Market Day Ala Sofi
Premis
suntingSofi mengikuti market day hanya karena ingin mendapat nilai bagus di sekolah. Saat mencari ide barang yang akan dijual, ternyata Sofi menemukan keberanian yang tidak pernah diduga dimilikinya.
Lakon
sunting- Sofi
- Mama
- Bapak
- Nenek
Lokasi
suntingYogyakarta
Cerita Pendek
suntingMarket Day Ala Sofi
suntingSore itu cerah, tapi wajah Sofi muram sekali. Tadi siang, Pak Bimo, wali kelas 1 A SMP Maju Bangsa, Yogyakarta mengumumkan, setiap siswa harus berjualan sendirian saat market day dua minggu mendatang.
Padahal lebih enak berjualan berkelompok. Empat sekawan yang terdiri dari Sofi, Nina, Ella, dan Putri bersama-sama menjual es limun. Tugas Sofi hanya mengaduk limun. Nina, Ella dan Putri yang sibuk menawarkan ke sana kemari.
Bagi Sofi, apa yang dilakukan ketiga temannya itu hebat sekali. Rasanya, mustahil dia melakukan hal itu. Jangankan menawarkan sesuatu, berbicara saja telah membuatnya berdebar. Kalau harus berbicara di depan kelas, Sofi selalu gemetaran dan lututnya lemas. Sofi bersedia mengerjakan tugas apa pun, asalkan tidak menjual!
Wajah sedih Sofi membuat seisi rumah bertanya-tanya. Nenek menatapnya lekat-lekat. Seolah ada tulisan di permukaan wajah itu yang kini sedang serius dibaca Nenek. Itulah keahlian nenek. Nenek mahir menebak isi hati Sofi.
Nenek tidak pernah membiarkan Sofi lolos tanpa menceritakan kesulitannya. Dia bersikeras mengetahui penyebab gundah gulana Sofi, lalu melakukan segalanya untuk mengatasi.
Bisa ditebak, setelah Sofi menceritakan keluh kesahnya, Nenek langsung bertindak. Malam itu, Nenek, Mama dan Bapak langsung bersidang. Dalam sekejap, persoalan market day Sofi telah menjadi masalah keluarga. Kini mereka bersidang untuk menemukan cara mengatasinya.
Bapak, Mama dan Nenek bergantian mengajukan usulan. Akan menjual apa? Gorengan? Kue bolu buatan Mama? Kue cucur buatan Nenek?
Semua usulan terasa tidak pas. Semua orang mencari-cari apa yang akan dijual, padahal kepala Sofi pusing membayangkan betapa menakutkannya berjualan. Apakah dia harus berteriak memanggil pengunjung seperti yang dilakukan Ella kemarin? Atau berjalan mondar-mandir menodongkan kue pada orang-orang? Membayangkan saja sudah membuat Sofi bergidik.
“Pilih apa pun yang ingin kau jual. Nanti Nenek datang ke sekolahmu dan memborongnya. Toh gurumu tidak tahu siapa pembelimu. Dengan pembeli seperti Nenek, jualanmu laris manis dan kau dapat nilai tinggi,” kata Nenek santai.
Mama dan Bapak saling melirik dan tersenyum. Nenek memang pejuang sejati pelindung Sofi.
Sayangnya semua bujukan dan dorongan itu tidak membuat wajah Sofi cerah. Semua bisa membantu Sofi, kecuali saat berjualan. Tak ada siapa pun yang boleh membantunya. Padahal, justru itulah bagian paling menakutkan selama market day.
Soal market day Sofi masih menjadi topik hangat di malam berikutnya. Nenek, Bapak dan Mama satu persatu mengajukan usulan. Tapi, semua usulan Nenek dibantah Mama, usulan Mama dibantah Bapak dan usulan Bapak dibantah Nenek dan Mama. Rasanya semua jajanan dan minuman telah disebutkan, tapi mereka tetap belum sepakat.
“Sofi sendiri sebenarnya ingin berjualan apa?” tanya Bapak.
“Tidak tahu,” kata Sofi lirih. “Membayangkan menawarkan dagangan ke orang-orang saja sudah menakutkan.”
Mama, Bapak dan Nenek saling berpandangan. Kening-kening mereka berkerut. Sofi lebih baik bersembunyi di sudut bumi mana pun daripada harus bicara di depan orang. Para tante menjulukinya Sofi sang pemalu. Para tetangga menjulukinya Sofi sang penakut. Betul-betul julukan tidak menarik, tapi sayangnya, semua itu benar.
