Siang itu, Rabu Pahing yang terik dan hampa, seperti hari-hari lainnya. Bu Guru memanggil namaku saat jam istirahat. Dadaku bergemuruh, cemas jika kembali ditagih uang LKS. Rupanya, aku diminta pulang saat itu juga. Aku menurut, meski sikap dan wajah Bu Guru membuat alisku saling bertaut.

Sekira sepuluh meter dari rumah, mataku menangkap sekerumun manusia berdiri di pekarangan. Begitu menyadari kedatanganku, mereka kompak membuka ruang untukku lewat. Aku terus melangkah melewati mereka, para tetangga yang tumben sekali mampir ke rumah—padahal biasanya kami seolah tak dianggap sebagai bagian dari masyarakat. Kulihat Ibu duduk dengan mata sembab dan hidung merah, menghadap Bapak yang terbujur kaku dan menganga. Seketika, telingaku tak lagi mendengar suara apa pun.

Aku hanya berdiri di dekat pintu, masih mengenakan seragam olahraga dan sepatu kumal. Aku hanya diam menyaksikan dua wanita tua membungkus Bapak dengan kain putih, lalu menyumpalkan kapas ke lubang-lubang tubuh dan sela jari kakinya. Kepalaku seketika pening, tetapi tak lama setelahnya, inderaku kembali menjalankan fungsinya.

Kedua mataku baru menyadari ibu-ibu yang datang memakai baju berwarna menyala—dari jambon , kuning, hingga biru muda; ada pula yang bermotif bunga-bunga. Anak-anak berlarian memakai kaus kutang, seolah pekarangan rumahku adalah arena bermain yang menyenangkan. Para lelaki berdiri agak menjauh, sembari ngudud dan mengobrol. Semua berlakon tanpa mengindahkan bendera kuning yang terpatri di batang pohon mangga.

Aku berlari ke kamar. Melompati Ibu yang terduduk dengan mata kosong. Tak sanggup melihat perlakuan warga sekitar kepadaku dan Bapak—bahkan pada hari kematiannya. Di dalam kamar, alih-alih terhindar dari anomali duniawi, telingaku malah mendengar suara sumbang.

“Baguslah kalau Wandi sudah mati, ndak akan ada lagi yang nyetel musik kenceng sampai pagi.”

“Iya, sekarang ndak ada lagi contoh buruk buat anak laki-laki kita.”

“Aku kira selama ini Wandi ndak peduli sama hidupnya. Kerjanya cuma ngudud, ngombe , keplek . Ternyata dia bisa mikir juga kalau hidup di dunia ndak sesantai seperti yang selama ini dia lakukan.”

“Baru bisa mikir, eh langsung gantung diri. Ndak kuat.”

“Iya. Kasihan Ema, sudah dihamili sampai harus putus sekolah; setelah menikah malah harus merawat Wandi yang penyakitan karena kebanyakan ciu . Setelah ini pasti dia masih terbebani untuk bayar utang judi Wandi, belum lagi biaya sekolah Sukma.”

“Padahal Ema cantik, lemah lembut. Pasti banyak lelaki yang patah hati karena Ema menikah dengan laki-laki madesu .”

“Tapi kayaknya Ema beneran cinta, deh. Itu buktinya dari tadi hanya menangis.”

Semua suara itu bersahut-sahutan memekikkan gendang telinga. Mereka yang merasa lebih budiman dari Bapak, toh aslinya bermulut setajam belati. Tak punya nurani untuk berbela sungkawa barang sehari. Setidaknya, punya akal untuk membicarakan keburukan Bapak dari jarak jauh, di luar radar telinga keluarga yang sedang berduka.

Kubenamkan muka di bawah bantal, mencoba terpejam. Mengabaikan celoteh-celoteh kurang ajar yang bergantian dengan alunan musik dangdut yang diputar sangat kencang. Entah speaker milik siapa yang dipasang menghadap ke rumah kami siang itu, untuk merayakan kepergian Bapak yang selama ini dianggap sebagai beban masyarakat dan madesu.

