. Survei kedatangan & keberangkatan kapal
    4. Survei produktivitas angkutan
    5. Surveikecepatan sarana
    6. Survei tarif
    7. Survei trayek

Analisis

sunting

Tahap ini terdiri dari beberapa bagian, yakni: analisis awal, prediksi permintaan perjalanan, penyusunan rencana pengembangan jaringan transportasi dan penyusunan rekomendasi. Berikut disampaikan detail bahasan untuk setiap item yang termasuk dalam tahapan ini.

Analisis Awal

sunting

Analisis awal merupakan kegiatan untuk menginterpretasi sejumlah data yang diperoleh dari survei. Kegiatan ini dilakukan untuk:

  1. Memverifikasi kualitas dan jenis data yang diperoleh; sebagai awal untuk memodelkan sistem jaringan transportasi.
  2. Mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang ada di dalam sistem jaringan transportasi sungai dan penyeberangan, yang dituangkan dalam bentuk numerik, uraian ataupun visual/gambar.
  3. Membentuk basis data yang operatif untuk digunakan dalam proses pemodelan dan analisis.
  4. Melakukan pre-analisis untuk membentuk konsep pengembangan jaringan transportasi sungai yang terintegrasi dengan jaringan transportasi lain.

Lingkup Penyusunan Rencana Umum

sunting

Penyusunan rencana umum transportasi perairan daratan regional memiliki lingkup kegiatan dan pertimbangan yang secara menyeluruh menggabungkan beberapa konsep perencanaan pengembangan wilayah dalam kerangka yang luas. Gambar berikut menunjukkan lingkup pertimbangan dan rencana yang dicakup dalam studi ini.

 

Analisis alur yang potensial, menurut Nur Yuwono (1994), didasarkan pada alur yang dapat dilayari serta alur dengan tingkat permintaan yang baik. Untuk itu terdapat tiga kriteria yang harus dipenuhí oleh suatu alur, baik sungai ataupun danau, untuk dikategorikan sebagai atur yang potensial:

  1. ukuran fisik perairan/sungai (panjang, Lebar, kedalaman dan belokan sungai)
  2. perilaku hidrolik perairan (banjir, pasang surut dan arus sungaí)
  3. keberadaan alur tersebut harus berada di lokasi yang ramai untuk dilayani secara ekonomis ataupun sosial budaya, contoh: daerah industri, pemukiman, pusat kegiatan ekonomi dan wisata.

Berdasarkan pengalaman di negara maju seperti Belanda, Reinier Wijnstra (1995) berpendapat hampir sama namun menambahkan beberapa aspek penting terutama untuk angkutan yaitu :

 

Pada gambar di atas, yang dimaksud kapal dengan transit yaitu kebutuhan angkutan lanjutan antara gudang dan dermaga terhadap jarak menggambarkan karakter angkutan perairan daratan (ASD). Terlihat bahwa untuk dapat bersaing dengan angkutan jalan, maka jarak tempuh minimal agar lebih menguntungkan adalah pada sekitar jarak 80 km. Jika kapal barang untuk angkutan peraíran daratan memiliki kecepatan sekitar 7 knot atau sekitar 13 km/jam maka jarak di atas dapat ditempuh selama sekitar 6 jam. Sementara itu, untuk angkutan penumpang yang menelusuri sungai (tidak hanya menyeberangi sungai secara keseluruhan) waktu tempuh mínimal adalah sekitar 30 menit atau selama 6,25 menit, jika kecepatan kapal penumpang rata-rata adalah 25 km/jam atau sekitar 12,5 knot.

Kedalaman Alur

sunting

Pada suatu sungai dan juga danau, hal yang pokok untuk diperhatikan adalah kedalaman alur yang dapat dilayari. Apabila pengaruh fluktuasi muka air sangat besar, baik akibat pasang surut maupun perubahan musim, maka kedalaman alur (navigable depth) tersebut sebaiknya dihitung pada muka air rendah atau LWL (low water level).

Pertimbangan pertama adalah rencana pengembangan ruang kegiatan di wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya dari ruang kegiatan yang akan dikembangkan dapat ditetapkan lokasi simpul transportasi jalan yang penting dan harus terhubungkan oleh jaringan transportasi. Terakhir dikembangkan rencana jaringan yang menghubungkan antar simpul-simpul yang dibutuhkan.

