Premis sunting

Fawwaz dan Nawwaf gemar menabung, tidak hanya di bank, tetapi juga berupa logam mulia.

Lakon sunting

  1. Fawwaz
  2. Nawwaf
  3. Bima

Lokasi sunting

Sekolah dasar

 
Logam mulia atau LM[1]

Cerita Pendek Anak sunting

Menabung, yuk! sunting

Oleh: Ardyah Ayu

“Fawwaz, kamu enggak ke kantin?” tanya Bima saat melihat sahabatnya masih betah di kelas.

“Enggak, aku bawa bekal. Kamu mau?” tawar Fawwaz sambil mengulurkan kotak bekal biru yang sudah terbuka ke arah Bima.

Bima melirik ke arah camilan berwarna kuning kecokelatan di depannya, kentang wedges. Kentang wedges merupakan variasi dari kentang goreng, tetapi beda pola irisan. Kentang wedges irisannya lebih tebal. Kentang goreng yang biasa dijual di restoran cepat saji biasanya dipotong berbentuk balok memanjang.

Kentang wedges itu kentang utuh dibagi empat atau enam potongan. Potongan kentang kemudian direbus bersama garam, kaldu, dan lada putih. Direbus setengah matang. Setelah ditiriskan, lalu dilumuri tepung dan oregano kering. Oregano merupakan bumbu yang sering ada di makanan Italia, seperti piza atau lasagna. Terakhir, kentang yang telah bertabur tepung itu pun digoreng.

Fawwaz memang terbiasa membawa bekal dari rumah. Katanya bekal dari rumah lebih sehat, apalagi ibunya pintar memasak dan membuat aneka camilan. Oleh karena itu, menu bekalnya bervariasi. Kadang manis, kadang gurih.

“Hai, Kak Bima!” Nawwaf—adik Fawwaz—tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Nawwaf sering main ke kelasnya sang kakak saat waktu istirahat. Ia juga membawa kotak bekalnya sendiri. Isinya sama dengan bekal kakaknya. Kentang goreng memang camilan kesukaan Nawwaf.

Bima belum beranjak. Ia masih bimbang untuk pergi ke kantin atau menerima tawaran Fawwaz untuk ikut menikmati bekal yang memang terlihat menggoda selera. Kentang goreng itu lumayan banyak, cukup untuk berbagi, apalagi ditambah bekalnya Nawwaf. Ibunya Fawwaz dan Nawwaf memang terbiasa membawakan bekal lebih, jaga-jaga jika ada teman kedua putranya yang mau ikut mencicipi.

“Kalau mau, ambil saja, Bim!” Fawwaz kembali menawarkan bekalnya, agar Bima tak perlu sungkan.

Anak laki-laki yang tingginya hampir sama dengan Fawwaz itu pun mengiakan tawaran sang sahabat. Ia memilih duduk di hadapan Nawwaf. Mereka bertiga mengelilingi meja kecil tempat meletakkan bekal. Mereka akhirnya menikmati kentang goreng dengan gembira, tentu saja sambil diiringi senda gurau untuk menambah keakraban.

“Eh iya, kenapa kalian sepertinya jarang ke kantin? Memangnya enggak bawa uang saku?” Bima penasaran kenapa jarang melihat Fawwaz dan Nawwaf membeli camilan di kantin sekolah.

“Bawa, dong. Namun, aku lebih suka uangnya buat ditabung. Nanti kalau sudah terkumpul, biar bisa dibelikan logam mulia,” jawab Fawwaz sambil tersenyum.

“Logam mulia? Apa itu?” Bima mengerutkan dahi tanda tak mengerti.

“Logam mulia itu emas, tetapi dalam bentuk batangan atau kepingan, Kak. Bukan dalam bentuk perhiasan.” Nawwaf ikut menimpali.

Berat per keping logam mulia bermacam-macam. Ada yang lebih kecil dari 1 gram, bahkan yang lebih besar dari 100 gram juga ada. Kita bisa membeli tergantung kemampuan. Harganya tak menentu, bisa naik, bisa turun, tergantung kurs mata uang rupiah terhadap dolar Amerika. Harga logam mulia tahun ini bisa jadi tak sama dengan harga saat 5 tahun kemudian. Kemungkinan besar malah lebih mahal.

“Kenapa harus menabung? Kan, kita masih kecil.” Bima masih belum paham cara berpikir temannya itu.

“Justru karena masih kecil, makanya perlu belajar tentang pentingnya mengatur keuangan sejak dini, Bim. Saat dewasa nanti sudah terbiasa.” Fawwaz menjelaskan sambil sesekali mengunyah kentang goreng.

“Kenapa enggak menabung saja di bank?” Bima masih penasaran.

“Kami juga punya tabungan di bank kok, Bim. Namun, menyimpan uang kan lebih baik enggak hanya di satu tempat. Biar masih ada cadangan misalnya ada apa-apa.”

Perumpamaannya begini ... saat kita berwisata, kita kan butuh uang saku. Nah, uang saku kemudian disebar letaknya. Ada yang di tas, saku celana, dan kaus kaki. Kalau ada kemungkinan terburuk misalnya tas hilang, maka kita masih punya uang di saku celana dan kaus kaki. Jadinya enggak hilang semua.