Namun paginya, wajah muram Sofi mendadak cerah. Ia melompat dari tempat tidur dan bergerak mengikuti bau harum lezat bagaikan kucing mengendus bau ikan. Bau roti yang baru keluar dari oven memang luar biasa.
“Nah, bagus, kau sudah bangun. Ayo bantu Mama menyiapkan roti bolu dan lumpia untuk acara di kantor Mama.”
“Wow, ini wortel? Ini kubis? Keren sekali. Potongannya rapi banget,” kata Sofi. Tangannya mengaduk irisan wortel berwarna kemerahan. Irisannya rapi, bentuk dan ukurannya sama. Wortel itu terlihat indah sekali. “Kapan Mama mengiris-iris wortel sebanyak ini?”
Mama tertawa. Ia menunjuk sebuah alat bening dengan beberapa mata pisau di atasnya. “Bukan Mama, tapi alat itulah yang bekerja. Benar-benar ajaib. Tinggal memasukkan wortel, diputar, dan keluarlah irisan yang indah itu.”
“Vegetable slice machine.”
Sofi membaca tulisan di permukaan alat itu.
“Mama membelinya dari toko online. Benar-benar praktis. Tinggal pilih, bayar, dan duduk manis menunggu belajaan di rumah. Mama bahkan tidak perlu bicara apa pun dengan penjualnya. Semua tinggal klik saja.”
Mama tidak perlu bicara dengan penjualnya? Sofi mengulang kalimat Mama itu di benaknya. Seolah ada sesuatu yang berdering di kepala Sofi. Artinya, penjual tidak perlu mondar-mondar menawarkan pada setiap orang, seperti yang dilihatnya di pasar dan.. di market day sebulan lalu.
Bukankah itu angan-angan dan impian Sofi? Dia bersedia menjual apa pun, asalkan tidak perlu bicara. Aha! Hatinya serasa akan meledak.
Aku bisa menjual tanpa bicara. Tanpa harus bertemu pembeli. Seperti penjual alat potong sayur serba guna itu. “Bisa menjual tanpa banyak bicara. Pasti enak sekali berjualan dengan cara begitu,” kata Sofi lirih.
“Maksudmu? Kau berpikir soal menjual secara online?” tanya Mama.
Sofi terdiam dan keraguan mulai menyergapnya. Ide yang baru saja tumbuh, tiba-tiba seperti diberangus pikiran-pikiran lainnya. Berjualan apa? Bagaimana caranya? Ini market day lo! Semua harus sesuai peraturan Pak Bimo. Dan berjualan online tidak pernah terdengar di kelasnya.
Mama menatap Sofi lekat-lekat. “Benar juga. Kalau kau memang tidak tertarik untuk mondar-mandir menawarkan dagangan ke sana kemari, yang memakan banyak waktu dan tenaga, jualan secara online memang pilihan tepat.”
Bapak dan Nenek telah bergabung di dapur. Usulan-usulan mulai bermunculan.
Nenek yang tidak tahu menahu soal internet, hanya bisa melongo membayangkan Sofi berjualan online. Lapaknya di mana? Bayarnya bagaimana? Nenek punya seratus pertanyaan yang membuat Mama lelah, bahkan jengkel.
Tapi Bapak dengan sabar menjelaskan tentang media sosial, Facebook, Whatsapp, Instagram, dan online store.
“Memangnya Sofi tahu tentang Instagram?” tanya Nenek bingung.
“Ya ampun Nek. Semua teman Sofi mempunyai akun Instagram. Nanti Sofi tunjukin Instagram itu apa. Jangan-jangan malah Nenek minta dibuatkan akun khusus Nenek.”
“Oke, Nenek memang ketinggalan jaman,” kata Nenek sambil berjalan meninggalkan dapur.
Bapak, Mama dan Sofi saling berpandangan. “Nah, tuh, Nenek marah,” bisik Mama.
Namun semenit kemudian Nenek kembali dengan segendongan penuh rajutan hasil karyanya. Jaket bayi dan orang dewasa, topi, taplak meja, syal, dan taplak meja. Kebanyakan belum pernah dipakai.
“Inilah jualanmu. Ini barang yang tidak bakal rusak kau kirimkan ke mana pun. Lewat kantor pos atau apa pun.”
