Mimpi Zakaria
Mimpi Zakaria
Oleh Mailan Lasagi
Suasana jam istirahat di SD Negeri Bulantang, Malili, Luwu Timur tampak ramai. Anak laki – laki bermain bola sepak di lapangan. Beberapa anak perempuan bermain bola bekel di lorong – lorong kelas. Anak perempuan lain sibuk main lompat tali. Sebagian lagi hanya bercengkerama.
Di tengah – tengah kesibukan siswa yang sedang menikmati waktu istirahat, ada sebuah kejadian yang menarik perhatian mereka, tepatnya di depan pintu kelas enam. Dari halaman terlihat dua anak laki – laki saling berteriak. Salah satunya memegang kerah kemeja putih anak di depannya. Satu anak laki – laki terlihat berusaha melerai, sepertinya ketua kelas. Anak – anak lain bergerombol, menonton.
“Saya tidak mencuri buku iko! Saya hanya ingin pinjam,” jelas anak laki – laki yang kerah seragamnya dipegang. “Kau saja tidak bilang mau pinjam! Tiba – tiba buku itu kau baca di tempat dudukmu. Siapa yang ajarkan kau jadi pencuri, hah?!” anak laki – laki satunya benar – benar marah besar. “Saya bukan pencuri, Rifan. Saya pinjam. Kalau sudah selesai saya baca pasti saya kembalikan,” bela anak laki – laki yang merasa dituduh mencuri.
Tidak tahan dengan kedua anak ini, ketua kelas memutuskan berlari menuju ruang guru. Ia terengah – engah di depan pintu, matanya mencari – cari wali kelas mereka, Ibu Ainun.
“Ibu Guru Ainun, Ibu Guru Ainun, huft huft,” kata anak itu kelelahan. “Hasan, kenapa? Kenapa lari terburu – buru begitu?” Ibu Ainun berdiri dari tempat duduk dan bertanya sambil memegang pundak Hasan. “Rifan dan Zakaria, Ibu Guru. Berkelahi, huft…huft.. Mereka berkelahi di depan kelas, banyak sekali anak – anak yang menonton,” Hasan menjelaskan. Ibu Ainun menghela napas dan menenangkan Hasan. “Baik, baik. Mari kita lerai dan tanyakan kenapa sampai berkelahi,” kata Ibu Ainun.
Ibu Ainun dan Hasan terburu – buru menuju kelas. Sampai di sana Ibu Ainun geleng – geleng kepala melihat dua anak didiknya masih bertengkar.
“Zakaria, Rifan, masih belum puas berkelahi? Mau sampai kapan? Maukah Ibu tonton di sini sampai lelah berdebat?” tanya Ibu Ainun.
Rifan melepaskan pegangan tangannya, Zakaria berhenti memprotes, keduanya menatap Ibu Ainun sejenak kemudian menunduk.
“Mari ikut ke ruang guru,” kata Ibu Ainun.
Keduanya kompak mengangguk kemudian berjalan di belakang Ibu Ainun. Pertunjukan di jam istirahat telah selesai. Anak – anak yang menonton bubar dengan sendirinya.
Sampai di ruang guru, Ibu Ainun mengambil dua kursi plastik dan meletakkannya di depan meja beliau, kemudian mempersilakan dua anak laki – laki itu duduk.
“Boleh ceritakan kenapa kalian berkelahi?” tanya Ibu Ainun. “Zakaria mencuri buku saya, Bu Guru!” kata Rifan spontan dengan nada tinggi. “Tidak. Saya tidak mencuri, saya hanya ingin pinjam!” bela Zakaria. “Jelas – jelas iko tidak bilang mau pinjam!” Rifan tidak mau tahu.
Ibu Guru Ainun menghela napas lagi, tangan kanannya menyentuh pelipis, frustrasi dengan dua anak laki – laki ini.
“Baik, Zakaria mengambil buku tanpa izin Rifan, begitu?” tanya Ibu Ainun. Kedua muridnya hanya diam, menunduk. “Zakaria paham apa yang Zaka lakukan tidak baik? Mengambil sesuatu milik orang lain tanpa izin meskipun dengan niat mengembalikan lagi bukan hal yang baik. Zakaria seharusnya bicara kepada Rifan terlebih dahulu,” ujar Ibu Ainun kepada Zakaria. Zakaria semakin menunduk, malu. “Maaf, Bu Guru,” kata Zakaria. “Jangan minta maaf kepada Bu Guru. Mintalah maaf pada Rifan,” jawab Ibu Ainun. Zakaria diam. “Untuk Rifan, melukai teman juga tidak baik. Rifan bisa tanyakan baik – baik kepada Zakaria kenapa mengambil buku tanpa izin.” “Iya, Bu Guru,” Rifan menjawab singkat. “Zakaria, minta maaflah pada Rifan. Ajak bersalaman,” perintah Ibu Ainun. “Maafkan saya. Saya benar tidak ada niat mengambil buku cerita iko,” ujar Zakaria sambil mengulurkan tangan. Rifan menjabat tangan Zakaria, tanpa mengucapkan sepatah kata.