Hasil dari kegiatan ini adalah diperolehnya daftar kebutuhan pengembangan jaringan transportasi, khususnya jaringan transportasi perairan daratan, yang terkeit dengan jaringan moda transportasi lainnya.

Usulan kebutuhan pengembangan jaringan transportasi ini perlu ikembangkan Lebih lanjut untuk dapat menyusun program pencapaiannya atau skala prioritasnya. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat dengan keterbatasan sumber daya, kemungkinan besar tidak semua kebutuhan pengembangan jaringan transportasi dapat terlaksana dalam satu tahun anggaran.

Analisis Alur Yang Potensial

sunting

Selain faktor fluktuasi air, hal Lain yang harus diperhatikan dalam penentuan kedalaman atur adalah sarat air (draft) kapal, squat (pengaruh penurunan muka air di sekitar kapai karena pergerakannya), trim (perbedaan antara draft haluan dan buritan), pergerakan kapal, massa jenis air sungai, tingkat kekerasan dan kerataan dasar atur serta keef c(earance (jarak ruang kosong antara lunas dan dasar kapal). Menurut ESCAP (1989)[2], secara umum kedalaman alur pelayaran dapat ditentukan sebagaí berikut :

  1. Untuk alur normal, di mana terdapat dua lajur Lalu lintas kapal yang berlayar dengan kecepatan normal serta kapal bermuatan rencana dapat mendahului kapal di depannya dengan berhati-hati, kedalaman atur sebaiknya minimum sebesar 1,4 kali draft kapal
  2. Untuk alur sempit, di mana terdapat dua lajur lalu lintas kapal yang berlayar dengan berhati-hati serta kapal tak bermuatan dapat mendahului kapal di depannya dengan berhati-hati, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,3 kali draft kapal.
  3. Untuk alur tunggal, di mana terdapat satu lajur Lalu líntas kapal yang berlayar, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,2 kali draft kapal

Menurut Nur Yuwono (1994)[3], kedalaman alur dapat ditentukan sebagai berikut:

  1. Untuk alur yang relatif tidak berfluktuasi, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,5 hingga 1,7 kali draft kapal
  2. Untuk alur yang berfluktuasi, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,2 hingga 1,5 kali draft kapal
  3. Untuk alur yang diketahui tinggi muka air rendahnya, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,2 kali draft kapal dihitung dari LWL.

Sementara itu, berdasarkan efisiensi daya dorong kapal atau blockage ratio, kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,5 kali draft kapal Adapun berdasarkan kemudahan dalam pengendalian kapal kedalaman alur sebaiknya minimum sebesar 1,6 hingga 2,4 kali draft kapal.

 

Dalam hal ini akan dipergunakan kedalaman mínimum atur sebesar 1,5 draft (h,jn = 1,5 × d) mengingat nilai ini cukup mewakili kondisi dari berbagai ketentuan di atas. Di samping itu, nilai ini dirasa sudah mencukupi di mana besar keel clearance adalah sebesar 0,5 kali draft kapal. Hal ini bukan hanya untuk sungaf namun juga danau. Besarnya draft kapal sebaiknya diambil dari ukuran kapal yang dominan melintas atau setidaknya kapal terbesar.

Kelebaran Alur

sunting

Pada umumnya, kelebaran sungaf untuk keperluan navigasi telah cukup memadai. Meskipun demikian, karena sungai memiliki penampang melintang (cross section) yang berbeda-beda di sepanjang sungai maka kelebaran sungai pun akan bervariasi. Selain faktor fluktuasi air, hal Lain yang harus diperhatikan dalam penentuan kedalaman atur adatah kecepatan kapal, angín melintang, arus melintang, arus membujur, gelombang akibat alam, visibilitas terhadap SBNP, permukaan dasar alur, tingkat bahaya muatan, kemampuan manuver kapal, jenis perkuatan tebing dan intensitas kepadatan Lalu lintas kapal.

