Di antara gerimis dan sejuknya hawa Sukabumi, saya dan rombongan Femina tiba di Butik Tenun Gaya. Rumah bergaya kolonial yang asri dan indah, memberi kesan serasa pulang ke rumah. Rupa-rupa interior yang etnik mempercantik ruangan, di pojok ruangan tampak gulungan warna warni kain-kain tenun, di pojok yang lain bergantungan pakaian tenun elegan yang siap pakai. Namun, hasrat untuk membongkar dan memilih-milih kain tenun untuk sementara harus saya tunda dahulu. Karena siang itu, empunya rumah Wignyo Rahadi telah menjamu kami dengan makan siang khas Sunda, nasi liwet yang pulen dan harum, pepes ikan, ayam goreng, tempe tahu bacem, dan karedok sudah menggoda lidah kami. Langsung saja saya menyantap dengan lahap. Ke-bete-an karena macet dalam perjalanan Jakarta-Sukabumi terbayar sudah. Tak hanya itu, aneka kue tradisional, awug-awug, getuk, kacang, jagung dan pisang rebus dengan minuman bandrek hangat sudah menanti untuk turut disantap.
Kami menikmati makan siang di sebuah pendopo besar yang terletak di belakang rumah butik Tenun Gaya. Di sana terdapat beberapa mesin tenun sehingga pengunjung bisa mengetahui bagaimana proses pembuatan kain tenun. Ada empat lajur, dua lajur untuk mesin ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin), satu lajur mesin tenun Jacquard, mesin tenun ATBM yang dimodifikasi lagi dengan mesin Jacquard untuk menghasilkan pola spesifik. Sedangkan jalur paling kanan kita bisa melihat benang sutera warna warni dijemur dan di-keprik, dirapikan dan diluruskan. Lalu mesin Mihone di mana proses klosan untuk memisahkan benang agar dapat disusun menjadi gulungan kecil. Setelah itu, berlanjut pada proses paletan, yang mesinnya sederhana sebuah velg roda sepeda dengan rantai dan pedalnya disusun untuk membagi gulungan kecil benang sutera menjadi palet-palet yang lebih kurus untuk dipasang di torompong atau pipa benang mesin ATBM. Lalu setelah kain tenun selesai masih harus melalui tahap penyortiran, dirapikan benang-benangnya dengan menggunakan gunting.
Setelah santap siang kami semua berkumpul di joglo atas untuk mengikuti workshop bersama Wignyo Rahadi, desainer dan pemilik Tenun Gaya dan Heksa Hadi Agustini, sebagai Business Leader BTPN Sinaya area Jawa Barat. Dari Wignyo Rahadi saya mendapatkan banyak inspirasi. Ia tidak hanya berangkat dari ketertarikan pada kain tenun tetapi Ia juga memiliki visi untuk tidak hanya membuat kain tenun berkualitas namun juga trendi agar kain tenun bisa digunakan oleh semua generasi. Wignyo Rahadi memulai usahanya dari nol, berbekal pengalaman sebagai auditor keuangan lalu sempat pula mempelajari dan memasarkan benang sutera. Ia berani untuk memulai usahanya dengan membuka workshop di Kampung Cicihag, Desa Padaasih Sukabumi. Ia pun bercerita bahwa pada awalnya tidak mudah, karena di kampung itu sebelumnya warga bekerja di pabrik pembuatan Batako. Terbayang bagaimana kegigihannya dalam melatih dan mengajarkan warga untuk menenun. Sebuah keterampilan halus yang membutuhkan ketelitian. Baru diajarkan mereka sudah bilang lieur –pusing- tuturnya. Sehingga tidak banyak yang bertahan dan sunguh-sungguh. Namun, waktu telah membuktikan kebanyakan karyawannya merupakan perempuan di mana perempuan lebih tekun dan teliti dalam melakukan pekerjaan. Dibutuhkan waktu selama tiga tahun, itu pun dengan mendatangkan penenun dari Majalaya untuk melatih karena kesamaan bahasa tutur dalam bahasa sunda sehingga penyampaian lebih efektif dan pelatihan berjalan lebih lancar.
Wignyo Rahadi banyak bekerja sama dengan beberapa yayasan pecinta kain dan Pemda setempat untuk melatih pengrajin tenun di daerah-daerah. Keseriusannya dalam melatih para pengrajin tenun di berbagai daerah mendapat penghargaan dari pemerintah berupa UPAKARTI kategori Jasa Pengabdian pada bidang usaha pengembangan industri tenun di tahun 2014. Wignyo Rahadi juga telah menjadi Sahabat Daya, salah satu program untuk berbagi di BTPN Sinaya. Wignyo Rahadi telah berpartisipasi dalam Pelatihan Pemberdayaan Kewirausahaan, kemudian Heksa Hadi Agustini menuturkan bahwa BTPN Sinaya, seperti kepanjangannya sinar yang memberdayakan, memiliki visi untuk membantu dan mendampingi nasabah. Penerima manfaat Program Daya adalah seluruh nasabah BTPN yang meliputi pensiunan, pelaku usaha mikro & kecil (UMK), dan komunitas pra-sejahtera produktif. Seperti yang ditekankan oleh Wignyo Rahadi bahwa BTPN Sinaya berbeda dengan bank lain, tidak hanya memberikan pinjaman modal namun juga turut mendampingi. Heksa Hadi Agustini menambahkan Program Daya yang dilakukan bersama Wignyo Rahadi adalah “Daya Tumbuh Usaha”. Sebuah program pemberdayaan yang bertujuan meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan nasabah dalam menjalankan usaha. Melalui program ini, nasabah bisa mendapatkan pengetahuan dasar mengenai manajemen keuangan, cara memulai usaha, mendesain dan mengemas produk hingga mengakses pasar. Kami pun menyaksikan testimonial dan dokumentasi kegiatan program tersebut dalam video pendek.