“Buku apakah yang ingin dipinjam Zaka, Rifan?” tanya Ibu Ainun. “Kumpulan cerita berbahasa Inggris, Bu Guru. Papa berikan buku itu untuk saya. Saya tidak ingin bukunya diambil orang sembarangan,” jelas Rifan. “Baik. Rifan terima permintaan maaf Zakaria?” tanya Ibu Ainun lagi. “Iya, Bu Guru,” jawab Rifan lesu. “Kembalilah ke kelas dahulu, Rifan. Bu Guru ingin mengobrol dengan Zaka,” perintah Ibu Ainun. Rifan mengangguk, kemudian berjalan keluar dari ruang guru.
Tinggallah Zakaria dan Ibu Ainun di ruang guru. Ibu Ainun menatap Zakaria yang masih terus menunduk, kemudian bertanya, “Kenapa Zakaria mengambil buku cerita milik Rifan? Bukankah ada banyak buku cerita di perpustakaan?” “Buku di perpustakaan tidak ada yang berbahasa Inggris, Bu Guru. Ada buku pelajaran dan buku kamus, tetapi ceritanya tidak banyak,” Zakaria menjelaskan. “Kenapa ingin baca cerita berbahasa Inggris?” tanya Ibu Ainun lagi.
Zakaria merogoh saku kemeja putihnya, mengeluarkan sebuah kertas berwarna oranye yang sudah cukup lusuh, kemudian memberikannya kepada Ibu Ainun. Ibu Ainun mengernyitkan dahi, membuka lipatan kertas dan melihat apa yang tertulis di situ, “Kompetisi Bercerita dalam Bahasa Inggris Tingkat Provinsi Sulawesi Selatan dalam Rangka Memperingati Hari Jadi SMP Internasional Lentera Kota Makassar”. Ibu Ainun tertegun. Beliau ingat brosur itu beliau cetak dari laman internet, kemudian ditempelkan di papan majalah dinding. Sisanya diletakkan di depan pintu perpustakaan.
Kompetisi itu dilaksanakan satu bulan lagi. Ibu Ainun tadinya ingin meminta Kepala Sekolah untuk mengumumkan kompetisi dan mencari murid yang bisa ikut serta. Namun, Kepala Sekolah menolak. Alasannya, anak SD masih belum lancar berbahasa Inggris. Perjalanan menuju Kota Makassar memakan waktu lebih dari setengah hari, membuang – buang anggaran, murid yang ikut juga belum tentu menang. Ibu Ainun menjelaskan tidak ada biaya pendaftaran dan panitia menyediakan asrama untuk menginap, serta makan. Meski demikian, Kepala Sekolah tetap tidak mengizinkan. Akhirnya brosur itu terbengkalai. Namun, siapa sangka ada anak yang mengambil satu lembar dan menyimpannya?
“Saya suka Bahasa Inggris, Bu Guru. Setiap kali Ibu mengajar Bahasa Inggris, walaupun hanya nama – nama benda, saya senang sekali. Juara 1 bisa bersekolah gratis di SMP Internasional. Saya dengar anak – anak di sekolah itu bicara dalam Bahasa Inggris. Saya ingin ke sana, Bu Guru. Tapi sulit sekali menemukan buku cerita berbahasa Inggris. Saya lihat Rifan punya satu, tetapi saya tidak berani bilang karena tidak dekat dengan Rifan,” jelas Zakaria panjang lebar. “Tapi saya benar berniat mengembalikan, Bu Guru, sungguh,” tambah Zakaria lagi.
Ibu Ainun terdiam, matanya menatap Zakaria, kemudian bertanya, “Benar ingin ikut lomba bercerita?” “Iya, Bu Guru. Saya mau ikut, saya mau belajar,” jawab Zakaria mantap. “Esok, usai jam pulang sekolah, temui Bu Guru di sini, Zaka. Ibu carikan cerita berbahasa Inggris untuk kau baca,” kata Ibu Ainun. Zakaria mengangkat kepalanya, matanya membulat, senyumnya melebar, “Benar, Bu Guru?! Bu Guru mau ajarkan saya bercerita?” “Iya, Zaka. Sekarang kembalilah ke kelas. Sebentar lagi Bu Guru masuk melanjutkan pelajaran,” Ibu Ainun tersenyum. Zakaria menurut, meninggalkan ruang guru dengan suka cita.
