PERJUANGAN APU
                                                          Karya: Tina Murdiati
                                                  SMP Negeri 2 Bantan, Bengkalis, Riau
     Namaku Apu. Aku anak suku Akit di pulau Bengkalis. Sekarang aku duduk di kelas tujuh di sebuah sekolah menengah  di kampungku. Hari Sabtu menjadi hari yang paling menakutkan sejak aku masuk sekolah ini. Seandainya Mak tak marah jika aku tak berangkat sekolah dan seandainya tak ada Aisyah dan Umar sahabatku, pasti aku memilih tinggal di rumah saja setiap hari Sabtu atau berhenti sekolah dan sibuk mencari siput bakau dan ikan.
      “Apu, Mak belum ada uang untuk membeli buku tulismu. Sekarang sedang musim angin kuat, ikan tak ada. Penat semalaman di laut tapi tak dapat ikan. Mencari siput bakaupun sekarang semakin susah. Berjalan jauh berjam-jam di sepanjang pesisir barulah dapat dua atau tiga kilo siput. Ini ada uang untuk jajan, ambillah.” Kata Mak sambil menyodorkan uang lima ribu rupiah.
     “Tak usahlah Mak. Uang tu simpan untuk nambah beli beras saja.” Jawabku sambil memandang Mak yang terlihat lelah.
     “Walaupun kita susah, engkau harus tetap sekolah supaya masa depanmu lebih baik, tidak seperti mak dan Bapak. Ingat pesan Mak ini ya Apu. Kau ini harapan keluarga.” Mak menepuk bahuku saat aku berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Pesan Mak itu selalu ku ingat.
     Sabtu Literasi. Ini kegiatan setiap hari Sabtu yang membuat aku takut ke sekolah. Pada kegiatan Sabtu Literasi ini, siswa-siswi semua duduk dengan jarak yang rapi di halaman sekolah.   Ketua kelas akan membagikan buku yang akan dibaca, dan nanti beberapa siswa akan menceritakan ulang apa yang telah dibacanya. Ini yang membuat aku takut, maju ke depan dan tampil bercerita di depan teman-teman. Malu, berkeringat dingin, tak tahu apa yang harus diucapkan. Itu yang selalu aku rasakan.
     “Apu, silahkan kedepan untuk menceritakan apa yang sudah dibaca.” Suara bu guru yang lembut bagaikan petir di siang bolong di telingaku. Apa yang aku khawatirkan sekarang terjadi. Lututku mulai bergetar, untuk berdiri saja aku hampir tak sanggup.
     “Apu, silahkan kedepan.” Suara bu Murni kembali memanggil.
     Kawan-kawanku mulai riuh, ada yang bersorak memanggil namaku, namun aku bergeming. Bu Murni tidak marah walau aku tidak mau maju tapi aku merasa malu.
          Aku, Umar dan Aisyah serta beberapa kawanku dipanggil bu Murni ke ruang Bimbingan dan Konseling pada jam istirahat. Aku berlatih berbicara di depan kawan-kawan. Mulai dari memperkenalkan diri hingga bercerita tentang keseharian ku di rumah. Awalnya aku malu dan kaku saat bercerita tapi bu Murni terus memberi semangat.
     Tiba-tiba, bu Murni bertepuk tangan diikuti kawan-kawan semua dan beliau berkata, “Nah, anak-anak ibu semua, bercerita juga merupakan keterampilan literasi yang perlu kita kuasai, seperti yang dilakukan Apu tadi. Terimakasih ya Apu. Terus berlatih, beranikan diri bercerita di depan kawan-kawan.”
     Aku terpana memandang taman sekolah. Hari ini ada yang lain. Setelah satu minggu libur semester ganjil, ternyata ada perubahan besar di sekolahku. Di halaman samping, baru dibangun pintu gerbang yang bertuliskan “Taman Literasi.” Ada sebuah gerobak, tapi ini bukan gerobak biasa, bukan gerobak yang berjualan es cendol atau goreng pisang. “Gerobak Literasi,” Ku baca dengan pelan tulisan yang menempel di gerobak. Gerobak ini isinya buku-buku bacaan.  Di bawah pohon-pohon yang rindang tersedia bangku-bangku taman yang nyaman. Ada juga dua buah pondok baca, atapnya terbuat dari daun nipah, lantainya dari kayu nibung ditutupi tikar pandan. Beberapa kawanku sudah duduk di sana dengan santai sambil membaca buku.
     “Apu! Sini!” seseorang berteriak dari sebuah bangku taman.

