Vania, Jeruji Besi dan Petir di Rumah Eyang
Cernak Proyek Yuwana Wikimedia
Judul : Vania, Jeruji Besi dan Petir di Rumah Eyang
Oleh : Vita Arkana
Vania berjalan menjelajahi rumah eyang. Rumah tua dengan bangunan bernuansa kuno itu terlihat megah dan terawat. Padahal menurut Eyang Sabdo, rumah itu sudah ada sejak Eyang Sabdo masih kecil. Sudah bisa dipastikan rumah itu lebih tua dari Eyang Sabdo yang sekarang sudah berusia 65 tahun.
Ada satu hal yang sangat tidak disukai oleh Vania dari rumah Eyang Sabdo. Adalah jeruji besi pada setiap jendela rumahnya, mirip dengan penjara yang sering dilihat di televisi.
Di rumah eyang banyak terdapat jendela, bisa dipastikan jumlah jeruji besinya pun akan sangat banyak.
Hari itu, sepulang sekolah Vania dan Mamanya datang ke rumah Eyang Sabdo, rumah Eyang hanya berjarak 2 km dari rumah Vania.
"Assalamualaikum... Eyang !" sapa Vania dan Mama berbarengan, saat datang ke rumah Eyang.
"Wa'alaikumsalam ...." Jawab Eyang Sabdo dan Eyang Putri bersamaan.
Dengan sukacita Eyang menyambut kedatangan cucu tercintanya. Hari ini, Mama akan menitipkan Vania di rumah Eyang, karena Mama dan Papa akan mengantarkan barang dagangannya ke kota sebelah. Vania senang di rumah Eyang, apalagi ada Tante Selva--adik Mama yang tinggal disitu. Tante Selva masih kuliah semester akhir, kata Mama sedang mengerjakan skripsi.
Di rumah Eyang, Vania akan tidur di kamar Eyang Putri. Sebenarnya dia ingin bersama Tante Selva, namun Tante tak mengizinkan karena Tante akan belajar sampai malam, khawatir akan mengganggu tidur Vania.
Malam itu, Eyang Sabdo dan Eyang Putri akan pergi ke pengajian di masjid sampai malam. Sehingga Vania akan tinggal di rumah bersama Tante Selva. Vania ingin turut serta, namun Eyang tak mengizinkan karena jarak masjid cukup jauh dan pulang larut.
Sesudah ba'da Isya, Eyang sudah berangkat. Di depan televisi, Vania dan Tante Selva duduk bersama, sambil ngemil aneka kudapan mereka berdua bersendau gurau.
"Tante, tahu ga, kaki burung bangau itu ada berapa?"
"Ya tahulah, semua jenis burung kakinya ada dua."
"Tante kurang tepat."
"Wah, terus berapa dong, setahu Tante, semua jenis burung itu kakinya ada dua, terus kalau hewan menyusui atau mamalia itu kakinya ada empat."
"Ih, coba liat aja kalau ke sawah ada burung bangau, kakinya cuma satu."
"Satu?"
"Iyah, satu yang ke tanah dan satunya lagi ditekuk ke atas, hahahaaaa."
Lalu keduanya pun tertawa bersama.
Menjelang pukul sembilan malam, Eyang belum juga pulang. Tante Selva segera mengunci pintu. Kata Tante Selva, Eyang selalu membawa kunci cadangan jika bepergian, jadi tak perlu khawatir kesulitan membuka pintu.
"Vania, bantu tante menutup jendela, yuk. Vania bagian ruang tamu, tante bagian ruang tengah dan dapur, ini kayaknya bentar lagi hujan deras."
Vania terdiam saat Tante Selva menyuruhnya menutup jendela. Bagian ruang tamu ada empat jendela, dan masing-masing jendela terdapat 5 besi jeruji. Duh, Vania bergidik melihatnya.
"Lho, kenapa Van, koq diem aja?"
"Engga Tante, Vania takut mau menutup jendela, di luar udah mulai gerimis."