“Ya ampun, Nenek,” jerit Sofi. “Mana ada anak SMP yang membeli jaket bayi, taplak meja, syal? Udara sangat panas, orang ingin minum es bahkan berendam di kolam. Jangankan jaket. Baju saja rasanya mau dilepas kok.”
Nenek menatap Sofi lalu meremas-remas karya rajutan di pelukannya. Dapur kembali sunyi. Sofi benar, tapi Nenek juga tidak salah. Hasil rajutan Nenek sangat indah. Banyak yang suka, tapi soal membeli, nanti dulu. Bahkan di rumah ini pun, tidak ada yang memakai karya rajutan Nenek. Lagi-lagi mereka kehabisan akal. Market day tetap menjadi momok menakutkan bagi Sofi.
Namun, pulang dari kantor, Mama tersenyum cerah. “Semua teman yang melihat foto hasil karya Nenek, berteriak wow! Rajutan Nenek memang indah.”
“Kalau saja kalian melihat rajutan teman-teman Nenek dulu kala. Semua indah dengan gaya dan warna yang berbeda-beda. Ah, hari-hari bersama kelompok merajut itu sangat menyenangkan.”
“Sekarang mereka di mana, Nek?” tanya Sofi.
“Seperti Nenek yang akhirnya hidup bersama kalian, teman-teman Nenek tersebar di berbagai kota untuk tinggal bersama anak cucu masing-masing. Nenek tidak tahu lagi kabarnya. Ah, hari-hari merajut bersama sekelompok teman, di sekeliling meja bundar. Mengobrol dan tertawa tapi tangan-tangan kami tetap bekerja. Mendengarkan cerita masing masing orang itu asyik sekali. Kami tertawa dan menangis bersama.”
“Betul sekali. Tadi Mama sempat membaca berbagai artikel tentang merajut. Merajut itu kegiatan yang sangat bermanfaat. Merajut bisa mengurangi stress, dan menjadi solusi bagi yang kesepian. Pasien yang di rumah sakit akan bosan kalau hanya menghabiskan masa penyembuhannya dengan menonton televisi. Merajut menjadi kegiatan untuk mengatasi semua itu,” jelas Mama.
“Itulah yang dulu terjadi pada kelompok merajut kami. Mereka yang pemalu dan jarang bicara pun telah terhibur ketika mendengarkan cerita-cerita dari teman merajut,” kenang Nenek.
“Hebatnya lagi, ternyata merajut menjadi sarana untuk mengirim berita rahasia saat perang dunia kedua,” lanjut Mama. “Seorang mata-mata perempuan, dikirimkan ke wilayah musuh. Wanita itu mengirimkan hasil pengamatannya tentang kekuatan musuh melalui kode-kode dalam rajutannya.”
Nenek berbinar-binar mendengar penjelasan Mama. “Sayangnya, kami berhenti merajut karena tidak ada lagi yang tertarik memakai rajutan kami.”
Kata Mama, yang penting adalah kegiatan merajutnya. Hasilnya dipakai atau tidak itu urusan belakangan. Dan salah satu cara membujuk orang untuk menghargai dan menyukai kegiatan merajut adalah dengan mengenalkan dan mengajarinya.
“Jadi, mengapa tidak kita tawarkan program kursus merajut? Dan itulah yang akan mengisi Instagram Sofi dan ditawarkan saat market day nanti. Sofi menjual paket kursus merajut.”
Nenek membelalak kaget. “Menjual? Dulu, Nenek dan teman-teman saling mengajari teknik merajut, tanpa terpikir soal bayaran. Kami seperti saudara karena dipersatukan kegiatan merajut.”
Namun Mama bersikeras, kali ini urusan mengajar merajut harus memungut bayaran. Bukankah mereka sedang membantu Sofi belajar berjualan saat market day nanti.
Meskipun Nenek enggan menjadi guru merajut yang dibayar, tapi Bapak dan Mama tetap bersikukuh dengan ide menjual kursus merajut. Sofi yang nyaris putus asa, tidak bisa lain kecuali menurut saja saat Bapak membantunya membuat akun Instagram kursus merajut.
Akhirnya market day yang ditakuti itu tiba juga. Berpuluh-puluh nasehat, dan semangat dibisikkan di telinga Sofi. Andai dia sebuah smartphone, pasti langsung full memory.
Hari itu, ia membawa sepuluh hasil karya Nenek, poster berisi pengumuman kursus, dan brosur yang siap dibagikan. Ia meminjam laptop Mama untuk memutar video tentang merajut.