Kreasi tenun Wignyo Rahadi telah membuat jatuh hati mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam beberapa kali kesempatan beliau sering mengenakan kemeja tenun rancangan Wignyo Rahadi, bahkan selama dua kali periode kepemimpinan hingga saat ini. Tenun Gaya karya Wignyo Rahadi ini terkenal pula akan pengembangan motif nusantara kain tradisional. Beberapa kreasinya mendapatkan penghargaan dari kelas nasional hingga internasional seperti UNESCO Award of Excellence for Handicrafts in South-East Asia and South Asia 2012 untuk produk selendang pengembangan motif rang rang - Nusa Penida, Bali dan World Craft Council Award of Excellence for Handicrafts in South-East Asia and South Asia 2014 untuk produk selendang pengembangan motif Tabur Bintang - Sumatera Barat dan produk selendang pengembangan motif Ulos Ragidup - Sumatera Utara.
Dalam sesi peragaan busana, Wignyo Rahadi mengutarakan contoh-contoh kreasinya, selain motif Rang-Rang ada pula motif dengan ornamen Papua, motif Padang, Bukit Tinggi dan yang menjadi ciri khas yaitu detail sulam benang putus yang mana awalnya terjadi karena sebuah kecelakaan. Benang putus sering terjadi dalam kain tenun, namun Wignyo Rahadi memiliki kepekaan untuk menjadikannya sebagai kreasi. Sehingga sulam benang putus yang sepintas mirip sisik ikan menjadi keunggulan Tenun Gaya. Selain itu, teknik selang-seling dan patchwork menjadi kreasi yang indah dan penuh pesona. Kami pun diajarkan juga styling menggunakan kain. Setidaknya saya mendapatkan tiga model dalam menggunakan kain, model celana, model menjuntai samping dan model menjuntai di belakang istilahnya ekor kuda. Saya memberanikan diri untuk ikut lomba menggunakan kain dalam 30 detik. Senang sekali Wignyo Rahardi memilih ikatan kain saya sebagai yang terbaik. Saya dan peserta lain pun mendapat souvenir dari BTPN Sinaya dan Femina. Selain itu kami pun diberikan tips singkat dalam merawat kain tenun di antaranya untuk menghindari warna tidak lekas pudar: jangan gunakan detergen, sebaiknya menggunakan sabun lembut atau lerak. Lalu jangan pernah menjemur kain tenun di tempat yang terkena matahari secara langsung. Dan saat disetrika lebih baik dalam kondisi kain tenun masih lembab. Sedangkan untuk penyimpanan, akar wangi atau bubuk merica bisa digunakan untuk menghindari ngengat.
Saya sempat berbincang dengan salah seorang penenun perempuan bernama Susi (32 tahun), Ia telah bekerja selama 5 tahun. Saat itu ia sedang membongkar benang tenun yang tengah ia kerjakan. Saat saya bertanya kenapa dibongkar. Ia menjawab karena salah pola. Saya kembali bertanya butuh berapa lama ia harus meyelesaikannya. Ia kembali menjawab bahwa dalam satu hari ia mengerjakan 3-5cm, sehingga butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikannya. Saya terkejut dan tak pernah menyangka jika memang membutuhkan waktu dan curahan tenaga yang besar untuk menghasilkan sebuah keindahan. Bahwa ternyata dibalik sebuah kain menyimpan sebuah kisah. Belum lagi proses sehelai benang menjadi selembar kain pun merupakan sebuah perjalanan panjang. Melihat perempuan penenun saya teringat relief “wanita sedang menenun” yang dipahatkan pada umpak batu abad 14 di daerah Trowulan, Jawa Timur. Mengingatkan saya bahwa sudah sejak lama perempuan Indonesia menenun dan betapa jeniusnya penemuan tersebut. Sudah sepantasnya jika tradisi menenun dilestarikan dan terus dikembangkan. Di penghujung workshop, kami semua mendapatkan souvenir syal tenun span silk dari Wignyo Rahadi. Benar-benar sabtu pekan yang sungguh berkesan bagi saya. Karena kita semua menenun harapan ketika masih bisa merawat tradisi, masih bisa berbagi pengetahuan dan keterampilan juga berbuat kebaikan pada sesama dan lingkungan sekitar kita. (*)