Waktu pulang sekolah tiba. Zakaria menghampiri Ibu Ainun sambil tersenyum, mengucap salam, kemudian berpamitan. Ia berlari keluar gerbang sekolah, terus berlari sampai pelabuhan Desa Bulantang, dan berteriak – teriak, “Ambe, Ambe! Zaka mau ikut kompetisi!”
Rupanya, ia mencari ayahnya yang bekerja sebagai buruh lepas bongkar muat di pelabuhan. Mendengar teriakan anaknya, ayah Zakaria hanya menggeleng – geleng, tidak mengerti apa yang dimaksud Zakaria. Di rumah pun, Zakaria langsung mencari ibunya yang sedang membuat kue basah untuk dijual esok di pasar. “Indo, Zaka mau ikut lomba bercerita!”, ibunya bingung dan bertanya, “Lomba apa?”, Zakaria menjawab “Bercerita Bahasa Inggris!”, ibunya semakin tidak mengerti, kemudian cepat – cepat menyuruh Zakaria berganti pakaian.
Esoknya, setelah jam pulang sekolah, Zakaria menepati janjinya bertemu dengan Ibu Ainun di ruang guru. Ibu Ainun yang sudah menunggu mempersilakan Zakaria duduk. “Sebentar, Zaka. Bu Guru sudah dapat beberapa cerita, cerita ini Ibu terjemahkan sendiri,” ucap Ibu Ainun sambil membuka laci meja. Ibu Ainun mengeluarkan sebuah map biru, di dalamnya ada tiga cerita rakyat berbahasa Inggris. “The Conqueror of the Great Eagle (Si Penakluk Rajawali)”, “I Larang, A Shrimp Man (I Larang Manusia Udang)”, dan “The Story of La Tongko – Tongko (Kisah La Tongko – Tongko)”. Semuanya cerita rakyat Sulawesi.
Ibu Ainun menjelaskan dengan singkat inti setiap kisah kemudian meminta Zakaria memilih satu kisah untuk diceritakan. “De…Konkueror of , gret egel, Bu Guru,” jawab Zakaria agak ragu – ragu. Ibu Ainun tersenyum, menangguk. Kisah yang dipilih Zakaria menceritakan tentang pemuda yang melawan rajawali yang membawa kutukan pada putri Raja.
Selama satu minggu, Zakaria belajar mengartikan kata per kata. Setelah selesai, Ibu Ainun memberikan penjelasan tentang arti setiap kalimat agar Zakaria lebih memahami inti cerita. Kemudian, Ibu Ainun meminta Zakaria membaca ceritanya. Pelafalan Bahasa Inggris Zakaria sangat berantakan. Namun, Ibu Ainun melihat kesungguhan Zakaria dalam belajar. Beliau sabar memberi masukan, mencontohkan pelafalan yang benar kepada Zakaria.
Minggu berikutnya, Ibu Ainun meminta Zakaria untuk menghapal kisah “Si Penakluk Rawajali” itu. Zakaria telaten dalam menghapalkan, pagi, siang, sore, malam. Butuh waktu lama sekali untuk ingat satu paragraf, tetapi Zakaria tidak sekalipun terpikir untuk menyerah. Di pagi buta Zakaria membantu indo menyiapkan dagangan di pasar kemudian bersiap ke sekolah. Sesampainya di sekolah, ia lanjut menghapal. Begitu seterusnya sampai akhir minggu ketiga.
Hari pertama minggu keempat, sebelum bel masuk, Ibu Ainun meminta Zakaria menunjukkan hasil menghapalnya. Di perpustakaan, Zakaria pertama kali tampil bercerita dengan bahasa Inggris. Tidak sempurna, pelafalannya masih ada yang salah, tetapi cukup membuat Ibu Ainun kagum.
“Saat pelajaran Bahasa Inggris nanti, Bu Guru ingin Zaka bercerita di depan teman – teman,” ucap Ibu Ainun. Zakaria terkejut, “Zaka malu, Bu Guru.” “Zaka, kunci utama pencerita selain menguasai kisah yang diceritakan adalah percaya diri. Di kompetisi nanti, Zakaria akan bercerita di depan banyak sekali orang jadi Bu Guru ingin Zaka berlatih,” kata Bu Guru. “Iya, Bu Guru. Saya mau bercerita di depan teman – teman,” Zakaria akhirnya setuju.