Semuanya berlalu begitu saja. Semua orang tetap menjalankan perannya masing-masing. Tidak ada yang berubah, apalagi bersimpati kepadaku. Hari berikutnya aku bersekolah seperti biasa. Teman-teman tetap menjauhiku, Bu Guru tetap menjelaskan pelajaran dengan penuh amarah, bahkan Ibu sudah bekerja dengan pulasan gincu merah.

Suatu siang sepulang sekolah, saat aku memaksa kaki tetap melangkah di bawah terik matahari, seorang tetangga memanggilku. Aku ingat betul, dia wanita berbaju kuning menyala yang wajahnya semringah menatap jenazah Bapak. Aku hanya berhenti di pinggir jalan, tidak berniat mendekatinya yang sedang mengotak-atik jemuran gaplek di depan rumah.

“Denger-denger, ibumu mau nikah sama Mas Agung, anak Pak Dukuh. Emang bener?”

Aku melongo. Gosip macam apa lagi ini?

“Oh, kamu belum tahu, ya? Kirain sudah dikasih tahu ibumu. Memangnya Mas Agung ndak pernah main ke rumahmu atau ngajak ibumu pergi?”

Mulutku bungkam, tetapi wanita di depanku ini terus saja mengoceh.

“Ah, mungkin memang belum dikasih tahu. Mungkin ibumu masih ragu. Pak Dukuh pasti ndak akan semudah itu mengizinkan anak sulungnya menikah dengan jandanya Wandi.”

Wanita itu meneriakkan namaku beberapa kali seiring aku yang berlari menuju rumah. Sesampainya di rumah, bertepatan dengan Ibu yang hendak berangkat bekerja. Lengkap dengan kemeja abu-abu dan lipen merahnya.

“Ibu mau ke mana?”

“Kerja lah, apa lagi?”

“Bohong!”

“Apa maksudmu?”

“Ibu mau pergi dengan Mas Agung kan? Ibu ada hubungan dengan dia kan?”

“Jaga bicaramu, Sukma!”

“Sukma ndak nyangka. Ibu pasti sudah lama berhubungan dengan Mas Agung kan? Ibu jahat!”

Aku langsung ke kamar, melewati Ibu dengan mata basah dan merah. Mungkin Bapak memang bukan orang yang baik, aku juga tidak dapat menghalangi perasaan Ibu untuk orang lain. Namun, apakah harus secepat ini? Kudengar suara motor berhenti di depan rumah. Kutilik dari jendela kamar, Mas Agung datang menjemput Ibu. Ibu bahkan tidak mencoba menjelaskan sesuatu kepadaku. Beberapa hari ini aku terlalu sibuk berduka, hingga tak menyadari Ibu selalu diantar-jemput oleh Mas Agung.

Seperti sebelumnya, semua terjadi apa adanya. Begitu cepat, bahkan sebelum aku sempat mencerna. Ibu dan Mas Agung menikah secara sederhana, tepat pada hari keempat puluh Bapak meninggal. Ibu tidak meminta persetujuanku, atau menanyakan pendapatku soal calon bapak baruku. Mas Agung juga tidak mau repot-repot mencoba mengambil hatiku. Mereka melakukan apa yang dikehendaki, seolah tiada aku di tengah-tengah mereka.

Jadi, untuk memudahkan segala urusan mereka, lebih baik aku tiada. Meniadakan diri. Betul-betul pergi dari kehidupan mereka. Jika Ibu tega menikah tepat saat peringatan 40 hari meninggalnya Bapak—Ibu bahkan tidak mengadakan peringatan apa pun—aku akan merayakan malam pernikahannya dengan menyusul Bapak. Agar beban Ibu benar-benar tuntas dan ia bisa bahagia bersama kekasih barunya.

Sekitar pukul sebelas malam, aku menuju lorong di samping rumah. Tempat Bapak bersemayam. Bukan, ini bukan makam. Kami terlalu miskin, bahkan untuk sekadar mengistirahatkan Bapak dengan layak. Mayatnya disimpan di dalam peti yang dulu juga digunakan Mbah Kung, lalu dibiarkan begitu saja di lorongs. Aku ingin mati di sini bersama Bapak. Siapa tahu, arwah Bapak akan membantuku melewati sakaratul maut.