Menabung di bank memang baik, tetapi menaruh sepenuhnya uang kita di sana juga kurang tepat. Dunia perbankan kestabilannya dipengaruhi banyak faktor. Kalau bank bangkrut, bisa ditutup sewaktu-waktu. Contohnya saja seperti pada krisis ekonomi tahun 1997—1998, pemerintah melikuidasi atau menutup 16 bank karena dinyatakan bangkrut.

Sama halnya dengan menabung di bank, menabung hanya berupa logam mulia juga kurang tepat. Karena jika kita ada keperluan mendesak, uang tunai yang diperlukan pertama kali. Uang tunai biasanya ditarik lewat mesin ATM atau lewat bank.

Selain itu, jika menjual logam mulia dalam waktu dekat tentu saja malah membuat kita rugi, karena toko emas biasanya membeli dengan patokan harga buyback, bukan harga pasar hari ini. Harga buyback lebih rendah dibanding harga pasar. Harga buyback merupakan harga saat toko emas membeli emas milik kita, saat kita butuh untuk menjualnya.

“Namun, kalau mau menabung logam mulia, jangan dijual dalam waktu dekat, Bim. Karena selisih harga saat kita membeli dengan menjual logam mulia ke toko akan kecil, bahkan bisa rugi,” lanjut Fawwaz.

Tabungan logam mulia bersifat tabungan jangka panjang, untuk 10 atau 20 tahun ke depan. Bukan untuk dijual dalam waktu dekat. Sebenarnya logam mulia bukan termasuk investasi, melainkan lebih kepada mengamankan nilai mata uang. Karena nilai logam mulia akan tetap, tidak akan berubah. Misalnya tahun ini diperlukan 50 gram logam mulia untuk naik haji, 20 tahun lagi juga akan diperlukan logam mulia dengan jumlah yang sama.

Sementara itu, nilai mata uang berubah. Sepuluh juta rupiah tahun ini tentu saja akan berbeda nilainya dengan 20 tahun mendatang. Jadi, nilai mata uang yang berubah, bukan nilai logam mulia.

“Apa enggak takut ada pencuri, kalau punya logam mulia banyak?” tanya Bima lagi.

“Kata Ibu, menyimpan enggak selalu di rumah, Kak. Bisa disimpan di loker bank, bahkan pegadaian pun ada lokernya. Nanti kita bayar per tahun untuk sewa lokernya.” Nawwaf ikut memberi penjelasan.

Meskipun masih kelas dua sekolah dasar, Nawwaf sudah sedikit paham tentang manajemen keuangan. Ibu dan ayahnya sering mengajak kedua bersaudara itu membahas pentingnya menabung sejak dini. Kehidupan seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Jadi menabung merupakan salah satu bentuk persiapan menghadapi segala kemungkinan terburuk.

Kemungkinan terburuk itu banyak. Salah satu contohnya, tiba-tiba jatuh sakit. Enggak ada yang mau sakit, tetapi datangnya sering tak terduga. Sakit tentu saja membutuhkan biaya banyak. Meskipun ada asuransi, kadang masih belum cukup, sehingga diperlukan dana darurat.

“Bedanya logam mulia dengan emas perhiasan apa?” Bima masih semangat bertanya.

“Kalau emas perhiasan, biasanya ada campuran logam lain, Bim. Karena sifat emas murni itu lunak, sehingga diperlukan logam lain sebagai campuran agar bisa dibentuk.”

Campuran logam lain tersebut mempengaruhi kadar, itulah yang membuat emas berupa perhiasan jarang yang kadarnya 24 karat. Kalau 24 karat, bersifat lunak, jika diberi batu permata akan mudah lepas karena tidak bisa mengikat batu permata dengan kuat. Sementara itu, logam mulia berupa emas 24 karat, karena tingkat kemurniannya paling tinggi dan minim campuran logam lain.

“Terus lebih untung mana menabung berupa logam mulia atau berupa perhiasan?” tanya Bima lagi.

“Tentu saja lebih untung logam mulia, Bim. Karena saat menjual logam mulia, enggak dipotong biaya pembuatan, hanya pakai buyback. Beda kalau saat kita jual perhiasan, dipotong biaya pembuatan.” Fawwaz tersenyum saat melihat sahabatnya begitu antusias.

“Wah, terima kasih, Fawwaz dan Nawwaf. Atas kentang goreng dan informasi tentang logam mulia. Aku jadi pengin ikut menabung logam mulia juga. Alhamdulillah, perut kenyang dan menambah wawasan. Aku untung banyak hari ini.”

Bima tertawa sambil mengelus perutnya. Tingkah Bima membuat Fawwaz dan Nawwaf ikut tertawa, bersamaan dengan bunyi bel pertanda waktu istirahat telah berakhir.

-Selesai-



Tentang Penulis sunting

Ardyah Ayu, ibu rumah tangga bahagia. Pernah kuliah S1 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember—ITS Surabaya. Mempunyai dua putra yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Istri seorang mechanical engineer, dari kampus yang sama. Mempunyai satu buku solo—Dua Wajah: Ketika Kenangan Menjadi Belenggu, serta beberapa buku antologi. Ingin terus berkarya, agar dapat meninggalkan jejak di mayapada.

  1. Upload Wizard - Wikimedia Commons