Vania tidak memberitahukan Tante Selva bahwa dia takut dengan jerujinya. Tante tersenyum lalu menemani Vania untuk menutup jendela di ruang tamu. Vania sedikit lega karena tante menemaninya.
Waktu tidur pun tiba, Vania masuk ke kamar Eyang. Sedangkan Tante Selva ke kamarnya sendiri, kata Tante, dia tidak akan langsung tidur tetapi akan mengerjakan tugas skripsinya dulu.
Hujan turun deras, disertai angin kencang. Sesekali petir menyambar hingga memunculkan kilatan terang di angkasa. Vania sedikit takut dan bersembunyi di bawah selimut. Meskipun mengantuk, Vania tak bisa memejamkan matanya. Vania menunggu Eyang pulang, terasa lama sekali. Apa mungkin Eyang menginap di masjid? atau pulang menunggu hujan reda. Pasti akan lama sekali, gumamnya.
Terdengar suara dedaunan dan ranting pohon di luar berderak, pasti angin bertiup sangat kencang.
"Brakkkk!" tiba-tiba suara bunyi benda keras membentur tembok. Vania sangat kaget sekaligus takut. Jantungnya berdegup kencang.
Akan tetapi, rasa penasarannya telah mengalahkan rasa takut. Perlahan dia mengintip ke luar kamar melalu celah-celah pintu yang tak tertutup rapat. Kamar Eyang berada di dekat ruang tengah atau ruang televisi, jendela di situ masih tertutup rapat.
Perlahan Vania membuka pintu dan berjingkat ke keluar kamar. Dilihatnya sekeliling ruang televisi itu. Sepi, tak ada apa-apa. Hanya saja lamat-lamat terdengar suara musik dari kamar tante Selva. Ah, pasti Tantenya itu sedang asik mendengarkan musik dan lagu.
Vania berjalan ke arah ruang tamu, dan betapa terkejutnya saat melihat salah satu dari ke empat jendela berjeruji itu terbuka. Daun jendela bergerak-gerak tertiup angin. Vania ketakutan dan hendak berlari. Namun, saat melihat air hujan yang terbawa angin masuk ke dalam dan membasahi sofa ruang tamu, Vania bergegas lari ke arah jendela hendak menutup daun jendela yang terbuka.
Rasa takut itu berlahan-lahan mulai menghilang, Vania menarik daun jendela yang terbuka ke arah luar, agar menutup ke dalam dan mengaitkan penguncinya.
Akan tetapi, saat menutup, Vania melihat sekilas ke arah luar, petir beserta kilat menyambar memunculkan terang sesaat dan terlihat sebuah bayangan hitam yang berkelebat. Sontak Vania menjerit dan berlari ke dalam ruang televisi dan terus ke arah kamar Tante Selva.
Tante Selva yang sedang mengerjakan tugas sambil mendengarkan musik, terkejut melihat Vania berlari ketakutan sambil menjerit. Terlebih lagi Vania menangis sambil memeluk Tante Selva.
Vania tak dapat menjelaskan apa yang dilihatnya saat Tante Selva bertanya, hanya tangannya menunjuk ke arah ruang tamu. Gegas Tante Selva berlari ke arah ruang tamu dan mendapati salah satu jendelanya terbuka.
Vania mengintip dari balik tembok pembatas ruangan saat tantenya menutup jendela itu. Tante Selva terlihat biasa saja, tak ketakutan ataupun menjerit sepertinya.
Malam itu, Vania tidur bersama Tante Selva.
Pagi harinya, saat Vania terbangun, di meja makan terlihat Eyang Sabdo dan Eyang Putri duduk berhadapan sambil mengobrol, sementara di dapur, Tante Selva sedang sibuk menuang teh ke dalam cangkir.
"Eyang !" teriak Vania seraya memeluk Eyang Putri. Eyang Putri menciumi pucuk kepala cucu kesayangannya itu.
"Eyang kapan pulang, lama sekali." Vania merajuk manja pada eyangnya.
"Habis Vania pules boboknya, Eyang pulang diantar Paman Cahya naik mobil." Tante Selva menyahut.
