Pohon Jodoh

S. Prasetyo Utomo

Minggu, 12 April 2015

ABAH termenung di bawah Pohon Jodoh. Merenungkan pengembaraannya. Memandangi sebatang pohon tinggi. Teduh. Berumur ratusan tahun. Di pangkal Pohon Jodoh tumbuh pohon lain, berimpitan, lebih pendek, dengan daun lebar serupa piring hijau mungil. Terkesan pohon itu bernaung pada Pohon Jodoh. Berkali-kali Abah menerima cerita Pohon Jodoh dari orang-orang di pesantren Lembah Bayang-Bayang. Mereka mengisahkan Pohon Jodoh tak tumbuh di lahan mana pun di desa ini. Memang pohon itu ditemukan di desa lain. Namun, desa itu sangat jauh di lereng pegunungan.

Hembusan angin selalu menebar bau harum saat kembang Pohon Jodoh bermekaran di musim kemarau. Buah Pohon Jodoh mudah runtuh, berserakan. Bulat. Lebih besar dari kelereng. Hijau kecokelatan. Namun buah yang berserakan itu tak pernah tumbuh sebagai pohonpohon baru. Disemaikan di tanah mana pun, buahbuah itu tak tumbuh sebagai Pohon Jodoh baru. Pohon Jodoh tumbuh bukan atas kehendak manusia.

Telah ratusan tahun Pohon Jodoh tumbuh, jauh sebelum berdirinya pesantren Kiai Sepuh. Dulu kawasan pesantren ini tergenang air. Dikenal orang sebagai telaga yang memantulkan bayang-bayang pegunungan sekitar. Leluhur Kiai Sepuh mengerahkan santrinya mengeringkan telaga, membuka lahan sayuran, sawah, dan pesantren baru. Orang-orang desa lereng gunung menamai kawasan ini Lembah Bayang- Bayang. Pohon Jodoh tumbuh sejak lahan berupa telaga. Tak pernah mati. Tak pernah menjulang lebih tinggi. Ratusan tahun lamanya: serupa pohon keabadian. Pohon Jodoh menjaga telaga, dan kini menjaga pesantren Lembah Bayang-Bayang.

Sepuluh tahun Abah meninggalkan kota tempat tinggalnya. Berpisah dengan Umi, istrinya, berguru pada Kiai Sepuh. Ia diminta menjadi ustaz di pesantren. Kini ia berdiri termangu di bawah Pohon Jodoh. Menatap sunyi pohon itu dan pohon pasangannya: batang lebih kecil, daun-daun lebih lebar, hijau dan lentur. Daun-daunnya sering dipetik orang-orang desa untuk membungkus tempe.

Kadang Abah merindukan anak perempuannya, Zahra. Semula ia mengembara untuk menemukan ketenangan jiwa. Namun kini, ketenangan jiwa itu telah bersemayam di hatinya. Ia enggan kembali ke rumah.


“KAU sudah ditinggal suami mengembara begitu lama, tanpa nafkah, tanpa kabar. Kenapa masih setia menunggu?” goda Juragan Zul, menggugat Umi, tapi Umi yang tengah menjaga toko kainnya, lebih memilih meladeni pembeli dan mengabaikan godaan itu.

Lelaki tambun itu senang bisa mempermainkan perasaan Umi. Biasanya Umi bereaksi keras, tapi kali ini tidak. Umi sangat tenang, sangat percaya diri. Umi sama sekali tak goyah oleh godaan Juragan Zul.

Sebenarnya dalam hati Umi telah bangkit sebuah tekad. Ia mesti mencari dan menemukan Abah. Sepuluh tahun kesunyian, penuh penantian. Umi sudah bosan. Sudah waktunya menemukan Abah. Sudah waktunya menuntut kepastian: mungkin lebih baik hidup seorang diri.

Umi merasa tak perlu lagi mendapat dorongan dari Juragan Zul untuk berpisah dengan Abah. Dia akan minta cerai. Mencari Abah, dan hidup bersama Zahra, anak gadisnya yang kini 17 tahun umurnya. Ia tak ingin hidup dalam penantian, yang tak diketahui akhirnya. Dia bukan janda, bukan pula wanita bersuami.


PERTEMUAN Umi dengan ibu mertuanya seperti menyisakan kegetiran dua perempuan: ibu yang ditinggal anak dan istri yang ditinggal suami. Rumah besar ibu mertua sangat sepi. Kamar-kamar kosong, aus, dan usang. Perempuan tua itu tinggal dengan seorang cucu perempuan yang beranjak remaja. Sepasang mata ibu mertua kosong dan rapuh seperti tanpa pengharapan. Perempuan tua itu masih bisa berjalan-jalan, tapi cuma di rumahnya sendiri, tak pernah ke mana pun.

“Aku sudah tahu apa yang kau cari,” kata ibu mertua. “Sudah berkali-kali kau menjengukku, tapi wajahmu kali ini lain.”

“Ibu tahu tempat tinggal suamiku?” tanya Umi, dengan dada berdetak. Ia gugup, gusar, dan penasaran.

Perempuan tua yang rapuh itu seperti menggumam dengan dirinya sendiri, “Dia tinggal di pesantren Lembah Bayang-Bayang, di lereng gunung.”

Tersendat-sendat, pelan, perempuan tua itu mengenang anak lelakinya yang mengembara. Anak yang baru sekali pulang saat menjelang lebaran lima tahun silam. Hanya sehari lelaki itu berada di rumah, dan esok paginya ia sudah melakukan perjalanan ke Lembah Bayang-Bayang. Ibu mertua Umi tak pernah mau memberi tahu tempat tinggal anak lelakinya. Ia memendam rahasia keberadaan anak lelakinya—seperti yang diminta lelaki itu. Di lembah yang sunyi, dibayangbayangi pegunungan yang melingkarinya, dan kabut mengendap pagi dan sore, anak lelakinya menemukan ketenangan jiwa.


