Petualangan Tessa Si Gajah Kecil

Sinopsis

sunting

Tessa, gajah kecil yang suka bermain, tidak mendengarkan kata-kata ibunya, sepupunya dan pemimpin kelompoknya untuk tidak memisahkan diri dari kelompok. Hingga akhirnya ia harus menghadapi petualang besar yang berbahaya sendirian.

Tessa, Si Gajah Kecil (Elephas maximus sumatranus)

Riko, sepupu Tessa

Ibu Tessa

Suri, gajah betina pemimpin kelompok gajah

Sobi, orangutan, teman Tessa di kebun binatang ilegal

Lokasi

sunting

Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau

Cerita Pendek

sunting
 
anak gajah dan induknya

Kehidupan di Hutan

sunting

Tessa, seekor gajah kecil yang suka berpetualang, sedang asyik bermain lempar tangkap buah kelapa dengan Riko, sepupunya, ketika Ibu memanggilnya, “Tessa, kemarilah dan bantu Ibu mengumpulkan pucuk-pucuk pohon untuk makan siang kita, “ panggil Ibu tidak jauh darinya.

“Tunggu sebentar, Ibu. Aku sedang main, nih,” jawab Tessa enggan meninggalkan permainan.

“Kita lanjutkan permainan nanti saja, Tes, setelah membantu Ibu,” kata Riko padanya.

Dengan bersungut-sungut, gajah kecil itu mengikuti perintah ibunya. Kenapa sih, Ibu selalu menyuruhku ini dan itu. Padahal kan, aku ingin bermain sedikit lebih lama, gerutu Tessa dalam hati.

Tessa memunguti pucuk-pucuk pohon ke tempat yang telah diambil oleh gajah-gajah yang lebih besar ke tempat yang lebih rendah. Supaya gajah-gajah kecil seperti mereka  tidak kesulitan untuk makan.

Kelompok gajah itu dipimpin oleh Suri, seekor gajah betina yang bijaksana. Di dalam kelompok terdapat dua puluh ekor gajah-gajah betina dan anak-anak mereka. Dalam kelompok tersebut tidak ada gajah jantan dewasa. Dalam dunia gajah, gajah jantan yang sudah dewasa akan meninggalkan kelompoknya untuk hidup mandiri.

Saat hari menjelang sore, kelompok mereka sudah tiba di tepi sungai. Para gajah melepas lelah dari perjalanan jauh mereka hari itu. Ada yang asyik makan, mandi, berenang, dan bermain-main saja. Suri sang pemimpin mengumumkan pada kelompoknya bahwa perjalanan akan dilanjutkan sebelum matahari terbenam supaya mereka bias tiba di tempat tujuan untuk tidur dengan tepat waktu.

“Sejuk sekali air sungai ini, aku bisa bermain di sini sepanjang hari,” ujar Tessa gembira.

Semua gajah nampaknya sangat menikmati bersantai dan bermain-main di sore itu. Air yang segar, semilir angin yang sejuk, dan pemandangan indah sungai dengan bukit hijau yang terlihat indah di kejauhan. Tessa dan kelompoknya tinggal di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Sebuah hutan hujan tropis yang indah di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Riau. Tessa pernah menguping pembicaraan para gajah dewasa bahwa hutan tempat tinggal mereka merupakan Kawasan Taman Nasional, yang artinya kehidupan mereka di sini akan dilindungi oleh para penjaga hutan. Namun Suri dan ibunya pernah memarahinya saat ia dan Riko sengaja mencari jalan ke arah yang berbeda dengan tujuan kelompok, “Jangan sampai bertemu pemburu!” Begitu yang Tessa dengar.

Sore semakin pudar, tampak senja berkilauan di ujung langit sebelah barat, sebentar lagi malam akan menjelang. Kawanan gajah bersiap untuk kembali meneruskan perjalanan ke tempat istirahat mereka. Ibu mencari-cari Tessa yang masih asyik bermain di sungai.

“Tessa, sudah waktunya melanjutkan perjalanan. Jangan sampai kita ketinggalan kelompok, bisa bahaya,” seru Ibu kepada Tessa.

Tessa tidak mendengar seruan ibunya dan malah berenang-renang di sungai.

“Tessa! Ayo, kita sudah ditunggu gajah-gajah lain!” teriak Ibu dari tepi sungai.

Tessa tersentak dan buru-buru menghampiri ibunya, “Ibuuu, kenapa kita tidak bermalam di sini saja?” tanya Tessa merajuk.

“Tidak bisa Tessa, Suri telah mengatur tempat bermalam kita di tempat yang aman dan nyaman. Kita tidak bisa meninggalkan kelompok,” jawab Ibu tegas.

Tessa memberengut dan keluar dari air dengan terpaksa. Mengapa semua gajah harus mengikuti kata Suri? pikir Tessa kesal. Ia berjalan dengan ogah-ogahan, sesekali ia menjahili Riko yang berjalan di depannya. Tiba-tiba sebuah ide cemerlang terlintas di kepalanya.