"Iya, sayang. Semalam hujan deras jadi eyang nelpon Paman Cahya buat nganter pulang."
"Kenapa lama sekali?" Sekali lagi, Vania merajuk manja sambil bergelayut manja di pundak Eyang Putri.
"Semalam ada yang ketakutan, tuh. Sampe teriak nangis segala," goda Tante Selva.
Vania cemberut digoda oleh Tantenya.
"Ohya, memang kenapa ketakutan, rumah eyang kan terang dan ada Tante Selva."
Vania terdiam lalu mendekat ke arah Eyang Sabdo.
"Eyang, percaya hantu?"
Sontak semua yang di ruangan itu tertawa bersama.
"Vania lihat hantu? Makanya teriak? hahahah!" Tante Selva tertawa mendengar ucapan Vania.
"Ih Tante, beneran ini, kok."
"Oh, ya udah hantunya kayak gimana?" ledek Tante Selva.
"Itu, Eyang. semalam kan jendela depan terbuka kena angin, pas Vania mau nutup kan ada kilat yang terang, Vania liat ada hitam-hitam lewat."
Mendengar perkataan Vania, semuanya langsung terdiam. Eyang Sabdo tiba-tiba bergegas ke luar rumah, memeriksa tiap jendela dari arah luar. Eyang Putri segera mengikuti.
Vania saling pandang dengan Tante Selva, sambil bergandengan tangan lalu keduanya pun segera menyusul ke depan rumah.
Di depan rumah, Eyang sibuk menelpon, dari kata yang terdengar beberapa kali Eyang menyebut Pak RT. Tante Selva kemudian mendekati Eyang dan bertanya. Ternyata di luar jendela yang semalam terbuka, ada jejak kaki seukuran kaki orang dewasa. Jejak itu sangat terlihat karena bekas tanah basah yang terinjak ikut terbawa di emperan depan jendela itu.
Tak lama berselang, datang beberapa orang dewasa ikut memeriksa jejak kaki tersebut. Vania lantas mengikuti Tante Selva ke dapur.
"Tante, kok banyak orang, ada apa? Itu jejak kaki hantu, ya?" tanya Vania polos.
"Oh, itu Pak RT sama warga sekitar sini, mau memeriksa kondisi rumah ini," jawab Tante Selva.
"Bukan hantu juga, itu jejak kaki orang, kata Pak RT tadi, kemungkinan semalam ada orang jahat yang berniat masuk ke dalam rumah ini," lanjut Tante Selva dengan tangan yang sibuk membuat minuman untuk orang-orang yang datang ke rumah.
"Jadi bukan hantu?"
"Bukan sayang, Alhamdulillah semalam Vania lihat orang itu, dan ga kenapa-kenapa. Untung juga ada jeruji besi di jendela itu."
"Tante kenapa untung ada jeruji? Vania takut liat jeruji itu kayak penjara di tivi-tivi."
Tante Selva tersenyum lalu berjongkok di depan Vania.
"Oh jadi Vania takut sama jeruji itu, pantes minta anter Tante buat nutup jendela."
"I-iya, Tan. Kenapa sih dulu Eyang kasih jeruji di jendela?"
"Jeruji itu berfungsi buat melindungi yang ada di dalam rumah, kata Eyang zaman dulu sekitar rumah ini hanya persawahan dan kebun-kebun penuh tanaman, belum banyak rumah-rumah."
"Terus...."
"Jauh juga dari tetangga, suka banyak orang jahat dan binatang buas yang muncul. Makanya dibikin jeruji buat penjagaan."
"Emmmm... kirain biar yang di rumah ga bisa kemana-mana, heheheee. Lagian kenapa sih, Eyang bikinnya garis kayak gitu, kayak penjara aja."
"Kan zaman dulu belum modern. Kalau sekarang, namanya teralis, bentuknya juga macam-macam dan lucu-lucu. Kayak di rumah Vania kan ada, tapi bentuknya bunga sama daun, kan."