Namun, saat aku hampir menautkan leher di sela tambang, selarik kalimat terdengar lirih dari kamar Ibu. Suara yang sontak menahanku untuk mengikuti jejak Bapak. Aku urung menggantungkan kepala dan terkulai di atas lantai. Aku memilih menunggu suara-suara itu lenyap diterpa kegelapan. Menyisakan deru napasku dan suara jangkrik di kejauhan.

Bersama keputusasaan, kubuka peti Bapak. Tiada apa pun yang terlihat, hanya sedikit bau busuk menyengat. Aku memaksa hidungku agar lebih toleran. Kurengkuh tubuhnya yang kurus dimakan gagal ginjal, menyeretnya hingga hutan di belakang rumah. Kuhentikan langkah tepat di bawah pohon mangga manalagi. Jenis mangga kesukaan Bapak—pohonnya menjadi saksi yang mengantarkan Bapak ke alam baka.

Tepat di bawah pohon itu, aku mendudukkannya. Mengucap salam dan permisi, kemudian menjentikkan korek ke ujung mori. Sembari berharap hidung para tetangga sumbat malam ini. Jika mereka tak sudi mengantarkan kepergian Bapak secara layak, setidaknya mereka takkan menghalangiku memberikan penghormatan terakhir untuknya.

Sesaat setelah api padam, aku segera mengumpulkan abu, memasukkannya ke plastik kresek yang kuraih secara asal dari meja dapur. Aku berjalan ke Selatan, bertarung dengan matahari. Aku harus tiba di Ngobaran sebelum terang. Selama perjalanan, aku yakin arwah Bapak turut menyertai perjalananku. Ia datang memberiku sejumput keberanian melewati pohon-pohon yang berbaris garang, berseragam kelam.

Kulewati patung naga kembar yang menyambut di depan pura. Aku tak yakin pasti seberapa sakral pantai ini, tetapi aku pernah melihat ada orang berkebaya yang menabur kembang di pantai. Yang kutahu, Ngobaran berbeda daripada pantai lainnya. Lebih indah dan asri, magis sekaligus sunyi. Kulepas sendal di tepian pantai. Berkenalan dengan batu karang yang bertabur lumut kehijauan. Kasar dan licin.

Kuhentikan langkah tepat di bibir Laut Selatan. Tanpa alasan pasti, aku membawa abu Bapak kemari. Aku yakin, suratan takdir lah yang membimbing kami. Sejenak kuingat Bapak yang jarang bicara. Bapak yang menurut banyak orang adalah penjahat; Bapak yang tak dicintai Ibu; tetapi dia tetaplah bapakku.

Suara itu kembali datang. Lebih lirih. Suara yang kudengar dari lorong dekat kamar Ibu. Suara itu mendesah di antara debut ombak yang menghantam karang. Seolah dikirim sebagai kalimat perpisahan.

“Terima kasih, Mas, masih mau menerimaku meski harus melawan bapakmu. Jika Mas Agung tidak menikahiku, entah apa yang akan terjadi kepadaku dan Sukma. Aku sudah biasa dihina, tetapi Sukma, dia terlalu kecil.”

“Ya, tidak akan ada orang yang berani menghina menantu Pak Dukuh. Cepat atau lambat, Sukma pasti bisa mengerti.”

Mengerti? Tidak. Aku tidak mengerti. Apa yang dikatakan Bapak dulu memang benar, anak-anak tidak akan mengerti permasalahan orang dewasa. Dan aku tidak ingin mencoba memahaminya. Kubuka keresek hitam. Kugenggam abu di dalamnya. Setitik demi setitik abu kuuraikan sembari berjalan. Sebagian mungkin terbawa angin, menyatu dengan pasir pantai. Sebagian mungkin akan sampai ke kamar Ibu dan menempel di ujung bibir ranumnya. Aku terus berjalan, menjauhi tepi Ngobaran. Menjauhi kehidupan.