Permainan Anak Tradisional Kalimantan Selatan/Batiwah

Permainan Batiwah atau Tiwah merupakan permainan anak tradisional Kalimantan Selatan, yang awalnya ditemukan di daerah Kabupaten Barito Kuala, kemudian menyebar di berbagai daerah di Kalimantan Selatan hingga Kalimantan Tengah. Tidak diketahui makna kata Tiwah, tapi banyak yang mengaitkannya dengan upacara Tiwah atau Batiwah khas penganut agama Kaharingan, yakni upacara penghormatan terhadap arwah nenek moyang.[1]

Permainan ini umumnya dilakukan oleh sekelompok anak laki-laki, namun juga bisa diikuti oleh anak perempuan. Tidak ada batasan jumlah pemain, dan minimal bisa dilakukan oleh tiga orang. Permainan Batiwah biasanya dilakukan di halaman rumah.

Alat Permainan sunting

 
Sekumpulan kayu yang membentuk kerucut, digunakan sebagai target dalam permainan Batiwah khas Kalimantan Selatan.

Permainan ini memerlukan beberapa kayu dengan ukuran panjang sekitar satu jengkal, bisa disepakati misalnya sepuluh batang kayu. Satu kayu yang paling kuat ditanam di tanah, lalu menjadi sandaran bagi kayu-kayu lainnya, hingga membentuk kerucut.

Setiap pemain juga harus memiliki senjata atau undas, dalam hal ini adalah kayu sejengkal yang harus berbeda dari kumpulan kayu sebelumnya, bisa diwarnai terlebih dahulu sebagai penanda milik masing-masing. Seiring dengan perkembangan zaman, ada pula pemain yang mengganti kayu undas dengan menggunakan sandal jepit milik masing-masing pemain.

Cara Bermain sunting

 
Seorang anak sedang mendirikan ulang kayu-kayu dalam permainan Batiwah, sementara pemain lainnya sedang bersembunyi di suatu tempat.

Buatlah sebuah garis awalan, dengan jarak sekitar empat meter dari kumpulan kayu yang sudah berdiri membentuk kerucut. Masing-masing pemain mendapat giliran untuk membidik kayu tersebut dengan menggunakan undas atau sandalnya. Urutan pemain bisa ditentukan dengan metode hompimpa.

Jika pemain bisa merubuhkan minimal satu kayu yang menjadi target, maka posisinya akan aman. Permainan berganti, pemain kedua akan membidik batang kayu yang tersisa. Jika salah satu pemain tidak bisa merubuhkan satu pun kayu, maka posisinya tidak aman.

Jika kemudian semua kayu sudah habis dirubuhkan, maka pemain yang dalam posisi tidak aman akan bertugas untuk mendirikan kayu-kayu tersebut kembali, sementara pemain yang tadinya berhasil merubuhkan minimal kayu, akan memanfaatkan waktu saat kayu disusun ulang, untuk bersembunyi di lingkungan sekitar.

Pemain yang sudah selesai menyusun kayu menjadi bentuk kerucut, harus mencari teman-temannya yang bersembunyi. Namun ia harus waspada dalam meninggalkan tempat susunan kayu, karena jika ia lengah, pemain yang bersembunyi bisa merubuhkan kayu-kayu tersebut sewaktu-waktu, dan ia harus menyusun ulang lagi.

Jika pemain berhasil menemukan seluruh pemain yang bersembunyi, maka permainan Batiwah akan diulang kembali. Masing-masing pemain akan menuju garis awalan untuk melempar undas-nya masing-masing.[2]

Nilai Permainan sunting

Permainan Batiwah dapat mempererat persahabatan, mengasah fokus untuk membidik target, juga mengamati alam atau pemandangan sekitar ketika berupaya untuk menemukan teman-temannya yang bersembunyi. Pemain juga dituntut untuk kreatif dan bisa membaur dengan alam sekitar, agar saat bersembunyi tidak mudah untuk ditemukan.

Terlepas dari hal itu, permainan Batiwah juga memiliki manfaat untuk mengenalkan anak-anak pada upacara Batiwah khas penganut agama Kaharingan di Kalimantan, sehingga mereka merasa tertarik untuk melestarikan adat dan budaya daerahnya tersebut.

Referensi sunting

  1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981). Permainan Rakyat Daerah Kalimantan Selatan. hlm. 143.
  2. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981). Permainan Rakyat Daerah Kalimantan Selatan. hlm. 147.