"Oh iya, heheheee...." sekarang Vania jadi tahu, fungsi besi-besi yang berjajar di jendela itu.
Menjelang senja, rumah kembali sepi. Eyang Sabdo bilang, mulai malam ini, akan digiatkan siskamling dan ronda di desa. Gunanya untuk menjaga keamanan lingkungan desa. Siskamling adalah singkatan dari sistem keamanan lingkungan. Warga akan bergiliran dan bergotong royong menjaga keamanan desa.
Kejadian di rumah Eyang adalah pertanda bahwa kondisi keamanan desa perlu diperhatikan dan ditingkatkan lagi. Kejahatan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, untuk itu harus selalu waspada dan saling menjaga.
Malam harinya, gerimis rintik-rintik mulai turun, udara dingin mulai menyelimuti rumah Eyang Sabdo. Malam itu, Eyang berjaga di pos siskamling tak jauh dari, hanya saja karena Eyang sudah berusia lanjut, tidak diperkenankan untuk ikut berjaga sampai larut.
Petir dan kilat mulai bermunculan, disusul bunyi guruh yang menggelegar di angkasa. Malam ini, Vania tidak setakut malam kemarin, tentunya karena ada Tante Selva dan Eyang Putri di rumah, dan sebentar lagi Eyang Sabdo pun akan segera pulang.
Vania ingin tidur di kamar Tante Selva lagi, sehabis isya, dia menyusul Tante Selva ke kamarnya. Tante Selva terlihat sedang serius di depan laptop, rupanya Tante sedang belajar. Vania tak ingin mengganggu, namun rasa penasaran membuatnya mendekati Tante Selva dan melihat ke layar laptop itu, dan sesaat mengernyitkan dahinya membaca tulisan-tulisan yang baru saja Tante Selva ketik. Tante Selva hanya tersenyum melihat tingkah Vania.
Tiba-tiba petir dan kilat menyambar, disusul bunyi guruh membahana. Vania kaget dan langsung memeluk tantenya. Tante Selva tertawa.
"Ugh, petir dan kilat selalu bikin Vania kaget," gerutunya.
"Tante, kenapa sih setiap hujan pasti ada petir sama kilat?" tanyanya kemudian.
"Menurut sumber yang pernah Tante baca, petir itu terjadi karena terdapat perbedaan potensial antara awan dan bumi atau dengan awan dengan partikel lainnya. Proses terjadinya muatan pada awan akan bergerak secara terus menerus dan teratur sehingga menghasilkan petir." Tante Selva mulai menjelaskan.
"Ga ngerti, Tan. Vania bingung."
"Hmmm.... jadi gini nih, di langit itu kan banyak awan, nah di dalam awan itu mengandung muatan listrik, positif dan negatif."
"Terus...."
"Karena dilangit itu kan ada udara yang bergerak, jadi muatan listrik itu, ikut bergerak juga, lama kelamaan karena terus menerus bergerak, muatan listrik yang positif dan negatif terpisah,"
"Saat terpisah itu, posisi muatan positif ada di bagian atas, kalau yang negatif ada di bawah."
"Nah, ternyata di bumi pun mengandung muatan listrik. Muatan listrik negatif di awan itu bertemu dengan muatan listrik positif yang ada di bumi, jadi deh petir."
"Sedangkan kalau kilat itu, cahaya sesaat yang muncul karena petir." Tante Selva menjelaskan panjang lebar pada Vania perihal petir dan kilat.
"Oh, jadi kayak gitu, pantesan suka ada pohon yang kesambar petir ya, Tan. Berarti kalau hujan dan ada petir sebaiknya kita ga usah main hujan-hujanan, ya."
"Yap, betul sekali, pinter, nih, ponakan kesayangan Tante."
Kemudian keduanya tertawa bersama. Sekarang Vania jadi mengerti apa itu petir dan kilat.
Menginap di rumah eyang, membuat Vania jadi belajar banyak hal. Dan Vania pun sekarang tidak takut lagi dengan jeruji di rumah eyang.
Tamat
Bandung Barat, 28 Februari 2023