Pengalaman Baru di Sanggar Seni

Premis

sunting

Raka didaftarkan ibunya untuk bergabung di Sanggar Seni Gumilar. Di sanggar seni Raka bertemu dengan banyak teman baru dari berbagai suku di Indonesia. Di hari pertamanya, Raka dan teman-teman bermain Petak Umpet Betawi. Sejak hari itu Raka merasa senang sekali karena bisa belajar budaya Indonesia dengan cara yang menyenangkan.

  1. Raka
  2. Ibu Raka
  3. Bu Lilis
  4. Cakra
  5. Rafi
  6. Nisa
  7. Albert
  8. Rani
  9. Zahra
  10. Herdi
  11. Made
  12. Dinda
  13. Kusuma

Lokasi

sunting

Sanggar Seni Gumilar

Bandung

Cerita Pendek

sunting

Berangkat ke Sanggar Seni

sunting

Hari ini hari pertama aku bergabung di sanggar seni. Kata Ibu sanggar seni adalah tempat aku bisa belajar budaya Indonesia. Aku senang sekali. Pasti nanti ada banyak teman baru. Awalnya aku menolak. Aku takut tidak bisa bermain lagi. Namun, Ibu berkata aku tetap bisa bermain. Seminggu itu kan ada 7 hari. Senin sampai Jumat aku ke sekolah. Sabtu aku ke sanggar seni. Lalu, hari Minggu adalah hari aku bermain.

Karena ini pertama, Ibu mengantarku. Aku memang belum tahu tempatnya. Jadi, aku nurut-nurut saja. Kalau sudah tahu tempatnya, nanti aku mau belajar sendiri. Aku sudah kelas 4 SD. Kata Ibu Guru mandiri adalah hal yang harus kita terapkan sehari-hari. Ibu berkata jaraknya tidak telalu jauh. Karena itulah kami berjalan kaki. Saat aku melihat ke langit, matahari tidak terlalu terik. Tertutup awan, malah. Aku baru ingat baru memakai jam tangan baru. Kata Ibu jam tangan digunakan agar kita tahu waktu. Aku melihat jam yang aku kenakan di pergelangan tangan kiri. Jarum pendek menunjuk ke angka 9, dan jarum panjang menunjuk ke angka 6.

 
Pangsi, pakaian adat Sunda yang dipakai Raka.

Ternyata, ini jalan yang baru pertama aku lewati. Jalannya berbeda dari jalan yang biasa aku lewati ke sekolah dan lapangan bola. Jalannya lebih ramai, banyak ibu-ibu lewat sambil membawa kresek berisi sayuran. Ibu juga menyiapkan pakaian khusus untukku. Aku memakai baju serba hitam dan ikat kepala batik. Kata Ibu ini adalah baju tradisional dari suku Sunda. Namanya Pangsi. Aku suka memakainya. Karena aku keturunan Sunda, aku harus bangga memakainya. Aku jadi penasaran apakah teman-teman baruku memakai pakaian yang sama denganku?

Saat berjalan aku melihat ke sekeliling. Banyak sekali warung yang buka. Sepulang dari sanggar aku berencana jajan. Aku masih punya uang bekal sisa kemarin. Aku juga melihat banyak kucing berkeliaran. Kucing-kucing di sini sangat lucu. Jadi, aku tergerak untuk mendekati mereka. Aku berjalan ke arah kucing putih yang sedang berguling di rerumputan. Sepertinya punggung dia gatal. Jadi, aku mengelus bagian punggungnya. Kucing itu terdengar mendengkur. Aku tidak lama bermain dengannya karena Ibu memanggilku. Kucing itu mengeong saat aku pergi. Lalu, kubalas dengan lambaian tangan.

“Nanti ketemu lagi, ya!” ucapku.

Aku mengejar langkah kaki Ibu dengan sedikit berlari. Ibuku memegang pundakku lalu berkata, “Lain kali kita lewat sambil memberi kucing-kucing itu makan, ya”.

 
Delman, kendaraan tradisional menggunakan tenaga kuda

Aku mengangguk antusias karena kelewat senang. Di depan ada sesuatu yang baru aku lihat secara langsung. Ternyata itu adalah delman. Aku hanya pernah melihatnya di film kartun. Delman adalah kendaraan beroda yang ditarik oleh kuda. Kuda-kuda itu terlihat kuat. Aku penasaran seberapa cepat kuda-kuda itu dapat berlari. Aku melihat kuda yang lain sedang makan rumput. Lahapnya.

