Pendidikan dan Ilmu Bahagia
Pendidikan dan Ilmu Bahagia oleh Fanny Chotimah |
“Apakah cita-citamu saat kau besar nanti?” Pertanyaan ini biasanya ditanyakan oleh orang dewasa pada anak-anak, dan anak-anak akan menjawab menjadi pilot, dokter, guru dan sebagainya, yang lebih tepatnya jawaban tersebut merupakan imajinasi orang dewasa terhadap anak-anak. Dan ternyata pertanyaan semacam itu merupakan pertanyaan yang membosankan bagi anak-anak, sehingga seorang bocah lelaki berumur 13 tahun menjawab, “Saya ingin menjadi orang yang bahagia.” Ia bernama Logan Laplante.
Penggalan testimoni itu saya kutip dari video presentasinya yang memukau di TedEx University of Nevada 2013. TedEx sendiri merupakan sebuah organisasi non profit yang mengumpulkan para tokoh inspiratif dari berbagai bidang untuk tampil memberikan presentasi dalam sebuah konferensi secara gratis dan terbuka. Kegiatan TedEx sudah menyebar hampir di seluruh kota-kota di dunia, termasuk Indonesia. Logan Laplante menegaskan dirinya ingin terus tetap sehat dan bahagia jika tumbuh dewasa. Baginya sungguh mengherankan jika kebahagiaan tidak dipelajari di sekolah. Seolah-olah dengan bersekolah, bekerja lalu menikah otomatis hidup kita akan bahagia. Bukankah itu semua yang kita asumsikan, karena pada kenyataannya kita bekerja keras sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup saja tanpa menjadi benar-benar menjalani kehidupan yang sepantasnya.
Seperti Logan saya pun menjadi berpikir mengapa kebahagiaan tidak dipertimbangkan sebagai hal yang penting? Bahkan harus dipelajari dan juga perlu dilatih? Lembaga pendidikan kita jelas tidak memperhitungkannya, bukan hanya tidak membuat sebuah kurikulum berbasis kebahagiaan. Sistem pendidikan konvensional menekankan kedisiplinan dalam proses belajar mengajar. Kedisiplinan yang dingin, cenderung bersifat militeristik, seragam bukan hanya baju yang dikenakan, menyusup lebih jauh menjadi penyeragaman cara berpikir, kreativitas pun dibunuh dan daya kritis mati. Saya pikir ilmu pengetahuan tidak hanya memberikan kita wawasan untuk bisa bertahan hidup semata. Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa, Matematika, Ekonomi, Ilmu Pengetahuan Sosial misalnya merupakan perangkat kita untuk bisa menjalani kehidupan ini. Tetapi yang paling esensial ialah pengetahuan-pengetahuan tersebut mengantarkan kita menjadi manusia mulia, menjadi rahmatan lil’alamin yang kehadirannya bisa memberi rahmat pada semesta. Kearifan adalah sumber kebahagiaan begitu menurut Richard Schoch dalam The Secret of Happiness, nafsu-nafsu hewani kita untuk menaklukan untuk menjadi yang paling kuat supaya bisa bertahan seperti pada hukum rimba, kompetisi yang diciptakan dalam lingkungan belajar untuk menjadi ranking satu tidak disertai dengan nilai-nilai kearifan. Kesuksesan dinilai pada hasil bukan pada proses yang unik dan berbeda-beda jalannya pada setiap orang.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis hasil Studi Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) yang kemudian dikenal dengan Indeks Kebahagiaan Indonesia tahun 2013. Secara umum studi ini menunjukkan, masyarakat Indonesia rata-rata hidup cukup bahagia. Dari skala 0 hingga 100, Indeks kebahagiaan Indonesia mencapai 65,11. Indeks kebahagiaan Indonesia merupakan indeks yang mencakup indikator kepuasan terhadap 10 domain kehidupan yang esensial, yakni kepuasan terhadap pekerjaan, pendapatan, rumah tangga, kondisi rumah dan asset, pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, kondisi lingkungan, dan kondisi keamanan. Ketika Indeks Kebahagiaan ini dirilis, menjadi kontroversial karena adanya kecurigaan akan kepentingan politis, belum lagi metodelogi yang masih dianggap lemah dalam pengukurannya, karena jawaban subyektif tidak berhenti di puas dan tidak puas saja, namun harus pula bisa memuat harapan dan alasan dari subyek itu sendiri, belum lagi faktor demografi yang perlu diperhitungkan. Indeks Kebahagiaan semacam ini sudah mulai dikembangkan di negara-negara lain bahwa kesuksesan pembangunan tidak cukup hanya dengan capaian fisik dan materi belaka. Tapi faktor psikis dan spiritual warga perlu juga diperhitungkan. Sehingga kebijakan-kebijakan pemerintah kelak diharapkan tidak merenggut kebahagiaan warga.
Jika kebahagiaan menjadi faktor yang turut diperhitungkan dalam pembangunan sudah semestinya warga pun dikenalkan kembali tentang apakah kebahagiaan dan bagaimana langkah-langkah untuk mencapainya. Pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk memulainya. Ki Ageng Suryamentaram merupakan local genius yang sudah merintis pemikiran akan apa yang dia sebut Ilmu Begja atau Ilmu Bahagia. Ilmu yang dimaksud di sini bukan dalam artian mistik, tapi merupakan ilmu yang diperoleh dengan menggunakan logika dan penalaran ilmiah. Kita diajak memeriksa ulang apa yang kita yakini tentang kebahagiaan untuk dicermati dan ditelisik kembali. Namun ajaran Ki Ageng Suryamentaram berkembang menjadi sebuah aliran kebatinan. Apakah ini merupakan fakta bahwa bagi masyarakat kita, bahwa kebahagiaan terlalu abstrak atau bahkan absurd untuk dipelajari sebagai sebuah ilmu pengetahuan formal. Atau sudah merupakan cara pandang kita bahwa kebahagiaan adalah segala sesuatu yang bisa dibeli. Kebahagiaan dimaterikan dalam bentuk uang dan benda-benda mahal, juga gaya hidup mewah.
Kita bisa berkaca dari negeri tetangga, salah satu perguruan tingginya yang bernama National University of Singapore (NUS) pada masa orientasi mahasiswa baru, mereka ditugaskan harus bisa membuat paling sedikitnya antara 5-30 orang bahagia dalam sehari. Sehingga para mahasiswa baru itu melakukan kerja sosial atau melakukan hal-hal kecil yang bisa membuat orang bahagia setidaknya bisa tersenyum dan berbinar-binar dengan tindakan mereka. Bisa dibayangkan kesibukan orang-orang Singapore di stasiun MRT seperti semut-semut pekerja keluar masuk sarang dari pintu kereta. Ada beberapa mahasiswa yang menyemangati dengan melakukan tos!, ada yang membersihkan toilet, bangku taman dan ruang-ruang publik. Alih-alih diperlakukan seperti mahasiswa kita yang ketika orientasi dibentak-bentak, berdandan badut, dipukuli dan melakukan hal-hal konyol. Jadi bisa terbayang ke depan pemimpin-pemimpin seperti apa yang kita ciptakan? Tak perlu heran jika kasus kejahatan meningkat, korupsi meningkat, penyalahgunaan narkoba mewabah. Saya yakin orang bahagia tidak akan menyakiti orang lain, orang bahagia tidak akan merenggut apa yang bukan menjadi miliknya, orang bahagia secara spiritual akan membantu orang lain bukan malah menghancurkan hidupnya. Saya pikir kebahagiaan merupakan hal yang membuat kita menjadi manusia. (*)