“Riko,” panggil Tessa pelan.

Riko menengok, “apa sih?” katanya tidak sabar karena sedari tadi Tessa menggelitiki kakinya saat sedang berjalan.

Tessa berbisik-bisik membicarakan idenya. Riko tersentak, matanya membulat, lantas ia menggeleng kuat-kuat. “Jangan gila deh, ingat apa kat…”

“Ssst…” buru-buru Tessa menutup mulut Riko dengan belalai. “Jangan katakan ini pada siapapun, ini rahasia,” kata Tessa.

Hingga akhirnya malam telah turun sepenuhnya di Kawasan Taman Nasional Tesso Nilo. Hanya kegelapan dan suara-suara binatang malam yang mulai meramaikan hutan. Kawanan gajah yang dipimpin Suri terus bergerak hingga tengah malam, untuk menemukan tempat istirahat ternyaman di hutan itu.

Ketika para gajah sudah mulai terlelap, Tessa melirik ke sebelahnya, “Ibu…” bisiknya. Ibu tidur dengan lelap, ia tidak mendengar Tessa berbisik memanggilnya.

Tessa tersenyum puas, sambil mengendap-endap ia membangunkan Riko yang sedang tidur tidak jauh darinya.

“Riko, ayo bangun,” bisik Tessa, belalainya menepuk-nepuk kepala Riko dengan tidak sabar.

Riko membuka mata dengan enggan, “Tessa, jangan lakukan hal ini, berbahaya,” katanya.

“Ya sudah, kalau kamu tidak ikut, aku pergi sendiri saja,” kata Tessa.

Riko akhirnya berdiri dengan sigap, ada kekhawatiran dan rasa takut di hatinya, tetapi ia tidak bisa membiarkan Tessa pergi sendirian. Akhirnya Tessa dan Riko beringsut pelan, sepelan mungkin supaya tidak membangunkan para gajah yang tengah tertidur. Mereka melangkah perlahan-lahan, hingga tiba agak jauh dari kelompok, Tessa mulai berlari dengan semangat.

“Ayo Riko kita balapan sampai sungai!” ujar Tessa gembira.

“Tessa, pelan-pelan, aku tidak kuat berlari, mataku masih sangat mengantuk,” kata Riko.

Saat mereka sampai di tengah perjalanan menuju sungai, Riko merasa sangat kelelahan, “Tessa… maaf… aku tidak bisa… mengikutimu… ” kata Riko terengah-engah. Memang dalam soal tenaga, Riko selalu lebih mudah capek daripada Tessa.

“Ya sudah, kita pelan-pelan saja,” kata Tessa.

“Enggak… maksudku… Ini salah, ayo kita pulang saja,” ujar Riko padanya.

“Aku tidak mau Riko, kalau kamu takut, pulanglah sendiri,” Tessa berkata dengan tegas.

“Tessa, jangan begitu, bagaimana nanti kata Ibu dan gajah-gajah lain?” tanya Riko cemas.

“Jangan khawatir Riko, aku akan kembali sebelum matahari terbit,” jawab Tessa, lantas menepuk kepala Riko dengan belalainya. Sejenak kemudian Tessa sudah berlari kencang  meninggalkan Riko yang masih berusaha mengatur napas.

Sesampai di tepi sungai, Tessa berlari senang sekali. Wow, tidak ada Ibu, tidak ada Suri, tidak ada gajah dewasa yang akan melarangnya bermain!

Tessa masuk ke sungai yang dingin, beratapkan bintang-bintang. Ah, indah sekali, pikirnya.

Tiba-tiba terdengar gemuruh yang tidak biasa, bukan suara hewan, ia bisa merasakan. Sekelebat ia melihat dua makhluk dalam rangka besi dengan mata menyala yang membuatnya silau. Tessa keluar dari sungai dan menghampiri makhluk misterius itu. Dor! Dor! Tessa merasa pusing dan tidak dapat mengingat apapun lagi.

*

Tertangkap

sunting

Ketika membuka mata, Tessa kesulitan menggerakkan badannya. Rupanya keempat kakinya terikat. Ia merasa pusing karena sekelilingnya seperti bergerak. Tessa menggerak-gerakkan badannya dengan kikuk, lantas tiba-tiba gerakannya terhenti, sesosok makhluk asing muncul di hadapannya. Dor! Sekali lagi Tessa pingsan.

Tessa mencium bau asing, udara yang asing, lalu ia menjejak tanah dan dirasakan pijakan yang keras. Bukan tanah yang dingin seperti yang ada di hutan tempat tinggalnya. Lalu ia melihat pagar besi di hadapannya dan tempat dengan pepohonan kecil yang jelek dan sempit, tidak seperti di hutan yang begitu luas.

