Perjalanan pilihan

Bahkan seantero bumi tahu dengan keadaan dunia dengan selubung sandiwaranya, yang mengedepankan kredibilitas angka terhadap harga keamanan di atas rasa percaya. Bahkan angka-angka di dalam kalender yang sudah berjejer rapi, tidak lagi menguarkan aroma sedap untuk mengamati waktu demi kekosongan dan kebebasan hari yang paling dinanti.

Huruf-huruf di dalam buku fiksi juga sudah habis tenggelam dalam ejaan mata yang tak jua menunaikan kenyataan bahwa keberlangsungan hari juga ternyata fiksi, tetapi kenyataan hidup tetap berlaku sebagai kenyataan yang harus diterima dengan sebaik-baik keadaan. Bahkan keadaan ini berdampak pada hubunganku kepada seorang kekasih yang saat ini dari ujung daun pintu kamarnya sedang bercengkrama melalui panggilan telepon, kita layaknya seperti berpisah dengan himpitan dari puluhan negara, meski hanya terlampau berpisah dengan jarak yang masih mampu diukur melewat angka.

“Apa kegiatanmu hari ini?” tanyaku memulai percakapan dari balik panggilan telepon.

“Tidak adakah pertanyaan lain selain kegiatan, keadaan, dan perasaan?” decaknya dengan sedikit kesal karena menerima pertanyaan yang sama setiap matahari berganti bersama nama hari.

“Bahkan aku sendiri kebingungan untuk bertanya pada diriku sendiri tentang keadaanku setiap hari, itu sebabnya aku bertanya padamu. Barangkali hal baru dapat aku temukan dengan ceritamu,” timpalku yang tak kalah sebal. Aku membaringkan tubuh dari yang sebelumnya berposisi tengkurap dengan gawai yang masih menempel di telinga kanan.

Telepon kumatikan beberapa menit kemudian setelah masing-masing dari kita mencari keramaian dari tugas-tugas yang tidak begitu berselera untuk dijadikan pertemanan, tetapi akan lebih buruk jika dihiraukan dan seisi percakapan hanya diisi dengan seperangkat hening yang gamang.

Pertengahan tahunku dan dia menjadi hampa oleh sebuah kabar yang mencekam, rentetan daftar tanya seketika menjadi kilas-balik kebingungan dengan perantara keadaan yang tiba-tiba berubah signifikan. Dan semua orang hanya mampu berpasrah pada keadaan. Sebuah dialog singkat itu telah menjadi bagian diafragma singkat yang mengurai kejadian-kejadian hari yang terlalu padat bersama banyaknya rencana yang tersendat.

Memang sudah menjadi harapan banyak orang untuk menuntaskan gelisah tentang rumah bagi kata-kata yang di dalamnya mengagungkan kepulangan paling pasrah, tetapi nyatanya rumah bisa menjadi kutukan tersendiri oleh sebab larangan yang begitu menuai banyak konsekuensi.

Menjelang akhir tahun, tak banyak perubahan yang mampu legalitas tunjukkan atas sebuah kebebasan yang sedari awal menjadi sebuah harapan yang paling dinantikan. Bahkan kebosanan menjadi dalih utamaku yang mengabadikan kisah dengan menghabiskan bacaan dan menuliskan kisah hidupku sendiri untuk aku jadikan bacaan kenangan di kemudian hari nanti.

Secara tiba-tiba cakrawala menyelebung dengan gemerlap yang memberikan pertanda lahirnya sang kunarpa aksa di antara belahan jiwa, dan benar jika akhirnya aku menemukan sebuah kehilangan yang diberikan oleh kekasihku dengan penolakan yang sudah jelas-jelas tidak ingin aku terima, tetapi dia yang telah memilih kesendirian hidupnya sebagai waktu yang paling layak untuk dicintainya, tak pernah mampu dibantah oleh apapun rengekan maaf yang terhimpun di balik selubung ampun, meski sekecil salah padaku tak pernah terlakukan sedikitpun.

Orkestra kata-kata seketika mengangkasa demi mengorbitkan palung rasa yang diwakilkan secara tiba-tiba untuk menyulam kepergian dengan titik rasa keikhlasan. Aku kehilangan sosok yang bagiku mampu dilimpahkan cerita dalam hidupnya bersama sebuah hari dengan apapun itu kondisinya, bahkan saat dunia mengurung aktivis manusia. Rengekan tangis manja mungkin tak keluar dari kelopak mataku, tetapi tiap dinding hati bagaikan sembilu yang mengiriskan luka dengan begitu syahdu.

Tak pernah mampu aku membayangkan pergantian tahun tanpa seorang sosok yang di sampingnya sudah menyiapkan sepasang telinga untuk mendengar hal-hal konyol yang mengenyam segurat tawa, bahkan gingsul giginya yang berjejer rapi turut serta menyempurnakan indahnya ciptaan Yang Maha Kuasa.

Namun kehidupan tidak pernah berhenti di situ saja, selalu ada yang mampu diambil hikmah atas tiap-tiap kejadian yang telah dikutuk dengan begitu jengah. Sebagai anak SMA yang masih mengisi peluang semester akhir sebelum nantinya meninggalkan sekolah dengan perpisahan yang begitu getir, beragam kejutan lebih dulu menyambangiku sebagai penyapih luka-luka di masa lalu.

Aku yang masih berstatus siswa SMA ini yang beberapa saat kemudian akan beranjak menuju dunia perkuliahan, dikejutkan oleh salah satu dari keahlian yang selama ini aku pendam justru tiba-tiba merangkak tak tahu diri demi menjemput mimpi yang sempat tertinggal di kesadaran tubuh. Dan sebagai seseorang yang menyukai dunia menulis, aku sering iseng-iseng menunjukkan hasil kebosananku di sosial media. Tentu karena inginku agar orang lain mampu menikmati dan membacanya, bahkan turut serta menciptakan atmosfer yang sama.

Nyatanya, hasil kebosanan demi mengisi kekosongan selama di rumah membuahkan daya tarik orang lain untuk menawarkan jenjang keseriusan atas karierku. Lebih tepatnya ada media yang bersedia menampung hasil kerja tanganku, tentu itu bukan hal yang mudah untuk bisa dipercaya, saat sebuah kebosanan datang menjelma bianglala, lantas sebuah keajaiban menjelma segudang tawa. Namun hal itu benar adanya, dan kenyataan mengundang sejuta cerita. Kepahitan atas kenang yang masih terisak dari masa laluku seketika membias oleh kesibukan dari keahlianku, permintaan demi penyempurna sebuah kolaborasi cerita dan ilustrasi yang menyelaraskan imajinasi untuk memprovokasi pikiran pembaca agar turut serta terjebak dalam alur yang kucipta telah kurancang dengan sedemikian rupa. Semua kejadian itu menyulap senyum palsuku menjadi kebanggaan yang paling patut dihasilkan cemburu, tentunya oleh kehilangan yang sudah memberikanku kesempatan dalam menemukan titik ragu dalam menemukan keyakinan baru.

Bahkan ucapan selamat datang sudah selayaknya terpampang oleh senyum khas yang mengembang atas hasil upayaku, yang kini tersemat oleh sebab butanya usia dalam mengagungkan sebuah karya. Kesiapan diri menghadapi pergantian tahun tanpa seseorang yang dulunya masih kuharapkan sudah selayaknya terikhlaskan, lantas berganti kesibukan yang menunaikan mimpi-mimpi pada kehidupan.