Memecahkan Bahasa Sandi
Kakek hilang atau tepatnya pergi dari rumah. Seluruh anggota keluarga jadi panik. Ibu menangis sedih. Ayah kebingungan. Lodi dan Ruli, kakak beradik, juga ikut cemas. Kakek belum hapal dengan jalanan di kota ini karena baru tiba dari desa.
“Jangan-jangan kakek kembali ke desa?” kata Lodi menduga.
“Tidak mungkin. Kakek kan baru tiba kemarin,” tukas Ibu.
“Kita lapor polisi saja?” usul Ruli.
“Jangan! Sebaiknya kita cari dulu, mungkin kakek hanya jalan-jalan ke sekitar kompleks perumahan ini!” ujar Ayah.
Mereka lalu berpencar mencari kakek. Ayah ke arah selatan, Lodi ke arah utara, Ruli ke arah barat. Sementara ibu menunggu di rumah. Mereka berkeliling kompleks perumahan dan bertanya pada setiap orang yang ditemui di jalan. Tapi hasilnya nihil.
Lodi dan Ruli bertemu di perempatan jalan. Mereka tampak putus asa.
“Kira-kira ke mana ya, kakek pergi? Jangan-jangan beliau tersesat jauh?” cetus Ruli yang masih kelas 6 SD.
“Sebelum kakek pergi dari rumah, apa beliau pernah mengatakan sesuatu?” tanya Lodi yang sudah kelas 8 SMP.
Ruli sejenak terdiam. Tiba-tiba wajahnya berubah berbinar.
“Oh ya, kakak ingat tidak dengan cerita kakek semalam?!” serunya.
“Cerita yang mana?” tanya Lodi mengerutkan alis.
“Tentang keinginan kakek mengunjungi sahabat lamanya yang tinggal di kota ini, tapi sayangnya kakek tidak tahu alamatnya…”
Lodi tercenung. Semalam kakek bercerita pada mereka ingin mengunjungi sahabat lamanya yang tinggal di kota ini. Tapi kakek tidak tahu persis alamatnya. Beliau hanya diberi petunjuk secarik kertas berisi tulisan mirip puisi, tapi sesungguhnya adalah sebuah teka-teki atau bahasa sandi. Kakek meminta Ruli untuk menyalinnya dan disuruh ikut memecahkan artinya.
Kakek dulu bekas tentara pejuang yang bertugas sebagai telik sandi atau biasa disebut intelejen. Dalam melaksanakan tugasnya beliau dan rekan-rekannya sering menggunakan bahasa sandi agar tidak diketahui musuh. Kebiasaan berbahasa sandi ini rupanya masih terbawa setelah kakek pensiun.
“Sekarang di mana kertas salinan itu?” tanya Lodi.
“Sebentar, Kak. Aku baru ingat, kertas salinan bahasa sandi itu masih ada di saku celanaku!” Ruli segera merogoh saku celananya.
Dia lalu menyodorkan kertas berisi salinan bahasa sandi kepada kakaknya. Mereka bersama-sama membacanya. Kalimatnya berbunyi seperti ini:
Berdiri dekat wanita cantik yang tak pernah tidur di pusat kota
Memandang surya di atas kepala dewa
Saat kau tengok ke kanan melintas rajawali gagah perkasa
Berjalanlah mengikuti arahnya dan berhenti di bawah pohon kelapa
Tanyalah pada sang pertapa, maka kau akan temukan aku di belakang rumahnya
“Jangan-jangan kakek pergi ke rumah sahabat lamanya itu…?” gumam Lodi usai membaca tulisan sandi.
“Iya, tapi kita kan tidak tahu alamatnya, Kak?”
“Kita cari dengan jalan memecahkan bahasa sandi yang pernah dikatakan kakek!”
“Maksud kakak…?”
“Kita coba pecahkan bahasa sandi dari sahabat kakek itu. Pertama, kita cari di mana wanita cantik yang tak pernah tidur. Nanti dari sana kita mulai mencari rumah sahabat kakek!” terang Lodi.
“Kayaknya sulit deh, Kak! Kita mau cari ke mana wanita cantik yang tak pernah tidur? Ada-ada saja sahabat kakek itu!” sahut Ruli tersenyum kecut.
“Mungkin yang dimaksud bukan wanita sungguhan. Kamu tahu kan yang namanya polisi tidur dan polisi jaga?”
Ruli menggeleng. Dia masih belum mengerti yang dikatakan kakaknya.
“Polisi tidur itu gundukan di tengah jalan untuk memperlambat kendaraan yang lewat dan polisi jaga itu patung berbentuk polisi. Aku baru ingat, di tengah kota ada sebuah patung berbentuk wanita cantik. Patung kan tidak pernah tidur. Iya, enggak?”
Ruli tersenyum geli. Dia baru mengerti sekarang. Tanpa banyak kata mereka segera bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Sesampai di sana mereka kembali memecahkan bahasa sandi berikutnya.
