Data Diri Penulis

sunting

Nara tinggal di Yogyakarta dan bergabung dalam komunitas menulis Dimensi Kata yang sering melakukan kegiatan meresensi cerpen koran serta membuat cerpen-cerpen tantangan.

Premis

sunting

Seorang anak perempuan dengan nama yang tak biasa, Slamet, membuka mata kawan-kawan barunya mengenai doa dalam nama.

Slamet, Edo, Bu Indah, Luna, Raffi, Doni

Lokasi

sunting

SD Kayuwangi

Sinopsis

sunting

Slamet adalah murid pindahan di SD Kayuwangi. Meski seorang perempuan, namanya yang tak biasa membuat Slamet diolok-olok. Dalam perkenalan dirinya, Slamet menjelaskan kenapa ia dinamai Slamet; bahwa ada harapan besar dalam nama tersebut yang ia aminkan sebagai berkat. Mendengar ceritanya membuat sebagian besar anak trenyuh dan memahami bahwa tak ada yang aneh dengan nama Slamet. Hanya Edo yang masih selalu menggoda dan mengolok Slamet dengan nama yang lain. Namun Slamet bukan pendendam. Ketika Edo terluka, dan anak-anak lain menertawakannya, justru Slamet yang pertama datang menolong. Kebaikan Slamet dan pengetahuannya tentang pengobatan herbal membuat Edo dan anak-anak lain tersentuh.

Cerita Pendek

sunting

 

Hari Senin pagi. Selesai upacara sekolah, anak-anak SD Kayuwangi menghambur ke kelas masing-masing. Tak terkecuali murid kelas 6 A. Sambil masih berbincang-bincang, mereka masuk ke kelas yang terletak paling ujung gedung. Terdengar derai tawa dan canda saling ejek di antara mereka, seperti biasa jika guru mereka belum masuk ruang kelas. Jadwal pertama setelah upacara adalah Bahasa Indonesia. Pelajaran yang sangat disukai semua anak, karena biasanya Bu Indah akan bercerita sebelum mulai memberi tugas. Namun sudah berjalan seperempat jam, Bu Indah belum juga masuk ruang kelas.

“Coba disusul ke kantor, Don," usul Luna pada ketua kelas 6 A.

“Kita tunggu 10 menit lagi ya teman-teman," teriak Doni.

Ada sorakan dari geng bangku belakang. Edo dan kawan-kawannya nampak bersukacita. Edo yang suka usil itu langsung mengajak tebak-tebakan untuk mengisi waktu menunggu.

“Sapi, sapi apa yang warna-warni," teriak Edo yang disambut jawaban beraneka.

“Sapi-dool … itu tebakan kuno!“ seru Raffi. “Sekarang, telor apa yang diinjak-injak manusia tapi tidak pecah?” lanjutnya memberi tebakan.

Beberapa kawannya terdiam.

“Apa, Fi?”

“Telor dinosaurus,” sahut yang lain.

Raffi tertawa. “Salaaah! Menyerah? Kukasih tahu niih … telor yang gak pecah diinjak-injak manusia ituu … telor-toaaar …” serunya sambil masih tertawa.

“Wuuuuu…”

Suasana kelas penuh canda tawa itu seketika senyap saat terdengar langkah sepatu dari luar. Pintu terkuak, menampilkan Bu Indah dengan seragam cokelatnya. Rambutnya yang rapi berpotongan pendek.

“Selamat pagi, Bu Indah!” terdengar isi kelas 6A kompak memberi salam sambil berdiri dengan semangat.

“Selamat pagi, anak-anak!” jawab Bu Indah. “Maaf ya, Bu Indah terlambat sedikit,” lanjutnya sambil tersenyum. “Ibu harus menemui tamu dulu di kantor."

“Kami menunggu lanjutan dongeng kemarin, Bu," Edo berteriak dari bangkunya di belakang.

Bu Indah tersenyum. “Sebelum melanjutkan cerita kemarin, Bu Indah akan memperkenalkan teman pada kalian," kata Bu Indah masih dengan tersenyum. “Teman baru yang akan menjadi warga kelas 6A.”

“Siapa, Bu?"

“Mana, Bu Indah?”

“Laki-laki apa perempuan, Bu?”

Suasana kelas riuh oleh pertanyaan anak-anak. Namun Bu Indah tetap sabar. Guru Bahasa Indonesia itu berjalan menyeberangi kelas dan membuka daun pintu, mempersilakan murid yang masih menunggu di luar untuk masuk. Seorang anak perempuan berambut sebahu dengan poni rapi mengikuti langkah Bu Indah. Senyum cerah menghiasi bibirnya.

