Pak Gelowo dan Kedua Istrinya

Pak Gelowo dan Kedua Istrinya

T. Agus Khaidir

Minggu, 19 April 2015

SEDUHAN kopi hampir rampung dan aroma tajamnya telah amat kuat menyergap hidung ketika Pak Gelowo mendadak tercekat. Sadar, betapa ia telah melakukan kesalahan besar. Celaka dua belas, pikirnya. Perang dunia ketiga bakal meletus!

Pagi tadi, sebagaimana rutinitasnya setiap awal bulan, Pak Gelowo pergi ke bank untuk mengambil pensiun dan sebagaimana selalu pula dilakukannya, dalam perjalanan ke bank itu, ia tidak berhenti mengirim doa untuk almarhum Gus Dur.

Ada tiga presiden yang mendapatkan tempat istimewa di hati Pak Gelowo, yakni Soekarno, Soeharto, dan KH Abdurrahman Wahid. Ia mengagumi Bung Karno dan Pak Harto. Di masa muda, Pak Gelowo mendalami ajaran Bung Karno dan pada era pemerintahan Pak Harto, ia mengabdi pada negara sebagai guru sampai pensiun lima dengan jabatan Kepala SMA negeri paling favorit di kota ini. Ia pegawai yang marhaen. Identitas yang ditutupinya sangat baik. Tak ada yang tahu bahwa pada setiap pemilu, ia tak pernah memilih Golkar. Begitu besar kekagumannya pada kedua presiden itu, Pak Gelowo menamai anaknya Suharkarno. Namun, memang hanya pada Gus Dur, ia mengirim doa.

Tentu ada alasannya. Pak Gelowo berkeyakinan, sekiranya Gus Dur tidak jadi presiden, mungkin kini ia masih harus pontang-panting mencari uang sekadar untuk membuat dapurnya berasap. Di masa pemerintahannya yang sebentar, Gus Dur menghapus tunjangan- tunjangan pegawai dan mengonversi ke dalam gaji pokok. Kebijakan yang membuat para pensiunan, terutama yang pernah punya jabatan atau berpangkat lumayan dapat hidup ongkang-ongkang menikmati hari tua.

Pak Gelowo memang tidak sepenuhnya dapat ongkang-ongkang. Namun, paling tidak, nasibnya lebih lumayan dibanding rekan-rekannya yang pensiun sebelum era Gus Dur.

Tak jauh dari bank ada kedai kelontong. Pak Gelowo biasa singgah di kedai itu untuk membeli amplop. Sejak masih aktif bekerja, ia memang tak pernah membawa pulang gajinya dalam keadaan telanjang, selalu disimpan dalam amplop. Demi kesopanan dan penghormatan pada yang menerima, meski yang menerima itu istrinya sendiri.

Pak Gelowo membeli dua amplop. Amplop yang satu ditandainya dengan angka satu, ditulis dalam ukuran kecil di sudut kiri atas. Amplop itu untuk Nur Asiah Jamil, istri pertamanya. Amplop lain yang berangka dua, untuk Anamira.

Dulu, pada hari gajian, Pak Gelowo tak perlu membeli amplop. Ia tinggal meminta dari bagian administrasi sekolah. Ke dalam amplop-amplop itu disimpannya hasil kerja sebulan. Dibagi dua sama persis. Ia juga melakukan hal serupa untuk honor lembur, gaji ke-13, atau honor memberi ceramah, lokakarya, dan pelatihan, termasuk uang-uang tak terduga semacam hadiah orangtua siswa atau persenan dari pemborong.

Anamira bukan perempuan rahasia. Tidak dari Nur Asiah Jamil maupun negara. Pernikahannya dengan Anamira dilakukan secara sah atas sepengetahuan pimpinan instansi dan restu Nur Asiah Jamil. Bahkan, istri pertamanya itulah yang mengusulkan Pak Gelowo menikahi Anamira. Pak Gelowo dan Nur Asiah Jamil telah berumah tangga selama 32 tahun dan belum memiliki anak.

