Penjara Suci
Hari kelulusan tiba, bahagia dan tangis harus menyelimuti gedung Cakralawa tempat berlangsungnya acara perpisahan kami siswa-siswi kelas 9 MTS.Sesi salam-salaman dan foto bersama berlangsung dengan penuh haru. Sekarang kami resmi menjadi alumni.
“Selamat tinggal putih biru” ucapku lirih.
Acara pun selesai dan aku pulang, tibalah aku di kamar kecilku menatap mading yang aku buat berisi impian-impianku, satu impian yang sebentar lagi akan terwujud, yah bersekolah di sekolah favorit yang berada di ujung kota baru jaraknya lumayan jauh dari rumah tapi aku bisa pulang balik dengan sepeda motor yang dihadiahkan oleh ayahku.
Aku tidak sabar menunggu pagi hari tiba, aku akan berangkat pagi ke sekolah tersebut untuk melakukan pendaftaran, aku mulai membayangkan hari-hari dimana aku bersekolah di sekolah favorit yang aku pilih itu, hingga aku tertidur pulas dan nyenyak.
Pagi yang cerah nan sejuk, aku, ayah dan ibuku berada di ruang makan untuk sarapan ditemani dengan teh hangat, saking tidak sabarnya aku lupa memberitahu mereka bahwa hari ini aku ingin ke sekolah yang berada di ujung kota baru untuk melakukan pendaftaran.
"Ayah ibu, hari ini aku ingin ke sekolah di ujung kota baru untuk melakukan pendaftaran siswi baru yah", ucapku dengan penuh semangat dan yakin.
“Tunggu dulu nak, ibu dan ayah sudah memilihkan mu sekolah yang baik untuk masa depan kamu, ibu dan ayah ingin kamu melanjutkan sekolah mu disana” jelas ibu.
"Di mana itu bu?" Tanya ku dengan penuh penasaran.
"Di pondok pesantren, Nak."
"Ha!" sontak aku kaget.
"Apa ibu ayah, pesantren? tempat terkutuk yang dapat diibaratkan sebuah penjara itu? disana aku akan hidup selama tiga tahun lamanya, ha! tidak ibu ayah aku tidak sanggup', pintaku merengek.
"Bukankah ibu dan ayah katakan padaku waktu itu terserah aku dimana saja yang penting dapat melihat ku bahagia? Itu ucapan ibu dan ayah kan". Ucapku suara serak sakit di tenggorokan menahan tangis.
Suasana yang sejuk kini berubah menjadi sesak, ibu menyuruhku duduk di sampingnya, dan juga ayah pindah untuk duduk disampingku, aku diapit oleh ayah dan ibuku. Ibu dan ayah menjelaskan panjang lebar dan menasihatiku terkait apa yang mereka inginkan. Hatiku mulai luluh dan akhirnya menuruti apa yang mereka inginkan walaupun belum sepenuh hati. Bisa di bilang terpaksa.
Malam pun tiba, di sudut kamar kecil dengan lampu remang-remang aku duduk dan kembali menatap dinding madingku,
"Impian ku untuk bersekolah disana selamanya akan tetap menjadi impian", ucapku sambil menyeka air mata.
"Huft.." aku melega napas sambil membayangkan kehidupan di pesantren yang penuh dengan tekanan ibarat sebuah penjara yang sama sekali tidak memiliki kebebasan.
Aku lelah memikirkannya hingga aku tertidur. Keesokannya aku melalui proses pendaftaran dan seleksi di website online milik pesantren itu, tujuh hari kemudian keluar lah hasil pengumuman kelulusan, dan aku dinyatakan lulus. Reaksiku biasa ajah, tapi ibu ayah yang melihat itu sontak mengucap Alhamdulillah dengan kegirangan kemudian memeluk ku, aku senyum tipis secercah bahagia melihat tingkah ibu ayahku.
Tibalah hari dimana aku memulai kehidupan sebagai seorang santriwati, berpisah dengan ibu ayahku, dan melakukan semuanya dengan sendiri. Sesak dada ketika melihat mereka melambaikan tangan untuk pulang dan membuangku disini.
Sebulan pertama aku menjalaninya tidak kudapati rasa nyaman kecuali sesak dan sesak. Aku tersiksa, beradaptasi di tempat yang tidak memiliki kebebasan ini, mulai tidur sampai tidur kembali semuanya punya aturan. Pokoknya penuh dengan aturan tak jarang aku melanggar tentunya aku tak jarang pula mendapatkan hukuman. Tiada hari tanpa melanggar dan tiada hari tanpa hukuman.
Hingga suatu hari aku sangat lelah dan capek, aku meronta.
" Aku muak!" kataku dengan nada yang cukup keras sehingga teman-temanku mendengarnya, mereka menyuruhku sabar dan beristigfar tak jarang dari mereka menasihatiku, pun nasehat-nasehat para ustaz-ustazahku sering aku hiraukan dan merasa hanya seperti di dongengkan.
