Norwegian Wood dalam Kata dan Gerak
Norwegian Wood dalam Kata dan Gerak oleh Fanny Chotimah |
“ | She has lost the love of her life. He is about to lose the love of his life |
” |
Sesosok lelaki mengenakan kaos oblong duduk berselonjor, satu kakinya ditekuk, ia tengah menghisap sebatang rokok, asapnya membubung memanggil ingatan-ingatan masa lalu, ia disoroti sinar lampu dari atas panggung. Gerak tubuhnya menyiratkan kegelisahan berkecamuk dengan deru gemuruh suara pesawat yang suaranya semakin lama semakin memekikkan telinga. Lampu pun padam.
Ilustrasi di atas merupakan adegan pembuka repertoar berjudul “Without Stars” (45 menit) dari James Cousins Company kelompok tari kontemporer asal Inggris. Pertunjukan ini dihelat pada 29 Oktober 2014 bertempat di Teater Besar ISI Solo, dan Cultural Hall Sekolah Ciputra Surabaya pada 1-2 November 2014. Lelaki itu bernama Toru Watanabe karakter utama dalam novel laris berjudul Norwegian Wood (1987) karya novelis ternama Jepang Haruki Murakami. Rupanya hubungan percintaan dengan segala intrik dan kerumitan karakter yang dikisahkan dalam novel tersebut, menginspirasi James Cousins sebagai koreografer untuk mengeksplorasinya menjadi sebuah karya tari.
Ketika lampu panggung kembali menyala adegan berlanjut, seorang penari masuk, lelaki bertubuh semampai mengenakan kostum ketat berwarna hitam. Ia seperti arwah yang tidak sanggup pergi, mungkin ia arwah Kizuki sahabat Toru Watanabe yang mengakhiri hidupnya sendiri diusia 17 tahun. Kizuki kekasih Naoko, perempuan yang dicintai Toru Watanabe. Kedua penari lelaki itu saling menatap, mencoba menangkap kehadiran satu sama lain. Toru Watanabe dan arwah Kizuki merupakan masa kini. Lalu seorang penari yang ketiga, lelaki berkaos oblong masuk panggung bergabung. Ia mendekati Toru Watanabe meraih tangannya dan menari. Ia sosok Kizuki ketika masih hidup, ia merupakan masa lalu. Narasi karya tari ini bersetia pada narasi novel aslinya, dimana Toru Watanabe dewasa menuturkan kembali kenangan percintaan masa mudanya. Sehingga terkadang masa kini dan masa lalu berkelindan satu sama lain.
Sorot cahaya beralih dari samping kiri panggung, membentuk semacam lorong ingatan. Naoko masuk mengenakan dress berkerah tanpa lengan model 60-an. Ia mendekati Toru Watanabe dan Kizuki, ketiganya berdekatan lantas saling meraih, menjauh, berlekatan dalam detail gerakan tarian dengan tempo yang tak begitu cepat. Sehingga kita bisa menyaksikan emosi itu, kesedihan, kehampaan, dan cinta yang tengah bergejolak dibuat sedemikian intens. Arwah Kizuki tidak menari, ia hanya berdiri menyaksikan seperti bayangan. Tari kontemporer memang mengandalkan energi dan emosi dari dalam tubuh yang membuat gerakan menjadi sangat personal. Kebebasan gerakan membuat tubuh bebas berimprovisasi. Musik pengiring lagu “You Always Hurt The One You Love” oleh The Mills Brother membangkitkan kegetiran tersendiri. Entah merupakan pilihan yang disadari atau tidak oleh James Cousin, ia meniadakan lagu “Norwegian Wood” dari The Beatles. Lagu kesukaan Naoko, lagu yang mengingatkan Toru Watanabe untuk kembali mengenang Naoko. Lagu yang dipilih Haruki Murakami sebagai judul novel. Pilihan repertoar musik lainnya, gesekan Cello dari Sophie Gledhill dan biola oleh Rebecca Hopkin menjaga tone pertunjukan tetap muram dan intens. Tercipta nuansa dunia yang kelam di mana tak tampak lagi bintang-bintang di langit. Nuansa yang berbeda dengan pilihan lagu-lagu Haruki Murakami dalam novelnya, yang memilih lagu-lagu seperti di antaranya The Beatles, Billy Joel, Bill Evans menciptakan tone yang meski muram terkadang masih memunculkan humor, satir dan pernik dunia anak muda pada masanya.
Imajinasi visual dan interpretasi
suntingHaruki Murakami melahirkan tokoh-tokoh yang berkarakter kuat dan memiliki keunikan tersendiri. Meskipun karakternya rumit dan banyak layer namun dibuat begitu meyakinkan untuk tetap terkesan wajar, seperti sosok-sosok yang kita ketemui dalam keseharian. James Cousins menangkap itu, malah itulah alasan mengapa karyanya berangkat dari Norwegian Wood. Bagi James Cousin, menari itu tentang manusia, tentang diri, tentang karakter. Sehingga dalam interpretasinya ia fokus pada eksplorasi tubuh dan karakter yang dihidupkan penari-penarinya. Tata panggung, kostum, tata cahaya dibuat seminimalis mungkin sehingga tidak mengalihkan perhatian dan memanjakan visual kita. Selain itu ia cukup berhasil dalam menghadirkan momen-momen penting. Adegan persetubuhan Naoko dan Toru Watanabe ditampilkan penuh kesahduan dan keintiman. Penyatuan badaniah tidak lantas menghilangkan kesedihan dan kehampaan. Begitupun dalam repertoar kedua “There We Have Been” yang berdurasi 17 menit, antara Naoko dan arwah Kizuki. Keduanya selalu lekat, Naoko menari duduk di pundak Kizuki, dibopong, diputar, Naoko hampir tak menginjak tanah. Ia seperti tidak bisa pergi ke mana-mana. Hingga mungkin kematianlah yang harus dipilih.
Tahun 2010 sutradara asal Vietnam Tran Anh Hung mengangkat novel ini ke layar lebar dengan judul film Norwegian Wood. Saya kira menarik jika sebuah karya baik sastra, tari, musik, dan film tidak hanya selesai setelah dibaca atau sekadar ditonton. Jika ruang untuk saling merespon dan menginterpretasi karya sangat mungkin terjadi, mengapa tidak kita lakukan saja. Kabar gembiranya seniman tari dan pembuat film kita sudah memulai bentuk kerja semacam ini, sebut saja Dwi Windarti (2013) dengan karya tari Roro Mendut, terinspirasi Roro mendut (1982) karya YB. Mangunwijaya, di tahun yang sama dengan novelnya ada pula film Roro Mendut (1982) sutradara Ami Priyono. Begitupun novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) karya Ahmad Tohari, telah diangkat ke layar lebar oleh sutradara Ifa Isfansyah dengan judul film Sang Penari (2011). Baik kesedihan maupun keindahan memiliki beragam warna dan rupa. Selebihnya kemampuan tiap-tiap panca indra kita untuk menangkapnya. Maka dari itu, interpretasi medium karya berbeda bisa memperkaya khazanah pembacaan kita. (*)