Perempuan Tanpa Ayah

Perempuan Tanpa Ayah sunting

Haworthia di depanku tergeletak dengan akar yang tak lagi tersembunyi dalam arang sekam. Kaktus itu merana di samping pot terracota yang sudah pecah berkeping-keping. Entahlah, apa Haworthia itu akan baik-baik saja?

Apa perempuan itu marah? Aku hanya tidak sengaja menjatuhkan kaktus yang ada di meja teras saat sedang menyelesaikan pekerjaan editorku. Mungkin hanya perasaanku saja karena dia lama tak berkunjung.

Wajahnya yang ayu membuatku selalu mencuri-curi pandang. Tutur kata dan cara bersikap, menunjukkan bahwa dia sangat memegang erat prinsip hidupnya. Aku yakin, bahwa ibunya sudah mendidik gadis itu dengan baik.

Aku merindukan kehadirannya. Mungkin tidak hanya aku, penghuni panti ini pasti juga sedang merasakan kerinduan yang sama denganku. Perempuan dengan lesung pipi itu selalu mampir di panti milikku pada waktu-waktu tertentu. Sekadar mengobrol dengan para lansia, atau hanya sekadar berbagi makanan dengan para perawat panti. Namun, sudah satu bulan ini aku tak melihatnya. Para perawat panti juga mengaku sudah lama tak melihat perempuan itu berkunjung.

Kulampiaskan rindu pada gadis bermata coklat itu dengan memandang kaktus yang berjajar rapi di pot-pot kecil berwarna putih. Ya, kaktus-kaktus itu diberikannya untuk menghiasi taman di panti ini. Katanya, kaktus itu kuat, dan dia ingin dirinya atau orang lain menjadi sekuat kaktus saat menghadapi ujian hidup.

Mengingatnya hampir membuatku tak merasakan dinginnya udara. Ya, udara yang dingin dan gelapnya langit malam ini, menandakan bahwa kekasih abadi--hujan dan bumi--akan segera bertemu. Aku segera masuk. Aku sedang tidak ingin menikmati perjumpaan mereka, sepasang kekasih abadi.

"Pak, tunggu!"

Suara teriakan terdengar di telinga, membuatku refleks membalikkan badan dan mencari asal suara.

"Mala! Kenapa datang malam-malam? Belum pulang ke rumah?"

Banyak yang ingin kutanyakan padanya. Namun, melihat bajunya yang sudah basah kuyup membuatku mengurungkan niat. Dia pun hanya menjawab pertanyaanku dengan tatapan.

"Masuklah!" perintahku.

Kupanggil perawat panti yang menginap malam ini. Menyuruhnya untuk mengurus perempuan muda itu.

"Kenapa tak pulang?" tanyaku pada perempuan bernama Mala itu. Dia masih diam. Tangannya asyik menggenggam cangkir teh dengan uap yang masih mampu kulihat. Rupanya di tempat yang berbeda, dia lebih dulu bertemu dengan pasangan kekasih abadi dan menyisakan dingin yang sangat.

"Saya mau menikah, Pak. Tapi saya mau mencari ayah saya dulu. Ibu saya tidak mau memberi tahu keberadaan ayah saya di mana."

Matanya tidak menatapku. Dia menatap Mammillaria, kaktus yang berada di tengah meja dengan pot berwarna kuning. Rupanya rencana pernikahan yang menjadi masalahnya hingga lama dirinya tidak berkunjung ke panti.

"Untuk apa mencari ayahmu?" Aku tersenyum kecil. "Meminta restu atau memintanya menjadi wali?" lanjutku.

"Memintanya menjadi wali. Apakah salah?" Kali ini matanya menatapku. Berharap aku akan memberikan jawaban.

"Apa kata ibumu?"

"Saya tak perlu mencari ayah, karena dia tak memiliki hak apa pun atas diri saya. Begitu kata ibu," ucapnya.

"Lalu?"

"Saya anak yang dilahirkan di luar pernikahan, Pak." Kali ini suaranya terdengar tegas. Tegas, dengan amarah yang terselip di dalamnya.

"Apa yang dikatakan ibumu benar. Tidak ada yang salah. Laki-laki yang akan kamu cari memang tidak memiliki hak sama sekali atas dirimu."

Aku bangkit dari tempat duduk dan menuju ke kamar. Tak lupa kuucapkan selamat tidur padanya. Berharap dia akan bermimpi indah malam ini.

Menikah. Siapa yang tak mau? Membina rumah tangga dengan orang yang dicintai. Memulai lembaran baru dalam hidup dengan cara baik-baik. Mendapat restu dan berakhir bahagia seperti dalam dongeng.

Sayangnya, aku menutup kesempatan itu bagi diriku. Kesalahan masa lalu membuatku menghukum diri sendiri dalam panti ini. Aku pernah mengecewakan seorang perempuan. Bukan mengecewakan, lebih tepatnya berdosa.

*****

"Mimpi indahkah semalam?" tanyaku pada perempuan dengan rambut ikal sebahu yang berada di depanku.

"Tidak. Mana bisa saya mimpi indah, Pak."

"Sudah menyerah? Sudah tak ingin menjadi seperti kaktus?" Aku tersenyum padanya.