“Nah, anak-anak, inilah teman baru kalian,” kata Bu Indah. Sebelah tangannya menepuk ringan bahu anak perempuan tersebut. “Silakan kamu memperkenalkan diri!”

Anak perempuan itu mengangguk. Bisik-bisik terdengar dari beberapa sudut kelas. Bu Indah meletakkan jari telunjuknya di depan bibir untuk memberi tanda meminta keheningan. Anak-anak diam dengan patuh. Mata mereka menyorot penasaran pada anak baru di depan kelas.

“Selamat pagi teman-teman," anak perempuan itu menyapa, tidak kelihatan gugup dipandang oleh banyak mata. “Perkenalkan, saya baru datang dari Jakarta. Saya ke Jogja mengikuti kepindahan tugas ayah saya. Nama saya …" Anak perempuan itu berhenti sejenak. Matanya menatap ke sekeliling, seperti memikirkan sesuatu.

“Siapa?” seru anak yang duduk di pojokan.

Anak perempuan itu menarik napas panjang dan menjawab, “Nama saya Slamet.”

Suasana kelas terdiam sesaat. Semua mata tertuju pada anak baru itu. Lalu tawa berderai hampir bersamaan.

“Hahahhaha ... Slamet? Itu kan nama laki-laki!”

“Ah yang bener?”

“Aneh!”

Suara-suara masih berdengung seperti lebah. Bu Indah menepuk tangan, meminta perhatian. “Anak-anak, tenang dulu. Hargai teman kalian,” tegurnya lembut.

“Lha lucu namanya, Bu. Anak perempuan kok namanya Slamet?” teriak Edo sambil masih tertawa. “Sheila saja ya, kan cocok dengan wajahmu,” lanjutnya.

“Nama adalah pemberian orang tua, Edo," Bu Indah menegur lebih tegas. "Apakah kamu senang kalau ada orang yang menertawakan namamu dan menggantinya dengan nama lain?"

"Shela kan nama yang bagus, Bu!"

"Rico juga nama yang bagus, tapi apa kamu mau dipanggil dengan nama itu?"

"Tidak mau!" Edo menjawab. Tangannya disilangkan di depan dada sementara bibirnya cemberut.

"Nah." Bu Indah mengangguk. Senyum tidak lepas dari bibirnya. "Kalau begitu kenapa kamu harus memanggil Slamet dengan nama lain?" Bu Indah mengangguk kembali pada Slamet. "Silakan dilanjutkan, Slamet."

“Namaku Slamet Hidayat. Hidayat adalah nama ayahku.”

“Jadi namamu hanya Slamet saja?” tanya Luna penasaran.

Slamet mengangguk. “Ya, namaku hanya Slamet,” katanya.

“Kamu nggak malu dengan nama itu?” Raffi menimpali. Ia melirik Bu Indah, lalu cepat-cepat menambahkan, "Aku nggak bilang nama itu jelek ya. Perempuan biasanya nggak pakai nama itu. Makanya aku tanya."

Ditanya soal malu atau tidak, Slamet sempat terdiam. Bu Indah mengambil kesempatan untuk membimbing dengan lembut, "Malulah kalau berbuat salah, anak-anak. Nama dari orangtua pasti mengandung doa dan harapan, seperti nama Raffi. Artinya apa Raffi?"

"Artinya mulia!" Raffi berkata bangga. Ia menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah penuh semangat, puas dengan arti namanya yang bagus.

"Betul. Nama yang bagus sekali, Raffi." Bu Indah mengangguk. "Ibu yakin selalu ada makna di balik nama seseorang. Bukan begitu, Slamet?"

Slamet mengangguk dua kali. Pipinya sedikit merona merah dan matanya berkaca-kaca. "Raffi benar, awalnya aku sempat malu. Soalnya Slamet kan nama laki-laki. Tapi setelah aku tahu asal-usul nama itu, aku nggak malu lagi."

“Apa itu?” kejar Raffi.

Penjelasan Slamet membuat penasaran teman-temannya.

“Cerita dong!”

Slamet menatap Bu Indah lagi, seperti mencari penguatan. Bu Indah menepuk punggung Slamet dengan lembut, penuh dukungan.