“Hai, kau sudah bangun?” tanya seekor orangutan dalam kerangkeng besi di seberang tempatnya bangun. “Kenalkan namaku Sobi, siapa namamu?” ucap orangutan itu.

“A… aku Tessa, ini dimana?” tanya Tessa kebingungan.

“Ini halaman belakang rumah Pak Arteri,” jawab Sobi. Ia menunjuk ke sekeliling, “lihat ke sebelah kanan,” Tessa memicingkan matanya karena tidak jelas. “itu trenggiling,” sambung Sobi. Lalu ia melanjutkan menunjuk berbagai kandang yang terisi dengan hewan-hewan eksotis yang tidak seharusnya dikurung di dalam kandang. Menurut cerita Sobi, Pak Arteri adalah orang kaya yang suka mengoleksi hewan-hewan langka dan menjadikan halaman rumahnya yang sempit ini semacam kebun binatang pribadi.

Hari-hari yang Tessa lalui sangat membosankan, ia tidak bisa bermain, tidak ada makanan enak, ia tidak leluasa bergerak karena kandangnya terlalu sempit. Semua itu menjadikan badannya sakit. Ia juga sedih ketika teringat ibunya, Riko, Suri, dan gajah-gajah lain di kelomposk. Ia marah pada dirinya sendiri, mengapa ia begitu keras kepala dan bodoh? Ia menyesal dengan apa yang telah ia lakukan. Di malam hari Tessa sering menangis dalam tidur. Untung ada Sobi yang menjadi kawan berceritanya. Ada yang memberinya makan setiap hari, namun sedikit sekali makanan itu. Beberapa kali ia juga menemui anak-anak kecil yang melihatnya dengan gembira, kata Sobi, mereka adalah anak-anak kolega Pak Arteri yang datang berkunjung. Sesekali juga muncul manusia yang mirip dengan makhluk yang menangkapnya malam itu. Mereka adalah pemburu liar, yang pernah dibicarakan secara serius oleh Suri kepada kelompoknya beberapa waktu dulu.

Suatu hari rumah begitu lengang, bahkan tidak ada orang yang memberi mereka makan. Tiba-tiba terdengar suara sirine dan derap kaki orang-orang yang memakai seragam. Tessa panik dan mencoba keluar dari kandangnya. Belasan orang masuk ke dalam rumah dan membawa Sobi, lalu seseorang membidikkan senapan ke arahnya, dan Tessa pun tertidur.

Rupanya kebun binatang tersebut tidak berizin, kondisi hewan-hewan di situ juga memprihatinkan, tidak terjaga makanan dan kesehatannya. Hari itu dilakukan penggerebekan untuk mengembalikan hewan-hewan ke penangkaran.  Saat ini Tessa dalam perjalanan ke penangkaran gajah di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), berdasarkan informasi dari seseorang berbaju polisi dipastikan bahwa Tessa berasal dari tempat itu. Sobi dikirim ke penangkaran orangutan di tempat lain. Tesaa sedih karena ia tidak sempat mengucapkan kata perpisahan pada Sobi, sahabatnya.

Tessa tiba di penangkaran dan langsung diperiksa oleh Kakak dokter yang memakai pakaian lucu bergambar gajah. Tessa mengenali aroma hutan ini dan ia menangis merindukannya. Kata Kakak dokter dan kakak-kakak di penangkaran, Tessa harus sehat dulu supaya bisa kembali lagi ke hutan.

*

Kembali Pulang

sunting

Beberapa bulan kemudian, Kakak dokter memberitahunya bahwa Tessa sudah siap untuk kembali. Tempat penangkaran ini menyenangkan, ada banyak manusia baik yang memperhatikan dirinya. Mereka juga tidak segan-segan untuk mengajaknya bermain. Tessa pun mulai akrab dengan gajah-gajah lain di penangkaran. Namun tetap saja kerinduan Tessa pada Ibu semakin besar.

Suatu pagi Tessa dibawa berjalan agak jauh dari tempat penangkaran. Semua orang memeluknya dengan sayang dan mengucapkan selamat tinggal.

Ia mengikuti jalan yang sepertinya sudah ia kenali, aroma hutan yang menenangkan, dan suara-suara ini terdengar tidak asing.

“Hei, aku tahu tempat ini,” kata Tessa gembira. Ia berlari dengan semangat mengikuti jalur hutan yang seperti sudah diingat dalam kepalanya.

 Sungai itu! Di ujung jalan ia menemukan sungai kesukaannya, tempat terakhirnya di hutan ini sebelum dibawa pergi oleh pemburu.

Tessa melihat sekawanan gajah yang sedang asyik bermain.

Tidak mungkin!

Sosok yang ia rindukan selama ini, tempat ia berhutang ribuan maaf.

“Ibuuu…” panggilnya sambil berlari.

Tessa pun kembali pulang.

*

TAMAT