Jam pelajaran Bahasa Inggris dimulai. Ibu Ainun menjelaskan kepada murid yang lain bahwa satu kawannya akan ikut kompetisi bercerita dan mempersilakan Zakaria maju. Zakaria mulai bercerita, ia lupa satu dua kata, tapi tidak masalah, Zakaria ingat pesan Ibu Ainun, “Kalau lupa, lanjutkan saja”. Teman – teman bertepuk – tangan. Meski demikian, Ibu Ainun sadar Zakaria masih memiliki kekurangan.
Saat istirahat, Rifan menghampiri Zakaria di kursinya. “Kau ingin pinjam buku karena mau ikut lomba?” tanya Rifan terus terang. Zakaria mengangguk, Rifan tertawa. “Cara berceritamu jelek sekali,” kata Rifan. Zakaria menunduk. “Di buku cerita ini ada DVD. Isinya orang bercerita. Tonton ini,” Rifan memberikan DVD kepada Zakaria. Zakaria tidak berhenti berterima kasih kemudian buru – buru menemui Ibu Ainun.
Sepulang sekolah, Zakaria mampir ke rumah Ibu Ainun menonton DVD. Zakaria menjadi mengerti bahwa pencerita harus mencurahkan jiwanya ke dalam kisah yang diceritakan. Ia terus berlatih, sampai tidak terasa perlombaan tinggal tiga hari lagi. Ibu Ainun menghubungi sanak saudara di Kabupaten, meminta tolong untuk diantar ke Kota Makassar.
Setelah berlatih, Ibu Ainun menemani Zakaria pulang. Menjelaskan kepada ambe dan indo putranya akan berangkat lomba. Mereka terkejut, indo sampai menangis mendengar Zakaria berlatih siang malam. Ibu Ainun dan Zakaria berangkat esok harinya.
Akhirnya, hari perlombaan tiba. Zakaria gugup karena ada banyak sekali peserta. Hampir semuanya membawa perlengkapan, sedangkan Zakaria hanya memakai baju batik dan kopiah karena tidak sempat menyewa baju adat. Ibu Ainun menenangkan, sekali lagi berkata kuncinya percaya diri.
Satu per satu peserta tampil, “Semuanya bagus,” pikir Ibu Ainun. Sampai tiba giliran Zakaria. Ibu Ainun menepuk punggung Zakaria, Zakaria mengangguk, kemudian dengan tegap ia berjalan ke panggung.
Zakaria bercerita dengan sangat baik. Ia benar – benar menjiwai cerita yang dibawakan dan hebatnya, tidak ada satupun kata yang salah, semuanya sesuai naskah. Zakaria tidak hanya berkisah, tetapi juga memainkan peran sebagai Raja, para putri, dan burung rajawali. Ada beberapa kata yang salah diucapkan tetapi selain itu, penampilan Zakaria nyaris sempurna. Zakaria mengakhiri cerita dengan iringan tepuk tangan.
Setelah Zakaria, saatnya peserta – peserta lain unjuk gigi. Perlombaan berlangsung sangat lama, dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore, termasuk waktu istirahat dan ibadah. Setelah selesai, semua peserta dan guru pendamping dipersilakan beristirahat di asrama, menikmati hidangan sore, mandi, sambil menunggu upacara penutupan.
Jam menunjukkan pukul 19.30, upacara penutupan pun tiba. Panitia mengumumkan juara – juara perlombaan. Ibu Ainun memegang tangan Zakaria.
Juara 1 : Syahiddul Hisyam SD IT XXX Juara 2 : Mezza Khaerani SD N XXX Juara 3 : Rian Akbari SD Internasional
Ibu Ainun menelan ludah, memeluk Zakaria. Zakaria tersenyum, “Terima kasih sudah antarkan Zaka, Bu. Terima kasih sudah ajak Zaka ikut lomba,” Ibu Ainun malah menangis.
Namun, panitia belum selesai membacakan pengumuman. Ada tiga juara favorit… Favorit Nomor 1 : Zakaria Mahmudi SD N Balantang
Makin erat pelukan Ibu Ainun kepada Zakaria. Meskipun tidak mendapatkan juara 1, pada malam itu, anak sekolah dari desa sederhana, dikenal namanya oleh ratusan orang hebat.
SELESAI
“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang – bintang.” Ir. Soekarno