Semakin melangkah ke depan ternyata ada sebuah pasar. Pasarnya sudah lumayan sepi. Ini karena biasanya orang-orang berbelanja ke pasar pagi sekali. Di pasar ini rata-rata penjualnya menjajakan barang dengan menghamparnya di jalan. Ada juga yang memakai gerobak. Penjual daging ayam kulihat sedang berkemas-kemas. Penjual daun pisang, tempe, kangkung, dan tahu masih sibuk melayani pembeli. Penjual di gerobak rata-rata menjual makanan siap makan. Ada buah, cakue, batagor, dan es cincau. Aku hanya bisa menelan ludah. Aku jadi bingung nanti jajan di warung atau pasar, ya?

Bertemu Teman Baru

sunting

Selang beberapa langkah kemudian, di depan tampak ada sebuah gedung putih dengan pelataran dan lapangan yang luas. Tidak terlalu besar, tetapi cukup luas untuk upacara bendera setiap hari Senin. Aku kemudian masuk. Kukira Ibu akan pulang tetapi ibuku masuk terus sampai ke dalam gedung. Di gedung ini ada banyak karya-karya yang bagus dipajang di dekat pintu masuk. Ada lukisan pemandangan gunung, patung, wayang golek, dan kerajinan anyaman dari bambu.

Kami pun masuk. Di dalam sudah ada beberapa teman dan orang tuanya yang saling mengobrol. Aku dan Ibu bergabung dalam kerumunan. Kulihat teman-teman baruku memakai pakaian tradisional yang beragam. Ada yang memakai blankon, ada juga yang memakai hiasan bulu di kepalanya, dan berbagai pakaian tradisional lain yang baru aku lihat pertama kali. Wah, pakaian-pakaian mereka sangat bagus. Aku ingin sekali bertanya dari mana mereka berasal. Namun, aku terlalu malu karena ini hari pertamaku. Padahal tadi sebelum sampai aku semangat sekali.

Selang beberapa menit kemudian, seorang ibu-ibu berkerudung cokelat menghampiri kami dengan wajah yang ceria. Sepertinya dia ibu guru yang akan mengajari kami. Dia memakai rok batik panjang dan kebaya. Bersamaan dengan itu para orang tua saling berpamitan dengan anak-anaknya. Termasuk ibuku.

“Nanti Ibu jemput jam 11, ya. Selamat bersenang-senang”, kata Ibu. Aku kemudian mencium tangan Ibu. Ibuku beserta ibu-ibu yang lain pergi meninggalkan ruangan. Aku terus memerhatikan langkah ibuku yang kemudian keluar ruangan. Sekarang tinggal aku, teman-teman baru, dan ibu guru baru. Posisi kami berjajar membentuk lingkaran dengan ibu guru berada di tengah-tengah.

“Pagi, anak-anak. Perkenalkan nama ibu, Bu Lilis. Selamat datang di Sanggar Seni Gumilang. Di sanggar seni ini kalian akan belajar banyak budaya Indonesia. Mulai dari belajar tari tradisional, alat musik tradisional, hingga permainan tradisional zaman dahulu. Kalian sudah siap?”

“Siap!” teriakku dan teman-teman baruku.

“Sekarang, Ibu minta satu-satu dari kalian memperkenalkan diri, ya. Kalian bisa menyebutkan nama, suku kalian berasal, dan ceritakan juga pakaian tradisional yang kalian pakai. Sudah siap?”

“Siap!” seruku dan teman-teman baruku.

“Baik. Kalau begitu mulai dari kamu,” kata Bu Lilis seraya menunjukku.

 
Blangkon yang dipakai Cakra

“Perkenalkan, nama saya Raka, saya berasal dari Sukabumi. Saya memakai pakaian dari suku Sunda. Nama pakaian ini adalah Pangsi,” ucapku agak gugup. Kemudian perkenalan diri berlanjut ke arah kiri. Aku menyimak baik-baik. Teman sebelah kiriku bernama Rafi, dia berasal dari Pulau Belitung. Dia memakai pakaian tradisional dari Belitung berwarna merah, namanya baju seting dan kain cual. Di sebelah kiri Rafi ada Cakra, dia berasal dari Yogyakarta. Dia memakai pakaian tradisional dari Yogyakarta bernama Surjan. Setelah itu ada Nisa yang berasal dari Padang, Albert dari Papua, Zahra dari Makassar, Martha dari Maluku, Rani dari Samarinda, Herdi dari Lombok, Made dari Denpasar, Dinda dari Palembang, dan Kusuma dari Madura.

Setelah saling berkenalan, Bu Lilis kemudian mengajak kami masuk ke dalam ruangan di sebelah kanan kami. Aku berjalan sebelahan dengan Rafi. Dia sama sepertiku kelas 4 SD. Dia tinggal dekat sekolahku tetapi letak sekolahnya jauh dari situ. Kami pun tiba di sebuah ruangan dengan cermin besar. Bu Lilis meminta kami meletakkan tas di pojok ruangan. Lalu, kami pun berkumpul lagi di tengah ruangan.

“Siapa di sini yang suka bermain permainan?” tanya Bu Lilis.