Aku menoleh dan ternyata itu Umar bersama Aisyah dan Harun. Aku melangkah mendekati mereka. Semuanya terlihat senang apalagi Aisyah yang pipinya kemerahan dan selalu tersenyum. Gadis Melayu yang satu ini terkenal sangat baik dan ramah kepada siapa saja termasuk padaku. Ia juga pelajar yang cerdas dan sangat aktif disetiap kegiatan sekolah.

     “Apu, apa khabar? Macam mana liburanmu? Happykan? Lihat sini, sekolah kita sekarang ada taman literasi dan gerobak literasi. Keren, bisa baca-baca di taman.” Aisyah yang ramah itu menyapaku dengan gembira.
     “Ya, seperti biasa berburu siput di hutan bakau.” Jawabku singkat. Namun pandanganku masih berkeliling ke penjuru taman.
     “Apu, kau punya cerita tentang liburanmu kemarin? Kau mau sarapan gratis?” Umar bertanya sambil tertawa.
     “Apa hubungannya cerita dengan sarapan gratis?” Jawabku heran sambil memandang ke arahnya. Umar tertawa sambil memegang pundakku,
     “Sekarang di sekolah kita ada kantin literasi. Di kantin literasi ini, kita bisa membeli kue dan jajanan lainnya, ada juga peralatan sekolah seperti buku dan pena. Semuanya gratis. Kita hanya menampilkan kemampuan kita misalnya bercerita, bernyanyi, baca puisi dan lain-lainnya, jadi tidak menggunakan uang.”
     “Benarkah?” Aku melongo mendengarkan cerita Umar. Aku teringat buku tulis yang aku perlukan saat ini.
     “Benar sekali!,” Jawab Umar, Harun dan Aisyah serentak sambil diiringi gelak tawa mereka.
     “Apu, ayolah kita coba berbelanja di Kantin Literasi.” Sambung Umar disela tawanya.
     “Aku? Tidak! Malas.” Jawabku singkat.
     Aisyah, Harun dan Umar memandang gusar ke arahku. Untunglah lonceng tanda berkumpul berbunyi sehingga aku bebas dari ajakan mereka. Kami bergegas menuju halaman depan sekolah dan berbaris rapi. Ada pengarahan dari Kepala Sekolah terkait semester baru. Bapak Kepala Sekolah juga menerangkan tentang program literasi sekolah kami yang terbaru yaitu kantin literasi.
     “Anak-anak semua, literasi adalah kemampuan seseorang dalam mengolah, memahami dan memanfaatkan informasi untuk kehidupan yang lebih baik. Di sekolah kita sekarang sudah di bangun Taman Literasi dan sudah dilengkapi dengan gerobak literasi dan buku-buku bacaan yang menarik serta bangku-bangku taman yang nyaman. Mari kita jaga dan manfaatkan Taman Literasi kita dengan sebaik-baiknya untuk membaca, belajar dan beristirahat dengan suasana yang menyenangkan. Ada beberapa program literasi yang kita laksanakan mulai semester ini. Tujuan dari program literasi adalah agar anak-anak semua senang membaca dan belajar serta memiliki kemampuan literasi dasar seperti literasi baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial dan literasi budaya dan kewargaan. Kemampuan literasi dasar ini sangat diperlukan di zaman sekarang ini.” Sesaat bapak kepala sekolah diam sambil memandang kami dengan berwibawa. Aku dan kawan-kawanku mendengarkan pidato bapak kepala sekolah dengan seksama.
     “Jadi diharapkan kita semua dapat mensukseskan program literasi yang ada di sekolah kita. Kita semua harus aktif ikut serta dalam Gerakan Literasi Sekolah yang telah ditetapkan pemerintah. Terima kasih untuk bapak ibu guru karena program literasi yang dilaksanakan di sekolah kita ini digagas oleh bapak ibu guru. Dari kita untuk kita semua.” Bapak kepala sekolah menutup pidatonya diiringi tepuk tangan.
     Setelah bubar dari lapangan, kami di arahkan untuk menuju Taman Literasi. Akupun ikut ke sana dan duduk di bangku taman. Sambil memegang buku bacaan yang aku ambil dari Gerobak Literasi, aku perhatikan sekelilingku. Di Kantin Literasi sudah banyak pengunjung, ada yang membaca puisi, bercerita, setoran ayat Al-Quran, dan ada juga yang menerangkan tentang pelajaran. Mereka mendapat kue, es dan ada juga yang memilih pena atau buku tulis. Semuanya gratis. Aku mendengar obrolan dari temanku tadi bahwa dana untuk Kantin Literasi ini semuanya sumbangan dari bapak ibu guru.