PERJALANAN Umi bermula dari stasiun kereta api. Umi diantar Zahra, yang menunggu di peron. Masih tersisa dingin subuh, Zahra berkali-kali merasakan getaran rel dilindas kereta, bergemuruh, melambat, berhenti, berangkat, dan menjauh. Umi tak memperkenankan Zahra mengikuti kepergiannya mencari Abah. “Ada hal yang akan kubicarakan dengan Abah. Biar aku menemuinya seorang diri.”

Zahra menahan diri untuk mencapai Lembah Bayang-bayang, bertemu Abah. Dari peron, ia mengamati Umi menaiki gerbong, dan lokomotif membawa deretan gerbong menjauh. Tapi sebenarnya di hati Zahra ia merasa sangat dekat dengan Abah. Terjadi percakapan-percakapan batin yang senantiasa dilontarkan Zahra, seusai salat malam. Dalam hening ia bercakap-cakap dengan Abah. Zahra merasa sangat dekat dengan Abah. Ia merasa tak perlu lagi bertemu Abah. Zahra sudah lama mengerti, Abah tinggal di lereng gunung yang bernama Lembah Bayang-bayang, di sebuah pesantren, daerah sunyi jauh dari perkampungan.


HAMPIR senja ketika Umi mencapai Lembah Bayang-Bayang dengan berjalan kaki. Ia menyusuri jalan setapak ke pesantren yang tua dan berkabut. Di tanah datar yang luas, di sudut pesantren, terdapat Pohon Jodoh. Pohon berumur ratusan tahun, tak pernah rapuh, apalagi roboh. Pohon aneh yang tak tumbuh di tempat lain.

Hari senja ketika Umi lelah berjalan kaki, memasuki gerbang pesantren Lembah Bayang-Bayang. Ia berdiri di bawah Pohon Jodoh. Rimbun, tenang, menghitam daun-daun dan rantingnya. Terselubung kegelapan. Umi merasakan dadanya sesak, sakit pada ulu hati. Dari bawah Pohon Jodoh itu, ia pandangi pesantren yang terselubung kabut, masjid tua yang dipenuhi para santri salat magrib. Umi mengambil wudu. Ia tergeragap, merasa berada di belahan bumi yang asing, yang tak pernah dibayangkannya.

Memasuki masjid, ia tergetar. Melihat punggung suaminya. Abah berdiri di mihrab masjid. Benarkah itu Abah? Begitu mendengar suara imam melantunkan ayat, berat dan jernih, Umi segera tahu: itu suara Abah. Dalam diam, Umi merenung: sepuluh tahun sudah ia ditinggal Abah. Ia kebingungan dan gelisah. Apa yang dilakukan Abah sepuluh tahun di pesantren ini? Bahkan kemudian, bangkit dalam pikiran Umi: benarkah Abah tak menikah lagi?

Lepas salat magrib, Umi menanti kesempatan bertemu Abah. Bersila di mihrab. Abah masih berdoa. Umi menanti para santri menyalami dan mencium tangan Abah. Masjid kembali sunyi.Tinggal Abah dan Umi. Lenyap sudah seluruh keletihan Umi menempuh perjalanan sepanjang hari. Abah tergeragap dari kesadarannya. Memandangi Umi yang menunduk. Berdoa dalam getar dada yang ditahan. Langkah Abah bergegas, mendekati Umi. Mengangkat Umi dari duduknya dan memeluk rapat.

“Bagaimana kau bisa sampai ke sini?” Abah masih memeluk Umi. Sepuluh tahun kesunyian, kini Umi kembali gugup seperti saat gadis, dengan gemuruh dada. Umi menahan perasaannya.


LEPAS salat isya, Abah membawa Umi menghadap Kiai Sepuh, yang terbaring. Lumpuh. Sendirian. Seorang putrinya sesekali menengok. Betapapun tubuh Kiai Sepuh tak dapat digerakkan, pandangannya masih tajam. Masih bisa mendengar. Masih bisa bicara dengan jelas. Sepasang matanya sebening tetesan embun pagi, berkilau, memantulkan kesunyian.

“Inilah guru mengajiku semasa kecil di Lembah Bayang-Bayang ini,” kata Abah. “Kiai Sepuh hanya berdua dengan anak gadisnya. Aku memang tak ingin pulang, merasakan ketenteraman di sini. Pesantren ini semakin sepi ditinggalkan santri-santrinya. Belum ada kiai yang menggantikan Kiai Sepuh. Mudah-mudahan kau ikhlas aku tinggal di sini.”


BERPAMITAN pada Kiai Sepuh, putri kiai, dan Abah, pagi itu Umi mesti menyampaikan keputusannya untuk bercerai. Berdiri lama, termangu di bawah Pohon Jodoh, dinaungi rimbun dan hijau daunnya, Umi menenteramkan hatinya. Tenang, teduh, Pohon Jodoh tak menampakkan ketuaannya. Pohon itu seperti terhindar dari kerapuhan.

Umi memandangi Abah. Wajah Abah lebih damai, lebih memancarkan cahaya. Tulus.

“Kau mau menyampaikan pesan penting?” tegur Abah, suaranya berat.

Umi tergeragap. “Tidak. Aku hanya memastikan kau dalam keadaan sehat. Aku mohon diri. Doakan aku dan Zahra menemukan ketenteraman jiwa sepertimu.”

Pandana Merdeka, 2015