Mula-mula Pak Gelowo menolak usulan ini. Selain tidak mau menduakan cinta, Pak Gelowo merasa tak akan mampu berlaku adil. Dalam agamanya, seorang lelaki dibolehkan beristri lebih dari satu orang. Namun, jika tak mampu adil terhadap istri-istrinya, telah pula diperingatkan bahwa pernikahan-pernikahan itu hanya akan membawa akibat buruk bagi yang menjalani di dunia maupun akhirat. Jadi, hukumnya ialah diperbolehkan dengan syarat yang sungguh berat.

Bagaimana dapat adil pada dua perempuan jika terhadap dua sepeda motor saja tidak bisa, kata Pak Gelowo setiap Nur Asiah Jamil mendesak. Iya, sejak membeli sepeda motor baru, Pak Gelowo menggudangkan sepeda motornya yang lama.Sepeda motor antik itu, Honda CB produksi 1978, hanya dikendarainya pada Minggu pagi, sekadar untuk membeli koran dan sarapan.

Nur Asiah Jamil menganggap alasan Pak Gelowo terlalu berlebihan. Perempuan kok disamakan dengan sepeda motor. Dia berjanji tetap mencintai Pak Gelowo dan tidak akan cemburu pada Anamira yang masih terhitung sepupunya, adik dari sebelah ibu. Pak Gelowo tidak percaya dan menilai ucapan Nur Asiah Jamil cuma bualan seorang perempuan setengah tua yang di sisa usianya ingin berbagi tugas mengurus suami yang hampir uzur dan tidak lagi punya harapan untuk punya keturunan. Ia menduga, desakan itu ialah perwujudan keputusasaan. Rindu yang hampir padam. Serupa dirinya. Segenap daya upaya telah mereka lakukan, tapi apa mau dikata, hasilnya tetap mengecewakan. Anak yang didambakan tak kunjung datang.

Kurang lebih setahun kemudian, setelah bertanya ke sana-kemari, setelah mempelajari lebih banyak dalil dan meminta nasihat ustaz dan kawan-kawan yang ia anggap bijak, Pak Gelowo menikahi Anamira yang telah dua tahun menjanda.

Suaminya Rahmat Yanis meninggal dunia dalam satu peristiwa kecelakaan lalu lintas. Keduanya menikah selama empat tahun dan sampai saat Rahmat Yanis dipanggil Allah, tak ada tanda-tanda mereka akan dikaruniai anak. Anamira dan Rahmat Yanis berusaha keras memperoleh keturunan. Tidak cuma dokter. Entah sudah berapa banyak sinshe, dukun, dan orang pintar lain yang disambangi.

Namun, sampai sejauh itu, agar tidak menyakiti satu sama lain, seperti juga Pak Gelowo dan Nur Asiah Jamil, baik Anamira maupun Rahmat Yanis memang tak pernah ingin memastikan siapa di antara mereka yang bermasalah. Pernikahan itu sebenarnya berisiko tinggi, sebab bisa saja masalah terletak pada Pak Gelowo dan Anamira.

Pak Gelowo sadar, tapi ia menepikan kemungkinan itu. Toh alasan terbesarnya bersedia menikahi Anamira ialah untuk menyenangkan Nur Asiah Jamil. Di luar dugaan, pada tahun ketiga pernikahan dengan Pak Gelowo, Anamira hamil.

Mengagetkan sekaligus menggembirakan dan kemudian pelan-pelan menjelmakan api dalam sekam. Walau tak kentara, Pak Gelowo tahu Nur Asiah Jamil mulai menjaga jarak dengan Anamira. Pak Gelowo memahami perasaannya. Apalagi, hanya satu setengah tahun setelah kelahiran anak pertama yang laki-laki, menyusul pula adiknya, bayi perempuan manis yang wajahnya sangat mirip dengan ibunya. Sampai di sini masalah bertambah runyam.