Menurut ESCAP (1989), secara umum kedalaman alur pelayaran dapat ditentukan sebagai berikut :

  1. Untuk alur normal, di mana terdapat dua lajur lalu lintas kapal yang berlayar dengan kecepatan normal serta kapal bermuatan rencana dapat mendahului kapal di depannya dengan berhati-hati, kelebaran alur sebaiknya minimum sebesar 4 kali lebar kapal
  2. Untuk alur sempit, di mana terdapat dua lajur lalu lintas kapal yang berlayar dengan berhati-hati serta kapal tak bermuatan dapat mendahului kapal di depannya dengan berhati-hati, kelebaran alur sebaiknya minimum sebesar 3 kall lebar kapal
  3. Untuk alur tunggal, di mana terdapat satu Lajur lalu lintas kapal yang berlayar, kelebaran alur sebaiknya minimum sebesar 2 kali lebar kapal.

Menurut Nur Yuwono (1994), kelebaran alur dapat ditentukan sebagai berikut :

  1. Untuk alur di mana kapal yang melintas relatif seragam, kelebaran alur sebaiknya minimum adalah 5,2 hingga 8,2 kali lebar kapal.
  2. Untuk alur di mana kapal yang melintas relatif tidak seragam, kelebaran alur sebaiknya minimum adalah 3,5 kali lebar kapal. Dalam hal ini akan dipergunakan kedalaman minimum alur sebesar 3,5 kali lebar (we = 3,5 x B) kapal yang dominan melintas mengingat nilai ini cukup mewakili kondisi dari berbagai ketentuan di atas.

 

Hal ini hanya berlaku untuk sungai dan kanal karena aspek kelebaran pada danau umumnya tidak dipersoalkan.

Tikungan Alur

sunting

Pada sungai alami, biasanya akan dijumpai banyak meander atau tikungan sungai. Jíka tikungan itu terialu tajam maka akan menyulitkan manuver kapal di tikungan, mempercepat aliran arus dan mengurangi jarak pandang. Ketajaman tikungan sungai ditentukan dari besarnya nilaf radius atau jari-jari tikungan.

Menurut ESCAP (1989)[4], secara umum tikungan alur pelayaran dapat ditentukan sebagai berikut :

  1. Untuk atur normal, jari-jari tikungan alur sebaiknya minimum sebesar 6 kali lebar kapal.
  2. Untuk alur sempit, jari-jari tikungan alur sebaiknya minimum sebesar 5 kali lebar kapal.
  3. Untuk alur tunggal, jari-jari tikungan alur sebaiknya minimum sebesar 4 kall lebar kapal.

Untuk dapat dikategorikan Layak, tentunya sebaiknya digunaka alur normal di melintas (Rmin = 6 x B), Hal ini hanya berlaku untuk sungai karena danau tidak memiliki tikungan.

Kecepatan Arus

sunting

Arus sungai akan bertambah lambat apabila bergerak ke hilir (muara sungai). Semakin besar kecepatan arus maka akan makin berbahaya karena mengurangi kemampuan pengendalian kapal. Menurut PIANC, secara umum arus sungai dapat dibedakan sebagai berikut:

  • Arus lambat yaitu apabila lebih kecil dari 0,77 m/s
  • Arus sedang yaitu apabila sebesar 0,77 m/s hingga 1,54 m/s
  • Arus kuat/deras yaitu apabila lebih besar dari 1,54 m/s

Untuk dapat dikategorikan layak, tentunya sebaiknya adalah arus sedang atau tambat, yaitu maksimal sebesar 1,54 m/s.

Kelas Alur

sunting

Menurut ESCAP (1984)[5], suatu alur berdasarkan kemampuannya untuk dapat dilayari oleh kapal dengan kapasitas muatan tertentu dapat dikategorikan menjadi 10 kelompok yaitu :

Tabel 4.1. Penentuan Kelas Alur

Kategori Alur Kapasitas Angkut Kapal Yang Mampu Melewati
Tidak dapat dilayari Di bawah 1 ton
Alur Kelas 1 Antara 1 hingga 16 ton
Alur Kelas 2 Antara 16 hingga 50 ton
Alur Kelas 3 Antara 50 hingga 100 ton
Alur Kelas 4 Antara 100 hingga 250 ton
Alur Kelas I Antara 250 hingga 400 ton
Alur Kelas II Antara 400 hingga 650 ton
Alur Kelas III Antara 650 hingga 1.000 ton
Alur Kelas IV Antara 1.000 hingga 1.500 ton
Alur Kelas V Di atas 1500 ton