“Baiklah teman-teman akan kuceritakan,” Slamet berkata lembut. Ia tersenyum sekilas, kemudian memulai ceritanya, “Aku adalah anak satu-satunya ayah dan ibuku, tapi bisa dibilang aku adalah anak keempat. Ketiga kakakku tidak selamat waktu dalam kandungan. Waktu ibuku hamil aku, ayah dan ibuku benar-benar berharap aku lahir dengan selamat. Doa ayah dan ibuku terkabul! Inilah aku. Tapi ayah dan ibuku masih selalu takut kalau-kalau aku bakal kembali ke Maha Rahim, jadi dinamailah aku Slamet dengan harapan supaya aku tetap selamat sampai dewasa."

Satu kelas yang sempat menahan napas karena ikut tegang kini gembira mendengar akhir cerita yang bahagia. Mereka bertepuk tangan dan sekarang memuju nama Slamet.

Tak terasa, airmata Slamet mengalir. Ia lega dan senang perkenalan dirinya berhasil. Anak-anak sekelasnya menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka, meski masih saja ada yang ngotot memanggilnya dengan nama lain.

Dalam sekejap, kisah tentang murid baru bernama unik menyebar ke kelas-kelas lain dan jadi bahan pembicaraan. Edo semakin sering memanggil Slamet dengan nama Shela. Bahkan anak itu meneriakkan nama Shela keras-keras di kantin saat memanggil Slamet.

“Edo! Kenapa usil sih!” Luna menghardik.

Namun Edo hanya tertawa. Bersama gengnya, mereka keluar kantin setelah selesai makan batagor. Anak laki-laki berbadan besar itu melewati Luna, Slamet dan Cinta yang baru saja datang. Masih dengan tertawa menggoda, Edo tak menyadari badannya menyenggol ujung meja.

Bruaaak! Badan besar itu tersungkur. Edo terduduk dengan kesakitan. Ada darah pada lututnya. Bukannya menolong, anak-anak di sekitarnya justru tertawa keras-keras.

“Makanya hati-hati!” Luna menggeleng-gelengkan kepala

Edo masih meringis kesakitan di lantai. Hatinya sedih melihat bahkan teman-teman satu kelasnya ikut tertawa. Saat ia berusaha bangun sendiri, satu tangan meraih dan menolongnya. Edo mengangkat wajah, melihat Slamet menatap penuh perhatian ke arah lukanya.

“Ooh ada bengkak dan tergores sedikit," kata Slamet. Ia menuntun Edo ke bangku kosong di kantin sambil bergumamzl, "Hmmm… sebentar aku tadi melihat tanaman lidah buaya di taman.

Edo melongo. Ia belum sempat bicara apa pun. Slamet sudah lari meninggalkannya. Tak lama kemudian, anak perempuan itu kembali membawa setangkai lidah buaya di tangan.

“Hei… hei apa ini?” Edo berteriak saat Slamet mendekati dan memegang lututnya..

“Tidak apa, oleskan saja pada lukamu itu, Do.” Dengan cekatan Slamet mengambil daging tanaman lidah buaya itu. “Oleskanlah. Nanti akan dingin dan tidak sakit.”

Edo tak bisa menolak. Ia sedikit meringis, tapi merasakan lukanya menjadi tidak pedih.

“Bagaimana?” Slamet bertanya. “Lidah buaya ini mengandung saponin, zat yang bisa membunuh kuman dan menyembuhkan luka,” lanjutnya menerangkan.

"Ngapain kamu tolong dia?" tanya Luna heran dari belakang Slamet. "Dia kan selalu gangguin kamu?"

Slamet hanya tertawa. Ia menatap mata Edo. "Nama adalah doa. Edo kan cuma pengen kasih nama panggilan yang bagus buatku?"

Edo mengangguk malu-malu. Menurutnya, Slamet memang terlalu cantik untuk menggunakan nama laki-laki. "Sekarang aku tahu namamu itu cocok, kamu memang membawa selamat!" katanya keras-keras. "Aku nggak akan panggil kamu selain Slamet lagi! Kalau ada orang lain yang ngolok-olok kamu, bilang aku!" Ia menepuk dadanya.

Luna tertawa, begitu pula Slamet.

Sejak saat itu, Edo menepati janjinya. Tak kenal maka tak sayang, benar pepatah tersebut. Setelah mengenal pribadi Slamet yang periang dan terbuka, semua anak satu kelas semakin sayang pada Slamet. Mereka mulai tahu lebih banyak hal tenyang kawan baru mereka yang bercita-cita menjadi dokter agar bisa merawat ibunya yang bertubuh lemah. Sekarang, setiap kali ada yang tak percaya saat mendengar nama Slamet, akan ada anak-anak kelas 6A yang berteriak bangga, "Namanya memang Slamet!"