Konsep adil yang diterapkan Pak Gelowo, yakni sama rata sama rasa, tidak mungkin lagi diteruskan. Anamira hidup dengan dua anak. Selain perhatian, biaya hidup yang mereka butuhkan tentu lebih besar. Susu dan makanan bayi tidak murah. Belum lagi biaya periksa ke dokter–imunisasi dan sebagainya yang mesti rutin dikeluarkan.

Persoalannya, pascapensiun, penghasilan Pak Gelowo dari ‘lubang-lubang’ di luar yang resmi, praktis tertutup. Satu-satunya jalan untuk menambah belanja Anamira ialah mengurangi belanja Nur Asiah Jamil. Ini bukan perkara mudah. Hampir empat dekade berumah tangga, Pak Gelowo mengerti betul tabiat istri pertamanya. Ia bijak dalam banyak hal. Namun, sering lepas kendali bila masalah yang dihadapi terkait dengan perempuan dan uang.

Namun, lagi-lagi di luar dugaan Pak Gelowo, Nur Asiah Jamil bersedia. Bahkan, tanpa protes sama sekali. Saat Pak Gelowo menyampaikan maksudnya, air muka Nur Asiah Jamil memang berubah. Dia terdiam lama sebelum kemudian menghela napas, mengangguk, lalu bangkit dari duduk dan melangkah masuk kamar. Suara hempasan pintu lebih keras dari biasanya. Bukan kebersediaan melegakan, tapi Pak Gelowo tak berani meminta lebih. Ia pernah menyinggung soal keadilannya pada Nur Asiah Jamil dan karena dijawab dengan nada tegas bahwa itu tak perlu dirisaukan, Pak Gelowo tak bertanya-tanya lagi.

Meski demikian, demi menjaga perasaan Nur Asiah Jamil, Pak Gelowo tetap bersikap sangat hatihati. Sebisa mungkin, misalnya, ia tidak berbicara perihal Anamira dan anak-anaknya. Jika pun terpaksa membicarakan mereka, Pak Gelowo sengaja mengatur gestur tubuh dan intonasi suaranya supaya kedengaran datar.

Namun, hari ini Pak Gelowo membuat kesalahan. Amplop-amplop itu telah tertukar. Beberapa menit lalu, sesaat setelah Pak Gelowo menuangkan air yang baru matang, ia jerang ke dalam cangkir kopi, satu pesan pendek masuk ke telepon selulernya. Anamira mempertanyakan jumlah belanjanya yang berkurang.

Pak Gelowo berpikir keras. Diliriknya jam tangan. Pukul empat. Sebentar lagi, Nur Asiah Jamil akan masuk kamar mandi dan akan berada di sana paling cepat 45 menit. Inilah satu-satunya peluang. Tak seperti Anamira, Nur Asiah Jamil tak pernah langsung membuka amplop yang diberikan Pak Gelowo. Amplop itu akan disimpannya lebih dulu di balik tumpukan baju-bajunya di lemari. Pak Gelowo bisa menyelinap mengambilnya, lantas pergi ke rumah Anamira dan menukarnya. Itu bisa dilakukannya dalam waktu kurang dari 45 menit.

Pak Gelowo baru akan beranjak dari dapur ketika telinganya disergap suara Nur Asiah Jamil. Tak lama, ia sudah berdiri di depan pintu, memegang amplop, dan Pak Gelowo merasa sekujur tubuhnya tak bertulang. Lemas tanpa tenaga. Cangkir kopi lepas dari tangannya.

Prang...

“Lho, lho, kenapa, Pak?”

“Enggg..., ndak apa-apa. Anu... Kopinya terlalu panas. Ada apa ya Bu?”

Nur Asiah Jamil menyodorkan amplop itu. “Aku kira amplop ini tertukar, Pak,” katanya kalem, lantas berbalik ke dalam kamar.

Medan, 2015