Teman-teman baruku serentak menjawab. Ada yang suka bermain sepak bola, bermain boneka, bermain layang-layang, bahkan bermain sepeda. Bu Lilis tersenyum riang melihat antusias kami.

“Sekarang, Bu Lilis akan memperkenalkan kalian sebuah permainan petak umpet. Ada yang pernah bermain juga?”

“Aku, Bu,” Cakra mengacungkan tangannya.

“Benarkah? Kapan terakhir kali kamu bermain petak umpet, Cakra?” tanya Bu Lilis.

“Saat liburan lebaran tahun kemarin, Bu,” jawabku.

“Wah, pasti seru kali,” sahut Bu Lilis. “Nah, buat yang belum pernah bermain petak umpet, kita akan seru-seruan bareng. Kita akan bermain Petak Umpet Betawi. Sudah siap?”

“Siap!” sahut kami.

Bu Lilis pun memberitahukan cara bermain petak umpet sambil memperagakannya.

Bermain Petak Umpet Betawi

sunting
 
Anak-anak bermain hompimpa

Petak umpet adalah permainan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Sebelum bermain kita harus menentukan terlebih dahulu siapa yang menjadi pencarinya. Cara menentukannya dengan melakukan hompimpa. Kami semakin mendekat ke tengah dan menaruh tangan kanan kami ke depan. Lalu, kami menggoyangkan tangan ke kanan dan ke kiri, serta ke atas dan ke bawah sambil mengucapkan, “Hompimpa alaium gambreng!”

Saat di kata ‘gambreng’ kami masing-masing menunjukkan punggung tangan dan telapak tangan. Tangan yang paling berbeda berarti kalah dan menjadi pencari. Ternyata, dari 12 orang hanya aku dan Nisa yang menunjukkan telapak tangan. Akhirnya aku dan Nisa melakukan suit, yang kalah akan menjadi pencari.

“Suit!”

Kami sama-sama menunjukkan jari kami. Aku menunjukkan jari kelingking, Nisa menunjukkan jari telunjuk. Maka, aku yang menjadi pencari. Nisa dan teman-teman yang lain terlihat senang saat aku yang menjadi pencari. Lalu, Bu Lilis meminta aku untuk pergi ke arah dinding yang posisinya bertolak belakang dengan cermin. Tempat ini nantinya akan menjadi benteng yang harus aku jaga. Aku menutup mataku dan menghitung sampai 10. Kudengar Bu Lilis meminta teman-teman untuk segera sembunyi.

“1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10!” Aku sudah menghitung sampai 10, waktunya mencari teman-teman yang bersembunyi. Aku didampingi oleh Bu Lilis saat mencari teman-teman. Aku jalan pelan-pelan sekali dan langsung melihat ke balik lemari di dalam ruangan.

 
Permainan petak umpet

“Hong! Albert!” Aku menemukan Albert. Lalu, aku segera berlari ke arah benteng bersamaan dengan Albert. Aku sampai lebih dulu dan langsung menyentuh dinding sambil menyebut nama Albert. Kita harus melakukan ini untuk mempertahankan benteng kita agar kita tidak kalah.

Aku kemudian mencari ke arah tirai panjang yang menutupi jendela. Ternyata di sana ada Kusuma. “Hong! Kusuma!” Aku segera berlari ke arah benteng dan berhasil mengamankannya. Aku kini mencari ke luar ruangan. Dengan segera aku berhasil menemukan Martha yang bersembunyi di balik patung. Herdi di balik pintu. Bahkan sampai ada yang bersembunyi ke lapangan. Ada yang bersembunyi di balik pohon, di balik perosotan, di bawah meja, bahkan di balik tong sampah.

Permainan pun selesai setelah aku berhasil menemukan teman-temanku yang bersembunyi. Seru sekali! Aku dan teman-teman tidak bisa berhenti tertawa. Terutama saat lomba berlari mengamankan benteng. Bu Lilis juga terlihat terhibur melihat kami. Jadi, Bu Lilis juga sepertinya kelelahan karena mengikutiku terus.

Setelah bermain, kami pun beristirahat. Kami membawa bekal masing-masing dan memakannya bersama di ruangan dengan cermin besar. Sambil makan kami juga saling mengobrol dan menceritakan keseruan bermain tadi. Ada yang bingung harus sembunyi di mana. Ada juga yang kecewa karena tidak bisa menang melawanku untuk sampai benteng terlebih dahulu.

Kata Bu Lilis setelah ini kami akan dikenalkan dengan permainan tradisional lainnya. Aku merasa antusias karena selain bermain aku juga jadi tahu banyak permainan seru yang belum pernah aku mainkan. Aku merasa senang sekali bisa berkenalan teman baru di sanggar seni. Setelah dari sanggar seni ini aku harus memainkannya juga bersama teman-teman sekolahku.