"Kenapa laki-laki yang yang seharusnya menjadi ayah saya, tak mempunyai hak sama sekali atas saya?" tanyanya.

"Karena kamu perempuan. Istimewa, Mala."

Aku berusaha menjelaskan kebenaran yang mungkin akan sulit diterimanya. "Anak di luar pernikahan tidak berhak dinasabkan pada ayah kandungnya. Mereka hanya bisa dinasabkan pada ibunya. Ayah kandung akan kehilangan hak terhadap anaknya. Begitu pula sebaliknya."

"Bahkan menjadi wali pernikahan untuk saya?"

"Itu adalah bentuk perlindungan istimewa dari Tuhan untukmu, Mala. Karena kamu perempuan!" tegasku. "Perempuan-perempuan yang bernasab dengan ayah kandungmu akan menerima balasan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh ayahmu."

"Maka dari itu Tuhan memutus nasab antara saya dan ayah kandung saya? Dan tidak memberikan hak apa pun itu atas saya?"

Aku menggangguk membenarkan ucapannya. Ada rasa pedih yang terasa di hati saat aku mengiyakan pertanyaannya. Percakapan kami terhenti begitu seorang lansia memanggil Mala. Mak Rin memanggil Mala untuk menemaninya menonton televisi. Perempuan muda itu tersenyum pada Mak Rin dan segera menemani Mak Rin.

Mataku masih tak ingin beralih dari bunga yang tumbuh dari Mammillaria dalam pot kuning. Bunga itu membuat otakku berputar mengingat masa lalu yang kelam. Masa lalu tentang cinta. Cinta yang hanya dipenuhi nafsu ragawi dan berakhir dengan kebohongan.

Aku dulu mencintai seorang perempuan. Dia cantik. Yang kutahu, saat itu kami saling mencintai. Setidaknya itu yang kurasakan. Namun, cinta membuat kami tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah.

Orang tuaku tak menginginkan perempuan itu, walaupun parasnya cantik. Mereka juga menudingnya hanya memanfaatkanku untuk mendapatkan harta saja. Ya, kekasihku hamil. Kehamilan itu membuat bingung, aku tidak siap!

Aku hanya bisa menghapus air matanya dengan tangan tanpa memberikan solusi. Membohonginya, dengan mengatakan bahwa aku akan bertanggungjawab dengan menikahinya. Aku menjadi laki-laki kurang ajar seperti di film-film percintaan.

Akhirnya pengecut sepertiku memilih pergi, dan tidak pernah menikahinya. Aku terlalu takut menghadapi kisah cintaku sendiri. Namun, kenyataannya berbeda. Aku tidak benar-benar pergi karena terlalu mencintai perempuan itu.

Aku selalu mengikuti diam-diam cintaku, kemana pun dia pergi. Perempuan dengan jabang bayi di perutnya itu minggat dari kampung setelah kehamilannya diketahui oleh orang-orang dan menjadi bahan ejekan. Sebutan pelacur hinggap pada dirinya. Entah bagaimana orang-orang bisa menyebutnya pelacur. Padahal semua orang tahu, bahwa anak di dalam perutnya itu hasil perbuatanku seorang. Suka sama suka dan tanpa bayaran.

Aku laki-laki, sanksi sosial tak begitu melekat padaku. Budaya patriarki dan uang telah menyelamatkan kejahatanku. Berbeda dengannya, budaya patriarki telah menyudutkannya sebagai perempuan hina. Semua mata menganggapnya perempuan pelacur dengan anak haram dirahimnya!

*****

Lama aku tidak melihat Mala setelah kedatangannya malam itu. Apa dia masih sekuat kaktus-kaktus di taman panti? Aku merindukan Mala.

Aku merindukan Mala yang ceria. Mala yang selalu bersemangat. Mala yang menghabiskan waktunya untuk para lansia di pantiku.

Mungkin Mala sudah menikah dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga barunya. Atau, dia sudah melupakanku dan panti ini?

"Pak!" Sebuah tepukan di pundak membuatku terkejut. Aku berbalik dan melihat siapa yang ada di belakangku.

"Mala!"

"Maaf, saya lama tidak datang ke panti. Saya sibuk dengan persiapan pernikahan, Pak. Acaranya minggu depan." Dia menyodorkan sebuah undangan sambil tersenyum manis.

"Ayahmu?"

"Nanti saya pasti dipertemukan dengannya." Senyumnya yang tersungging di bibir membuatku merasa lega. Dia memang sekuat kaktus.

*****

Setelah sedikit mengubah penampilan, aku memberanikan diri menyaksikkan prosesi ijab kabul pernikahan Mala. Mencoba berbaur dengan orang-orang untuk menyaksikkan anak perempuanku menikah. Sekaligus menyaksikkan hilangnya hakku yang paling berharga terhadapnya.

Setelah usai, aku segera pergi. Kembali ke panti dan mencoba menghibur diri dengan kaktus-kaktus pemberian Mala.

Kamu istimewa Mala, karena kamu perempuan. Tuhan pun sudah melindungimu dengan cara terbaikNya. Melindungi dirimu dariku, dari budaya patriarki dan uang.


TAMAT