Besarnya kapasitas muat kapal dapat ditentukan dengan rumus berikut :


 


 


 


Keterangan :

V = volume displasmen yaitu banyaknya air yang dipindahkan karena adanya tambung kapal yang masuk ke air (m3)
L = panjangkapal(m)
B = lebar kapal (m)
d = draft atau tinggi sarat air kapal (m)
p = massa jenis air (t/ m3)
Cb = 0,80 s/d 0,90 untuk kapal ASD
LWT = massa kapal dalam kondísí kosong (ton)

Perkiraan

sunting

Untuk mendapatkan gambaran permasalahan antara demand dengan supply, perlu diramalkan berapa besarnya demand dimasa mendatang, agar dapat diketahui kapan perlu melakukan investasi terhadap sarana angkutannya ataupun terhadap perluasan/peningkatan kapasitas prasarana pelabuhan.

 

Dalam membuat perkiraan masih harus dipertimbangkan pengaruh musim, hari raya, liburan anak sekolah yang bisanya terjadi peningkatan permintaan yang signifikan.

Identifikasi Solusi

sunting

Bila demand sudah mencapai 80 persen dari kapasitas sistem, maka sudah harus mempertimbangkan penambahan kapasitas yang dapat dilakukan dengan beberapa alternatip solusi:

  1. Memperpanjang waktu operasi, bila hal itu memungkinkan. Seperti dalam hal pelabuhan masih beroperasi 8 jam sehari bisa diperpanjang menjadi 12 jam atau lebih lama lagi 24 jam,
  2. Meningkatkan efisiensi pelabuhan dengan mempercepat waktu bongkar muat, menyiapkan fasilitas pengisian/bungker bahan bakar di dermaga.
  3. Menambah besar ukuran kapal yang dapat ditempuh antara lain dengan menggunakan jumlah lantai/geladak yang lebih banyak, atau kapal yang lebih panjang/lebar ataupun kombinasinya.
  4. Menambah jumlah kapal.
  5. Menambah jumlah dermaga atau jumlah pelabuhan ataupun langkah yang lebih maju yang tentunya lebih mahal dengan membangun jembatan.

Langkah selanjutnya adalah menganalisis solusi yang paling baik, yang bisa memberikan manfaat yang paling besar.

Rencana penganggaran

sunting

Setelah alternatip solusi ditetapkan maka langkah selanjutnya menetapkan sumber anggaran untuk peningkatan kapasitas, apakah dengan sumber anggaran pemerintah (pusat atau daerah) atau dengan pendekatan Kemitraan Pemerintah dengan Swasta (KPS) yang lebih dikenal dengan istilah Public Private Partnership (PPP). Seperti yang pernah diusulkan untuk alternatif Merak – Bakauheni pada lintasan Ketapang – Margagiri. Khusus untuk peningkatan kapasitas sarana angkutan dapat dibebankan kepada operator angkutan. Penganggaran yang untuk kawasan perintis umumnya dilakukan pemerintah, ataupun disubsidi oleh pemerintah.

Pembangunan

sunting

Setelah ditetapkan penganggaran maka langkah selanjutnya adalah pemograman untuk pembangunan pelabuhan/kapal baru atau peningkatan kapasitas. Pada lintas-lintas yang komersil pembangunan dermaga dapat dikerjasamakan dengan Pemerintah Daerah, PT ASDP ataupun dengan Swasta.

Referensi

sunting
  1. Masterplan Perhubungan Darat [1]
  2. Economic & Social Commission For Asia and The Pasific, 1989, Guidelines for The Design of inland Naviation Canals, United Nations
  3. Nur Yuwono, 1994, Transportasi Sungai dan Saturan, Modul Jurusan Teknik Sipil, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta
  4. Economic & Social Commission For Asia and The Pasific, 1989, Guidelines for The Design of inland Naviation Canals, United Nations
  5. Economic & Social Commission For Asia and The Pasific, 1984, improvement of information and Statistical Systems Related to inland Water Transport and inland Waterways, Report and Proceedings of the Expert Group Meeting, United Nations