     Aku ingin maju untuk mendapatkan buku tulis tapi tapi aku tidak berani untuk tampil di depan banyak orang. Aku malu, takut dan cemas.  Ku pandang buku yang sedang aku pegang. Ku bolak-balik lembarannya. Kuulang dari semula, ku baca lagi judulnya. Atomic Habit  karya James Clear yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini menceritakan cara untuk membentuk kebiasaan  baik dan menghilangkan kebiasaan buruk. Sekilas itu yang kutangkap dari buku ini, buku yang menarik.
     “Wah… hebat Apu sekarang, rajin baca buku.” Tiba-tiba Harun, Aisyah dan Umar menghampiriku.
     “Ini buku bagus lho Apu. Aku sudah membacanya.” Tiba-tiba Aisyah mengambil buku yang sedang aku baca.
     “Kamu harus baca juga. Sangat menginspirasi. Perubahan-perubahan kecil yang kita buat dapat memberikan hasil yang luar biasa.” Lanjutnya lagi.
     “Baiklah, nanti aku pinjam.” Jawabku singkat.
     “Aku sudah ke Kantin Literasi. Nih lihat, aku dapat pena.” Umar memamerkan pena barunya.
     “Iya, aku juga tadi dapat makan kue gratis.” Harun ikut bercerita.
     “Ayolah Pu, tadi aku menerangkan tentang manfaat bakau untuk daerah pesisir dan dapat buku tulis cantik ini. Kita bisa bercerita tentang apa saja.” Aisyahpun mulai mempengaruhiku.
     “Malas. Aku malu. Aku tidak tahu apa yang harus aku sampaikan.” Jawabku singkat.
     “Ayolah Pu, jangan begitu. Masih ingat kata-kata bu Murni. Harus berani mencoba. Harus bisa mengalahkan diri sendiri. Kita harus percaya diri, yakin bahwa kita bisa.” Aisyah mulai berceloteh menasehatiku.
     Kadang aku benci diri sendiri. Mengapa harus takut untuk memulai berani  tampil dan berbicara di depan orang banyak. Memang perlu keberanian untuk mengalahkan ketakutan diri sendiri.
     “Ayolah Apu!” suara Aisyah mengagetkanku.
     “Ayo, jangan terlalu banyak mikir.” Kata Umar sambil menarik tanganku.
     Aku seperti terhipnotis, pasrah mengikuti kawan-kawanku menuju Kantin Literasi yang berada tak jauh dari kami.
     “Bu, Apu mau bercerita.” Aisyah langsung mendaftarkan namaku di buku pengunjung Kantin Literasi kepada bu Murni.
     “OK Apu, silahkan.” Jawab bu Murni sambil tersenyum menatapku.
     Aku terpana, tak tahu apa yang harus aku ceritakan. Ku tatap sekelilingku. Kawan-kawanku mulai riuh memanggil namaku. Ada beberapa guru dan kepala sekolah juga sedang berkunjung ke Kantin Literasi pagi ini.
     “Ayo Apu, semangat!” Umar, Aisyah dan Harun, sahabat-sahabatku ikut memberikan semangat.
     Ku Tarik napas dalam-dalam. Aku ingat pesan bu Murni, guru yang selalu memberi semangat padaku, “Kamu pasti bisa, Apu.”
     “Selamat pagi bapak ibu guru dan kawan-kawan semua. Namaku Apu. Aku dari kelas tujuh. Aku adalah anak suku Akit. Aku senang berada di alam bebas namun hutan bakau adalah tempat favoritku. Di hutan bakau aku dan kawan-kawanku selalu mencari siput bakau untuk dijual ke kedai. Kami mencari siput sambil bermain, terkadang celana dan bajuku penuh lumpur tapi aku sangat senang. Pohon bakau adalah sahabat kami karena pohon bakau memberi manfaat yang banyak. Ketika pohon bakau masih banyak, siput bakaupun banyak, ikan mudah ditangkap. Burung-burung kecil singgah dihutan bakau, suara kicauannya sangat merdu. Tapi sekarang, semua itu hampir lenyap karena bakau banyak ditebang. Ayo kawan-kawan semua, mari kita selamatkan bakau untuk menyelamatkan banyak kehidupan. Terimakasih.” Aku menutup ceritaku dan menghela napas lega.
     Suasana terasa hening dan tiba-tiba tepuk tangan bergemuruh. Aku lega bisa mengalahkan ketakutanku. Aku berjanji akan terus belajar, banyak membaca dan berlatih. Bersama kawan-kawan yang selalu memberi semangat dan bu Murni yang selalu membimbingku, serta lingkungan sekolah yang mendukung,  aku yakin dapat meraih masa depan yang cerah. Aku berjanji akan membahagiakan orangtuaku.