Aku beranjak menuju kamar meninggalkan teman-temanku yang masih piket membersihkan dihalaman asrama.
Jadwal kedua menelpon pun tiba, sekarang giliran ku, dengan sigap aku mengambil telepon dari genggaman teman ku dan menelpon ibuku, hingga ibuku mengangkatnya tanpa salam tanpa tanya kabar aku langsung berkata
"Aku sudah tidak tahan bu, aku ingin berhenti dan dirumah saja", jelasku.
Ibuku dengan lembut berkata, "nak ingat apa yang ibu dan ayah katakan pada saat di ruang makan waktu itu" kudengar suara ibu seakan ingin menangis.
Aku diam sejenak dan mengingat pesan itu kembali, "nak ibu dan ayah hanya punya kamu satu anak saja setelah kepergian kakakmu beberapa tahun yang lalu, ibu dan ayah ingin melihat kebaikan untukmu", sepenggal kalimat yang aku ingat diantara banyaknya nasehat yang ayah dan ibu sampai kan saat itu.
"Bertahan dan bersabarlah nak Allah bersamamu akan ringan kamu hadapi jika kamu ikhlas menjalaninya," ucap ibu di telepon yang membuat lamunan ku terhenti.
"Kamu kira ibu dan ayah mudah berpisah dengan mu, sungguh tidak nak, tapi hanya demi menginginkan kebaikan untukmu, maka bersungguh-sungguhlah menuntut ilmu di taman-taman surga yang kini engkau berada di dalamnya banyak orang yang ingin di posisi mu nak". Lanjut ibu.
Setelah mendengar itu aku langsung mematikan panggilan tanpa salam. Sejenak aku duduk terdiam.
Alifa yang berada di belakangku menepuk pundak ku, dan berkata "Udah nelponnya? sekarang giliran aku" ucap Alifa.
Tanpa sepatah kata aku memberinya telepon itu dan beranjak pergi menuju ranjangku. Setelah beberapa menit Alifa menghampiriku, dan berkata
"Kamu kenapa, ada masalah?" Sini cerita, bujuk Alifa.
"Lif aku ingin bertanya boleh?" Tanyaku.
"Tentu", jawab Alifa.
"Kamu masuk pesantren karena apa?"
"Karena keinginan aku sendiri dengan niat yang baik ingin belajar juga orang tuaku mendukung bismillah gaskan bagaimana tidak, Allah memilihku untuk melanjutkan pendidikan disini dan aku bersyukur itu, jawab Alifa dengan wajah ceria.
"Eh aku ke toilet dulu yah nanti kita lanjut, aku kebelet nih" Alifa menyela.
"Hehe iya," jawabku.
Aku terdiam dan merenung, benar juga yah apa yang dikatakan ibu dan juga Alifa. Tapi tetap! Aku beda dengan Alifa, aku terpaksa dan Alifa suka rela.
Hingga suatu hari aku jatuh sakit, demam menggigil seakan tubuhku remuk semua, aku tidak bisa apa-apa sehingga aku dipulangkan, orang tuaku menjemputku ia melihat kondisiku dengan penuh khawatir dan segera membawaku ke rumah sakit terdekat. Aku terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan impusan di tangan kiriku.
Aku mendengar tangisan seseorang di keheningan malam, ternyata dia ibuku yang sedang berdoa, aku mendengar doanya yang sangat indah untukku, membuat air mataku menetes beberapa kali. Usai dia berdoa, aku memanggilnya dengan suara lemah "Bu".
"Eh kamu bangun sayang", jawab ibuku sambil menghampiriku.
"Bu aku minta maaf yah dan terima kasih udah jadi perempuan hebat dalam hidupku" ucapku sambil memeluknya.
Kami berbincang lama dan tanpa sadar kami tertidur bersama. Ibu di kursi dan aku di ranjang.
Beberapa hari kemudian, aku pulang dan menjalini proses pemulihan di rumah. Setelah pulih tibalah saat nya aku kembali ke pesantren tapi dengan perasaan dan kondisi yang berbeda, dimana aku datang dengan senyum merekah dan tanpa merasa terpaksa tidak seperti awal aku menginjakkan kaki disini.
Setelah kejadian yang menimpaku dan perbincangan dikeheningan malam itu aku sadar dengan banyak hal. Kembali aku menjalani kehidupan di pesantren, hari demi hari berusaha aku jalani dengan penuh ikhlas, semua aturan di pesantren mulai aku jalani dengan baik hingga sudah sangat jarang aku melakukan pelanggaran, nasehat-nasehat para ustaz-ustazahku mulai aku renungi dan amalkan. Kali ini aku baru merasa bersyukur bersekolah di tempat ini, kini kusebut ia Penjara Suci.
Setahun sudah aku menjadi santri. Santri teladan itulah yang disematkan padaku.