Saat teman-temannya menata gorengan, es limun, rujak buah, dan aneka jajanan lainnya, Sofi menata rajutan Nenek dalam keranjang-keranjang rotan yang manis.
Ketika lapak-lapak lain dikerubuti pengunjung, meja jualan Sofi sepi. Teman-temannya sibuk melayani pembeli, Sofi duduk membisu berpangku tangan. Market day hampir berakhir, dan hati Sofi sepenuhnya hancur lebur. Ia bahkan tidak berani mengangkat wajahnya. Sofi merasa malu sampai rasanya ingin jadi pohon atau batu saja.
Tiba-tiba terdengar suara ceria di belakang punggungnya. Dua orang ibu mendekati meja Sofi dan memegang-megang jaket dan topi bayi karya Nenek. Ini apa? Kursus merajut? Di mana? Nanti kita diajari membuat seperti ini? Nenekmu?
Bertubi-tubi pertanyaan meluncur. Sofi sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sampai lupa dengan kesedihannya. Waktu berjalan begitu cepat. Market day telah berakhir.
Semua anak kembali ke kelas dan menghitung hasil penjualannya, kecuali Sofi. Ia tidak perlu menghitung apa pun, sebab tidak ada siapa pun yang mendaftar di kursus yang ditawarkannya. Ia sangat malu karena dia satu-satunya yang tidak berhasil menjual apa pun di market day itu.
Padahal Nenek penuh semangat hendak menjadi guru merajut. Tapi Sofi tidak mampu mencari satu pun orang untuk menjadi murid Nenek. Alangkah kecewanya Nenek.
Sampai di rumah, Sofi menangis. “Sofi gagal Nek. Tak ada satu pun yang mendaftar.”
Nenek memeluk Sofi. “Coba ceritakan pengalaman pertamamu berjualan. Segala sesuatu yang pertama kali dilakukan itu pasti menarik.”
Lalu Sofi menceritakan semua yang dilakukannya di market day, termasuk kisah ibu-ibu yang berdecak kagum melihat hasil karya Nenek, bertanya macam-macam, namun melenggang tanpa mendaftar.
Ternyata Nenek tidak marah. Bahkan kecewa pun tidak. Malah Nenek berbisik lembut yang membuat Sofi terlonjak kaget. “Bagi Nenek, hari ini kau sukses besar.”
Ha! Sukses besar?
“Kau sukses karena meskipun kau sangat takut, tapi kau tidak menyerah. Tetap melakukan apa yang harus dilakukan. Tidak berhasil menjual bukan berarti gagal. Gagal itu kalau kau putus asa dan menyerah.”
Sofi terdiam cukup lama. Tidak boleh menyerah, pikirnya. Kursus merajut ini berguna, dan Sofi tidak akan menyerah untuk mengumumkannya pada semua orang. Semangat Nenek untuk mengajar juga sangat mengharukan. Baiklah, ia harus melakukan sesuatu agar Nenek bisa mengajar.
“Sebenarnya, Nek. Ada satu murid yang baru saja mendaftar.”
“Oh, ya. Baguslah, meski satu orang Nenek tetap bersemangat mengajar. Siapa dia?”
“Aku,” kata Sofi. “Nanti kita merajut bersama. Lalu bercerita, seperti yang katanya Nenek lakukan dengan teman-teman merajut Nenek dulu kala. Aku ingin tahu cerita tentang teman-teman Nenek. ”
“Nah, nah, kau ini ingin mendengar cerita atau merajut?”
“Dua-duanya,” jawab Sofi sambil tertawa.
“Bagus. Bagaimana kau menyuruh orang melakukan sesuatu kalau kau sendiri tidak melakukannya. Kau menganjurkan orang merajut dan sekarang kau melakukannya. Itu yang benar. Yang penting berusaha. Ada murid atau tidak, serahkan pada Alam Semesta.”
Sedih dan kecewa telah memudar. Bayangan diolok-olok teman sekelas, dan mendapat nilai jelek dari Pak Bimo, pelan-pelan menghilang. Ketakutan itu telah berganti dengan tekad.
Tidak mengira, apa yang selama ini menakutkan, ketika dengan penuh tekad coba ditaklukkan, ternyata berubah menjadi indah dan menyenangkan. Sofi berjanji, tidak akan menyerah. Apa pun kesulitan yang akan ditemuinya, di hari-hari nanti. Bukankah, orang sukses adalah mereka yang tidak menyerah menghadapi kesulitan?