“Kita disuruh berdiri di dekat patung wanita cantik dan memandang surya di atas kepala dewa. Tadi kakek pergi dari rumah pada pukul sembilan pagi. Berarti matahari masih berada di sebelah timur. Kita berdiri menghadap ke timur,” ucap Lodi.
Kedua anak itu lalu berdiri di dekat patung wanita cantik dan menghadap ke timur. Di depan mereka, tepatnya di seberang jalan, berdiri sebuah gedung hotel bernama Mustika Dewa. Lodi tersenyum. Kini dia tahu, yang dimaksud di atas kepala dewa tak lain adalah matahari berada tepat di atas puncak gedung hotel berbintang lima itu.
“Lalu, apa artinya menengok ke kanan melintas rajawali gagah perkasa? Di kota ini mana ada burung rajawali, Kak?” ujar Ruli agak bingung.
“Namanya bahasa sandi, tentu itu hanya sebuah kiasan. Coba kamu tebak, apa yang dimaksud rajawali gagah perkasa?” Lodi malah melempar pertanyaan pada adiknya.
Ruli diam tercenung. Wajahnya memperlihatkan ekspresi berpikir keras. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Hal sama juga diperlihatkan oleh Lodi. Remaja tanggung itu ikut berpikir keras. Tiba-tiba matanya menangkap sekelebat benda melintas di depannya. Sebuah bus!
“Aha, aku tahu yang dimaksud Rajawali gagah perkasa!” seru Lodi berbinar.
“Apa, Kak?” tanya Ruli penasaran.
“Yang dimaksud Rajawali gagah perkasa tak lain adalah nama sebuah bus! Lihat, itu busnya!” Lodi menunjuk ke arah bus Rajawali yang baru saja melintas.
Ruli memandang kepada bus itu. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar. “Benar, Kak!”
“Saat kakek berdiri di sini dan memandang matahari, aku perkirakan sekitar jam sembilan pagi dan bus yang melintas di jalan sebelah kanan patung wanita cantik ini adalah bus rajawali!” terang Lodi.
“Lalu ke arah mana tujuan bus Rajawali itu, Kak?”
“Kalau pagi biasanya ke arah selatan menuju jalan Diponegoro. Ayo, kita telusuri jalan Diponegoro!”
Keduanya lalu menelusuri Jalan Diponegoro. Mereka mencari pohon kelapa sebagai tanda untuk berhenti. Tapi sepanjang jalan Diponegoro mereka tak menemukan pohon kelapa. Ada juga deretan pohon palem yang mirip kelapa, tapi jumlahnya banyak.
“Mungkin yang dimaksud pohon kelapa itu hanya sebuah kiasan, istilah, atau nama…,” Lodi tak meneruskan kalimatnya, tiba-tiba wajahnya berubah berbinar.
Dia langsung menyeret tangan adiknya. Ruli bingung dengan tindakan kakaknya. Tapi akhirnya dia tahu apa yang dimaksud kakaknya. Mereka telah sampai di dekat papan reklame di ujung jalan yang menampilkan gambar pohon kelapa. Ruli memuji kakaknya yang cerdik.
“Kita sudah sampai di bawah gambar pohon kelapa, sekarang tinggal bertanya pada sang pertapa. Siapa itu sang pertapa, Kak?” cetus Ruli.
Sejenak Lodi termenung. Dia memeras otak. Matanya memandang ke sekeliling sambil memegangi dagu. Tiba-tiba matanya terbelalak. Di hadapannya tampak sebuah bangunan masjid.
“Aku tahu siapa yang dimaksud pertapa. Dia adalah orang yang menyepi dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tempat untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau berdoa tak lain adalah masjid. Nah, di belakang masjid yang dijadikan rumah sang pertapa terdapat rumah sahabat kakek. Ayo, kita ke sana!” ujar Lodi bersemangat.
Keduanya lalu menyeberang jalan dan memasuki kawasan pemukiman yang ada di belakang bangunan masjid. Mereka menyusuri sebuah jalan aspal kecil. Mereka menengok kiri-kanan berharap menemukan sosok kakek. Benar saja. Di beranda rumah nomer 10 mereka mendapati Kakek sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki seumur.
Mereka segera menghampiri seraya berseru memanggil nama kakek. Kakek tampak terkejut melihat kedatangan cucu-cucunya.
“Astaga! Bagaimana kalian tahu kakek ada di sini?” tanya Kakek heran.
“Siapa dulu? Cucu pejuang telik sandi mesti pintar memecahkan bahasa sandi dong!” sahut Ruli sambil menepuk dada.
Kakek dan sahabatnya malah tertawa terkekeh-kekeh.
“Cucumu benar-benar pintar dan hebat!” puji sahabat kakek.
Lodi dan Ruli tersenyum bangga! (*)
Wonogiri, 11 Pebruari 2023